Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyahris Koentartiwi
"Latar belakang: Hipertensi paru (HP) merupakan penyulit yang sering terjadi pada anak dengan penyakit jantung bawaan (PJB) lesi pirau kiri ke kanan. Penatalaksanaan HP yang reversibel adalah tindakan korektif terhadap PJB. Morbiditas dan mortalitas HP pasca-tindakan korektif cukup tinggi. Penggunaan vasodilator oral (sildenafil) dikatakan bermanfaat untuk menurunkan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif.
Tujuan: menganalisis perbedaan tekanan arteri pulmonalis serta luaran klinis antara kelompok sildenafil dan kelompok placebo, pada pasien HP akibat PJB, yang telah mendapat tindakan korektif.
Metodologi: Pasien PJB pirau kiri ke kanan usia < 18 tahun yang direncanakan dilakukan tindakan korektif, dirandomisasi secara acak ganda ke dalam kelompok sildenafil atau plasebo. Sildenafil diberikan per-oral dengan dosis berdasarkan berat badan, diberikan 3 hari pasca-tindakan selama 30 hari. Pemeriksaan klinis dan tekanan arteri pulmonalis yang dianalisis dengan ekokardiografi dilakukan sebelum, 3 hari, serta 30 hari pasca-tindakan korektif.
Hasil: Selama periode Juli 2013 - Juni 2014 terdapat 36 pasien yang direkrut (17 plasebo dan 19 sildenafil). Tidak ada perbedaan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif dan 30 hari pasca-perlakuan pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada luaran klinis pasca-tindakan korektif antara kedua kelompok. Tidak dijumpai reaksi samping obat.
Simpulan: Sildenafil tidak memengaruhi penurunan tekanan arteri pulmonalis pasca-tindakan korektif, disebabkan HP akibat hiperkinetik yang turun karena penutupan defek.

Background. Pulmonary hypertension (PH) was a common complication congenital heart defect (CHD) due to left to right shunt. Corrective procedure by surgery or catheterization intervention is the therapy of choice for reversible PH. Since morbidity and mortality of PH after correction was high, Sildenafil as a selective vasodilator for pulmonary artery was used in many recent studies to decrease pulmonary artery pressure.
Objectives. To evaluate the role of sildenafil in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure of left to right shunt CHD.
Methods. Left to right shunt patients aged < 18 year-old were scheduled for corrective treatment were randomized, double-blind, to receive either sildenafil or placebo orally, given day 3rd to day 30th after corrective procedure. Clinical and pulmonary artery pressure were evaluate using echocardiography before, 3 days and 30 days after corrective procedure and receiving the drug.
Results. During July 2013 - June 2014, 36 patients were included, 17 in placebo and 19 in the sildenafil groups. There was no differences in pulmonary artery pressure and clinical outcome after corrective procedure in the two groups. There were no adverse events during the treatment.
Conclusion. Sildenafil seems has no effect for decreasing pulmonary artery pressure since the PH was due to hyperkinetic, therefore, pulmonary artery pressure is back to normal soon after corrective procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syaltut
"Latar belakang: Regurgitasi trikuspid (RT) derajat sedang atau berat yang tidak dioperasi berasosiasi dengan prognosis buruk atau tingkat kematian yang lebih tinggi, bahkan pada kasus tanpa disertai disfungsi ventrikel kiri atau hipertensi pulmonal (HP). Terdapat beberapa teknik perbaikan katup trikuspid, yaitu teknik penjahitan yang salah satunya dinamakan teknik De Vega, serta pemasangan annuloplasty ring atau band. Penelitian-penelitian sebelumnya membandingkan antara metode penjahitan dan ring annuloplasty dalam mengurangi lesi RT dan peningkatan kapasitas fungsional pasien pascaoperasi, namun tidak terfokus pada masalah katup trikuspid yang muncul bersamaan dengan komorbid yang signifikan, yaitu HP. Tujuan: Menguji efektivitas jangka pendek pemasangan annuloplasty band dalam menurunkan derajat RT pada pasien dengan RT sedang-berat dengan hipertensi pulmonal sedang-berat dibandingkan dengan teknik De Vega. Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi kohort retrospektif dari bank data bagian Bedah Jantung Dewasa Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita periode Januari 2018-Desember 2019. Didapatkan total keseluruhan 72 pasien RT sedang-berat yang menjalani operasi perbaikan katup trikuspid dengan teknik pemasangan annuloplasty band atau teknik De Vega bersamaan dengan operasi perbaikan atau penggantian katup mitral dan/atau aorta. Penilaian fungsi ventrikel kiri, tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tricuspid valve gradient (TVG), dan maximal tricuspid regurgitation velocity (TR Vmax) dilakukan menggunakan ekokardigrafi, kemudian dievaluasi dan dibandingkan sebelum dan setelah tindakan dilakukan pada masing-masing kelompok. Hasil:Dari 49 subjek kelompok band annuloplasty, didapatkan perbedaan klasifikasi RT yang bermakna antara sebelum dan sesudah tindakan (p = 0,000). Temuan serupa juga didapatkan pada kelompok teknik penjahitan De Vega (p = 0,000). Hampir seluruh subjek dengan RT sedang-berat mengalami penurunan derajat RT pascaoperasi, kecuali satu subjek pada kelompok teknik De Vega yang tetap berada pada klasifikasi yang sama sebelum tindakan dilakukan. Berdasarkan evaluasi ekokardiografi pascaoperasi, tidak ditemukan penurunan fungsi ventrikel kiri yang bermakna dinilai dari variabel EF pada kedua kelompok band annuloplasty (p = 0,123) dan teknik De Vega (p = 0,176). Namun, terdapat penurunan yang signifikan pada variabel TAPSE pascaoperasi dengan selisih 7,02 (IK 95% 5,51 – 8,52; p = 0,000) pada kelompokband annuloplasty dan 6,96 (IK 95% 5,09 – 8,82; p = 0,000) pada kelompok teknik De Vega. Penurunan bermakna juga ditemukan pada variabel TVG dan TR Vmax pada kedua kelompok (p <0,05). Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa teknik pemasangan annuloplasty band tidak lebih efektif dibandingkan dengan teknik De Vega pada operasi konkomitan perbaikan katup trikuspid.

Background: Non-operated moderate or severe tricuspid regurgitation (TR) is associated with poor prognosis or higher mortality, even in cases without left ventricular dysfunction or pulmonary hypertension (PH). There are several techniques for tricuspid valve repair, namely suture techniques, one of which is De Vega technique, and the implantation of ring or band annuloplasty. Previous studies compared suture and ring annuloplasty methods to reduce TR lesions and increase functional capacity of postoperative patients, but did not focus on tricuspid valve problems that concurrent with a significant comorbid, particularly pulmonary hypertension. Objective: To assess the short-term effectiveness of band annuloplasty implantation in reducing TR degree in patients with moderate-severe TR concurrent with moderate-severe PH compared to the De Vega technique. Methods: This study used a retrospective cohort study design from a database of the Adult Cardiac Surgery department of the National Cardiovascular Center Harapan Kita for the period of January 2018 to December 2019. A total of 72 moderate-severe TR patients who underwent tricuspid valve repair using band annuloplasty or De Vega technique concomitantly with mitral and/or aortic valve repair or replacement. Assessment of left ventricular function, tricuspid annular plane systolic excursion (TAPSE), tricuspid valve gradient (TVG), dan maximal tricuspid regurgitation velocity (TR Vmax) was performed using echocardigraphy, subsequently evaluated and compared before and after the procedure was performed in each group. Results: From 49 subjects in the band annuloplasty group, there was a significant difference in TR classification between pre- and post-surgery (p = 0,000). A similar finding was also found in the De Vega suture technique group (p = 0.000). Almost all subjects with moderate-severe TR had a postoperative decrease in TR degree, except for one subject in the De Vega technique group who remained in the same category before the procedure was done. Based on postoperative echocardiography evaluation, there was no significant decrease in left ventricular function assessed by the ejection fraction variable in both band annuloplasty (p = 0.123) and De Vega technique (p = 0.176) groups. However, there was a significant decrease in the postoperative TAPSE with a mean difference of 7.02 (95% CI 5.51 - 8.52; p = 0.000) in the band annuloplasty group and 6.96 (95% CI 5.09 - 8.82); p = 0.000) in the De Vega technique group. Significant decreases were also found in the TVG and TR Vmax variables in both groups (p <0.05). Conclusion: This study shows that the annuloplasty band implantation technique is no more effective than the De Vega technique in concomitant tricuspid valve repair. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bima Suryaatmaja
"Latar Belakang : Hipertensi pulmoner (HP) merupakan faktor independen kematian, kematian kardiovaskular, dan gagal jantung pada pengamatan 4 tahun pasien pascabedah katup mitral. Masalah pasien pascabedah thoraks adalah menurunnya fisiologi dan mekanik paru yang menyebabkan gangguan ventilasi perfusi dan hypoxia induced pulmonary vasoconstriction sehingga perbaikan HP pascabedah menjadi lambat.
Tujuan Penelitian : Menilai efek latihan pernapasan sebagai adjuvan latihan fisik yang terstruktur terhadap penurunan tekanan sistolik arteri pulmoner (TSAP) pada pasien pascabedah katup mitral dengan hipertensi pulmoner.
Metode : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda dan prospektif. Kelompok perlakuan diberikan latihan pernapasan 50% volume inspirasi maksimal (VIM) sebagai adjuvan latihan fisik atau plasebo pada kelompok kontrol selama rehabilitasi fase 2. Sampel diambil secara konsekutif dari populasi terjangkau pascaoperasi katup mitral yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan 43 subyek yang terbagi dalam 2 kelompok yakni 21 orang kelompok perlakuan dan 22 orang kelompok kontrol. TSAP dinilai dengan ekokardiografi sebelum dan sesudah program latihan.
Hasil Penelitian : Didapatkan nilai TSAP sesudah latihan pada kelompok kontrol lebih rendah secara signifikan (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg;P<0.001) dan ∆TSAP kelompok perlakuan lebih besar secara signifikan (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg;P<0.001) bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kesimpulan : Terdapat penurunan TSAP yang lebih besar pada kelompok yang mendapatkan latihan pernapasan 50% VIM dibanding kelompok plasebo.

Background: Pulmonary hypertension is an independent factor for mortality, cardiovascular mortality, and heart failure in four years observation of patients underwent mitral valve operation. In patient with open chest surgery, lung physiology and mechanic function deteriorates. This leads to ventilation perfusion mismatch and hypoxia induced pulmonary vasoconstriction, causing problems in recovery post operatively.
Objectives: To study the effect of respiratory training as an adjuvant to structured physical exercise in the decrease of pulmonary artery systolic pressure in patient with pulmonary hypertension post mitral valve surgery.
Methods: a double blind randomized trial was done, dividing 2 groups of subjects. It company the effect of respiratory training of 50% of maximum inspiratory volume (MIV) as an adjuvant intervention to the current phase 2 rehabilitation program in intervention group vs control group. Sample was taken consecutively in patient underwent mitral valve operation and fulfilled inclusion criteria. 43 subjects were divided in 2 groups. 21 patients were given respiratory training and 22 patients were in the placebo group. Systolic pulmonary artery pressure (sPAP) was measured by echocardiography before and after intervention was performed.
Result: sPAP and ∆sPAP in the intervention group were significantly lower compare to the placebo group; (35 (29-39) mmHg vs 43 (40-51) mmHg; p<0.001) and (16 (12-30) mmHg vs 3.5 (2-4) mmHg; p<0.001).
Conclusion: The decrease of sPAP was found to be significantly higher in the intervention group than placebo.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Septiyanti
"Data mengenai luluh paru LP sangat terbatas mencakup karakteristik demografi, status hipertensi pulmoner HP , fungsi paru, kapasitas latihan, akivitas fisis dan kejadian rawat inap berulang. Penelitian ini memiliki desain potong lintang dengan 54 subjek. Echokardiografi dilakukan untuk menyingkirkan terdapatnya kelainan jantung dan menentukan status HP. Subjek kemudian akan menjalani serangkaian prosedur antara lain wawancara, pemeriksaan fisis, uji jalan 6 menit 6MWT , uji fungsi paru dan pemeriksaan darah. Hipertensi pulmoner ditemukan pada 63 subjek dengan mPAP 29,13 13,07 sedangkan 55,9 diantaranya mengalami PH yang berat. Rawat inap berulang terjadi pada 44,4 , sesak napas mMRC >1 , aktivitas fisis, rawat inap berulang, luas lesi, CRP dan tekanan oksigen arteri memiliki hubungan bermakna terhadap status HP. Kadar CRP dan 6MWT merupakan variabel yang paling berhubungan dengan kejadian rawat inap berulang pada LP-HP yang dianalisis dengan analisis multivariat. Echokardiografi sebaiknya dilakukan pada pasien LP. Pasien LP-HP mengalami sesak yang lebih berat, rawat inap berulang, lesi yang lebih luas, kadar CRP lebih tinggi, aktivitas fisis, uji fungsi paru, PaO2 dan indeks massa tubuh yang lebih rendah. Hasil spirometri dan kadar CRPmerupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian rawat inap berulang pada pasien LP-HP melalui analisis multivariat.

We investigated and provided datas about demographyc and clinical characteristics. We also found out the influencing factors of re hospitalization in destroyed lung with pulmonary hypertension patients. This is a cross sectional study involving 54 DL subjects. Echocardiography was performed to rule out cardiac abnormality and to establish their PH status. Subjects performed several procedures such as interview, physical examination, 6 minutes walking test 6MWT , lung function test, and blood tests to obtain all the neede data. Pulmonary hypertension was found in 63 of subjects with mPAP was 29,13 13,07 while 55,9 of DL PH subjects had severe PH. Re hospitalization occured in 44,44 subjects. We analyzed using chi square for categorical data and student t test and found a significant association of PH status in DL subjects with breathlessness by mMRC scale 1, physical activity, re hospitalization, body mass index, FVC, FEV1, FEV1 FVC, spirometry result, extend of lesion, CRP and arterial oxygen pressure. Level of CRP, VEP1 dan 6MWT had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis. Echocardiography should be performed among DL patients. Patients DL who got PH have more breathlessness, re hospitalization and extend of lesion, higher CRP level, lower physical activity, worse lung function test, lower PaO2 and lower BMI. Spirometri result, and CRP level had the strongest association for DL having PH and rehospitalization by multivariate analysis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T57629
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Bahri
"Latar Belakang: Tuberkulosis dan HIV merupakan beban utama penyakit menular di negara-negara dengan keterbatasan sumber daya. Di sisi lain, hipertensi pulmoner yang merupakan komplikasi akibat TB-HIV sering terabaikan meskipun angka kematiannya tinggi karena gejala tidak khas. Hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV berhubungan dengan kerusakan parenkim paru dan inflamasi sistemik kronik yang mengakibatkan remodeling vaskular pulmoner. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi probabilitas hipertensi pulmoner pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV secara ekokardiografik.
Metode: Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV yang berobat di RSUP Persahabatan. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan di poliklinik Jantung RSUP Persahabatan. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dari Mei hingga Agustus 2023.
Hasil: Terdapat 54 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dalam penelitian ini, 9 subjek dieksklusi sehingga tersisa 45 subjek. Jenis kelamin subjek mayoritas laki-laki sebanyak 86,7%, usia terbanyak adalah 18-45 tahun sebanyak 77,8%, status TB terbanyak adalah TB klinis sebanyak 42,2% dan lama menderita HIV terbanyak adalah kurang dari atau sama dengan 1 tahun sebanyak 51,1%. Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik didapatkan probabilitas rendah sebesar 91,1% dan probabilitas sedang- tinggi sebesar 8,9%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara demografik dan karakteristik klinis subjek dengan probabilitas hipertensi pulmoner.
Kesimpulan: Proporsi probabilitas hipertensi pulmoner secara ekokardiografik pada pasien TB dan bekas TB dengan HIV sebesar 91,1% untuk probabilitas rendah dan 8,9% untuk probabilitas sedang-tinggi.

Background: Tuberculosis and HIV represent the main burden of infectious diseases in resource-limited countries. On the other hand, pulmonary hypertension, which is a complication of TB-HIV, is often overlooked even though the death rate is high because the symptoms are not typical. Pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV is associated with lung parenchymal damage and chronic systemic inflammation which results in pulmonary vascular remodeling. The aim of this study was to determine the proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV.
Method: The method used in this study was cross sectional on TB and former TB patients with HIV who were treated at Persahabatan Central General Hospital. Echocardiography examination was carried out at the Cardiology polyclinic of Persahabatan Central General Hospital. Sampling was carried out by consecutive sampling from May to August 2023.
Results: There were 54 subjects who met the inclusion criteria in this study, 9 subjects were excluded, leaving 45 subjects. The majority of subjects‘ gender was male at 86.7%, the majority age was 18-45 years at 77.8%, the highest TB status was clinically TB at 42.2% and the majority had suffered from HIV for less than or equal to 1 year at 51.1%. The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension showed a low probability of 91.1% and a medium-high probability of 8.9%. There was no significant relationship between the demographic and clinical characteristics of the subjects and the probability of pulmonary hypertension.
Conclucion: The proportion of echocardiographic probability of pulmonary hypertension in TB and former TB patients with HIV was 91.1% for low probability and 8.9% for medium-high probability.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adityo Wibowo
"Pendahuluan: Hipertensi pulmoner merupakan penyakit yang bersifat progresif dengan angka kematian yang tinggi. Penyebab hipertensi pulmoner tergolong dalam lima kelompok salah satunya adalah penyakit paru (kelompok 3). Tuberkulosis resistan obat (TB-RO) merupakan penyakit kronik paru dengan manifestasi kerusakan parenkim dan pembuluh darah paru. Peningkatan tekanan pembuluh darah pulmoner dicurigai menjadi penyebab komplikasi pada pasien TB-RO.
Tujuan: untuk mengetahui proporsi hipertensi pulmoner dengan metode probabilitas echocardiography pada pasien tuberkulosis resistan obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang pada pasien tuberkulosis resistan obat yang berobat di poliklinik TB MDR RSUP Persahabatan kemudian dilakukan pemeriksaan echocardiography di poliklinik Jantung RSUP Persahabatan. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling dalam kurun waktu Agustus sampai dengan Oktober 2020.
Hasil: Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 65 pasien TB-RO. Jenis kelamin subjek dominan laki-laki sebanyak 50,7%, usia terbanyak adalah kelompok 18-40 tahun sebanyak 80% dan regimen pengobatan terbanyak adalah pada kelompok MDR sebanyak 93,8%. Pemeriksaan echocardiography digunakan untuk menilai probabilitas hipertensi pulmoner dengan proporsi hipertensi pulmoner pada kelompok probabilitas rendah sebesar 95,3% dan probabilitas sedang sebesar 4,7%. Hasil pemeriksaan fisis distensi vena jugular, gambaran foto toraks berupa rasio lebar hilus dibandingkan lebar dinding dada dan gelombang P pulmonal pada EKG memiliki hubungan yang bermakna dengan probabilitas hipertensi pulmoner dengan nilai p<0,05.
Kesimpulan: Nilai proporsi hipertensi pulmoner dengan metode probabilitas pada pasien TB- RO sebesar 95,3% pada kelompok probabilitas rendah dan 4,7% pada kelompok probabilitas sedang. Metode penapisan yang dapat digunakan pada pemeriksaan fisis dan penunjang antara lain distensi vena jugular, rasio lebar hilus dengan lebar dinding dada pada foto toraks dan gelombang P pulmonal pada EKG.

Introduction: Pulmonary hypertension is a progressive disease with a high mortality rate. The causes of pulmonary hypertension are classified into five groups, one of which is lung disease (group 3). Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) is a chronic lung disease manifested by damage to the lung parenchyma and pulmonary blood vessels. Increased pulmonary vascular pressure is suspected to be the cause of complications in DR-TB patients.
Aims: to determine the porportion of probability of pulmonary hypertension using echocardiography probability in drug-resistant tuberculosis patients.
Methods: This study was a cross-sectional study of drug-resistant tuberculosis patients who were treated at the MDR TB polyclinic at Persahabatan Hospital and then carried out an echocardiography examination at the Cardiology Polyclinic at the Persahabatan Hospital. Sampling method was using consecutive sampling from August to October 2020.
Results: In this study, 65 DR-TB patients met the inclusion criteria. Male subject was dominant at 50.7%, the age group was 18-40 years in total 80% and the most treatment regimen was in the MDR group as much as 93.8%. Echocardiography examination was used to assess the probability of pulmonary hypertension with the proportion of the low probability group was 95.3% and the moderate probability group was 4.7%. The physical examination of jugular vein distention, chest X-ray imaging to measure the ratio of hilar to chest wall width and pulmonary P wave on the ECG have a significant correlation with the probability of pulmonary hypertension with p value<0.05.
Conclusions: The proportion value of pulmonary hypertension using probability method in TB- RO patients are 95.3% in the low probability group and 4.7% in the moderate probability group. The screening method that can be used are physical examination, radiology and laboratory findings, including jugular vein distention, the ratio of hilar to chest wall width in the chest X- ray and pulmonary p wave on the ECG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Yaruntradhani Pradwipa
"Latar belakang: Hipertensi pulmonal (HP) telah banyak dilaporkan terjadi pada populasi hemodialisis (HD). Namun data mengenai insidensi HP serta bagaimana mekanisme terjadinya masih sangat sedikit. Beberapa faktor risiko dan protektif terjadinya HP telah diidentifikasi melalui studi-studi di mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi hubungan penggunaan penghambat kanal kalsium dengan kejadian hipertensi pulmonal pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialisis.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 100 pasien HD rutin di unit HD RSCM yang sedang mengkonsumsi penghambat kanal kalsium jenis dihidropiridin (nifedipin, amlodipin, felodidpin) 1x sehari per oral selama minimal 1 tahun. Hipertensi pulmonal dinilai dengan menggunakan ekokardiografi doppler yang dilakukan 1 jam pasca HD oleh satu orang operator independen yang tidak mengetahui latar belakang klinis pasien. Selanjutnya dilakukan analisis uji statistik chi square dengan batas kemaknaan < 0.05, serta analisis multivariat dengan regresi logistik antara variabel penghambat kanal kalsium dengan hipertensi pulmonal untuk mendapatkan Crude OR, antara variabel perancu dengan hipertensi pulmonal untuk mendapatkan nilai P < 0.25, dan antara variabel penghambat kanal kalsium dengan variabel perancu untuk mendapatkan fully adjusted OR.
Hasil: Dari 100 subyek penelitian, HP didapatkan pada 27 subjek (27%). Pada kelompok pasien HP, 21 subjek (29.2%) memiliki akses fistula AV di brakial, TAP rata-rata 36 ± 20.6 mmHg, curah jantung ³ 5 l/min sebanyak 13 subjek (28.8%) dengan fraksi ejeksi ³ 50% sebanyak 18 subjek (20.7%). Etiologi PGK terbanyak pada kelompok HP adalah nefropati DM dengan 10 subjek (37%). Setelah dilakukan adjustment dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri, fraksi ejeksi dan diabetes melitus sebagai faktor perancu, penggunaan penghambat kanal kalsium berhubungan dengan penurunan risiko terjadinya hipertensi pulmonal (adjusted OR 0.258; IK 95% 0.085 – 0.783; nilai P 0.017).
Kesimpulan: Penggunaan penghambat kanal kalsium berhubungan dengan penurunan risiko terjadinya hipertensi pulmonal pada pasien gagal ginjal terminal yang menjalani hemodialis.

Background and Aim of Study: Pulmonary hypertension (PH) has been reported in hemodialysis (HD) patients. However data regarding its incidence and mechanism are scarce. Many published journal abroad had been identify the risk and protective factors in this syndrome. This study evaluated the use of Calcium Channel Blocker (CCB) on Pulmonary Hypertension at End-Stage Renal Disease (ESRD) patients who undergo hemodialysis.
Methods: A Cross – Sectional study conducted on hundreds HD patients in RSCM who consumed CCB for at least a year with oral single dose. PH was screened by Doppler echocardiography one hour following dialysis done by one independent operator without knowing clinical background of the patients. Furthermore, statistical analysis was done using chi square and define as significance if the value is <0.05. Moreover, multivariate analysis with logistic regression between CCB and PH variable in order to get Crude OR, between confounder variables and PH in order to get P value < 0.25, and between CCB and confounder variables in order to get fully adjusted OR.
Results: Out of 100 HD patients, PH was detected in 27 patients (27%). Of those with PH, brachial AV shunt was seen in 21 patients (29.2%), mean PAP was 36 ± 20.6 mmHg, and cardiac output ³ 5 l/min was seen in 13 patients (28.8%) with EF ³ 50% seen in 18 patients (20.7%). The common etiology of CKD in group of PH was diabetic nephropathy seen in 10 patients (37%). The used of CCB is associated with lower risk of PH (adjusted OR 0.258; 95% CI 0.085 – 0.783; P value 0.017) after adjusted with variable left ventricular diastolic dysfunction, ejection fraction, and diabetes melitus as confounders.
Conclusion: This study demonstrates that the use of CCB is associated with lower risk of PH in ESRD patients with hemodialysis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hilal Nurdin
"Latar belakang. Hipertensi pulmonal merupakan salah satu komplikasi jangka panjang pada stenosis mitral, dan meningkatkan morbiditas serta mortalitas. Peningkatan resistensi vaskular paru terjadi pada fase reaktif hipertensi pulmonal akibat stenosis mitral. Pada hipertensi pulmonal terjadi gangguan keseimbangan sistem otonom, yang berpengaruh pada perubahan laju jantung saat uji latih. Laju jantung pemulihan dihitung dari selisih laju jantung maksimal saat uji latih dengan laju jantung menit pertama fase pemulihan dipengaruhi oleh reaktivasi sistem parasimpatis saat akhir latihan, dan merupakan prediktor mortalitas jangka panjang.
Metode. Penelitian ini dilakukan pada 20 pasien stenosis mitral bermakna dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan katup mitral di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dari bulan Agustus hingga November 2014. Dilakukan pengukuran resistensi vaskular paru sebelum operasi dan sebelum pasien dipulangkan. Laju jantung pemulihan diambil dari uji treadmil pada akhir program rehabilitasi kardiak fase 2. Dilakukan analisa statistik untuk mencari hubungan antara resistensi vaskular paru dengan laju jantung pemulihan saat latihan pasca operasi katup mitral.
Hasil. Laju jantung pemulihan yang diukur pada menit pertama fase pemulihan uji treadmill adalah 11,5 + 5,9 kali per menit, dan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi sebesar 1,55 + 2,1 WU. Laju jantung pemulihan menit pertama memiliki korelasi sedang dengan perubahan resistensi vaskular paru (r 0,537; p 0,015) . Analisa regresi linier laju jantung pemulihan menit pertama dengan perubahan resistensi vaskular paru pre dan paska operasi mendapatkan nilai koefisien β 1,52 dengan IK 95% 0,338-2,706 dengan nilai p 0,015. Analisa bivariat menyimpulkan bahwa digoxin merupakan variabel perancu (p 0,048). Analisa regresi linier antara perubahanresistensi vaskular paru pasca operasidengan laju jantung pemulihan menit pertama(adjusted analysis sesuai variable perancu)menunjukkan nilai koefisien β 1,244 dengan IK 95% 0,032-2,457 dengan nilai p 0,045.
Kesimpulan. Perubahan resistensi vaskular paru pada pasien stenosis mitral dengan hipertensi pulmonal yang menjalani pembedahan berhubungan dengan laju jantung pemulihan menit pertama saat uji latih jantung.

Background. Pulmonary hypertension is one of the long-term complication of mitral stenosis, resulting increase of morbidity and mortality. Pulmonary vascular resistance (PVR) is increase in reactive phase of pulmonary hypertension due to mitral stenosis. There is impaired autonom regulation following pulmonary hypertension, affecting heart rate changes during exercise test. Heart rate recovery (HRR) is defined as the difference between heart rate at peak exercise and 1 minute of recovery phase. It is affected by reactivation of parasympathetic system after cessation of exercise, and has been known as a long-term mortality predictor.
Method. A study of 20 patients with significant mitral stenosis with pulmonary hypertension who underwent mitral valve surgery in National Cardiovascular Center Harapan Kita was done from August to November 2014. PVR data from echocardiography was measured before surgery and before the patients were discharged. HRR data was taken from the treadmill test at the end of phase 2 cardiac rehabilitation program. Statistical analysis is done to explore the correlation between pulmonary vascular resistance and heart rate recovery after exercise test.
Result. Mean heart rate recovery after exercise test is 11,5 + 5,9 beat perminute, and changes of pulmonary vascular resistance after surgery is 1,55+2,1 WU. There was a correlation between change of PVR and heart rate recovery (r 0,537; p 0,015). Linear regression analysis of the change of PVR and heart rate recovery (unadjusted analysis) showed β coefficient 1,52 with 95% confidence interval 0,338-2,706 and p 0,015. Adjusted analysis to confounding variabel showed β coefficient 1,244 with 95% CI 0,032-2,457 and p 0,045.
Conclusion. Changes of pulmonary vascular resistance after mitral valve surgery in mitral stenosis pastient is positively correlated with heart rate recovery during exercise test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Setiorini
"Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) didapatkan pada 40-50% pasien sindrom Down, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Salah satu manifestasi tambahan lain selain PJB adalah hipertensi pulmoner. Faktor-faktor risiko yang berperan untuk terjadinya PJB, terjadi pada periode perikonsepsi yaitu 3 bulan sebelum kehamilan hingga trimester pertama kehamilan. Beberapa penelitian mengenai faktor risiko PJB yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak konsisten baik dalam populasi sindrom Down sendiri, maupun apabila dibandingkan dengan populasi umum.
Tujuan: Mengetahui prevalens PJB dan hipertensi pulmoner, jenis PJB yang banyak didapatkan, dan faktor risiko PJB pada sindrom Down.
Metode: Studi potong lintang observational analytic pada pasien sindrom Down berusia ≤5 tahun di RSCM. Data diambil dari wawancara dengan orangtua subyek yang datang langsung ke poliklinik rawat jalan RSCM Kiara, Departemen Rehabilitasi Medis, dirawat di Gedung A RSCM, IGD, perinatologi maupun orangtua dari subyek yang tercatat di rekam medis dengan diagnosis sindrom Down atau memiliki International Classification of Disease (ICD) 10 Q90.9 sejak Januari 2012 hingga Desember 2015.
Hasil penelitian: Sebanyak 70 subyek sindrom Down memenuhi kriteria inklusi. Median usia subyek adalah 16,5 bulan. Penyakit jantung bawaan didapatkan pada 47,1% subyek. Defek septum atrium dan duktus arteriosus paten merupakan PJB terbanyak yang didapatkan yaitu masing-masing 30,3%. Penyakit jantung bawaan lain yang didapatkan adalah defek septum atrioventrikel dan defek septum ventrikel yaitu sebesar 18,2 dan 21,2%. Hipertensi pulmoner didapatkan pada 17,1% subyek dengan 10/12 subyek terjadi bersamaan dengan PJB. Usia ibu ≥35 tahun [p= 0,77; OR 0,87 (0,34-2,32)], usia ayah ≥35 tahun [p= 0,48; OR 1,44 (0,52-4,01)], febrile illness [p= 0,72; OR 0,81 (0,25-2,62)], penggunaan obat-obat yaitu antipiretik [p= 0,71; OR 0,60 (0,14-2,82)], antibiotik (p=0,91; OR 1,13 (0,15-8,5)], jamu/obat herbal [p=0,89; OR 0,89 (0,22-3,60)], keteraturan penggunaan asam folat [p= 0,27; OR 0,58 (0,22-1,50)], ibu merokok (p= 0,34), dan pajanan rokok [p= 0,89; OR 0,94 (0,36-2,46)] saat periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya PJB pada sindrom Down.
Kesimpulan: Faktor risiko lingkungan periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan kejadian PJB pada sindrom Down."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Adrin Aefiansyah Putra
"Latar belakang: Defek atrium septal atrium  (DSA) merupakan salah satu penyakit jantung bawaan (PJB) yang sering ditemukan dan 75% diantaranya adalah defek septal atrium sekundum (DSAS). Pasien DSAS akan mengalami hipertensi pulmonal (HP), yang jika defeknya tidak dikoreksi, kondisi ini berlanjut dan menimbulkan penyakit vaskular paru (PVP). Saat ini standar emas diagnosis PVP adalah pemeriksaan invasif katerisasi jantung kanan (KJK) yang mempunyai komplikasi pneumotoraks, aritmia, hematoma, dan episode hipotensi. Ekokardiografi merupakan modalitas yang murah, tersebar luas, dan mudah dikerjakan. Saat ini ekokardiografi dipakai sebagai alternatif noninvasif untuk menilai anatomi dan hemodinamik kardiovaskular pada pasien dengan kelainan jantung struktural. Berbagai studi mendapatkan karakteristik notch pada right ventricular outflow tract (RVOT) berkorelasi baik dengan tekanan rerata arteri pulmonal (TRAP) yang tinggi dan komplians vaskular paru (KVP) yang rendah pada berbagai jenis kategori HP dan kedua hal ini, terutama KVP berhubungan dengan diagnosis PVP. Oleh karena itu, perlu ada studi yang melihat salah satu parameter notch yang mudah didapatkan, yakni time-to-notch untuk mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP.
Tujuan: Mengetahui apakah time-to-notch RVOT dapat mendiagnosis PVP pada pasien DSAS dengan HP yang dibandingkan dengan KJK sebagai standar emas.
Metode: Dengan consecutive sampling, dilakukan pemeriksaan time-to-notch dengan ekokardiografi transtorakal dalam jarak pemeriksaan 24 jam dengan KJK. Uji vasodilator oksigen (UVO) dilakukan jika hasil rasio resistensi vaskular paru dengan sistemik > 0,33. Diagnosis PVP ditegakkan jika hasil rasio resistensi akhir adalah > 0,33. Dilakukan uji diagnostik dengan cara perhitungan area di bawah kurva dan dihitung nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif (NPP), nilai prediksi negatif (NPN), likelihood ratio (LR), serta analisis reliabilitas.
Hasil: Terdapat 89 subyek yang dilakukan analisis dengan 54 subyek dilakukan UVO. Sebanyak 24 subyek didiagnosis PVP dengan KJK. Mayoritas subyek adalah perempuan (85%) dengan median usia 38 tahun. Didapatkan area di bawah kurva sebesar 0,923 untuk time-to-notch terhadap diagnosis PVP. Titik potong <147,5 ms memiliki tingkat sensitivitas 88%, spesifisitas 87%, NPP 72%, NPN 95%, LR (+) 7,11 dan LR (-) 0,14.
Kesimpulan: Time-to-notch dapat mendeteksi PVP pada pasien DSAS dengan HP dengan validitas dan reliabilitas yang baik.

Background: Atrium septal defect (ASD) is one of the congenital heart diseases (CHD) that often found and 75% of them are ostium secundum ASD (OSASD) type. OSASD patients will experience pulmonary hypertension (PH) and if the defect not corrected, this condition persists and causes pulmonary vascular disease (PVD). Gold standard of PVD is right heart catheterization (RHC). It is an invasive procedure which has complications such as pneumothorax, arrhythmia, hematoma, and hypotension. Echocardiography is a cheap modality, widely available, and good reproducibility. Echocardiography is currently used as a non-invasive alternative to assess cardiovascular anatomy and hemodynamics in patients with structural heart disorders. Various studies stated that notch characteristic on the right ventricular outflow tract (RVOT) correlated well with the mean pressure and compliance of the pulmonary artery in different types of PH categories. Pulmonary artery compliance especially, have good correlation to diagnose PVD. Therefore comparing time-to-notch, an easier notch parameter, with RHC in diagnosing PVD as the gold standard is needed.
Aim: To assess whether time-to-notch RVOT from transthoracic echocardiography (TTE) can diagnose PVD compared to RHC as the gold standard in OSASD with PH patients.
Method: With consecutive sampling, time-to-notch was examined by TTE within 24-hour from RHC. An Oxygen vasodilator test (OVT) was performed when ratio of resistance arterial pulmonary to systemic is > 0.33. PVD was diagnosed if the final resistance ratio is > 0.33. Diagnostic test was carried out to obtain area under curve (AUC). Sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV), and likelihood ratio (LR) were calculated and a reliability analysis were conducted.
Result: We analyzed 89 subjects and OVT was performed in 54 subjects. PVD was diagnosed by RHC in 24 subjects. The majority of subjects were women (85%) with a median age 38 years. AUC was 0.923 for time-to-notch to diagnose PVD. A cut-off point < 147.5 ms has a sensitivity level of 88%, specificity 87%, PPV 72%, NPV 95%, LR (+) 7.11 and LR (-) 0.14 with good realibility.
Conclusion: Time-to-notch has a good validity and reliability to detect PVD in OSASD with PH.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>