Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Gozali
"Latar Belakang: Beban penyakit paru obstruktif kronik PPOK terus menunjukkan peningkatan di seluruh dunia. Penyakit komorbid yang biasa muncul pada PPOK salah satunya adalah penyakit kardiovaskular contohnya aritmia. Prevalens aritmia pada PPOK berkisar antara 12-14 . Terdapat kesamaan faktor antara PPOK dan aritmia, antara lain usia tua dan perokok. Aritmia yang disebabkan oleh obat-obatan bronkodilator juga banyak menyita perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Poliklinik Asma- PPOK Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan pada bulan Januari-April 2018 untuk melihat prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil. Delapan puluh tiga pasien PPOK stabil di ambil untuk ikut dalam penelitian ini secara consecutive sampling. Pada semua pasien dilakukan anamnesis, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tekanan darah, elektrokardiografi EKG dan laboratorium.
Hasil: Sebanyak 83 pasien ikut serta dalam penelitian ini dengan subjek terbanyak laki-laki 95,2 . Usia rerata subjek adalah 66,58. Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil sebesar 24,1 dengan distribusi sinus takikardia sebesar 9,64 , PVCs sebesar 8,43 , PACs sebesar 3,61 dan sinus bradikardia sebesar 2,41 . Ditemukan hubungan bermakna antara kadar klorida dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, kelompok PPOK, penggunaan obat-obat bronkodilator, kadar pO2 dan pCO2 dengan kejadian aritmia pada pasien PPOK stabil.
Kesimpulan: Prevalens aritmia pada pasien PPOK stabil dalam penelitian ini adalah sebesar 24,1 . Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui dengan lebih baik hubungan aritmia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi.

Background:Chronic obstructive pulmonary disease COPD represents an increasing burden worldwide. One of the major comorbodities in COPD is cardiovascular events such as arrhythmias. The estimated prevalence of arrhythmias in COPD patients is 12-14 . Chronic obstructive pulmonary disease and arrhtyhmias have common risk factors, such as older age and smoking. Arrhythmias caused by bronchodilators have received considerable attentions. The aim of this study is to reveal the prevalence of arrhythmias in stable COPD patients.
Method: This study is a cross sectional study among stable COPD patients who visit asthma ndash; COPD clinic in Persahabatan Hospital on January to April 2018 to explore the prevalence of arrhythmias in COPD patients. Eighty three COPD patients were participating in the study on a consecutive sampling basis. All patients were interviewed, doing blood pressure, electrocardiography ECG and laboratory examination. Result: A total of 83 patients participated in this study with almost all of the subjects were males 95,2 . The mean age of the subjects was 66,58. The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients was 24,1 with sinus tachycardia by 9,64 , PVCs by 8,43 , PACs by 3,61 , and sinus bradycardia by 2,41 . There was a significant association between chloride level and arrhythmias events in stable COPD patients. There was no significant association between sex, age, bronchodilator use, pO2 dan pCO2 levels with arrhythmias events in stable COPD patients. Conclusion: The prevalence of arrhythmias in stable COPD patients in this study is 24,1. Further study is needed to determine the association between arrhythmia and the affecting factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57619
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiya Diena Nasuha
"Latar belakang: Aspergillosis paru kronik (APK) menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan pada pasien dengan kerusakan jaringan paru, misalnya tuberkulosis (TB). Deteksi antibodi Aspergillus merupakan modalitas utama pendukung diagnosis APK. Penelitian ini, bertujuan untuk mengetahui cut-off optimal ELISA manual Bordier dalam deteksi antibodi Aspergillus di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Pemeriksaan sampel menggunakan metode ELISA manual Bordier sebagai uji diagnostik APK. Data yang diperoleh dianalisis untuk menentukan cut-off optimal pemeriksaan.
Hasil: Sebagian besar subjek penelitian merupakan kelompok usia <60 tahun (89,1%) dengan rentang usia 17-72 tahun dan median 34 tahun. Cut-off optimal memberikan sensitivitas 43,48% dan spesifitas 100%. Sedangkan, sensitivitas pada cut-off 0.780, 0.850 dan 0.930 menunjukkan sensitivitas yang lebih baik dibandingkan dengan cut-off 1,595 dan cut-off pabrik (>1,0). Diabetes (15,6%) dan asma (10,9%) diketahui menjadi temuan yang lebih banyak pada pasien APK dibandingkan penyakit komorbid lainnya.
Kesimpulan: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 dengan spesifitas 100%, dapat menjadi alat skrining awal diagnosis APK. Hasil positif pada pemeriksaan disertai gejala klinis dan radiologis mengarah APK dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis, sedangkan hasil negatif membutuhkan investigasi lanjut dengan pemeriksaan ELISA otomatis.

Introduction: Chronic pulmonary aspergillosis (APK) is one of the diseases that are often found in patients with lung tissue damage, for example tuberculosis (TB). Aspergillus antibody detection is the main modality supporting the diagnosis of APK. This study aims to determine the optimal cut-off of Bordier's manual ELISA in the detection of Aspergillus antibodies in Indonesia.
Method: This study used a cross-sectional study design. Sampel examination using Bordier's manual ELISA method as a diagnostic APK test. The data obtained are analyzed to determine the optimal cut-off of the examination.
Result: Most of the study subjects were <60 years old age group (89.1%) with an age range of 17-72 years and a median of 34 years. The optimal cut-off provides 43.48% sensitivity and 100% specificity. Meanwhile, the sensitivity at cut-offs of 0.780, 0.850 and 0.930 showed better sensitivity compared to cut-offs of 1.595 and factory cut-offs (>1.0). Diabetes (15.6%) and asthma (10.9%) are known to be more common in APK patients than other comorbid diseases.
Conclusion: ELISA manual Bordier cut-off 1,595 with 100% specificity, can be an early screening tool for APK diagnosis. Positive results on examination accompanied by clinical and radiological symptoms leading to APK can be used to establish a diagnosis, while negative results require further investigation with automated ELISA examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"Pembedahan abdomen atas berkaitan disfungsi diafragma. Disfungsi diafragma merupakan penyebab PPC (postoperative pulmonary complication). Terapi oksigen konvensional (TOK) merupakan terapi standar pada pasien pasca pembedahan abdomen atas. Terapi HFNC (high-flow nasal cannula) memiliki berbagai mekanisme yang berbeda dengan TOK dan dipikirkan dapat membantu fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini bertujuan untuk membandingkan kemampuan HFNC terhadap TOK dalam mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas. Studi ini dilakukan di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dari November 2018 – September 2019. Tujuh puluh satu pasien dibagi secara acak menjadi dua kelompok: kelompok TOK dan HFNC. Enam puluh enam pasien mendapat intervensi setelah ekstubasi di ICU (intensive care unit). Seluruh subjek dilakukan pencatatan nilai DTF (diaphragm thickening fraction) menggunakan ultrasonografi, ΔTIV (perubahan tidal impedance variance), ΔEELI-G dan ΔEELI-ROI (perubahan end expiratory lung impedance global dan region of interest) menggunakan EIT (electrical impedance tomography), PaO2 dan PaCO2 (tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida arteri) secara berkala pada dua seri. Efek samping dan keluhan yang muncul dicatat dan ditatalaksana. Total 66 subjek disertakan dalam bivariat menggunakan t-test dan mann whitney, sedangkan analisis tren menggunakan general linear model atau generalized estimating equation. Durasi ventilasi mekanik di ICU, persentase prediksi mortalitas dan skor P-POSSUM antara kedua kelompok berbeda signifikan (p=0,003; 0,001; dan 0,019, secara berurutan). Tidak ada perbedaan tren yang ditemukan antarkelompok pada seri pertama parameter DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI dan PaCO2 (p=0,951; 0,100; 0,935; 0,446; dan 0,705, secara berurutan) maupun pada seri kedua (p=0,556; 0,091; 0,429; 0,423; dan 0,687, secara berurutan). Tren PaO2 pada seri pertama dan kedua berbeda sangat signifikan (p<0,001) karena protokol pengaturan fraksi oksigen yang lebih tinggi pada kelompok TOK. Penggunaan HFNC tidak lebih baik daripada TOK dalam membantu mempertahankan fungsi diafragma pascapembedahan abdomen atas.

Upper abdominal surgery is related to diaphragmatic dysfunction. Diaphragmatic dysfunction is the main factors causing postoperative pulmonary complication (PPC). Conventional oxygen therapy (TOK) in the form of nasal cannula, is a standard therapy in post upper abdominal surgery patients. High-flow nasal cannula (HFNC) therapy has a variety of mechanisms that differ from TOK and is thought to be able to maintain diaphragm function in post upper abdominal surgery patients. This study aims to compare the ability of HFNC vs TOK in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients. This study was conducted at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo from November 2018 - September 2019. Seventy-one patients were randomly divided into two groups: TOK and HFNC groups. Sixty-six patients received intervention after extubation in the intensive care unit (ICU). This given data were all collected periodically in 2 series; diaphragm thickening fraction (DTF) values using ultrasonography, changes in tidal impedance variance (ΔTIV), changes in global end expiratory lung impedance and region of interest (ΔEELI-G and ΔEELI-ROI) using electrical impedance tomography, arterial oxygen and carbon dioxide partial pressure (PaO2 and PaCO2). Side effects and complaints that arise were collected and managed. A total of 66 subjects were included in the bivariate using t-test and mann whitney test, while trends were analyzed by general linear models or generalized estimating equations. The baseline characteristics of mechanical ventilation duration in the ICU, the predicted mortality rate and P-POSSUM score between the two groups were significantly different (p = 0.003; 0.001; and 0.019, respectively). No trend differences were found between groups in the first series of DTF, ΔTIV, ΔEELI-G, ΔEELI-ROI and PaCO2 parameters (p = 0.951; 0.100; 0.935; 0.446; and 0.705, respectively) and in the second series (p = 0.556, 0.091, 0.429, 0.423 and 0.687, respectively). The PaO2 trends in the first and second series differed very significantly (p<0.001) due to the higher oxygen fraction regulation protocol in the COT group. The use of HFNC is no better than COT in maintaining diaphragm function for post upper abdominal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harmi Rosianawati
"Latar Belakang: Aspergilosis paru kronik (APK) dapat menjadi komplikasi infeksi tuberkulosis (TB) paru yang telah diobati. Gejala klinis APK dengan TB paru sangat mirip, sehingga sulit dibedakan. Diagnosis APK ditetapkan sesuai konsensus berdasarkan gejala klinis, hasil pemeriksaan radiologi dan laboratorium mikologi. Pemeriksaan antibodi dengan imunoglobulin G (IgG) spesifik Aspergillus menggunakan metode Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dapat membantu diagnosis APK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis, profil IgG spesifik Aspergillus, serta prevalensi APK pada pasien bekas TB di beberapa rumah sakit di Jakarta.
Metode: Penelitian prospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan pada April 2019 - Februari 2020. Pemilihan subjek dilakukan dengan metode consecutive sampling. Subjek merupakan pasien bekas TB yang berasal dari poli rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Respirasi Persahabatan Jakarta dan Rumah Sakit Graha Permata Ibu. Pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus dan biakan sputum jamur dilakukan di Laboratorium Departemen Parasitologi FKUI.
Hasil: Dari 97 pasien yang sesuai dengan kriteria penerimaan, 66 pasien (68%) berjenis kelamin laki-laki dan rerata usia 51,8±13,6 tahun. Gejala klinis lebih dari 3 bulan yang dilaporkan berupa mudah lelah (38,4%), sesak napas (34,02%), batuk (30,93%), hemoptisis (27,84%), penurunan berat badan (23,71%), dan nyeri dada (19,6%). Gambaran radiologi terkait APK berupa ektasis (57,8%), kavitas (27,8%), penebalan pleura (26,8%), fibrosis parakavitas (18,6%), dan bola jamur (6,2%). Hasil pemeriksaan IgG spesifik Aspergillus positif dilaporkan pada 51 pasien (52,6%), sedangkan biakan sputum jamur Aspergillus didapatkan pada 43 pasien (44,3%). Berdasarkan analisis hasil-hasil pemeriksaan tersebut, diagnosis APK ditegakkan pada 28 pasien (28,9%).
Kesimpulan: Profil IgG spesifik Aspergillus pada 97 pasien bekas TB dalam penelitian ini menunjukkan hasil positif pada 51 pasien (52,6%). Gejala klinis lebih dari 3 bulan yang dilaporkan berupa batuk lama, hemoptisis, penurunan berat badan, mudah lelah, dan sesak napas. Gambaran radiologi terkait APK berupa ektasis, kavitas, penebalan pleura, fibrosis parakavitas, dan bola jamur. Prevalensi APK berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan tersebut adalah 28,9%.

Introduction: Chronic pulmonary aspergillosis (CPA) might become a complication of pulmonary tuberculosis (TB) that has been treated. The clinical symptoms of CPA can resemble with PTB, making it difficult to distinguish. The diagnosis of CPA is determined by the consensus based on clinical symptoms, radiological features, and mycological results. Antibody detection with Aspergillus- specific immunoglobulin G (IgG) using the Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method can contribute to CPA diagnosis. This study aims to determine the clinical characteristics, Aspergillus-specific IgG detection, and the prevalence of CPA in prior TB patients at several hospitals in Jakarta.
Method: This prospective cross-sectional study was conducted in April 2019 - February 2020. Patients recruitment was carried out by consecutive sampling method. Subjects were prior TB patients at Persahabatan National Respiratory Referral Hospital and Graha Permata Ibu Hospital. Detection of Aspergillus- specific IgG and fungal cultures from sputum were carried out in the Laboratory of the Parasitology Department, FMUI.
Results: Of 97 patients recruited according to inclusion criteria, 66 patients (68%) were male and the mean age was 51.8 ± 13.6 years. The clinical symptoms of more than 3 months were fatigue (38.4%), shortness of breath (34.02%), cough (30.93%), hemoptysis (27.84%), weight loss (23, 71%), and chest pain (19,6%). Radiological features associated with CPA were ectasis (57.8%), cavity (27.8%), pleural thickening (26.8%), para-cavitary fibrosis (18.6%), and fungal ball (6.2%). The Aspergillus-specific IgG positive were reported in 51 patients (52.6%), whereas Aspergillus sputum cultures were found in 43 patients (44.3%). Based on the analysis of those examinations, the diagnosis of CPA was determined in 28 patients (28.9%).
Conclusion: The detection of Aspergillus-specific IgG in 97 prior TB patients showed the positive results in 51 patients (52.6%). The clinical symptoms more than three months were fatigue, shortness of breath, cough, hemoptysis, and weight loss. The radiological features related to CPA were ectasis, cavitary lesions, pleural thickening, paracavitary fibrosis, and fungal ball. The prevalence of CPA based on those examinations was 28.9%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Nurul Islami
"Latar belakang: Indonesia memiliki beban tuberkulosis (TB) paru tinggi. Aspergilosis paru kronik (APK) sering ditemukan pada pasien TB. Diagnosis APK menjadi tantangan di Indonesia karena keterbatasan sumber daya. Diperlukan alat diagnostik yang mudah, murah, dan memberikan hasil cepat dengan akurasi baik untuk membantu menegakkan diagnosis APK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai diagnostik ICT Aspergillus pada pasien TB paru.
Metode: Penelitian ini berdesain potong lintang dan merupakan bagian dari penelitian payung tentang diagnosis APK pada pasien TB paru di Jakarta. Serum pasien TB paru yang memenuhi kriteria inklusi diperiksa menggunakan ICT Aspergillus (LDBio, Diagnostics, Lyon, France) dan IgG Spesifik Aspergillus ELISA (Bordier affinity products, Crissier, Switzerland) sesuai protokol di Laboratorium Mikologi Departemen Parasitologi FKUI pada Februari-November 2021.
Hasil: Dari 105 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 58,1% adalah laki-laki. Rerata usia pasien 47,1617,1 tahun. Proporsi hasil positif ICT Aspergillus adalah 10,5% dan IgG spesifik Aspergillus ELISA 43,8%. Sensitivitas ICT Aspergillus 23,9%, dengan spesifisitas 100%, nilai duga positif 100%, dan nilai duga negatif 62,8%.
Kesimpulan: Kemampuan diagnostik ICT Aspergillus belum optimal sebagai alat skrining, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai alat diagnosis pasien TB paru suspek APK pada daerah dengan sumber daya terbatas.

ackground: Indonesia has high pulmonary tuberculosis (TB) burden. Chronic pulmonary aspergillosis (CPA) is common in pulmonary TB patients. Diagnosing CPA is challenging in Indonesia because of the limited resources available. A new rapid and robust diagnostic tool is needed. This research aims to evaluate the diagnostic value of the ICT Aspergillus in pulmonary TB patients.
Methods: This cross-sectional study is a part of the CPA diagnostic research of pulmonary TB patients. Pulmonary TB patients' serum fulfilling the inclusion criteria were assessed using ICT Aspergillus (LDBio, Diagnostics, Lyon, France) and Aspergillus-specific IgG ELISA (Bordier affinity products, Crissier, Switzerland) in Mycology Laboratory of Parasitology Department FMUI in February-November 2021.
Results: From 105 subjects included, the proportion of men 58,1% with 47,1617,1 years age means. The Aspergillus IgG was positive in 10,5% patients with ICT, and 43,8% with ELISA. The sensitivity of ICT Aspergillus was 23,9%, the specificity was 100%, the positive predictive value was 100%, and the negative predictive value was 62,8%.
Conclusion: ICT Aspergillus has a fair diagnostic capacity in pulmonary TB patients as screening tools for CPA. However, the usage of ICT Aspergillus as point-of-care test in limited-resource settings needs to be considered.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelia Trinita
"Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis pada paru-paru dan organ tubuh lain. TB menjadi permasalahan global yang hanya dapat disembuhkan dengan pengobatan yang teratur sehingga diperlukan kepatuhan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat pengetahuan pasien dan menganalisis hubungannya terhadap kepatuhan pengobatan pasien di tiga Puskesmas dengan prevalensi TB tertinggi di Kota Depok. Desain penelitian ini adalah cross-sectional. Metode perolehan sampel dilakukan dengan teknik total sampling dengan menggunakan kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitas, kartu pengobatan pasien (TB.01), kartu identitas pasien (TB.02), dan SITB. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder dengan total 82 sampel dan dianalisis menggunakan IBM®SPSS® versi 27. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas pasien (50%) memiliki tingkat pengetahuan yang sedang mengenai penyakit dan pengobatan TB, sedangkan hanya 23 pasien (28%) yang memiliki tingkat pengetahuan yang buruk dan 18 pasien (22%) dengan tingkat pengetahuan baik. Tingkat kepatuhan pasien TB paru di tiga puskesmas menunjukkan bahwa sebanyak 60 pasien (73,2%) sudah patuh sementara 22 pasien lainnya (26,8%) tidak patuh dalam menjalankan pengobatan. Analisis statistik inferensial menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara pengetahuan pasien terhadap tingkat kepatuhan pasien (p=0,000; R=0,652). Semakin baik pengetahuan pasien, semakin patuh pasien dalam menjalankan pengobatan. Oleh karena itu, peran tenaga kesehatan sangat penting dalam mengedukasi pasien TB agar dapat meningkatkan kepatuhannya.

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis infection in the lungs and other body organs. TB is a global problem that can only be cured with regular treatment, so patient’s adherence is required. This study aims to assess the level of patient knowledge and discuss patient treatment adherence at three Community Health Centers with the highest TB prevalence in Depok City. The design of this research was cross-sectional. The sample acquisition method was carried out using a total sampling technique using a questionnaire that had been tested for the validity and reliability, patient treatment cards (TB.01), patient identity cards (TB.02), and SITB. The data collected were primary data and secondary data with a total of 82 samples and analyzed using IBM®SPSS® version 27. The results showed that the majority of patients (50%) had a moderate level of knowledge regarding TB disease and treatment, while only 23 patients (28%) who had a poor level of knowledge and 18 patients (22%) with a good level of knowledge. The compliance level of pulmonary TB patients in the three health centers showed that 60 patients (73.2%) were compliant while 22 other patients (26.8%) were not compliant in carrying out treatment. Inferential statistical analysis shows that there is a strong correlation between patient knowledge and the level of patient compliance (p=0.000; r=0.652). The better the patient's knowledge, the more compliant the patient will be in carrying out treatment. Therefore, the role of health workers is very important in educating TB patients in order to increase their compliance"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tommy Juliandi
"

Penyakit paru kronis seperti asma bronkiale memiliki angka kekambuhan dan kesakitan yang tinggi. Pasien yang mengalami serangan asma peresisten berpotensi menyebabkan kerusakan paru secara permanen. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis asuhan keperawatan pasien asma dengan menerapkan teknik pernapasan buteyko terhadap peningkatan saturasi oksigen.Pada asuhan keperawatan ini, pasien mengalami kekambuhan asma dengan keluhan batuk berulang dan sesak, disamping itu pasien juga mengalami desaturasi oksigen mencapai 88%. Masalah keperawatan utamanya yaitu ketidakefektifan bersihan jalan napas. Teknik pernapasan buteyko telah terbukti efektif dalam meningkatkan kemampuan ventilasi spontan pada pasien asma peresisten ringan dan sedang. Intervensi yang dilakukann selama dua hari sebanyak tiga kali dalam sehari tersebut menghasilkan peningkatan saturasi oksigen dari 96% menjadi 97%, dan pada hari keempat saturasi oksigen menetap pada 97%. Teknik pernapasan buteyko sangat direkomendasikan untuk diadopsi dan dijadikan sebagai program jangka pendek bagi pasien asma bronkiale. Disamping itu, teknik ini dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dan menjadi kompetensi perawat. Rekomendasi lain yaitu diperlukan suatu perilisan informasi tentang manfaat teknik pernapasan buteyko dalam sebuah media. Teknik ini juga dapat menjadi pelengkap manajemen asma non farmakologis yang menunjang pengobatan asma. Tidak direkomendasikan melatih teknik pernapasan buteyko pada pasien yang sedang dirawat di ruang isolasi karena berpotensi mengalami transmisi silang antara pasien kepada perawat.


Chronic pulmonary diseases such a asthma have high rates of reccurence and morbidity. Patients who have persistent asthma attacks will cause permanent lung disease. The aim of paper is to analyze the nursing care of asthmatic patient by applying the buteyko breathing technique to increasing oxygen saturation. In this nursing care, patient experience a reccurrence with complaints of reapeted coughing, spasms, and also desaturation of oxygen reaching 88%. The main nursing problem in this case is the ineffectiveness of airway clearence. Buteykos’s breathing technique has been proven effective in increasing spontaneous ventilation in mild and moderate patients with asthma. Three days intervention in three time a days resulted in an increase in oxygen saturation from 96% to 97% and on the fourth day saturation remained at 97%. Buteyko’s breathing technique is recommended to be adopted and used as a short-term program for asthma patients. In addition, this technique can also be used as one of the independent nursing interventions and can become one of the nurses competencies. Another recommendation is launching information about the benefits of the buteyko breathing technique in a health media. This technique can also be a complement of non-pharmaacological asthma that support the treatment of asthma. Buteyko breathing technique are not recommended for patients treated in isolation, because can be cross transmission from patients to nurses.

 

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>