Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrudin Ali Achmad
"ABSTRAK
Untuk mengetahui hubungan antara variabel demografi, geografi, iklim, sosial ekonomi, fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis dan tenaga kesehatan terlatih dengan jumlah kasus TB paru BTA positif, perlu dilakukan penelitian di Jakarta Selatan tahun 2007-2009 dengan studi ekologi melalui pendekatan spasial dan menggunakan data sekunder. Data diolah secara statistik dengan uji korelasi Pearson, dan analisis spasial dengan tehnik Overlay. Hasil penelitian menunjukkan secara statistik tidak ada korelasi antara variabel yang diteliti, sedangkan secara spasial variabel kepadatan penduduk, keluarga miskin dan fasilitas pelayanan kesehatan mikroskopis berpengaruh terhadap jumlah kasus TB paru BTA positif di Kecamatan Tebet, dan di kecamatan lain variabel tidak berpengaruh.

ABSTRACT
To determine the relationship between demographic variables, geography, climate, socio-economic, microscopic health facilities and health personnel trained with the number of BTA positive pulmonary TB cases, need to do research in South Jakarta in 2007-2009 with a spatial approach to ecological studies and to use secondary data. Data was statistically analyzed by Pearson correlation test, and spatial analysis techniques Overlay. The results showed no statistically significant correlation between the variables studied, whereas the spatially variable population density, poor families and microscopic health facilities effect on the number of BTA positive pulmonary TB cases in the District of Tebet, and in other districts did not influence the variables.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T28839
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Komunikasi antara arteri koroner dan arteri pulmonalis, yang dikenal sebagai fistula arteri koroner ke pulmonal, merupakan sumber pasokan darah yang sangat jarang ke paru-paru pada penyakit atresia pulmonal yang disertai defek septum ventrikel. Seorang anak perempuan berusia 4 tahun dirujuk ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan gejala dan tanda-tanda peningkatan vaskularisasi pembuluh darah paru sejak bayi dan telah dipastikan dengan pemeriksaan foto X-ray toraks. Pemeriksaan fisik jantung ditemukan bunyi jantung I normal, bunyi jantung II keras dan tunggal, dan didapatkan bising ejeksi sistolik pada area pulmonal. Pemeriksaan EKG menunjukkan irama sinus dengan aksis normal serta hipertrofi biventrikel. Pada pemeriksaan ekhokardiografi dicurigai terdapat trunkus arteriosus tipe I dengan defek septum ventrikel perimembran, overriding aorta, dan dilatasi pada pangkal arteri pulmonalis. Namun demikian pada pemeriksaan kateterisasi jantung ditemukan fistula non obstruktif antara arteri koroner kiri dan pangkal arteri pulmonalis yang disertai kelainan defek septum ventrikel. Tindakan bedah telah berhasil dilakukan sekaligus memastikan diagnosis sebelumnya. Walaupun terdapat episode krisis hipertensi paru selama awal perjalanan pasca operasi, pasien tersebut dipulangkan dari perawatan dengan kondisi yang baik. Karena penyakit pembuluh darah paru yang irreversibel bisa terjadi pada fistula koroner ke pulmonal yang tidak restriktif, pengenalan dini terhadap kelainan ini sangat penting untuk mendapatkan hasil tindakan koreksi bedah yang lebih baik. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)

A communication between the coronary and pulmonary arteries, so called coronary to pulmonary fistula, is a rare source of pulmonary supply in pulmonary atresia (PA) with ventricular septal defect (VSD). A 4 year old girl referred to National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta with symptoms and signs of increased pulmonary blood flow since infancy and was confirmed by the chest x-rays. Heart examination revealed normal first heart sound with single loud second heart sound and an ejection systolic murmur at the pulmonary area. ECG demonstrated sinus rhythm with normal axis and biventricular hypertrophy. Echocardiography was performed and truncus arteriosus (TA) type I was suspected with perimembranus VSD, overriding of the aorta, and dilated main pulmonary artery. But on cardiac catheterization studies, a non obstructive fistula was found between the left coronary and main pulmonary artery coexisted with PA and VSD. A successful surgery was performed subsequently and confirmed the above diagnosis. Although there were episodes of pulmonary hypertension crisis during early post operative course, she was then discharge from the hospital in a good condition. Since irreversible pulmonary vascular disease may develop in a non restrictive coronary to pulmonary fistula, early recognition of this anomaly is very important for better surgical result. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)"
Medical Journal Of Indonesia, 13 (4) October December 2004: 237-240, 2004
MJIN-13-4-OctDec2004-237
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kenyorini
"Penyakit TB masih merupakan masalah kesehatan kesehatan masyarakat yang penting di Indonesia. Upaya diagnostik TB paru masih terus ditingkatkan. Pemeriksaan penunjang diagnosis TB yang sekarang digunakan masih mempunyai sensitiviti dan spesitiviti yang rendah. Tujuan penelitian mengetahui tingkat akurasi uji tuberkulin dan PCR terhadap penegakkan diagnosis TB serta hubungan uji tuberkulin dan PCR dengan BTA mikroskopis dan biakan M. Tb dalam diagnosis TB paru.
Metode penelitian cross-sectional, uji diagnostik dan analisa data menggunakan Chi-Square. Kriteria inklusi penderita terdapat gejala klinik riwayat batuk 3 minggu disertai atau tanpa batuk darah, nyeri dada, sesak napas dan riwayat minum obat TB dalam jangka waktu kurang dari 1 bulan serta bukan TB (kontrol). Seluruh sampel dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, lekosit, LEDI/II, foto toraks, uji tuberkulin, PCR, BTA mikroskopis 3X dan biakan M. Tb mctode kudoh. Baku emas yang digunakan biakan M. Tb metode kudoh. Data diolah menggunakan SPSS versi 11.00.
Berdasar 127 sampel masuk kriteria inklusi 121. Sampel berjumlah 121 terdiri dari 61 sampel tersangka TB dan 60 sampel kontrol Sensitiviti dan spesivisiti uji tuberkulin terhadap biakakn metode Kudah menggunakan cut-off point 15,8 mm 33% dan 93%. Sensitiviti PCR terhadap biakab metode Kudoh 100%, spesitiviti PCR 78%. Didapatkan perbedaan bermakna dan hubungan lemah uji tuberkulin dengan biakan M. Tb dan PCR serta didapatkan perbedaan dan hubungan bermakna PCR dengan BTA mikroskopis biakan M. Tb.
Kesimpulan basil keseluruhan penelitian mendapatkan basil 39 sampel biakan positif, 36 sampel BTA mikroskopis positif, 57 sampel PCR positif dan 18 sampel uji tuberkulin positif. Ditemukan sensitiviti basil uji tuberkulin lebih rendah daripada PCR, BTA mikroskopis dan biakan M. Tb mctode Kudoh. Meskipun terdapat perbedaan bermakna basil uji tuberkulin pada biakan positif clan negatif, BTA mikroskopis positif dan negatif, serta PCR positif dan negatif, akan tetapi uji tuberkulin (menggunakan cut-off point 15.8 mm) kurang dapat membantu penegakan diagnosis TB para. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa diantara keempat pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru PCR mempunyai nilai sensitivit dan spesitiviti tinggi ( 100% dan 78%). sehingga PCR dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis TB paru apabila didapatkan klinis dan radiology mendukung TB paru. Menggunkan pemeriksaan PCR akan didapatkan metode penegakan diagnosis TB paru yang cepat ( 1 hari ) dibandingkan dengan menunggu hasil biakan M. Tb hingga 8 minggu.

Objective. In an attempt diagnosis pulmonary tuberculosis still increased continuously. Now additional examination pulmonary tuberculosis have been lack sufficient sensitivity and sensitivities. The aim of this study was to determine the validity of tuberculin skin testing (TST) and PCR toward assessment diagnosis pulmonary of tuberculosis with correlation between tuberculin skin testing to PCR with AFB microscopic and solid media culture of M. tuberculosis for the diagnosis of pulmonary tuberculosis.
Method. A cross-sectional study, diagnostic test and analysis with Chi-Square test. Inclusion criteria patient with pulmonary symptom include chronic cough 3 weeks with or without hemoptysis, chest pain, breathlessness and past history of ATA less than 1 month with non-tuberculosis patient (control). The general samples was examination Ro thorax, tuberculin skin testing, PCR, AFB microscopic and conventional culture. The golden standard is conventional culture test using Kudoh method. Analyze of the data with SPSS version 11.0.
Result. The study material comprised 121 samples from 127 samples. These samples include 61 samples from patient with probably active pulmonary tuberculosis and 60 control comprising healthy individuals. The sensitivity and specificity of tuberculin skin testing with cut-off point 15.8 mm greater was 33% and 93% on conventional culture test using Kudoh method. PCR sensitivity was 100% and spesitivity was 78%. It was showed the positivity correlation between pulmonary tuberculosis and conventional culture as well as PCR and AFB microscopic, the conventional culture test.
Conclusion. The sensitivity of tuberculin skin testing less than PCR, AFB microscopic and conventional culture test. So that not enough to assessment diagnosis pulmonary tuberculosis. The sensitivity and specificity PCR was I00% and 78%. With the use of PCR test, we were able to detect diagnosis pulmonary tuberculosis more rapidly in less than I day, compared to average 8 week required for detection by conventional culture.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nirwan Arief
Jakarta: UI-Press, 2005
PGB 0219
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ayu Wina Karinasari
"Latar belakang: Pneumonia rumah sakit adalah infeksi paru yang didiagnosis setelah rawat >48 jam setelah masuk rawat dan tanpa adanya tanda infeksi paru pada saat awal perawatan atau pneumonia yang didiagnosis pada saat awal masuk perawatan dengan riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya dengan jarak antar rawat inap 10-14 hari. Pneumonia rumah sakit merupakan salah satu infeksi nosokomial yang sering terjadi pada perawatan pasien anak di rumah sakit. Kasus pneumonia rumah sakit dapat berakibat meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Tujuan: mengetahui karakteristik dan proporsi mortalitas pneumonia rumah sakit pada anak. Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap subyek usia >1 bulan dan ≤18 tahun di RSCM selama 2015-2018 melalui telusur rekam medis. Hasil: Sebanyak 86 subyek didapatkan dengan karakteristik subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini adalah usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas status nutrisi gizi baik dan memiliki awitan lambat. Simpulan: Subyek dengan pneumonia rumah sakit terbanyak pada penelitian ini mempunyai karakteristik usia 1-24 bulan, memiliki lebih dari satu komorbiditas, status nutrisi gizi baik, memiliki lama rawat 8-14 hari, dan berawitan lambat. Proporsi mortalitas subyek dengan pneumonia rumah sakit pada penelitian ini sebesar 24,4%. Karakteristik mortalitas juga dapat dipengaruhi oleh status nutrisi yaitu gizi buruk, kelompok usia, jenis komorbiditas, lama rawat dan jenis awitan.

Background: Hospital-acquired pneumonia (HAP) is defined as a pulmonary infection that occurs >48 hours after admission to hospital or within 10-14 days after discharge. It is the most common hospital-acquired infection in children. Its occurrence represents increase hospital stay, additional cost, morbidity and mortality. Objective: To investigate the characteristic and mortality of hospital-acquired pneumonia in children Methods: It is a retrospective cohort study involving 86 subjects through medical records, inclusive to >1 months old - ≤18 years old patients, in RSCM Jakarta within 2015-2018. Results: There are 86 subjects with characteristic of HAP in this study are age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status and late onset. Conclusion: General characteristic of HAP in this study are, age 1-24 months old, has more than one comorbidity, good nutritional status, length of stay 8-14 days and late onset. The mortality proportion of HAP in this study is 24.4%. The mortality characteristic was influenced by nutritional status (severe malnutrition), comorbidities, age, length of hospital stay and onset of the disease. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia3, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
William
"Pendahuluan: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab utama kematian akibat infeksi di dunia. Sejak tahun 2008 - 2017 terdapat penurunan angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia (< 90%). Rekomendasi pengobatan TB di Indonesia adalah paduan obat antituberkulosis (OAT) dosis berselang sebagian (2RHZE/4R3H3) atau harian (2RHZE/4RH). Menurut WHO, paduan OAT RHZE/R3H3 mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang lebih tinggi. Namun, penelitian meta-analisis RCT menyatakan bahwa kedua paduan OAT mempunyai angka kegagalan dan kekambuhan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan penelitian untuk membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/2RH dengan 2RHZE/4R3H3.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan desain cross sectional yang membandingkan hasil pengobatan dan efek samping antara paduan OAT 2RHZE/4RH dengan 2RHZE/4R3H3 pada pasien TB paru kategori I di RSUP Persahabatan periode Januari 2015 sampai Juni 2018. Data sekunder diambil dari rekam medik. Hasil pengobatan dinilai sesuai definisi dalam pedoman nasional penanggulangan TB di Indonesia dan WHO. Efek samping dinilai dari seluruh efek samping terkait OAT yang tercatat dalam rekam medik.
Hasil: Terdapat 175 pasien pada masing-masing kelompok. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4RH terdapat 89.1% pasien berhasil, 13.1% sembuh,76.0% pengobatan lengkap, 10.6% putus berobat, 0.6% gagal, dan tidak ada yang meninggal. Pada kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 terdapat 91.4% pasien berhasil, 39.4% sembuh, 52.0% lengkap, 8% putus berobat, tidak ada yang gagal, dan 0.6% meninggal. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), putus berobat (p=0.659 ,OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), gagal (p=1.000), dan meninggal (p=1.000) di antara kedua kelompok. Namun, terdapat perbedaan bermakna untuk kesembuhan (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) dan pengobatan lengkap (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540). Sebagian besar pasien mengalami efek samping pengobatan (51.1%) terutama di tahap intensif (73.2%). Pada tahap lanjutan tidak ada perbedaan bermakna kejadian efek samping antara kedua kelompok (p= 0.324, OR=1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Kesimpulan: Kesembuhan kelompok paduan OAT 2RHZE/4R3H3 lebih baik daripada 2RHZE/4RH, sedangkan pengobatan lengkap sebaliknya. Tidak ada perbedaan bermakna untuk keberhasilan pengobatan, putus berobat, kegagalan, meninggal, dan kejadian efek samping pada tahap lanjutan di antara kedua kelompok.

Introduction: Tuberculosis (TB) is the main cause of death for infectious disease in the world. Since 2008 - 2017, there was a decline of TB success rate (< 90%) in Indonesia. Treatment of TB in Indonesia are using antituberculosis drugs with part daily dose combination (2RHZE/4R3H3) or daily dose combination (2RHZE/4RH). WHO concluded that 2RHZE/4R3H3 combination had higher failure and recurrence rate. However, a meta-analysis study showed that both combinations had same failure and recurrence rate. Therefore, this study is conducted to compare treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination.
Method: This was an observational analytic study with cross sectional design which compared treatment outcomes and adverse effects between 2RHZE/4RH combination and 2RHZE/4R3H3 combination in pulmonary tuberculosis patient at RSUP Persahabatan period January 2015 until June 2018. Secondary data was taken from medical record. Treatment outcomes were assessed using definition in Indonesia National Guideline of TB and WHO. Adverse effects were assessed from all adverse effects that written in medical record.
Result: There are 175 patients in each group. In 2RHZE/4RH combination group, there were 89.1% patients succeed, 13.1% cured, 76.0% completed treatment, 10.6% lost to follow up, 0.6% failed and no one died. In 2RHZE/4R3H3 combination group, there were 91.4% patients succeed, 39.4% cured, 52.0% completed treatment, 8% lost to follow up, no one failed, and 0.6% died. There was no significant difference for success (p=0.470, OR=1.299, IK95%;0.637-2.648), loss to follow up (p=0.659, OR=0.758, IK95%;0.365-1.577), failure (p=1.000), and death rate (p=1.000) between two groups. However, there was a significant difference for cure (p=0.003, OR=2.358, IK95%;1.375-5.206) and complete treatment rate (p=<0.001, OR=0.342, IK95%;0.217-0.540) between two groups. Most patients had adverse effects (51,5%), especially in intensive phase (73,2%). In continuation phase, there was no significant difference of adverse effects event between two groups (p = 0.324, OR= 1.386, IK95%; 0.723-2.657).
Conclusion: Cure rate was better in 2RHZE/4R3H3 group than 2RHZE/4RH group, for completed treatment on the contrary. There was no significant difference for success rate, loss to follow up rate, failure rate, death rate, and adverse effects event in continuation phase between two groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59177
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>