Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Diah Kurniati
Abstrak :
Kebijakan ruang terbuka hijau (RTH) dilatarbelakangi oleh berbagai hal di antaranya dorongan kebutuhan ruang publik dan terjaganya ekosistem lingkungan perkotaan. RTH juga merupakan fasilitas umum yang mengandung banyak fungsi kehidupan masyarakat kota yang dapat mengakomodasi kebutuhan tempat interaksi sosial, sarana olah raga, dan ruang rekreasi, khususnya di Provinsi DKI Jakarta. Kebijakan mengenai pengelolaan ruang terbuka hijau diperankan oleh Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta. Dalam implementasinya, banyak faktor yang secara teoritik mempengaruhi keberhasilan pelakasanaan suatu kebijakan, antara lain sumber daya manusia, komunikasi, anggaran, struktur organisasi, dan peran elit. Terkait dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau oleh Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta dan mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi penghambatnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif yang berusaha untuk mendeskripsikan masalah-masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara dan studi dokumentasi. Wawancara melibatkan informan kunci, tertutama para pegawai pada Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta dan para praktisi yang sering dilibatkan dalam pengelolaan ruang terbuka hijau. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau oleh Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta sampai saat ini belum maksimal, karena tidak ada peningkatan yang berarti luas RTH. Sampai saat ini, luas RTH Provinsi DKI Jakarta sekitar 9%, dan masih jauh dari rencana pencapaian kebutuhan RTH yang ditargetkan dalam RTRW 2010, yaitu 13,94%. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan belum sepenuhnya mendukung. Kondisi sumber daya manusia yang ada masih minim baik secara kualitas maupun kuantitas. Koordinasi yang terjalin masih bersifat formalitas dan belum ada tindak lanjut kebijakan hingga tataran kegiatan nyata yang terpadu antar stakeholder. Anggaran juga masih terbatas peran elit masih menunjukkan arogansinya, sehingga lebih berpihak untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Untuk masalah struktur organisasi secara umum sudah mendukung, antara lain ditunjukkan dengan adanya prosedur operasional yang standar. Sementara itu, faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan kebijakan Ruang Terbuka Hijau oleh Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta antara lain keterbatasan peralatan operasional lapangan, pembibitan, lambatnya pengembangan ruang terbuka hijau, menurunnya kualitas lingkungan, alih fungsi taman, menurunnya kedisiplinan masyarakat, kebutuhan ruang gerak sosial masyarakat, peran serta masyarakat, dan peraturan perundangan substansial. Berdasarkan hasil penelitian ini, maka perlu dilakukan perbaikan terhadap hal-hal yang tidak mendukung pelaksanan kebijakan. Mengenai masalah sumber daya manusia, mulai sekarang harus sudah direncanakan rekrutmen yang disertai dengan perencanaan yang matang dan mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan. Koordinasi antar stakelholder harus lebih diintensifkan sehingga dapat terbangun sinergi dan komitmen yang kuat untuk secara bersama-sama mewujudkan Ruang Terbuka Hijau dan harus ditindaklanjuti dengan program-program nyata. Anggaran yang masih terbatas harus diusahakan secara proaktif melalui penggalangan dukungan dan partisipasi masyarakat. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus tegas dan konsisten dalam menjalankan kebijakan Ruang Terbuka Hijau, sehingga tidak memberikan peluang kepada para elit untuk mempengaruhi pelaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan.
The implementation skills of open space greenery (RTH) backed by several situations, one of which is to encourage the needs of open public spaces and protection of the city surroundings. Open space greenery is also a general facilitator which consists of many functions of the living environment that could accommodates the needs of social interactions. Sports and recreational activities. Especially for DKI JKT Province, enhancing of open space greenery (RTH) has been the role play of City of Park Department Provincei DKI Jakarta. Implementing various methods in theory has influenced and results in skills, human resource, communications, estimation, organizational structures and elite role play. Concerning to the matter, our main aim is to evaluate skills of open space greenery by DPP DKI Jakarta, and to study the obstacle factors. Examining and cautious has resulted in describing problems. And collecting of data has been made through interviews and documentation studies. Interviews has involved key informants, exclusively the staff of Dinas Pertamanan Provinsi DKI Jakarta and others. Results has shown that with implementing skills by City of Park Department Province DKI Jakarta to date hasn't shown great improvement, due to lack of enhancement in upgrading of open space greenery. And to date, the largeness of open space greenery DKI Jakarta is about 9%, and there's a long way to accomplish OSG(RTH) targets in RTRW 2010,that is 13.94%. Influencing factors to implementing skills has not shown encouragement. The quality and quantity of human resource is still the main factor and at a minimal stage. The conditions of establishing is the main factor and does not motivate among stakeholders. Estimation is still limited, due to the arrogant elites, till there are those who are only concern to certain groups. As for organizational structure, in general has supported having operational standard procedures. While other factors that has been an obstacle to implementing skills to OSG (RTH) by Cyti of Park province DKI JKT among which, the limitation of operational field equipments, nusery, delays, less quality control, undisciplined, people's role play and lastly law and standing orders. Based on routine checks and investigations, has to be carried out. On human resource, it has to be carried out right away in recruiting with intensive programmes in educating and training. Stakeholders should be more intensified so as to enhanced synergy and strong commitments with togetherness to build up OSG and actions has to be taken immediately. Limited estimations should be workout proactively through support and people's participation. With that the provincial government DKI Jakarta has to be firm and consistent in managing skills OSG till it gives opportunity to the elites in implementing and influencing skills that have been fixed.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Nurani
Abstrak :
Kawasan mixed-use merupakan sebuah kawasan yang terdiri dari berbagai macam fungsi bangunan yang meliputi hunian, retail, perkantoran, maupun sarana rekreasi. Apartemen yang berada di dalam kawasan mixed-use akan berbeda dengan apartemen yang berdiri sendiri maupun jenis hunian konvensional seperti landed house. Dengan kondisi seperti itu, terdapat percampuran fungsi, overlapping sirkulasi, serta hadirnya ruang publik di sekitar ruang privat yang dapat mempengaruhi penghuni apartemen di dalam kawasan mixed-use. Untuk itu perlu adanya kejelasan mengenai teritori penghuni di dalam kawasan mixed-use. Penentuan teritori penghuni di dalam kawasan mixed-use dipengaruhi oleh hal-hal yang ada di dalam kawasan. Penentuan teritori tersebut menghasilkan ruang transisi dan hierarki ruang yang akan mempengaruhi privasi dan interaksi sosial penghuni.

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana terbentuknya ruang transisi antara hunian dan fungsi lainnya dalam sebuah kawasan mixed-use. Pembentukan ruang transisi antara hunian dan fungsi lainnya akan berpengaruh pada pendefinisian daerah publik, semi publik, semi-privat, dan privat di dalam kawasan mixed-use. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode tinjauan terhadap teoriteori tentang berhuni, teritori manusia, privasi, interaksi, serta hierarki ruang. Dilakukan juga studi kasus terhadap dua apartemen di dalam kawasan mixed-use yang ada di Jakarta, yaitu Apartemen Taman Anggrek dan Apartemen Poins Square. Dari tinjauan teori dan studi kasus dapat diambil kesimpulan bahwa privasi penghuni dapat terjaga berkat adanya transisi dan hierarki ruang yang jelas antara ruang public dan ruang privat. Transisi hadir melalui pembatasan antar satu ruang dengan ruang lainnya. Pembatasan antar ruang dapat berupa penggunaan tanda, penggunaan alat elektronik, pembatasan fisik, maupun penjagaan pihak tertentu.
The mixed-use area is a compound that consisted of various sorts of building function including dwelling, retail, office complex, and recreation. An apartment that is located in this mixed-use area will be different from an apartment that stands solely or other conventional kind of dwelling like landed house. This condition results in a mix of function, circulation overlapping, and also the presence of public space around private space that could affect the occupant of apartment. There is a need of clarity regarding occupants? territory inside the mixed-used area. The occupants? territory in the mixed used area is influenced by matters that exist inside that area. The result of this territoriality is transitional space and hierarchy of space that will influence privacy and the social interaction of its occupant.

The purpose of this writing is to study the formation of transitional space between the dwelling and the other function in a mixed-use area. The formation of transitional space between dwelling and other function influence the definition of the public, semi public, semi-private, and private areas inside the mixed-use area. The writing begins with the study of theories about dwelling, human territory, privacy, interaction, and the hierarchy of space. Furthermore a case study was conducted towards two apartments inside a mixed-used area in Jakarta, which are Taman Anggrek Apartment and Poins Square Apartment. From the analysis of theories and case study I can conclude that occupants? privacy could be secured by the existence of an apparent transition and space hierarchy between the public and private spaces. The transition is present through restriction between one space and another. This space restriction could take form of the use of sign, the use of electronic device, the physical restriction, and by protection from certain side.
2008
S48425
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tetriana Vivi Oktora Taolin
Abstrak :
Kehidupan kita dipengaruhi oleh kota tempat tinggal kita, oleh sistem yang berjalan di dalam kota. Karakter urban tertentu menghasilkan reaksi yang tertentu pula. Misalnya jika sebuah kota tidak menyediakan ruang terbuka publik sementara pusat perbelanjaan tersebar dimana-mana, maka masyarakat kota cenderung konsumtif karena tempat tersebut menjadi sarana utama kehidupan sosial dan rekreasi mereka. Dampaknya, komunitas semakin terpisah satu sama lain. Orang akan membentuk kelompok sosial berdasar kesamaan minat, gaya hidup atau klasifikasi sosial lainnya, sementara tidak mengenal orang-orang di lingkungan tinggalnya sendiri. Kehidupan publik juga banyak dipengaruhi oleh sirkulasi dan pergerakan dalam kota. Transportasi adalah salah satu penentu tataran urban. Salah satu konsep baru mengenai pembangunan tata kota berkaitan dengan sistem transportasi adalah Transit Oriented Development. TOD adalah konsep pengembangan kawasan yang mengutamakan perbaikan di sekitar titik transit dengan radius sejauh jarak yang dapat dijangkau berjalan kaki. Dalam konsep TOD, kawasan tersebut harus menggunakan tata guna lahan mixed-use. Tujuannya adalah merangsang penggunaan transit dan merevitalisasi kehidupan komunitas di area tersebut. Agar orang beraktivitas di kawasan TOD, menggunakan transit dan berinteraksi sosial, harus diadakan sebuah tataran lingkungan fisik yang mendukung. Karakteristik dan tataran fisik di kawasan TOD diyakini dapat mempengaruhi kehidupan publik penggunanya menjadi lebih baik. ......We are shaped by our city. Our daily life is much affected by networks of system that occur in the city we live in. Certain urban setting can lead to specific reaction. For example, when there is lack of urban open space and many large-format retail spread out the entire city, there will be no doubt that citizens will become consumptive and socially segregated each other. People tend to gather in a community of interest and lifestyle rather than community of place, of geographical proximity towards each other. The latter is what we known as traditional neighborhood. Public life in the city is also much affected by the way we move within the city. Transportation system is a key determinant to urban setting. One arising concept about urban planning related with transportation system is Transit Oriented Development. TOD is a planning concept that basically encourages development along transit nodes. It implies that an area within walking distance from station should be enriched by variety of land use. The goals are to increase transit ridership and revitalize community's life. TOD will only succeed when it implement an comprehensive planning to create attractive and functional environment that induce people to walk trough the development, use transit and also be involved in social interaction. Therefore, a certain characteristic and criteria needed to be applied. Urban planners believe that physical settings of TOD can influent public realm of the city.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S48453
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmat Basuki
Abstrak :
ABSTRAK
Seklor informal sebagai salah satu cara mencari nafkah di sebuah kota menjadi sebuah atau bahkan satu-satunya pilihan bagi kaum migran ataupun para pengangguran di Jakarta yang semakin bertambah.Kemudahan untuk memasuki, kecilnya modal yang diperiukan, serta rendahnya tingkat ketrampilan yang dibutuhkan 1,» it di sektor ini ngapjadikan sgktQr¢ini5sebpah¢ pIIihan yang menarik.

Keberadaan pedagang kaki lima, sebagai bagian dari sektor ekonomi informal semakin menjamurdi Jakarta. Hampir di setiap ruang publik yang diisi oleh pedagang kaki lima. Pertambahan ruang publik yang hampir tidak ada, serta semakin banyaknya pedagang kaki lima telah membuat Jakarta menjadi sebuah kota yang semrawut. Kinilah saatnya kita merenungkan kembali mengapa pedagang kaki lima timbul di sebuah kawasan ? Bagaimana keadaan sebuah ruang publik setelah kedatangan pedagang kaki lima ?
2000
S48221
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Kusumawardani
Abstrak :
Ruang publik merupakan kebutuhan penting dalam kehidupan kota, termasuk pula ruang-ruang untuk tumbuh, kembang dan bermain anak-anak. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merangkum kebutuhan tersebut dalam sebuah proyek bernama Ruang Publik Terpadu Ramah Anak RPTRA . RPTRA merupakan ruang publik yang mengintegrasikan berbagai fasilitas dan kegiatan yang ramah bagi anak-anak dalam satu tempat di kawasan pemukiman padat penduduk. Dalam proses mewujudkannya terdapat relasi kuasa antara aktor-aktor yang terlibat membentuk RPTRA menjadi seperti sekarang ini. Kuasa yang mereka praktikkan melalui keputusan-keputusan terkait perwujudan RPTRA menentukan arah pembangunan RPTRA itu sendiri. Skripsi ini membahas praktik kuasa pada proses perwujudan RPTRA dan bagaimana kuasa yang dilakukan oleh tiap-tiap aktornya dapat membentuk arsitektur. Tulisan ini menemukan bahwa RPTRA-RPTRA yang telah terbangun di Jakarta tidak semuanya sesuai dengan esensi awal yang dicanangkan sebagai akibat dari produksi massal. Hal ini menegaskan bahwa bagaimana sebuah arsitektur dirancang, dibangun, digunakan, dan dipersepsikan dapat ditentukan oleh keputusan-keputusan, yang merupakan praktik kuasa, yang mendasarinya.
Public space is an important aspect of urban life, including public spaces for children to grow, develop, and play. The Jakarta Government combined those aspects into a project called Ruang Publik Terpadu Ramah Anak RPTRA . RPTRA is a child friendly public space that integrates a variety of facilities used for many activities in one place and is built in densely populated settlements in Jakarta. During the process of building and making RPTRA, there are power relations among the actors involved that then shapes RPTRA into what it is now. Power that is exercised through the decisions they made concerning the building of RPTRA decides the direction of its building process. This study investigates the exercise of power in the developing process of RPTRA and how the power exercised by its actors shapes architecture. This study found that the RPTRAs that have been built in Jakarta are not all matching with their originally planned essence or purpose as a result of mass production. This emphasizes that basically how architecture is designed, built, used, and perceived can be determined by the exercise of power that underlies it.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
S69216
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tschumi, Bernard, 1944-
Cambridge, UK: MIT Press, 2000
724.6 TSC e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tschumi, Bernard, 1944-
Cambridge, UK: MIT Press, 2000
724.6 TSC e II
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Broto, Eduard
China: Lins, [date of publication not identified]
R 725 BRO h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Munchen: Institute fur Internationale Architekture-Dokumentation GmBH, 2004
725 DET
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library