Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Setiarini
Abstrak :
Undang-undang pada dasarnya adalah aktualisasi dari kebijakan publik. Keputusannya akan mengikat dan berpengaruh terhadap masyarakat. Kenyataannya undang-undang hanya dibahas oleh sejumlah kecil anggota DPR yang dianggap sebagai perwakilan masyarakat . Untuk menjamin diterimanya undang-undang oleh masyarakat , sangat diperlukan partisipasi masyarakat dalam proses pembahasannya. Undang-undang Partai Politik dipilih sebagai studi kasus karena undang-undang tersebut mendapat sorotan dan tanggapan yang ramai dari masyarakat. Undang-undang tersebut dibuat karena diperlukannya dasar hukum untuk melaksanakan pemilu dalam rangka dimulainya suatu tatanan Politik yang baru di Indonesia. Untuk mengetahui seberapa besar partisipasi masyarakat ini, Penulis membandingkan hasil akhir undang-undang dengan rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah, dengan melihat masukan masyarakat dalam bentuk seminar yang dilaksanakan oleh fraksi-fraksi dan sebagian kliping Koran . Untuk mengetahui kepekaan fraksi di DPR dalam hal menampung aspirasi masyarakat tersebut, Penulis melihat daftar inventaris masalah yang disampaikan oleh fraksi-fraksi dan risalah rapat. Penulis juga menganalisis norma proses tahapan analisis kebijakan publik dalam pembuatan keputusan dengan aturan mekanisme proses pembuatan undang-undang didalam tata tertib DPR-RI , Keppres 118 tahun 1998, serta tugas-tugas Sekretariat Jenderal yang berkenaan dengan proses tersebut. Dalam hal ini Penulis membandingkan dengan mekanisme yang terdapat di Inggris. Berdasarkan penelitian ,ternyata partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan undang-undang Partai Politik di DPR rendah. Hal ini disebabkan mekanisme pembahasan di DPR tidak mendukung terjaringnya partisipasi masyarakat tersebut , kepentingan golongan yang menonjol, anggaran yang terbatas serta sosialisi rancangan undang-undang yang sangat kurang. Untuk menjaring parsipasi masyarakat, diperlukan perubahan Tata tertib DPR , dan perubahan uraian tugas Sekretariat Jenderal DPR , serta penambahan anggaran pembahasan undang-undang. Faktor-faktor di luar mekanisme intern DPR juga ikut mempengaruhi rendahnya partisipasi tersebut, seperti misalnya ; hubungan antara fraksi dan daerah pemilihan, kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi, serta rendahnya pendidikan masyarakat secara umum.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 2004
340.03 IND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Soediman Kartohadiprodjo
Djakarta: Pembangunan, 1964
342.91 Kar k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cheppy Hari Cahyono
Yogyakarta: Mitra Gama Widya, 1988
342 CHE r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Ryantho
Abstrak :
Mengingat pentingnya kedudukan perkreditan dalam proses pembangunan, sudah semestinya pemberi dan penerima kredit serta pihak ketiga yang terkait dalam hal itu mendapat perlindungan melalui lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberi kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara umum tidak mengatur hal yang dimaksud. Dalam Pasal 1131 misalnya ditentukan bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang semua krediturnya. Dalam keadaan biasa, jika kreditur dalam pemberian kredit, berhati-hati dengan memperhitungkan nilai hartanya kekayaan debitur, jaminan Pasal 1131 tersebut sudahlah memadai, lebih-lebih bila debitur memenuhi apa yang telah diperjanjikan. Namun jaminan tersebut bukan hanya tertuju kepada kreditur tertentu. Setiap kreditur karena hukum memperoleh jaminan yang lama, jika ternyata jumlah piutang melebihi hasil penjualan semua barang debitur, tidak akan ada kreditur yang memperoleh pelunasan secara penuh. Kemungkinan lain yang dihadapi kreditur adalah selama hubungan utang-piutang berlangsung sebagian harta kekayaan debitur tidak lagi cukup untuk pelunasan piutangnya secara penuh karena bukan lagi milik debitur (bagian yang dijual itu bukan lagi merupakan jaminan yang dimaksud dalam Pasal 1311 di atas). Untuk mengatasi kedua kelemahan tersebut di atas, hukum menyediakan suatu lembaga khusus yang memberikan kedudukan istimewa kepada kreditur untuk mengamankan pelunasan piutangnya tertentu ditunjuk suatu bidang atau bidang-bidang tanah tertentu sebagai jaminannya. Lembaga yang dimaksud dikenal sebagai "hak jaminan atas tanah". Sebelum berlakunya UUPA, lembaga hak jaminan atas tanah yang ada adalah hipotek, jika yang dijaminkan tanah hak barat. Ketentuannya diatur dalam Buku II KUNPerd, sedangkan pendaftarannya dilakukan menurut Overschrijving Ordonantie Th. 1834. Jika yang dijaminkan tanah hak milik adat, lembaga jaminannya Credielverband diatur dalam S.1908-542 yo S,1909-586. Jika debitur cedera janji, kreditur pemegang hipotek dan credietverband mempunyai kedudukan mendahului daripada kreditur-kreditur lainnya yang dikenal dengan sebutan droll de preference. Kedua jenis lembaga tersebut tetap membebani tanah yang dijadikan jaminan, ditangan siapapun tanah itu berada (droll de suite). UUPA menyediakan hak jaminan atas tanah bare dengan sebutan "Hak Tanggungan". Dalam Pasal 51 diperintahkan bahwa "Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan tersebut dalam Pasai 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang". Selanjutnya, Pasal 57 menentukan bahwa "selama undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hipotek tersebut dalam KUHPerd Indonesia dan Credietverband dalam 5.1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S.1937-190". Dengan adanya ketentuan Pasal 57 tersebut, sejak mulai berlakunya UUPA, kecuali mengenai objeknya, terhadap hak tanggungan diberlakukan ketentuan hipotek atau credietverband hanya dimungkinkan bagi bank-bank pemerintah. Dalam perkembangannya ketentuan hak tanggungan menjadi bertambah dengan diselenggarakannya Pendaftaran Tanah menurut PP 10 Tahun 1961 dan ditertibkannya UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. Dengan adanya ketentuan baru tersebut dengan sendirinya ketentuan hipotek dan credietverband tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 16 Tahun 1985, objek hak tanggungan ditambah dengan rumah susun dan hak milik atas satuan rumah susun yang bangunannya berdiri di atas tanah hak milik dan hak guna bangunan serta hak pakai atas tanah negara dapat dibebani hak tanggungan dengan fidusia, dimungkinkan juga "roya partial" dan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan. Ketentuan-ketentuan ini tidak dijumpai dalam hukum hipotek dan credietverband. Perubahan yang mendasar adalah mengenai tata cara pembebanannya dan penerbitan surat tanda bukti hak tanggungan. Pendaftarannya tidak lagi dengan sistem registration of deeds metainkan dengan sistem registration of title. Pemberian hak tanggungan dilakukan dihadapan PPAT dalam rangka pembuatan akta pembebanannya, sedangkan pendaftarannya dilakukan di Kantor Pendaftaran Tanah setempat dalam rangka penerbitan sertifikatnya. Hak tanggungan lahir tujuh hari setelah penerimaan secara lengkap berkas pendaftaran oleh Kantor Pendaftaran Tanah. Sertifikat hak tanggungan terdiri atas salinan buku tanah dan salinan akta pembebanan hak tanggungan dijilid menjadi satu dalam suatu sampul. Untuk memberikan kekuatan eksekutorial, sertifikat tersebut diberi kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Sertifikat ini dapat menggantikan grose akte hipotek dan grose akte credietverband (SK Dirjen Agraria No. SK 67/DDA/1968 dan SE BPN No. 594-3/239/KBON. Biarpun sudah ada tambahan ketentuan tersebut di atas, masih tetap ada dua macam hak tanggungan, yaitu yang menggunakan ketentuan hipotek dan credietverband, sebagai akibat belum dipenuhi perintah Pasal 51 UUPA. Dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, terpenuhilah apa yang diperintahkan Pasal 51 UUPA tersebut hingga tidak diperlukan lagi ketentuan hipotek credietverband seperti yang dimungkinkan oleh Pasal 57 UUPA tersebut. Dengan demikian, dualisme dalam penggunaan hak tanggungan sejak UUHT tidak berlaku lagi, kecuali untuk kapal-kapal tertentu menurut KURD. Fidusia juga tidak diperlukan lagi sebagai lembaga jaminan bagi hak pakai atas tanah negara dan karena telah ditunjuk sebagai objek hak tanggungan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryo Aditya Arifiansyah
Abstrak :
UUD 1945 menyatakan secara tegas, bahwa "Negara Indonesia adalah Negara Hukum". Kaidah ini mengandung makna bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. Agar hukum sebagai suatu sistem dapat berjalan dengan baik dan benar di dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, diperlukan institusi-institusi penegak hukum sebagai instrumen penggeraknya.Penegakan hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan hukum dan sebagai komponen integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka menegakkan pilar-pilar negara hukum. Tujuan yang hendak dicapai adalah mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Indonesia sebagai negara hukum, mengharuskan terwujudnya supremasi hukum. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai salah satu institusi penegak hukum merupakan komponen dari salah satu elemen sistem hukum. Secara universal diberikan kewenangan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Sebagai komponen dari salah satu elemen sistem hukum, Kejaksaan RI mempunyai posisi sentral dan peranan yang strategis di dalam suatu negara hukum. Posisi sentral dan peranan yang strategis ini, karena berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan, di samping sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Dalam upaya pengembalian kerugian negara, Kejaksaan telah mengupayakan suatu peradilan in absentia sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan, peradilan in absentia baru bisa dilakukan apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi, tujuan utama dari peradilan in absentia adalah supaya perkara yang sedang ditangani tidak berlarut-larut dan memakan waktu lama dalam penyelesaiannya, dalam konteks ini supaya negara tidak terlalu dirugikan. Permasalahan yang timbul adalah, apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya sebuah perkara tindak pidana dapat diajukan secara in absentia? Apakah dengan dilakukannya peradilan in absentia, pihak Kejaksaan dapat segera mengeksekusi putusan Pengadilan? Apakah upaya yang dilakukan oleh Kejaksaan dalam hal pengembalian kerugian negara khususnya dalam kasus yang disidangkan secara in absentia? Untuk memperoleh data yang akurat diperlukan metode penelitian yang tepat untuk memecahkan pokok permasalahan dalam membuktikan kebenaran hipotesis. Penulis lebih menekankan pada penjelasan mengenai pendekatan yang digunakan penulis terhadap pokok permasalahan yang diteliti, lebih berorientasi pada tujuan dan kegunaan. Oleh karena itu pendekatan yang tepat yaitu pendekatan normatif ditunjang dengan wawancara. Dalam metode pengumpulan data meliputi penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan yang akan dilakukan dengan cara-cara antara lain wawancara tatap muka dengan responden dan melakukan pengamatan langsung di lapangan.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16450
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Herdiawan
Abstrak :
ABSTRAK
BPK memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara. Penyelesaian kerugian negara/daerah yang menjadi tanggung jawab bendahara diatur tata cara penyelesaiannya oleh Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007, dimana dinyatakan dalam Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses penyelesaian kerugian negara terhadap bendahara. Sebagai bagian dari penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang bertujuan untuk pemulihan keuangan negara/daerah dan tertib administrasi dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, Majelis Tuntutan Perbendaharaan pada BPK memegang peranan penting khususnya dalam penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang penanggungjawabnya adalah bendahara. Dengan menggunakan kajian kepustakaan dan perundang-undangan, penulisan ini bermaksud menjelaskan kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia. Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penulisan ini, disimpulkan bahwa kedudukan Majelis Tuntutan Perbendaharan dalam menilai dan/atau menetapkan kerugian negara/daerah terhadap bendahara dikaitkan dengan Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia adalah bahwa Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak termasuk dalam Sistem Peradilan Administrasi di Indonesia karena pada proses menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara/daerah terhadap bendahara Majelis Panel dalam Majelis Tuntutan Perbendaharaan menjalankan fungsi quasi administratif atau berlaku selayaknya pimpinan instansi/lembaga terhadap pegawai dalam lingkungannya.
ABSTRACT
The Audit Board of The Republic of Indonesia (BPK RI), have the authority to assess and determine the amount of loss suffered by the state caused by a treasurer’s illegal action both intended or by negligance. State assessments and state financial losses or the determination of which party is obliged to pay compensation determined by the decision of BPK RI. The settlements in which the treasurer obliged to, is ruled by BPK Regulations Number 3 Year 2007, in which Article 41 of the regulation stated that BPK RI can formed a Treasury Prosecution Council to process the state financial loss settlements to the treasurer. As a part of state financial loss settlements system that pursue the relieve of the state financial and an administration order in state financial management, BPK RI’s Treasury Prosecution Council held an important role, especially in state financial loss settlements obliged to a treasurer. By using literatures and laws study, this research intented to explain and clearing the Treasury Prosecution Council’s stand in the Administrative Judicature System of Indonesia. Based on the analysis conducted in this research, it is concluded that the Treasury Prosecution Council in doing assessments and/or determination of a state financial loss obliged to a trasurer is not a part of the Administrative Judicature System of Indonesia because it doesn’t do any court function. The conclusion was higlighting that in the assessing and/or determining process, the Panel in the Treasury Prosecution Council was doing a quasi administrative function or in other word it act as if it were the head of the office in giving assessments and determinations.
Jakarta: Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2014
T39097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roi Lesmana
Abstrak :
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah memberikan jalan keluar dari permasalahan utang piutang yaitu dengan kepailitan dan/atau dengan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diharapkan dapat memberikan solusi penyelesaian bagi kedua belah pihak baik itu kreditor maupun debitor. Penelitian ini bertujuan menganalisis Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dan Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan konseptual dengan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk deskriptif-analitis. Prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat diterapkan dalam permohonan Kepailitan maupun PKPU, Majelis Hakim yang memeriksa permohonan PKPU dapat menolak permohonan PKPU karena konsep utang menjadi tidak sederhana, dalam perkara permohonan PKPU ini para pihak tidak dapat menunjukan perjanjian yang menjelaskan mengenai kapan jatuh waktu dari utang yang didalilkannya sehingga dapat ditagih maka sulit untuk menentukan kapan jatuh waktunya utang tersebut sehingga masih diperlukan suatu pembuktian rumit dan tidak sederhana. Adapun prinsip pembuktian sederhana terkait utang debitor sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU juga diterapkan di dalam pemeriksaan permohonan PKPU, hal mana menyebabkan permohonan PKPU ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga karena utang debitor memerlukan pemeriksaan yang rumit (tidak sederhana) sehingga tidak memenuhi prinsip utang yang sederhana sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Dengan demikian pemeriksaan perkara permohonan PKPU juga menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana yang diterapkan dalam permohonan Pailit. ......Law of The Republic Of Indonesia Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Payment has provided settlement of the debt and credit problems, namely by bankruptcy and/or with a suspension of payment (PKPU) which is expected to provide solutions for both parties, creditors and debtors. This study aims to analyze the Principles of Exceptio Non-Adimpleti Contractus and simple justification in cases of Suspension of Payment. This study uses a juridical-normative research method through a statutory approach, a historical approach, and a conceptual approach by presenting the research results in descriptive-analytical form. The principle of exceptio non adimpleti contractus can be applied in Bankruptcy and PKPU applications, the Panel of Judges can reject the PKPU Application because the Debt concept is not simple, in this PKPU’s application, agreement which explaining debt overdue and collectible cannot be proved by both parties. Then, complicated justification related the debt and the due time is needed. The principle of Simple Justification according to Article 8 paragraph (4) UUK-PKPU is also applied in the examination of PKPU applications, which causes the PKPU application to be rejected by the Judge of the Commercial Court because the debtor's debt requires a complicated (not simple) justification, simple debt principle as referred to in Article 8 paragraph (4) UUK-PKPU. Thus, the examination of the PKPU application applies the simple principle of proof as applied in the Bankruptcy application.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Desca Putra Yana
Abstrak :
Dalam pertanggungjawaban direksi PT Pertamina dalam dugaan persekongkolan tender divestasi dua unit kapal tanker VLCC milik PT Pertamina ini ditinjau dari hukum keuangan publik. Pokok Permasalahan terdapat pada bagaimana kerugian negara yang nyata dan pasti terhadap divestasi dua unit kapal VLCC milik PT Pertamina ditinjau dari hukum keuangan publik. Selain itu dilihat pula bagaimana pertanggungjawaban direksi PT Pertamina terhadap kebijakan melakukan divestasi dua unit kapal VLCC yang ditinjau dari hukum keuangan publik. Penelitian ini adalah penelitian normatif dimana sumber data diperoleh dari data sekunder dan dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerugian BUMN Persero dalam hal ini adalah PT Pertamina bukanlah kerugian negara yang nyata dan pasti. Selain itu pertanggungjawaban direksi BUMN Persero yang diakibatkan kebijakan direksi tersebut selama bukan melakukan perbuatan melawan hukum bukanlah sebuah kerugian keuangan negara.
The responsibility of board of directors of PT Pertamina in alleged bid rigging of divestment of two VLCC tanker units of PT Pertamina is viewed from public finance law. The main issues are on how a real and certain state loss against divestment of two VLCC tankers owned by PT Pertamina viewed from public finance law. Besides that also seen how the responsibility of board of directors of PT Pertamina policies on the divestment of two VLCC tankers viewed from public finance law. This research is the study of normative where source data obtained from secondary data and analyzed qualitatively. The result showed that the loss of state-owned enterprises (PT Pertamina Persero) is not a real and certain state loss. In addition, the responsibility of board of directors of state-owned enterprises and refines the resulting policies of board of direstors for not doing a tort is not a state financial loss.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53548
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>