Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
T. Fazly Redwan
"Dilatarbelakangi akan kesadaran pentingnya peranan lembaga-tembaga pengawasan di daerah dalam era otonomi saat ini, maka studi ini dimaksudkan untuk mengetahui aspek aspek apa yang mempengaruhi efektivitas Bawasda Kabupaten Pelalawan dalam menjalankan fungsi pengawasannya.
Setelah menganalisis empat indikator untuk menilai effektivitas pengawasan Bawasda, yaitu : (1) Cakupan Pemeriksaan, (2) Ketepatan waktu Penerbitan Laporan Hasil Pemeriksaan, (3) Jumlah dan Kualitas Temuan Hasil Pemeriksaan dan (4) Jumlah Rekomendasi Pemeriksaan yang Ditindaklanjuti, diketahui bahwa effektivitas pengawasan Bawasda Pelalawan tahun 2001-2002 masih belum optimal.
Gambaran tersebut diperoleh dari : (1) Analisis hasil wawancara dengan tiga orang informan yang ditentukan dengan Porpusive Sampling, yaitu : Bupati Pelalawan, Kepala Bawasda dan salah satu Kepala Bidang di Bawasda. (2) Analisis dokumen dan laporan Bawasda.
Berdasarkan kerangka pemikiran dari beberapa teori pengawasan, maka dalam tesis yang menggunakan metode kuantitaif ini delapan aspek telah mempengaruhi effektivitas Bawasda dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Kedelapan aspek tersebut adalah : (1) Tugas, Pokok dan Kewenangan, (2) lndependensi, (3) Perencanaan Pemeriksaan, (4) Penugasan Pemeriksaan, (5) Sumber daya manusia, (6) Dana dan Peralatan Kerja, (7) Hubungan Kerja, (8) Pemantauan Tindak Lanjut.
Dengan demikian maka, disarankan agar dasar hukum mengenai tugas pokok, fungsi dan wewenang Bawasda diperjelas dan dipertegas, sumber daya manusia Bawasda khususnya untuk pengawasan ditingkatkan baik jumlah dan mutunya, perencanaan pemeriksaan lebih harus lebih terfokus kepada arahan pimpinan berupa kebijakan pengawasan dari Bupati."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rai Sri Dewi Ida Ayu
"ABSTRAK
BAPEK merupakan lembaga banding administratif yang kehadirannya diharapkan sebagai sarana perlindungan hukum bagi PNS dan sebagai sarana pengawasan administratif terhadap perilaku Pejabat TUN. Dalam pelaksanaan fungsinya diduga belum efektif. Penelitian ini diawali dengan studi, kepustakaan dan dilanjutkan dengan penelitian empirik melalui pengamatan partisipatif dan wawancara terstruktur terhadap sejumlah key informan.
Pengukuran efektivitas BAPEK dilakukan melalui empat cara yakni. (1) menghitung output yang dihasilkan, (2) menghitung jangka waktu pengiriman berkas keberatan hingga adanya keputusan BAPEK, (3) ratio antara jenis keputusan yang dipertimbangkan dan (4) ratio antara keputusan BAPEK yang diajukan gugatan ka Pejabat TUN dengan yang tidak diajukan gugatan.
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan yang menunjukkan bahwa fungsi BAPEK sebagai lembaga banding administratif kurang efektif, oleh karena derajat pencapaian sasaran kuantitatif yaitu keputusan BAPEK per tahun masih dibawah 50 % dari jumlah keberatan yang ada, hanya 38,45 % keberatan PNS yang memenuhi batas waktu penyampaian keberatan oleh Termohon, sehingga dapat dengan segera disidangkan untuk pengambilan keputusan BAPEK. Sedangkan dalam pelaksanaan pengawasan administratif sebanyak 17,95 % dapat meluruskan dan memperbaiki keputusan Pejabat yang berwenang. Sampai dengan akhir tahun 1998, gugatan Pemohan ke PT.TUN masih sedikit yakni sebanyak 65 gugatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektifitas fungsi BAPEK adalah : (1), kurangnya komitmen pada togas, (2) kurangnya kemampuan dan integritas, (3) prosedur pemeriksaan dan keberatan ke BAPEK belum dilaksanakan dengan balk dan (4) kurangnya koordinasl. Adapun strategi untuk meningkatkan kinarja BAPEK dilakukan dengan menetapkan visi, mengembangkan personal mastery, dan mendukung pemberdayaan pegawai (empowerment).
Beranjak dari kesimpulan diatas, dikemukakan beberapa saran yakni : (1) perlunya ditentukan standar untuk melaksanakan fungsi BAPEK dalam bentuk Pala Upaya Banding Administratif, (2) dalam upaya optimalisasi fungsi BAPEK perlunya peningkatan kemampuan SQM aparatur, dan (3) perlunya peningkatan peranan BAPEK menjadi peradilan kepegawaian yang berwenang menangani segala jenis sengketa kepegawaian.

"
1999
T16759
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Indri Arfianti
"ABSTRAK
Berbagai perubahan dalam tata kehidupan masyarakat terjadi dalam menghadapi era globalisasi. Perubahan tersebut merupakan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang yang berlangsung dengan cepat. Indonesia pada saat ini juga telah mengikatkan diri pada terciptanya perdagangan bebas. Dengan pengaruh globalisasi ini arus perdagangan barang dan jasa antar negara akan semakin meningkat. Dalam setiap perjanjian internasional, umumnya diperjanjikan bagaimana cara penyelesaian masalah dan hukum apa yang akan diberlakukan jika terjadi perselisihan antar kedua belah pihak.
Dewasa ini tampak adanya perkembangan bagi penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR). Salah satu bentuk ADR yang sering dipergunakan adalah arbitrase. Kebutuhan akan adanya arbitrase dapat dimengerti karena jalan untuk mengajukan perkara di muka pengadilan sampai tercapainya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum dirasakan sangat panjang, memakan waktu dan berbelit. Adapun kelebihan arbitrase dibanding pengadilan yaitu proses yang sederhana, cepat dalam pengambilan keputusan, dilakukan oleh para ahli, bersifat tertutup dan dalam instansi terakhir dan mengikat (final and binding).
Indonesia pada saat ini telah memiliki badan arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang didirikan pada tanggal 3 Desember 1977. Permasalahannya adalah apakah peran BANI sebagai media alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan dapat berjalan dengan efektif ? Dari penelitian yang telah dilakukan, dengan menggunakan
data dari narasumber dan ditunjang dengan studi kepustakaan, didapatkan bahwa BANI telah mengalami berbagai hambatan dalam menjalankan tugasnya sebagai media alternatif penyelesaian sengketa bisnis di luar pengadilan di Indonesia ini. Sehingga bisa dikatakan bahwa BANI tidaklah efektif dalam menjalankan tugasnya. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak tahun 1977 sampai dengan tahun 1997, hanya ada 95 perkara yang masuk ke BANI.
Berdasarkan fakta di atas, dan mengingat pentingnya suatu badan arbitrase di suatu negara maka perlu segera dilakukan tindakan-tindakan agar BANI dapat efektif dalam menjalankan tugasnya. Dan tentunya keberadaan BANI ini akan ikut memperkaya sistem hukum peradilan di Indonesia."
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
POL 3 (1-2) 2012 (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Thasya Dwie Anandha
"Setiap warga negara pada hakikatnya adalah berhak untuk dapat mengetahui mengenai semua kegiatan atau kebijakan yang dilakukan oleh Pejabat Publik. Hak untuk memperoleh informasi publik ini sering ada permasalahan baik dari sisi regulasi maupun perilaku petugas PPID yang tidak mendukung. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik yang mengatur mengenai masalah Keterbukaan Informasi publik dalam pelaksanaannya seringkali bertolak belakang dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, dimana di dalam peraturan Menteri Agraria dimaksud diatur mengenai pembatasan-pembatasan dalam memberikan permohonan informasi data pertanahan yang seringkali tidak sejalan dengan pengaturan keterbukaan informasi publik yang diatur di dalam UU KIP. Sehingga masyarakat menjadi tidak serta merta bisa mendapatkan informasi data pertanahan yang pada akhirnya akan memunculkan gugatan dari masyarakat kepada Kementerian ATR/BPN di Komisi Informasi dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dari permasalahan tersebut, adanya upaya perlindungan hukum untuk masyarakat atas sebuah penolakan permohonan Informasi Publik pada Kementerian ATR/BPN. Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data primer dan data sekunder.

Every citizen in essence has the right to be able to know about all activities or policies carried out by Public Officials. The right to obtain public information is often problematic, both in terms of regulations and the behaviour of PPID officers who do not support it. Law Number 14 of 2008 concerning the Law on Public Information Disclosure which regulates the issue of Public Disclosure in its implementation often contradicts the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia concerning the Second Amendment to the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs/Head National Land Agency Number 3 of 1997, in which the Minister of Agrarian regulation referred to regulates restrictions on granting requests for information on land data which are often not in line with the provisions on public disclosure regulated in UU KIP. So that the public will not necessarily be able to obtain land data information which will eventually lead to a lawsuit from the public against the ATR/BPN Ministry at the Information Commission and the State Administrative Court. From these problems, there is an effort to protect the law for the community regarding a rejection of a request for Public Information at the Ministry of ATR/BPN. This research is a field research (field research). The type of data used in this research is the type of primary data and secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutagaol, Yuda
"Pasal 33 UUD 1945 secara tersirat menyebutkan bahwa ada 3 (tiga) bentuk pelaku ekonomi di Indonesia yaitu swasta, koperasi dan BUMN. Fungsi dari BUMN adalah sebagai kepanjangan tangan dari negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Di dalam perjalanan sejarahnya, BUMN telah mengalami banyak perubahan baik dan bentuk, nama, maupun landasan hukumnya. Meskipun telah mengalami banyak perubahan tetapi fungsi BUMN sebagai unit ekonomi, agen pembangunan, dan stabilisator ekonomi di Indonesia tidak berubah. Untuk melaksanakan fungsinya, BUMN diberikan berbagai kemudahan, hak monopoli dan proteksi tertentu sehingga swasta dan koperasi tidak bisa masuk berusaha. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa ternyata sampai saat ini BUMN belum dapat melakukan fungsinya baik sebagai unit ekonomi maupun pelayan publik. Seringkali disebutkan bahwa BUMN mengalami kerugian. Kendala yang seringkali menghambat BUMN untuk berfungsi secara ekonomi adalah Pemerintah sendiri. Selain itu, kualitas SDM yang buruk dan budaya korporasi yang cenderung KKN ternyata juga memberi andil terhadap kerugian BUMN. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, perlu adanya perubahan (reformasi) pengelolaan BUMN. Dengan dasar UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia Nomor : KEP-117IMBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara maka BUMN wajib untuk menerapkan good corporate governance. Good Corporate Governance sendiri merupakan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat, dan berkembang di dunia bisnis swasta. Namun, Pemerintah melihat bahwa prinsip GCG ini ternyata banyak memberikan manfaat terhadap pemulihan ekonomi sebagai akibat krisis ekonomi global pada tahun 1998 sehingga diharapkan dengan menerapkan GCG maka ada perubahan cara pengelolaan BUMN lebih baik sebagai unit ekonomi dan pelayan publik yang pada akhirnya memberikan manfaat kepada umum dan dapat memberikan pemasukan yang seimbang kepada Negara. BUMN bergerak di bidang-bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. Khususnya di bidang pertambangan adalah PT. (Persero) Aneka Tambang Tbk. Bagi Antam, pengelolaan perseroan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan perseroan, pemegang saham, dan stakeholders yang dimaksud di dalam KepMen No.117/2002 sudah dilakukan sejak tahun 1997 ketika Antam diprivatisasi. Penerapan GCG dilakukan dengan 5 (lima) tahap yang saling berkaitan yaitu : Penyadaran (awareness), Pengkajian (assestment), Penyempurnaan (improvement), Penyebarluasan (socialization) dan Pengungkapan (disclosure). Selain itu, Antam sudah membuat Paraturan Kebijakan Perusahaan, Management Policy, Standard Operational Procedur, dan Standar Etika perusahaan dalam kegiatan operasional, serta adanya pengawasan dan koordinasi yang baik dan tepat antara Direksi dan Komisaris sebagai alat untuk menegakkan GCG. Atas usahanya dalam menerapkan GCG, maka Antam sudah menerima beberapa penghargaan balk dari dalam negeri maupun luar negeri."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16611
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rika Yuristia Mardhiyah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pembedaan kewenangan lembaga
pemerintah non kementerian (LPNK) yang dibentuk Pemerintah atas perintah
undang-undang dengan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah
undang-undang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Dalam
penelitian ini akan didalami atas dasar apa LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak
atas perintah undang-undang tidak memiliki kewenangan untuk membentuk
peraturan perundang-undangan atas nama LPNK tersebut. Selanjutnya, bagaimana
kedudukan produk hukum yang ditetapkan oleh LPNK tersebut dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian
hukum yuridis normatif.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa pembedaan
kewenangan LPNK yang dibentuk Pemerintah atas perintah undang-undang
dengan kewenangan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah undangundang
dalam membentuk peraturan perundang-undangan adalah karena atribusi
kewenangan, sebagai dasar konstitusional yang bersifat formal, hanya dapat
dimiliki oleh badan, lembaga, atau komisi yang diberi kewenangan oleh UUD
1945 atau undang-undang. Dengan demikian, hanya LPNK yang dibentuk
berdasarkan perintah UUD 1945 atau undang-undang lah yang memiliki
kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan atas nama LPNK
tersebut. Sedangkan LPNK yang dibentuk Pemerintah tidak atas perintah undangundang
bukan merupakan lembaga yang berwenang untuk membentuk peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian, produk hukum yang dihasilkan bukan
merupakan jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011, melainkan merupakan peraturan
kebijakan (beleidsregel) yang mengikat umum secara tidak langsung. Untuk itu,
perlu dilakukan pencerahan kembali bagi kementerian dan LPNK mengenai
sistem perundang-undangan Indonesia yang membatasi badan-badan apa saja
yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan. Penelitian ini juga
menyarakankan agar UU Nomor 12 Tahun 2011 mengatur dengan tegas materi
muatan jenis peraturan perundang-undangan yang termasuk ke dalam Pasal 8 ayat
(1) agar tidak semua materi muatan pengaturan dituangkan dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dan diundangkan ke dalam Berita Negara
Republik Indonesia

ABSTRACT
This research aims to analyze about any difference of the non-ministerial
government institutions (LPNK) constructed by the government under command
of act with the non-ministerial government institutions under non-mandatory
decree by act to formulate legislation. Questions of this research are what is the
reasons of the under non-mandatory LPNK which has not the authority to make
regulations, and what is the status of the law products made by such LPNK in the
Indonesian legislation system? This research is a normative juridical law method
The results of this research show that reasons of differences between mandatory
LPNK and non-mandatory LPNK to formulate legislation are regard to the
problem of required attribution of authority as constitutional consideration for
making regulations is formally conferred by the Constitution of 1945 or an act to
any board, institution, or commission. This means that only the mandatory LPNK
has exclusively authorized to make legislation, while the non-mandatory LPNK
established by the government without order of the act is non-authorized
institutions. By this reason, the legal status of legislative products of the nonmandatory
LPNK are not kind of legislations referred to Article 8 paragraph 1 of
the Act Number 12 of 2011, but only should be deemed as any kind of policy rules
(beleidsregels), which has indirectly legally binding force. It is needed, therefore,
to support legal awareness activities for the ministries and LPNK with regard to
the doctrine of Indonesian legislative system concerning to what institutions can
be conferred the attribution of authority of making regulations. Result of this
research also recommend for the Act Number 12 of 2011 to describe in details
what the legal substance can be included according to the Article 8 paragraph 1,
in order to understand that not all legal substances can be drafted as regulations
and published in the State Bulletin of the Republic of Indonesia"
2016
T45624
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrawati
"Perpustakaan perguruan tinggi sebagai salah satu lembaga publik yang menyediakan informasi, memberi peluang untuk membuka hubungan komunikasi ilmiah. Komunikasi ilmiah adalah komunikasi yang berlangsung antar ilmuwan, yaitu pemberitahuan, pengalihan, penyebaran, maupun penyampaian informasi dalam bidang tertentu kepada ilmuwan lain dalam bentuk buku dan treastise. Komunikasi ilmiah dapat dibangun melalui komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka, dosen dengan mahasiswa, dan sesama pakar atau ilmuwan. Perpustakaan sebagai media komunikasi ilmiah di perguruan tinggi berlangsung melalui pencari informasi sebagai literatur, sitasi dan keterlibatan perpustakaan sebagai media pelestarian ilmu pengetahuan serta pustakawan sebagai intermedia antara sumber informasi dengan pemustaka. Proses komunikasi ilmiah ini terjadi pada pelayanan referensi, pelayanan sirkulasi, publikasi repositori institusi, diskusi ilmiah, jurnal ilmiah, laporan ilmiah dan lainnya yang dapat mendukung terjadi prosesnya transmisi atau pengembangan ilmu pengetahuan atau yang melahirkan ilmu pengetahuan baru. Dalam konteks ini, perpustakaan perguruan tinggi berfungsi sebagai media komunikasi ilmiah yaitu sebagai pusat learning common, pusat pembelajaran, pusat penelitian, pusat penyalinan buku, pusat publikasi (penerbitan) dan pusat penerjemahan. Eksistensi perpustakaan betul-betul mengajak pemustaka untuk memanfaatkan dan menggali informasi yang tersedia di perpustakaan."
Jakarta: Pusat Pengembangan Pustakawan Perpustakaan Nasional RI, 2017
021 MPMKAP 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gde Made Panji Diarsa
"[ABSTRAK
Dinas Kominfomas telah menetapkan target capaian tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan informasi publik selama periode 2013-2017. Namun, pencapaian selama tahun 2013-2014 tidak diketahui. Penelitian ini bertujuan merancang model evaluasi kualitas layanan informasi publik yang cocok diterapkan oleh Dinas Kominfomas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Tahapan penelitian meliputi tahap pengumpulan data, pengujian model, serta tahap analisis menggunakan pendekatan Confirmatory Factor Analysis dengan bantuan perangkat lunak SmartPLS. Penelitian ini menghasilkan model EPIS-Qual yang terdiri dari 10 dimensi dan 43 indikator yang dapat digunakan oleh Dinas Kominfomas untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap kualitas layanan informasi publik.

ABSTRACT
Kominfomas Office has set an achievement level of people's satisfaction of public information services quality during the period 2013-2017. However, the achievement during 2013-2014 is unknown. The purpose of this research is to design an evaluation model of public information services quality that suitable to be applied by the Kominfomas Office. This study uses qualitative and quantitative methods. The stages of research include data collection phase, testing the model, and analysis phase using Confirmatory Factor Analysis approach with the help of SmartPLS. This research resulted an EPIS-Qual model consisting of 10 dimensions and 43 indicators that can be used by Kominfomas Office to measure the level of people's satisfaction of public information services quality.;Kominfomas Office has set an achievement level of people's satisfaction of public information services quality during the period 2013-2017. However, the achievement during 2013-2014 is unknown. The purpose of this research is to design an evaluation model of public information services quality that suitable to be applied by the Kominfomas Office. This study uses qualitative and quantitative methods. The stages of research include data collection phase, testing the model, and analysis phase using Confirmatory Factor Analysis approach with the help of SmartPLS. This research resulted an EPIS-Qual model consisting of 10 dimensions and 43 indicators that can be used by Kominfomas Office to measure the level of people's satisfaction of public information services quality.;Kominfomas Office has set an achievement level of people's satisfaction of public information services quality during the period 2013-2017. However, the achievement during 2013-2014 is unknown. The purpose of this research is to design an evaluation model of public information services quality that suitable to be applied by the Kominfomas Office. This study uses qualitative and quantitative methods. The stages of research include data collection phase, testing the model, and analysis phase using Confirmatory Factor Analysis approach with the help of SmartPLS. This research resulted an EPIS-Qual model consisting of 10 dimensions and 43 indicators that can be used by Kominfomas Office to measure the level of people's satisfaction of public information services quality., Kominfomas Office has set an achievement level of people's satisfaction of public information services quality during the period 2013-2017. However, the achievement during 2013-2014 is unknown. The purpose of this research is to design an evaluation model of public information services quality that suitable to be applied by the Kominfomas Office. This study uses qualitative and quantitative methods. The stages of research include data collection phase, testing the model, and analysis phase using Confirmatory Factor Analysis approach with the help of SmartPLS. This research resulted an EPIS-Qual model consisting of 10 dimensions and 43 indicators that can be used by Kominfomas Office to measure the level of people's satisfaction of public information services quality.]"
2015
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>