Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 57 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Sadono S. Y.
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Efrizal
Abstrak :
Setelah dibentuknya UU. No. 40 Tabun 1999 tentang Pers, pemberlakuan delik pers menurut KUHP terhadap pers ternyata tidak lagi disepakati oleh sebagian kalangan terutama pers, karena dianggap bertentangan dengan asas lex specialis derogar lex generalis. Untuk menelusuri persepsi lex specialis terhadap UU Pers tersebut, permasalahan yang penulis ajukan tertuju pada tiga hal, yaitu berkaitan dengan pengkonstruksian delik-delik terhadap pers menurut UU Pers yang dihubungkan dengan asas legalitas dan asas lex specialis derogal lex generalis, kemudian sistim pertanggung jawaban pidana pers yang hams dibangun, dan terakhir mengenai pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim dalam menentukan hokum terhadap pers. Untuk rnenjawab ketiga permasalahan tersebut, penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan metode penelitian normatif yuridis. Sedangkan mengenai bahan ataupun data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder, berupa bahan hokum primer (peraturan perundang-undangan dan sebuah kasus pidana pers pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan), bahan hukum sekunder (literatur mengenai hukum pidana materiil dan hukum pers) dan bahan hukum tarsier (bibiliografi dan kamus). Untuk memperoleb data sekunder tersebut, alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dan studi dokumen (kasus). Dalam penyajian dan analisa data, hal itu dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya materi pembahasan yang dituangkan dalam penulisan ini akan dikonstruksikan kedalam suatu uraian analisa hukum. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, kesimpulan yang penulis peroleh terdiri atas tiga bagian. Pertama, konstruksi delik pets yang tercanturn dalam UU Pers ternyata tidak dimaksudkan untuk menghapuskan ataupun untuk menarik delik pers menurut KUHP kedalam UU Pers. Tetapi delik pers menurut UU Pers merupakan delik yang ditujukan pada perusahaan pets dan terbatas pada lima jenis delik pers. Sehingga delik pers menurut KUHP tetap berlaku bagi pers. Delik yang memang dapat dikatakan sebagai lex specialis terletak dalam gabungan pelanggaran norma, atau suatu pemberitaan pers itu baru dapat dituntut jika isinya secara keseluruhan melanggar norma agama, rasa kesusilaan dan asas praduga tidak bersalah. Kedua, sistim pertanggung jawaban pers merupakan bentuk pertanggung jawaban korporasi. Dalam pertanggung jawaban pidananya, korporasi akan diwakili oleh penanggung jawab bidang redaksi dan bidang usaha. Sedangkan untuk pertanggung jawaban personal, konstruksinya ditempuh berdasarkan asas penyertaan dalam KUHP. Ketiga, dalam menentukan hukum terhadap pers, ternyata UU Pers memang turut dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan hukum terhadap pers. Khususnya dalam hal norma delik dan pertanggung jawaban pers. Dalam putusannya, ternyata haldm tetap menerapkan delik pers menurut KUHP, karena unsur deliknya telah terpenuhi.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T19191
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Press freedom in Indonesia is not apart from its accountabilities for particular delicts as set forth in Press Act and Criminal Law currently revised in line with the development of era and Indonesian cultures. Accountability of the press for delicts including humiliation, slandering and pornography where such involved parties shall account for. Meanwhile legal aspects for such involved parties include editor, writer, publisher, printing agency and distributors, with more advantageous legal position compared to the ones of non-press delicts.
384 WACA 7:26 (2009)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Neneng Rahmadini
Abstrak :
Dalam melaksanakan profesinya, seorang wartawan perlu mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini karena kebebasan pers penting demi tegaknya negara hukum yang demokratis, bahwa press as a fourth estate. Mengingat sejarah Indonesia sebagai negara bekas jajahan dimana hukum yang digunakan masih merupakan warisan hukum kolonial Belanda yang memang ditujukan untuk meredam segala bentuk pergerakan perjuangan kemerdekaan kaum nasionalis, maka dianutlah kriminalisasi pers. Hal ini tetap terus dipertahankan setelah Indonesia merdeka, hanya rezim yang melakukannya berbeda. Pers terus berada dibawah cengkeraman kekuasan pemerintah yang mempertahankan status quonya. Kebebasan pers pun masih jauh dari kenyataan. Paradigma kebebasan pers di Indonesia baru mulai berubah seiring era Reformasi, dimana terbit UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dihapuskan aturan mengenai izin terbit pers atau SIUPP sehingga tidak mungkin ada lagi pers yang dibreidel. Khusus mengenai penyelesaian permasalahan berkaitan dengan pers, dalam UU tersebut diaturlah penggunaan Hak Jawab, Hak Koreksi, dan Mediasi melalui Dewan Pers. UU Pers ini mempunyai ketentuan pidana, walau disisi lain tak ditutup kemungkinan penggunaan pasal-pasal KUHP. Hal inilah yang kemudian menimbulkan persoalan, dimana ternyata dalam prakteknya kemudian banyak permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pers diselesaikan dengan jalur hukum pidana, tanpa menempuh jalur-jalur yang telah tersebut dalam UU Pers itu. Timbul perdebatan apakah UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut lex specialis atau tidak sehingga dapat/tidak digunakan mengecualikan pasal-pasal KUHP. Hal ini memicu resistensi kalangan pers yang kemudian memperjuangkan untuk diakuinya UU Pers sebagai lex specialis dan dipergunakannya jalur-jalur selain hukum pidana dalam menyelesaikan permasalahanpermasalahan berkaitan dengan pers. Dimana hukum pidana dalam perkara pers haruslah diletakkan sebagai ultimum remedium atau tuntutan yang lebih ekstrim lagi untuk mendekriminalisasi pasal-pasal KUHP terhadap pers. Hal ini selain mengikuti perkembangan dunia internasional yang telah lama menghindari penyelesaian permasalahan pers melalui jalur pidana, juga bahwa dalam konteks karya jurnalistik sebenarnya tidak ada suatu kebenaran mutlak. Selain itu bukankah kebebasan pers sebagai bagian dari kebebasan berbicara, mengemukakan pendapat dan berekspresi seharusnya dilindungi oleh negara? Disinilah kemudian timbul pertanyaan besar, apakah perjuangan masyarakat pers tersebut memang mungkin untuk dilakukan? Bagaimana hal tersebut bila dikaji dari sudut pandang akademis? Hal-hal itulah yang coba dijawab dalam tesis ini.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15569
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Permana Amri
Abstrak :
Hak dari pers untuk menyatakan pendapatnya secara bebas namun hal itu harus dihubungkan dengan hak publik untuk mendapat pelayanan dengan menerima suatu pemberitaan yang fair dan benar, agar publik dapat mengadakan suatu penilaian yang sehat tentang persoalan-persoalan umum yang dihadapi. Di pihak lain, kebebasan pers menimbulkan persoalan krusial tentang sejauh mana dapat diterimanya pembatasan (restriksi) terhadap kebebasan pers menjadi suatu pertentangan antara prinsip kebebasan pers dengan prinsip persamaan didepan hukum serta prinsip negara demokrasi yang berdasarkan hukum, apakah akan dianut kebebasan pers secara murni ataukah pers yang akan tetap berada dalam batasan positif. Indikasinya banyak kasus yang bermunculan dan diajukan ke tingkat peradilan formal yang pada intinya berhadapan dengan insan pers terkait dengan kasus-kasus penghinaan. Delik penghinaan adalah delik aduan, oleh karena itu pada umumnya hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dan orang yang merasa dirugikan, dalam penegakan hukum kasus penghinaan melalui pemberitaan media massa, seringkali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sedangkan di sisi lain, masih terdapat cara yang dapat ditempuh selain menggunakan KUHP, yaitu dengan menggunakan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang didalamnya mengatur mengenai penegakkan hukum atas kasus penghinaan di media massa dengan cara memberikan hak jawab, hak koreksi dan mediasi melalui dewan pers. pengaduan ke dewan pers dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda pertama ini menunjukkan peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah pemberitaan media dan penegakan kode etik jurnalistik dengan menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam UU pers dan kode etik jurnalistik. Dengan kata lain dapat dilihat sebagai peningkatan kesadaran berbagai pihak untuk menyelesaikan sengketa pemberitaan melalui dewan pers, dan bukan melalui jalur hukum pidana atau hukum perdata. Kedua, banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan bahwa ada banyak masalah dengan jurnalisme kita, ada banyak masalah dalam proses penegakkan kode etik jurnalistik. Dengan indikator banyaknya pengaduan ke dewan pers menunjukkan banyaknya pelanggaran yang dilakukan media dan banyaknya pihak yang merasa dirugikan olehnya. ......The presses serve the right to express their opinions freely, but it must be connected with the public's right to services to receive fair and true reports, so that the public may hold a sound judgment on issues commonly encountered. On the other hand, freedom of the press raises crucial issues about the extent to which restrictions on freedom of the press is acceptable become conflict between the principle of press freedom and the principle of equality before the law and the principles of a democratic state based on the law, whether pure freedom of the press or press which will remain in positive limits will be adopted. The indications are many cases that have sprung up and been brought to the level of formal trial and essentially they are dealing with the press in defamation (libel) cases. Offense of defamation is a crime by complaint; therefore, in general, it can only be prosecuted if there is a complaint and person who felt aggrieved. Defamation cases through mass media are often enforced using the Criminal Code as the legal basis for settling the cases. While on the other hand, there are ways that can be taken in addition to using the Criminal Code, namely by using the Law No. 40 of 1999 regarding the Press, which also regulates the law enforcement on defamation through mass media by providing the right to reply, the right to correct and mediation through the press council. The complaint to the press council can be seen from two different sides. First, it shows increased awareness of various parties to resolve the problems of media publication and enforcement of journalistic ethics by using the mechanisms as provided in the Law regarding the press and journalistic ethics. In the other words, it can be seen as increased awareness of various parties to resolve publication disputes through the press council, and not through the criminal law or the civil law. Second, many complaints to the press council shows that there are many problems with our journalism; there are many problems in the process of enforcement of journalistic ethics. Many complaints to the press council indicated that there many offenses committed by mass media and there are many parties who feel aggrieved by them.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Hardiyudanto
Abstrak :
Tesis ini menggambarkan tentang Pemberitaan pers dalam sebuah kasus konflik dapat berdampak kondusif maupun destruktif. Berdampak kondusif apabila pemberitaan yang dihasilkan secara objektif mampu memberikan rasa damai terkait dengan situasi yang ada. Sedangkan bersifat destruktif apabila pemberitaannya malah dapat memicu atau memperbesar sebuah konflik. Untuk pemberitaan yang dianggap bersifat destruktif, insan pers dapat dikenakan pertanggungjawaban atau dijerat dengan tindak pidana pers (delik pers), baik mengacu pada pasal-pasal KUHP dan UU No. 40 tahun 1999 tentang pers yang saling melengkapi. Delik pers yang dapat digunakan terkait dengan pemberitaan kasus konflik adalah delik penabur kebencian, delik agama, dan delik berita bohong. Selain itu, dalam kedua perundang-undangan tersebut diatur juga pihakpihak yang bertanggung jawab atas sebuah pemberitaan pers serta sanksi atau hukuman pidana yang diterima. Perbedaan di antara kedua perundang-undangan tersebut adalah dalam melihat pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas sebuah pemberitaan pers. apabila KUHP mengatur bahwa setiap insan pers (setiap individu) dapat dikenakan pertanggungjawaban, maka dalam UU No. 40 tahun 1999 hanya pemimpin redaksi yang dapat dikenakan pertanggungjawaban. Dalam penerapannya, ketiga delik pers tersebut dapat digunakan untuk menjerat insan pers dalam beberapa contoh pemberitaan, khususnya terkait dengan kasus konflik di Ambon dan Sampit.
Abstract
The thesis describes a Press Release in a conflict case which may have conducive and destructive impacts. It will have conducive impacts if the news is produced objectively and may result in peaceful feeling related to the existing situation. On the other hand, it will be destructive if the news can even trigger or magnify a conflict. For the news considered as destructive, the members of the press may be charged to be accountable or indicted with press criminal acts (press offense), referring to the articles of Penal Code and the Law No. 40 of the year 1999 on Press (those two laws mutually complement each other). The press offenses which may be used related to the press release of a conflict case are the hatred spread offense, religion offense, and untrue news offense. In addition, in the two laws the parties accountable for a press release and the sanction or criminal punishment sentenced are governed. The difference between those 2 laws is in looking at the parties who should be responsible for a press release. The Penal Code governs that every member of the press (each individual) may be charged accountable, whereas in the Law No. 40 of the year 1999 only the head of the editorial staff can be charged accountable. In its implementation, the three press offenses can be used to indict the members of the press in several examples of a press release, especially related to the conflict cases in Ambon and Sampit.
Universitas Indonesia, 2011
T29298
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1985
S21603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Petrus Yohane Wasa
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20715
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ny. Sundusin Soewarso
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1984
S25150
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>