Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Didan Tarmansyah
"Nyeri pasca pembedahan masih menjadi masalah utama diseluruh dunia, nyeri ini menimbulkan ketidaknyamanan pasien, memperlambat penyembuhan, memperpanjang waktu perawatan dan menimbulkan komplikasi lainnya. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang nyeri dan penatalaksanaanya terhadap sikap perawat dalam menurunkan nyeri pada pasien pasca pembedahan di ruang perawatan RSUP Perasahabatan. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analitik Korelatif dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel yang diambil 102 orang dengan Simple Random Sampling.
Analisis pada penelitian ini menggunakan analisis Spearman. Hasil penelitian ini Terdapat Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Perawat tentang Nyeri dan Penatalaksanaaanya terhadap Sikap Perawat dalam Menurunkan Nyeri pada Pasien Pasca Pembedahan di RSUP Persahabatan Jakarta dengan nilai P=0,003 ?=0,05. Disarankan perawat untuk tetap meningkatkan pengetahuan dan sikapnya dalam penatalaksanaan nyeri pada pasien pasca pembedahan sehingga dapat menjaga kualitas pelayanan keperawatan di Rumah Sakit.

Pain post operative is still recognized as a main problem in the world. The pain generally leads to a state of discomfort feeling, delay healing, prolonge length of stay. This study examined the correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan. The design of this study using correlational descriptive with cross sectional approach. This participants of this study consisted of 102 nurses with simple random sampling method.
The result of Spearman analysis indicates that there is a correlation between nurses knowledge regarding pain and its management towards nurses attitude to reduce pain in patients post operative in ward RSUP Persahabatan Jakarta, with p value 0,003 0,05. Recomendation for nurses is to keep improving knowledge and atttude regarding pain and its management towards patients post operative in order to improve the quality of health care service in hospital.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68861
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afiif Ahmidati
"Guided imagery sebagai intervensi komplementer untuk mengurangi nyeri diharapkan dapat meningkatkan kenyamanan dan mengurangi kinesiofobia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi efektivitas guided imagery terhadap nyeri, kenyamanan, dan kinesiofobia pada pasien fraktur ekstremitas bawah pasca pembedahan. Desain penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan pre-test dan post-test. Sampel dipilih dengan metode consecutive sampling berjumlah 60 responden, terdiri dari 30 untuk kelompok kontrol dan 30 untuk kelompok intervensi. Kriteria inklusi penelitian ini adalah mengalami fraktur ekstremitas bawah dan telah menjalani pembedahan pada hari pertama, mendapatkan ketorolak, berusia lebih dari 18 tahun, mampu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tanda vital dalam rentang stabil, sadar penuh, dan bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini adalah ada gangguan pendengaran, multiple fracture, dirawat di ICU, mengalami diabetes mellitus dan neuropati perifer. Kelompok kontrol diberi analgetik, sedangkan kelompok intervensi diberi analgetik dan guided imagery selama 3 hari dengan durasi selama 20 menit. Pengukuran hasil dilakukan sebelum intervensi dan 3 hari setelah intervensi menggunakan Visual Analog Scale (VAS), Shortened General Comfort Questionnaire (SGCQ), dan TAMPA Scale for Kinesiophobia (TSK). Penelitian ini diikuti oleh responden laki-laki (61,7%), berpendidikan SMA (45,0%), memiliki riwayat nyeri pembedahan sebelumnya (68,3 %), dan mengalami fraktur femur (46,7 %). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna selisih rerata skala nyeri, skor kenyamanan, dan skor kinesiofobia sebelum dan setelah intervensi antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (p < 0,05; α 0,05). Selisih rerata skala nyeri, skor kenyamanan, dan kinesiofobia sebelum dan setelah intervensi pada kelompok intervensi lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol. Disimpulkan, guided imagery dapat menurunkan skala nyeri dan skor kinesiofobia, serta meningkatkan skor kenyamanan, sehingga perawat dapat mengimplementasikan guided imagery pada pasien fraktur ekstremitas bawah pasca pembedahan.

Guided imagery as a complementary intervention can reduce post-operative pain, increase comfort, and reduce kinesiophobia. The purpose of this study is to identify the effectiveness of guided imagery on pain, comfort, and kinesiophobia in post-operative lower extremity fracture patients. The research design used was quasi-experiment with pre-test and post-test. Samples were selected by consecutive sampling method totaling 60 respondents, consisting of 30 for control groups and 30 for intervention groups. The inclusion criteria were having a lower extremity fracture and had undergone surgery on the first day, received ketorolac, were more than 18 years old, able to communicate in Indonesian, vital signs in the stable range, fully conscious, and willing to participate in the study. The exclusion criteria for this study were hearing loss, multiple fractures, being treated in the ICU, had diabetes mellitus and peripheral neuropathy. The control group was given analgesics, while the intervention group was given analgesics and guided imagery for 3 days with a duration of 20 minutes. Outcome measurements were taken before the intervention and 3 days after the intervention using Visual Analog Scale (VAS), Shortened General Comfort Questionnaire (SGCQ), and TAMPA Scale for Kinesiophobia (TSK). This study was attended by male respondents (61.7%), high school education (45.0%), had a history of previous post-operative pain (68.3%), and had femur fracture (46.7%). The results of this study showed a significant difference in the mean difference in pain scale, comfort score, and kinesiophobia score before and after the intervention between the control group and the intervention group (p < 0.05; α 0.05). The mean difference in pain scale, comfort score, and kinesiophobia before and after treatment in the intervention group was greater than that in the control group. It was concluded that guided imagery can reduce pain scales and kinesiophobia scores, and increase comfort scores, so nurses can implement guided imagery in post-operative lower extremity fracture patients."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Ardhi Syaiful
"ABSTRAK
Objektif: Pembedahan merupakan tatalaksana paliatif utama dari kanker periampular stadium lanjut, namun hal tersebut memiliki angka komplikasi postoperatif, rekurensi penyakit, dan mortalitas yang tinggi. Objektif dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor prognostik dan sintasan penyakit selama 1 tahun dari kanker periampular stadium lanjut pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan uji analisis sintas dengan desain kohort retrospektif. Data dikumpulkan dari pendaftaran per bulan dari Divisi Bedah Digestif dan rekam medis dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari Januari 2015 hingga Desember 2017. Sintasan penyakit satu tahun dianalisis dengan metode Kaplan-Meier. Dilakukan analisis bivariat dan multivariat dari masing-masing variabel pada sintasan satu tahun pasien. Hasil: Sintasan penyakit selama 1 tahun dari pasien post-double bypass yaitu 19% dengan median (minimal-maksimal) sintasan yaitu 159 (2-365) hari. Berdasarkan perbandingan antarkelompok sintasan pasien, hemoglobin (p=0,013) dan klasifikasi ASA (p=0,001) memiliki estimasi sintasan yang bermakna secara statistik. Pada analisis multivariat, jenis kelamin (p=0,250, HR=3,910) dan nilai laboratorium preoperatif (albumin (p=0,350, HR=0,400), aspartat aminotransferase (AST) (p=0,13, HR=5,110) dan alanin aminotransferase (ALT) (p=0,280, HR=0,05)) berhubungan dengan sintasan. Kesimpulan: Sintasan selama 1 tahun pada pasien post-double bypass pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo rendah. Laju mortalitas satu bulan yang rendah mengindikasikan bahwa double bypass merupakan prosedur yang aman. Faktor prognostik yang berhubungan dengan sintasan yang rendah yaitu jenis kelamin perempuan dan nilai laboratorium preoperatif (albumin, AST, ALT).

ABSTRACT
Objective: Surgery is the main palliative treatment of advanced periampullary cancer, however it has high number of post-operative complication, disease recurrence and mortality. The objective of the current study was to examine prognostic factors and one year survival rate of advanced stage periampullary cancer in Cipto Mangunkusumo Hospital. Methods: This is a survival analysis test study with retrospective cohort design. Data were collected from monthly registration of Digestive Surgery Division and medical records from Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2015 until December 2017. One year survival rate were analyzed with Kaplan-Meier method. Bivariate and multivariate analysis of each variable on one year survival of the patient were done. Result: One year survival rate of the post-double bypass patients is 19% with median (min-max) survival 159 (2-365) days. From the comparison of survival rate based patients grouping, hemoglobin (p=0.013) and ASA classification (p=0.001) have significant survival estimation statistically. In multivariate analysis, gender (p=0.250, HR=3.910) and preoperative laboratory values (albumin (p=0.350, HR=0.400), aspartate aminotransferase (AST) (p=0.13, HR=5.110) and alanine aminotransferase (ALT) (p=0.280, HR=0.05)) are associated with survival rate. Conclusion: One year survival rate of post double bypass patients in Cipto Mangunkusumo hospital is low. Low one month mortality rate indicates double bypass is a safe procedure. Prognostic factors that associated with lower survival are woman gender and preoperative laboratory value (albumin, AST, ALT)."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Matulessy, Theo Adelberth
"ABSTRAK
Latar belakang: Postoperative Cognitive dysfunction (POCD) adalah gangguan
fungsi kognitif dan komplikasi yang sering ditemukan pada pasien usia lanjut pasca
menjalani anestesia umum. Selain faktor usia, pembedahan mayor, penyakit
penyerta dan riwayat konsumi obat-obatan tertentu, salah satu faktor dalam
peningkatan kejadian POCD adalah tingkat pendidikan pasien. Penelitian tentang
tingkat pendidikan dengan angka insiden POCD masih menunjukkan hasil yang
berbeda-beda. Kondisi demografis Indonesia mengalami peningkatan populasi
lanjut usia disertai tingkat pendidikan yang masih rendah sehingga penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan terhadap angka kejadian
POCD pada populasi usia lanjut.
Metode. Penelitian ini merupakan uji potong lintang terhadap pasien lanjut usia ( lebih dari
60 tahun) yang menjalani pembiusan umum di RSCM pada bulan Februari sampai
Desember 2018. Sebanyak 84 subyek diambil setelah memenuhi kriteria inklusi.
Skor kognitif dinilai menggunakan Trail making test B dan Digit Span Backward.
Analisis data menggunakan uji bivariat dengan Chi-Square dan analisis multivariat
regresi logistik.
Hasil. Jumlah subjek yang dianalisis pada penelitian ini 80 subjek dengan 9
(11.8%) pasien dengan pendidikan rendah, 41 (52.6%) pasien dengan pendidikan
menengah dan 30 (35.6%) pasien dengan pendidikan tinggi. Angka kejadian POCD
sebesar 20 (25%) dengan tingkat pendidikan rendah sebanyak 2 (22.2%), tingkat
pendidikan menengah sebanyak 11 (26.8%) dan tingkat pendidikan tinggi sebanyak
7 (23.3%). Pengaruh tingkat pendidikan terhadap angka kejadian POCD tidak
bermakna dengan p 0.921 dan memiliki OR sebesar 1.124. Pada penelitian ini usia
tidak bermakna menyebabkan POCD (p=0.064), jenis kelamin tidak bermakna
menyebabkan POCD (p=0.242), dan riwayat operasi tidak bermakna menyebabkan
POCD (p=0.196).
Simpulan. Tingkat pendidikan tidak mempengaruhi angka kejadian POCD pada
pasien lanjut usia yang menjalani anestesia umum.

ABSTRACT
Background: Cognitive impairment after anesthesia and surgery, also known as
Postoperative Cognitive dysfunction (POCD) are most commonly found amongst
the elderly population. Factors that elevate the risk of POCD include old age, major
surgery, pre-existing comorbidities and consumption of certain drugs. Another
factor known to increase the incidence of POCD is low education level.
However,study about education level and the incidence of POCD still have different
results. As Indonesias elderly population and low level education dominance are
expected to increase, this study aims to evaluate the association of educational level
and the incidence of POCD amongst the elderly population after general anesthesia.
Method: This study is a cross-sectional study involving elderly patients ( 60
years) who underwent general anesthesia at RSCM during February to December
2018. A total of 84 subjects were selected after fulfilling the inclusion criteria.
Cognitive score was assessed using Trail making test B and Digit Span Backward,
while psychometric test was carried out by a validated psychologist. Data were
analyzed using bivariate analysis test with Chi-Square and multivariate analysis
with logistic regretion.
Results: Demographic studies grouped 9 (11.8%) patients with low education, 41
(52.6%) patients with secondary education and 30 (35.6%) patients with higher
education. The incidence of POCD was 25% and incidence od POCD in group with
low level of education was 2 (22.2%), average level of education and POCD was
11 (26.8%) and the higher level of education and POCD were 7 (23.3%). This study
found no significant association between education level and the incidence of
POCD (p=0.921), with an odds ratio of 1.124. Furthermore, this study found that
no significant association between age with the incidence of POCD (p=0.064) nor
does gender and incidence of POCD (p=0.242), and history of surgery with
incidence of POCD (p=0.196
Conclusion: Education level do not affect the incidence of POCD in elderly
patients undergoing general anesthesia."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Berri Primayana
"Latar Belakang : Kejadian AKI Acute Kidney Injury pascabedah akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan kriteria AKIN. Kondisi dan manajemen perioperatif sangat mempengaruhi kekerapan AKI pascabedah.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang dirawat di ICU pascabedah elektif antara Januari 2014 hingga Desember 2015. Seratus satu pasien diikutkan dalam penelitian dari total 1739 data pasien yang didapatkan. Diagnosis AKI ditegakkan dengan keriteria AKIN. Data diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji Chi Square dan Independent T test.
Hasil : Analisis dilakukan pada 101 pasien dari 1739 populasi terjangkau. Insiden AKI didapatkan sebesar 44,6 . Diagnosis AKI ditegakkan dengan penurunan jumlah urin sesuai dengan Stage 1 AKI berdasarkan AKIN. Rata-rata usia AKI didapatkan sebesar 50,44 13,7 tahun p=0,304 . Analisis berdasarkan masing-masing variabel didapatkan kekerapan AKI pada diabetes melitus sebesar 50 p=0,633 , penyakit jantung sebesar 40,7 p=0,641 , hipertensi sebesar 46,9 p=0,749 , dan operasi intraabdomen sebesar 61,9 p=0,072 .
Kesimpulan : Dari variabel yang diteliti tidak ada hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.

Background Postoperative Acute Kidney Injury AKI will increase the risk of patient rsquo s morbidity, mortality and or prolonged the hospital stay. In this study, the diagnosis of AKI was made based on The Acute Kidney Injury Network AKIN criteria. Perioperative patient condition and management influenced the incidence of postoperative AKI.
Aim To determine the relationship between preoperative patient rsquo s comorbidities and surgical procedure with the incidence of postoperative AKI in patients who were admitted in ICU RSCM immediately after surgery.
Methods A retrospective cohort study using consecutive patients who underwent elective surgery with postoperative ICU admission from January 2014 to December 2015. A total of 1739 patients were collected from medical record, and 101 patients were included for the study. The included patients were segregated using AKIN diagnosis criteria and the relationship variables were analyzed using Chi Square test and Independent T test.
Results The incidence of AKI in this study were 44.6 , in which all of them were diagnosed as AKI Stage I, based on decrease in urine output as stipulated by AKIN criteria. The average age was 50.44 13.7 years old p 0.304 . The incidence of AKI in patients with diabetes mellitus was 50 p 0.633 , heart disease 40.7 p 0.641 , hypertension 46.9 p 0.749 , and intra abdominal surgery 61.9 p 0.072 .
Conclusion There were no relationship between patient rsquo s preoperative comorbidities and surgical procedure with the incidence of AKI postoperatively in patients admitted in ICU RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diantika Narinastiti
"ABSTRAK
Pendahuluan: Pasien pascaoperasi berisiko mengalami perubahan suhu tubuh. Upaya tubuh untuk mengembalikan suhu tubuh ke dalam rentang normal akan meningkatkan kebutuhan tubuh akan oksigen. Pada pasien kritis, kadar laktat >2 mmol/L merupakan prediktor morbiditas dan mortalitas. Kadar laktat dapat meningkat ketika terdapat gangguan perfusi jaringan. Hipoperfusi jaringan dapat terjadi karena hipotermia. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesisnya yaitu adanya hubungan antara suhu tubuh dengan kadar laktat pada pasien dewasa pascaoperasi. Metode: Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan desain potong lintang. Data diperoleh dari 194 rekam medis pasien pascaoperasi di ICU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Data yang dianalisa adalah suhu tubuh dan kadar laktat saat pasien masuk ICU. Uji yang dilakukan adalah uji korelasi Spearman menggunakan perangkat lunak SPSS versi 20. Hasil: Dari 194 pasien dewasa pascaoperasi di ICU Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, didapatkan rerata suhu tubuh 36.3°C dan rerata kadar laktat adalah 1,7 mmol/L. Korelasi antara suhu tubuh dan kadar laktat dianalisis dengan uji korelasi Spearman dan menghasilkan korelasi positif lemah yang bermakna secara statistik dengan nilai r=0,2 (p=0,005). Kesimpulan: Terdapat hubungan berupa korelasi positif antara suhu tubuh dengan kadar laktat pasien dewasa pascaoperasi di ICU.

ABSTRACT
Introduction: Postoperative patients are at risk of experiencing changes in body temperature. The bodys effort to restore body temperature to its normal range will increase the bodys need for oxygen. In critical patients, lactate levels >2 mmol/L is a predictor of morbidity and mortality. Lactate levels might increase when there is tissue perfusion impairment. Tissue hypoperfusion can occur due to hypothermia. Based on that, this study was conducted to prove its hypothesis that there is a relationship between body temperature and lactate levels in postoperative adult patients. Method: This study is an observational analytic study with a cross-sectional design. Data was collected from 194 medical records of postoperative patients in the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. The analyzed data was body temperature and lactate level at the time patients moved into ICU. The applied test was Spearman correlation test using SPSS version 20 software. Results: Obtained from 194 postoperative adult patients in the ICU of Cipto Mangunkusumo Hospital, the average body temperature was 36.3°C and the average lactate level was 1,7 mmol/L. Correlations between body temperature and lactate levels were analyzed by the Spearman correlation test and resulted in a statistically significant positive weak correlation with a value of r=0,2 (p=0,005). Conclusion: There is a relationship in the form of a weak positive correlation between body temperature with lactate level of postoperative adult patients in ICU."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Samardiyah
"Penyakit kongenital atau kelainan bawaan pada anak dan neonatus merupakan urutan kelima penyebab kematian di dunia pada anak dan neonatus. Pada tahun 2015 ada sekitar 303 ribu bayi baru lahir meninggal dunia dalam waktu 4 minggu setelah kelahiran setiap tahun, di seluruh dunia karena kelainan bawaan. Polusi udara serta ketidakadekuatan nutrisi pada masa kehamilan menjadi salah satu penyebab terjadinya kelainan bawaan. Tatalaksana pada kelainan bawaan salah satunya adalah dengan prosedur pembedahan. Jenis pembedahan yang sering dilakukan pada anak adalah pembedahan gastrointestinal. Pembedahan memiliki banyak risiko, diantaranya mual muntah pasca bedah. Mual muntah pasca bedah pada anak merupakan masalah yang dapat menimbulkan kecemasan pada orang tua serta dapat mengakibatkan dehidrasi dan lamanya masa pemulihan. Terapi musik merupakan salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi mual muntah pasca bedah pada anak. Terapi musik efektif dapat menurunkan mual muntah dan kebutuhsn terhadap antiemetik pada anak pasca bedah. Hasil pemberian terapi musik pada pasien anak pasca bedah berupa penurunan terhadap keluhan mual muntah dan peningkatan perasaan rileks pada anak. Oleh karena itu penanganan mual muntah pasca bedah pada anak perlu disertai dengan pemberian terapi musik sebagai terapi non farmakologis sebagai teknik distraksi dari ketidaknyaman fisik akibat mual muntah.

Congenital disease or congenital abnormalities in children and neonates is the fifth cause of death in the world in children and neonates. In 2015 there were around 303,000 newborns died within 4 weeks of birth each year, worldwide due to congenital abnormalities. Air pollution and nutrient insufficiency during pregnancy are among the causes of congenital abnormalities. Management of congenital abnormalities is one of them is a surgical procedure. The type of surgery that is often done in children is gastrointestinal surgery. Surgery has many risks, including postoperative nausea and vomiting. Postoperative vomiting in children is a problem that can cause anxiety in the elderly and can lead to dehydration and the length of the recovery period. Music therapy is one of the actions that can be done to overcome postoperative nausea and vomiting in children. Effective music therapy can reduce vomiting nausea and the need for antiementics in postoperative children. The results of the provision of music therapy in postoperative pediatric patients in the form of a decrease in complaints of nausea vomiting and increased feelings of relaxation in children. Therefore handling postoperative vomiting in children needs to be accompanied by the provision of music therapy as non-pharmacological therapy as a distraction technique from physical discomfort due to nausea and vomiting.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andana Haris R
"Pendahuluan. Pemberian cairan karbohidrat oral prabedah dan mengurangi durasi puasa merupakan salah satu komponen dari enhanced recovery after surgery (ERAS). Namun, data penelitian mengenai pemberian cairan karbohidrat oral prabedah pada populasi anak masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efek pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral dan air putih 1 jam prainduksi terhadap kadar glukosa darah pada anak yang menjalani pembedahan abdomen bagian bawah.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang mengikutsertakan 44 pasien anak yang menjalani pembedahan abdomen bagian bawah. Sampel dilakukan pengelompokan dengan metode randomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah anak yang diberikan cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah. Kelompok kedua adalah anak yang diberikan cairan air putih prabedah. Kedua kelompok dilakukan tiga kali pemeriksaan glukosa darah, yaitu pascainduksi, akhir pembedahan, dan hari I pascabedah, serta elektrolit darah saat pascainduksi. Kedua kelompok dilakukan uji hipotesis untuk melihat perbedaan rerata kadar glukosa darah dan general linear model (repeated measure) untuk melihat tren perubahan kadar glukosa darah selama perioperatif. Selain itu, kedua kelompok dilakukan uji hipotesis untuk melihat perbedaan kadar elektrolit darah pascainduksi sebagai luaran tambahan.
Hasil. Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah yang bermakna antara kelompok anak dengan pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral 1 jam prainduksi dan kelompok anak dengan pemberian air putih oral 1 jam prainduksi saat pascainduksi, akhir pembedahan, dan hari I pascabedah (nilai p >0,05). Tidak terdapat perbedaan kadar elektrolit yang bermakna antara kelompok anak dengan pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral 1 jam prainduksi dan kelompok anak dengan pemberian air putih oral 1 jam prainduksi saat pascainduksi (nilai p >0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna antara volume pemberian cairan pada kelompok pemberian karbohidrat elektrolit oral (median 300 mL, IQR 150 mL) dan air putih (median 200 mL, IQR 200 mL) (nilai p <0,05). Tidak ditemukan kejadian regurgitasi dan aspirasi pneumonia pada kedua kelompok saat induksi anestesia.
Kesimpulan. Tidak terdapat perbedaan kadar glukosa darah perioperatif yang bermakna antara kelompok anak dengan pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral 1 jam prainduksi dan kelompok anak dengan pemberian air putih oral 1 jam prainduksi.

Introduction. Preoperative oral carbohydrate electrolyte administration and reducing of clear fluid fasting duration are components of enhanced recovery after surgery (ERAS). However, studies related to preoperative oral carbohydrate electrolyte administration in pediatric elective surgery patients are still limited. This study aimed to evaluate the effects of 1 hour preoperative oral carbohydrate electrolyte fluids on blood glucose in pediatric lower abdominal surgery.
Methods. Fourty four patients were randomly allocated to either carbohydrate electrolyte fluids (intervention group) or water fluids (control group). Blood glucose of both groups were analysed at three time points; postinduction, end of surgery, and postoperative day 1. Electrolytes of both groups were also analysed at postinduction. The results were analysed to evaluate mean differences of blood glucose and general linear model to evaluate the trend of blood glucose consecutively as primary outcome, and electrolytes as secondary outcome.
Results. There are no significant differences on blood glucose levels between group with 1 hour preoperative oral carbohydrate electrolyte fluids and 1 hour preoperative oral water fluids postinduction, end of surgery, and day I postsurgery (p value >0,05). There are no significant differences on electrolyte levels between group with 1 hour preoperative oral carbohydrate electrolyte fluids and 1 hour preoperative oral water fluids postinduction (p value >0,05). There are significant differences on preoperative volume fluids between group with carbohydrate electrolyte fluids (median 300 mL, IQR 150 mL) and water fluids (median 200 mL, IQR 200 mL) (p value <0,05). There are no regurgitation and pneumonia aspiration events on both groups.
Conclusion. There are no significant differences on perioperative blood glucose levels between group with 1 hour preoperative oral carbohydrate electrolyte fluids and 1 hour preoperative oral water fluids.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>