Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiradharma Sampurna Putra
Abstrak :
Perjanjian Perkawinan yang dibuat sebelum dan pada saat perkawinan berlangsung seharusnya didasarkan pada kesepakatan dan kesesuaian para pihak. Serta harus mengacu pada regulasi dan peraturan perundang-undangan sebagai dasar menyusun isi Perjanjian Perkawinan tersebut. Namun pada kenyataannya Perjanjian Perkawinan Postn uptial Agreement dan Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama dibuat 1 (satu) hari sebelum gugatan perceraian dilayangkan oleh Nyonya YTS kepada mantan suaminya yaitu Tuan ST yang mengakibatkan pembatalan Akta perjanjian perkawinan Postnuptial Agreement dan Akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama seperti yang ditemukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat 636/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Brt. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melaku studi dokumen yang selanjutnya di analisis. Dapat dikemukakan 2 (dua) hasil analisis dalam penelitian ini yaitu: Pertama, Perjanjian Perkawinan Postnuptial Agreement yang dibuat antara Nyonya YTS dan Tuan ST tidak berlaku surut dan tetap sah, namun tidak memiliki implikasi apapun, karena setelah dibuatnya Postnutptial tersebut tidak terdapat harta lagi yang diperoleh. Sedangkan Akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama batal demi hukum, karena harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi kewenangan terikat bersama antara suami dan istri, serta perjanjian obligatoir (akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama) tidak dapat meghapuskan hak kebendaan dari seorang subyek hukum. Kedua, persangkaan hakim memang diakui sebagai suatu alat bukti yang diatur dalam Pasal 164 HIR (Herzien Inlandsch Reglement), namun persangkaan hakim tersebut hanya menitikberatkan tenggat waktu dibuatnya Perjanjian Perkawinan dan Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama yang hanya berjarak 1 (satu) hari dari Nyonya YTS mendaftarkan gugatan perceraiannya. Sehingga terhadap putusan pengadilan tersebut terdapat ketidakakuratan majelis hakim dalam memberikan pertimbangannya, seharusnya yang menjadi pertimbangan majelis hakim adalah harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi kewenangan terikat bersama suami dan istri dan baru akan berakhir setelah putusnya perceraian, serta perjanjian obligatoir (akta Pernyataan Pelepasan Hak atas Harta Bersama) tidak dapat meghapuskan hak kebendaan dari seorang subyek hukum. ......Marriage agreement, made before and during the marriage should be based on the agreement and consent of the parties involved. It should also refer to the regulations and legal provisions as the basis for drafting the contents of the prenuptial agreement. However, in reality, the Postnuptial Agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property were made 1 (one) day before Mrs. YTS filed for divorce against her former husband, Mr. ST, resulting in the cancellation of the Postnuptial Agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property as found in the Decision of the West Jakarta District Court 636/Pdt.G/2021/PN.Jkt.Brt. This legal research was conducted by collecting primary, secondary, and tertiary legal materials and studying documents for further analysis. Two (2) results of the analysis in this research can be presented: First, the Postnuptial Agreement made between Mrs. YTS and Mr. ST is not retroactively valid and remains valid, but it has no implications because there were no more assets acquired after the Postnuptial Agreement was made. Meanwhile, the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property is null and void because the joint assets acquired during the marriage are the joint responsibility of the husband and wife, and an obligatory agreement (the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property) cannot extinguish property rights of a legal subject. Second, the presumption of the judge is indeed recognized as a means of evidence regulated in Article 164 of the Herzien Inlandsch Reglement (HIR), but the judge's presumption only emphasizes the timing of the making of the prenuptial agreement and the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property, which was only 1 (one) day before Mrs. YTS filed for divorce. Therefore, the court's decision contains inaccuracies in the judges' considerations. The judges' consideration should have been the joint assets acquired during the marriage, which are the joint responsibility of the husband and wife and will only end after the divorce, and an obligatory agreement (the Statement of Relinquishment of Rights to Joint Property) cannot extinguish property rights of a legal subject.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sathya Aisha Tunggadewi
Abstrak :
Skripsi ini mengeksplorasi implikasi hukum dari perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan dalam konteks harta perkawinan dalam kerangka perkawinan campuran, dengan fokus khusus pada Hukum Internasional Swasta Indonesia. Di era globalisasi yang semakin meningkat, perkawinan campuran yang melibatkan individu-individu dari latar belakang hukum dan budaya yang berbeda menjadi semakin lazim. Penelitian ini mengkaji kompleksitas dan tantangan yang terkait dengan penentuan hak atas harta perkawinan dalam perkawinan campuran, dengan mempertimbangkan beragam sistem hukum dan norma-norma budaya yang berlaku. Melalui analisis mendalam terhadap ketentuan hukum Indonesia yang relevan dan kerangka hukum internasional, tesis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana perjanjian pranikah dan perjanjian pascaperkawinan mempengaruhi pembagian harta perkawinan dalam perkawinan campuran. Dengan menyoroti kerumitan hukum yang terlibat, penelitian ini berkontribusi pada wacana yang lebih luas tentang hukum keluarga dan hukum internasional privat, menawarkan wawasan yang dapat memandu para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan individu dalam menavigasi kerumitan perkawinan campuran di Indonesia. ......This thesis explores the legal implications of prenuptial and postnuptial agreements in the context of marital property within the framework of mixed marriages, with a specific focus on Indonesian Private International Law. In an era of increasing globalization, mixed marriages involving individuals from different legal and cultural backgrounds have become more prevalent. The study examines the complexities and challenges associated with determining marital property rights in such unions, considering the diverse legal systems and cultural norms at play. Through an in-depth analysis of relevant Indonesian legal provisions and international legal frameworks, the thesis aims to provide a comprehensive understanding of how prenuptial and postnuptial agreements impact the division of marital property in mixed marriages. By shedding light on the legal intricacies involved, this research contributes to the broader discourse on family law and private international law, offering insights that may guide policymakers, legal practitioners, and individuals navigating the complexities of mixed marriages in Indonesia.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library