Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
MUL 9 (1-2) 2010
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Universitas Indonesia, 1992
S26324
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rizkiya Laili Maghfirah
Abstrak :
Perkawinan poligami merupakan bentuk pengecualian atas asas monogami dalam Undang ndash; Undang Perkawinan, hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 3 ayat 2 Undang ndash; Undang Perkawinan. Dalam melaksanakan suatu perkawinan poligami, salah satu syarat yang diwajibkan oleh Undang ndash; Undang Perkawinan adalah adanya izin dari istri/istri-istri dari suami yang akan beristri lebih dari seorang. Izin dari istri/istri ndash; istri tersebut adalah syarat wajib ketika seorang suami akan mengajukan permohonan untuk berisitri lebih dari seorang ke Pengadilan untuk diberikan izin menikah lagi. Skripsi ini membahas mengenai putusan Pengadilan Negeri Batam Nomor 43/Pdt.G/2014/PN.BTM tentang pembatalan perkawinan kedua karena poligami yang dilakukan oleh suami tanpa izin istri pertama. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penulis mengacu pada aturan ndash; aturan hukum yang ada untuk kemudian dapat menjawab permasalahan. Poligami yang dilakukan oleh si suami dilangsungkan tanpa seizin istri pertama dan tanpa adanya izin dari pengadilan yang berwenang untuk memberikan izin, maka dari itu istri pertama diberikan hak oleh undang ndash; undang untuk membatalkan perkawinan kedua suaminya. Poligami yang dilakukan oleh suami dapat dimintakan pembatalan karena tidak memenuhi syarat ndash; syarat sahnya melakukan poligami. Setelah adanya pembatalan perkawinan, maka akibat hukum yang terjadi adalah perkawinan kedua suami dianggap tidak pernah ada. Dalam hal ini seharusnya suami lebih terbuka kepada pihak istri dan pihak keluarga apabila ingin menikah lagi. Kemudian terhadap Pegawai Pencatat Nikah atau Pejabat Kantor Urusan Agama KUA hendaknya lebih teliti dalam menjalankan tugasnya, terutama dalam hal meniliti kelengkapan data ndash; data dan surat ndash; surat yang diajukan oleh para pihak yang melangsungkan perkawinan.Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Poligami, Pembatalan Perkawinan.
ABSTRACT<>br>
Polygamy marriage is a form of exception to the principle of monogamy in the Law of Marriage, as can be seen from the provision of Article 3 paragraph 2 of Law of Marriage. In performing a polygamy marriage, one of the conditions required by Law of Marriage is the permission of wife wives from a husband who will take more than one wife. This permission is a mandatory requirement when a husband will apply for more than one wife to the Court to be given a permission to remarry. This thesis discusses about the decree of Batam District Court Number 43 Pdt.G 2014 PN.BTM on cancellation of second marriage due to polygamy performed by husband without first wife permission. By using normative legal research method, the author refers to the existing legal rules to answer the problem. In addition, the first wife is given the right by the law to cancel her husband rsquo s second marriage if it does not obtain the permission from her and authorized court. The cancellation of husband rsquo s polygamy is because it does not meet the legal requirements for polygamy. After the cancellation the legal consequence is the husband rsquo s second marriage is considered never exists. In this case the husband should be more open to the wife and his family if he wants to marry again. In addition, the Office of Religious Affair KUA officer should be more careful in performing their duty, mainly in terms of reviewing the data completeness submitted by the parties that want to conduct a marriage.
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Musdah Mulia
Jakarta: Lembaga Kajian Agama & Jender, 1999
297 MUS p (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Abstrak :
Salah satu asas yang dianut dalam Peraturan Perkawinan
di Indonesia adalah asas monogami dimana seorang pria
hanya di perbolehkan beristrikan seorang wanita saja dan
begitu pula seorang wanita. Akan tetapi, terdapat
pengecualian atas asas tersebut atau lazimnya disebut
asas monogami terbuka dimana diperbolehkan bagi seorang
pria untuk beristeri lebih dari satu orang dengan
memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU Perkawinan.
Sayangnya dalam penerapannya, persyaratan yang diatur
dalam UU Perkawinan sering di simpangi yang akibatnya
makin banyak praktek poligami yang tidak sehat seperti
pelaku poligami bebas membuat Kartu Tanda (KTP) Penduduk
baru yang menyatakan bahwa si pelaku poligami adalah
seorang lelaki lajang sehingga ia dapat berpoligami
tanpa melalui prosedur berpoligami yang ditentukan UU
Perkawinan. Oleh sebab itu timbul pertanyaan apakah
seseorang yang tidak berkualifikasi dapat melakukan
perkawinan poligami menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974? dan apa akibat hukum bagi perkawinan poligami yang
dilakukan oleh orang yang tidak berkualifikasi tersebut?
Penelitian ini merupakan suatu penelitian kepustakaan
dengan data sekunder dan dalam penulisan ini penulis
menggunakan metode penelitian berupa metode penelitian
hukum normatif karena pada dasarnya penelitian ini
ditujukan untuk melakukan analisis terhadap putusan
Mahkamah Agung No. 2039.K/Pdt.G/1997/MA dengan bertumpu
pada UU Perkawinan. Dimana dalam putusan tersebut
dinyatakan bahwa perkawinan poligami yang dilakukan
tanpa memenuhi persyaratan yang disyaratkan undangundang
dapat mengakibatkan perkawinan tersebut dapat
dibatalkan dan dinyatakan sebagai perkawinan yang tidak
sah menurut hukum dan dengan ini dapat dilihat bahwa UU
Perkawinan melindungi status isteri pertama. Kemudian
mendorong adanya Perbaikan-perbaikan pengaturan
perundang-undangan yang memberikan perlindungan terhadap
perempuan dan mengadakan sosialisasi yang edukatif
kepada masyarakat agar problematika poligami dapat
diatasi dengan baik.
Universitas Indonesia, 2007
S21440
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Diza Faraskhansa
Abstrak :
Skripsi ini membahas pembatalan perkawinan poligami yang dilakukan karena ketiadaan izin istri pertama yang dilakukan saat suami yang bersangkutan telah meninggal dunia. Perkawinan poligami boleh dilakukan apabila memenuhi persyaratan yang berlaku sebagaimana dalam Pasal 5 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 58 KHI. Penelitian ini merupakan penilitian dengan metode yuridis normatif dan tipologi yang bersifat deskriptif analitis.
Permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan hukum poligami dengan memalsukan identitas istri, bagaimana pengaturan pembatalan perkawinan yang telah putus karena kematian dan bagaimana pertimbangan hakim dalam pembatalan perkawinan pada putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg.
Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah perkawinan poligami yang dilakukan dengan memalsukan identitas istri adalah bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI sehingga dapat dilakukan pembatalan terhadapnya. Pembatalan perkawinan yang dilakukan setelah suami meninggal dunia ialah sama saja dengan yang masih hidup namun dalam praktiknya harus menyertakan beberapa syarat tertentu dan pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Agama Pandeglang Nomor 241/Pdt.G/ 2012/PA.Pdlg sudah tepat.
......The focus of this study is to examine the annulment of marriage caused by the absence of permission from the first and legal wife to do a polygamous marriage which the annulment itself happened by the time the husband already passed away. Polygamy in Indonesia is legal to be done if the marriage fulfills the requirements which are stated in Article 5 of Marriage Law and Article 58 Compilation of Islamic Law. In conducting this research, the writer uses juridicial-normative library research methods with analytical descriptive typology.
The problems in this thesis are how is the legal status of a polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity, the regulation of polygamous marriage annulment done by the time the husband has passed away and whether the judge's sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate.
The conclusion of the problems are polygamous marriage which done by falsifying the legal wife's identity is prohibited and againsts Marriage Law and Compilation of Islamic Law, so that polygamous marriage can be annulled. The annulment of marriage which done after the husband has passed away is basically the same as the same as the normal one, but there are some requirements to be fulfilled and the judge?s sentence of Religious Court of Pandeglang No.241/Pdt.G/2012/PA.Pdlg. is already correct and appropriate.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62768
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Andy Kurniawan
Abstrak :
Dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 100 KHI menyatakan bahwa anak hasil perkawinan sirri hanya memiliki hubungan hukum perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, naum Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 77 sampai dengan Pasal 81 KHI menyatakan bahwa yang bertanggung jawab untuk menafkahi keluarga adalah ayahnya, sehingga melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 diubahlah cara membaca Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dimana suami dapat dimintakan pertanggung jawaban apabila dapat dibuktikan dengan perkembangan tekonologi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Oleh karena itu tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk melihat efektivitas dari putusan yang dikeluarkan MK perihal tanggung jawab orang tua terhadap anak hasil perkawinan sirri. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan, Putusan yang dikeluarkan MK tidak berdampak langsung karena tidak berkesinambungan dengan undang-undang lain yang terkait dan tidak terdapat sanksi apabila tidak dijalankan.
......
In Article 43, paragraph (1) of the Marriage Act and Article 100 of Islamic Law Compilation said that the children of Sirri marriage only have the relationship of civil law with the mother and her family, while in Article 34 paragraph (1) of the Marriage Act and Article 77 through Article 81 of Islamic Law Compilation states that are responsible for feeding their families is the father, so that through the Constitutional court Decision No.46 / PUU-VIII / 2010 it changes how to read Article 43, paragraph (1) of the Marriage Act which the husband should be held accountable when it can be proved with technological developments. Therefore the aim of this study was to look at the effectiveness of the decision issued by the Court concerning the responsibility of parents to children of Sirri marriage. This research is a normative approach to law (statute approach), and the case (case approach). Based on the results, it can be concluded, the Court issued Decision no direct impact as not sustainable with other law-related and there are no sanctions if it does not run, so it is difficult to apply.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62778
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library