Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Insan Fahmi
Abstrak :
Perjalanan politik Masyumi - sejak didirikan pada tanggal 7 Nopember 1945 sampai dibubarkan pada tahun 1960 -- penuh dengan dinamika, baik di dalam internal Masyumi sendiri maupun ketika berhubungan dengan partai politik dan Presiden Sukarno. Hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno misalnya, pernah juga mengalami hubungan yang harmonis, terutama pada masa revolusi. Hubungan itu mengalami pergeseran hingga menjurus kepada konflik. Konflik antara Sukarno dengan Masyumi semakin tajam, terutama sejak adanya keinginan Sukarno mengubur partai politik pada bulan Oktober 1956, dan Konsepsi Presiden pada tahun 1957. Konflik terus berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin. Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Sukarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik. Bukan hanya peran politik Masyumi yang semakin merosot, tetapi eksistensi Partai Masyumi pun diakhiri Sukarno melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Sukarno membubarkan Masyumi. Pertama, Sukarno ingin merealisasikan pemikiran dan obsesinya yang sudah lama terkubur, terutama mengenai partai politik, demokrasi dan revolusi. Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pernyataan dan pemikiran Sukarno yang sudah berkembang sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal Demokrasi Terpimpin. Kesatu, sejak masa pergerakan nasional Sukarno menginginkan partai politik cukup satu. Bahkan pada bulan Oktober 1956 Sukarno menyatakan partai politik adalah penyakit, sehingga hams dikubur. Kedua, Sukarno menginginkan demokrasi yang diterapkan adalah Democratisch-centralisme, yakni suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap penyelewengan, dan menendang bagian partai yang membahayakan massa. Konsep ini disampaikan Sukarno pada tahun 1933. Konsep ini kemudian Sukarno terapkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Ketiga, Sukarno berkeyakinan revolusi belum selesai. Setiap revolusi mempunyai musuh. Dalam logika revolusi hares ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Perilaku politik Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin - menurut Bernhard Dahm -- dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki tokoh Bima dalam cerita pewayangan, seperti sifat Bima yang tidak mengenal kompromi dengan lawan yang datang dari luar keIuarganya. Faktor kedua, adanya konflik yang berkepanjangan antara Sukarno dengan Masyumi. Konflik itu mulai muncul ketika Perdana Menteri M. Natsir menolak usul Presiden Sukarno tentang cara penyelesaian Irian Barat. Selain itu, Natsir juga mengingatkan Presiden Sukarno supaya jangan mencampuri urusan pemerintah, dan kalau Sukarno terus-terusan mencampuri kebijaksanaan pemerintah maka perdana menteri bisa menangkapnya. Kasus ini menimbulkan dendam pribadi Sukarno kepada M. Natsir. Selain dendam pribadi, Sukarno juga menyimpan dendam sejarah kepada Partai Masyumi. Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Sukarno. Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Presiden Sukamo yang semakin mendorong dan meyakinkan Sukarno untuk membubarkan Masyumi. Faktor ketiga adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya. Sukamokhawatir kalau Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin. Dengan demikian, Masyumi dibubarkan bukan karena terlibat PRRI. Hal ini diakui sendiri oleh Sukarno kepada Bernhard Dahm pada tahun 1966. Sukarno mengatakan tidak dapat menyalahkan suatu partai karena kesalahan beberapa orang. Kalau begitu, keluarnya Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 merupakan bentuk sikap kesewenang-wenangan Sukarno terhadap Partai Masyurni. Konflik Masyumi dengan Presiden Sukarno disebabkan beberapa hal. Pertama, masalah kedudukan dan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedudukan dan kekuasaan Masyumi dalam pemerintahan sangat besar pada masa Demokrasi Parlementer, sementara pengaruh dan kekuasaan Presiden Sukarno sangat keciI. Mengingat kedudukan seperti itu, maka Presiden Sukarno ingin merebut kedudukan itu, dan terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Sebab kedua, adanya perbedaan yang prinsipil mengenai demokrasi. Sukarno menginginkan Demokrasi Terpimpin, sementara Masyumi menolak dan menentang Demokrasi Terpimpin. Sebab ketiga, adanya perbedaan ideologi. Presiden Sukarno menggalang kerjasama dengan PKI yang berhaluan komunis. Sementara itu, Partai Masyumi mempunyai ideologi Islam yang tidak mau bekerjasama dengan PKI, dan sangat kerns menentang komunisme. Adanya pcrbcdaaan ideologi antara PKI dan Masyumi, berimplikasi terhadap hubungan Masyumi dengan Presiden Sukarno. Sukarno lebih memilih PKI, dan konsekuensinya Sukarno hams menyingkirkan Masyumi. Usaha Sukarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif. Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi. Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 dengan dua cara. Pertama, Pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960. Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi. Kedua, menggugat Sukarno di pengadilan. Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan. Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi. Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi. Meskipun Partai Masyumi sudah bubar secara material, namun di kalangan anggota Masyumi masih merasa Masyumi tetap hidup dalam jiwa mereka. Oleh karena itu, mereka tetap memandang para pemimpin mantan Masyumi sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian, pernyataan Faith mengenai sifat Bapakisme dalam kepemimpinan partai di Indonesia terbukti, setidaknya untuk kasus Partai Masyumi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T7205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samugyo Ibnu Redjo
Abstrak :
ABSTRAK
Aristoteles yang dikenal sebagai bapak ilmu politik, lebih dari dua ribu tahun yang lalu telah membandingkan tidak kurang dari 158 (seratus lima puluh delapan} negara-negara kota di Yunani. Negara-negara kota tersebut dibanding-bandingkan dan kemudian dipelajari konstitusinya masing-masing. Dalam studi ini Aristoteles melaksanakan lima tahapan studi, yaitu 1. merumuskan permasalahan, 2.mengumpulkan kasus-kasus serta data dari masing-masing negara kota tersebut, 3. mengklasifikasikan kasus atas jumlah penguasa, 4. mengkorelasikan jumlah penguasa dengan kadar stabilitas, 5. menganalisa tipe-tipe pemerintahan yang stabil. Pada waktu mengklasifikasikan kasus atas jumlah penguasa, Aristoteles sampai pada perumusan konsep-konsep pemerintahan yang pada saat sekarang dikenal. Konsep-konsep tersebut adalah Monarkhi, Oligarkhi dan Demokrasi. Tujuan Aristoteles memperbandingkan negara-negara kota tersebut adalah untuk mencari bentuk dan model pemerintahan yang memadai dalam rangka memecahkan masalah-masalah politik dengan lebih tepat.

Studi perbandingan politik yang dilaksanakan Aristoteles memberikan arah bagi studi perkembangan politik negara-negara, baik negara di zaman Aristoteles hidup maupun negara-negara yang ada pada saat sekarang. Studi perkembangan politik ini kemudian dijadikan acuan untuk mengamati perkembangan politik negara-negara dengan memperbandingkan antara satu negara dengan negara-negara lainnya.

Studi perkembangan politik ini, menurut pendapat saya merupakan studi pembangunan politik, yaitu studi mengenai proses dinamika sistem politik kearah yang lebih baik, yang meliputi penataan infra dan suprastruktur politik. Dalam kerangka itulah, maka studi ini di arahkan, khususnya pada penataan infrastruktur politik, dalam hal ini penataan partai-partai politik di Indonesia.
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riana Budi Mastuti
Abstrak :
Tesis dengan judul "Penyelesaian Sengketa Partai Politik : Studi kasus terhadap sengketa partai politik setelah pemilu Tahun 2004" ini menggunakan metode penelitian normatif dan empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Seperti kita ketahui pembentukan Partai Politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga Negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan jaminan yang sangat tegas dalam hal ini. Partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Namun, apa yang terjadi di Indonesia, keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi ini belum dapat terwujudkan secara benar-benar. Hal ini karena banyak partai politik yang masih saja bersengketa demi mempertahankan dan melanggengkan "kekuasaan" mereka. Semenjak diberlakukan Undang-undang Nomor 31 tahun 2002' tentang Partai Politik, telah ada pengaturan mengenai peradilan perkara partai politik dan bagaimana penyelesaian sengketa dalam intern kepengurusan partai politik. Sengketa partai politik yang terjadi ini antara lain bisa mengenai sengketa yang terjadi intern partai politik, sengketa antara partai politik dan sengketa antara partai politik dengan pemerintah yang terkait dengan Tata Usaha Negara karena berobyek pada Keputusan Tata Usaha Negara yang konkret, individual dan final. Setelah pemilu tahun 2004 ternyata menyisakan beberapa permasalahan yaitu mengenai sengketa partai politik. Ada beberapa partai politik yang sampai saat ini masih terus ribut dan belum menyelesaikan sengketanya. Ada beberapa cara untuk menyelesaikan sengketa partai politik ini yaitu dengan cara litigasi dan non-litigas. Melalui litigasi ini dilakukan melalui pengadilan. Kompetensi pengadilan untuk menyelesaikan sengketa partai politik dalam hal sengketanya tidak berobyek Keputusan Tata Usaha Negara maka akan menjadi kompetensi Pengadilan Negeri tetapi apabila sengketanya berobyek Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkrit, individual dan final maka menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara. Kemudian melalui cara non-litigasi adalah melalui Mekanisme Alternatif Penyelesaian Sengketa(MAPS) atau ADR (Alternatif Dispute Resolution) seperti negosiasi, mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa partai politik ini adalah partai politik dalam hal sengketanya merupakan sengketa intern partai sendiri, pengadilan apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan dalam intern partai mereka sehingga diajukan ke pengadilan. Pemerintah dalam hal ini Departemen Hukum dan HAM RI (d/h} Departemen Kehakiman dan HAM RI tidak mempunyai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa intern partai politik karena Departemen Hukum dan HAM hanya mempunyai kewenangan pengawasan saja sesuai Pasal 23 huruf a,b,c dan d Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002. Adanya sengketa partai politik yang berlarut-larut akan berakibat tidak berjalannya fungsi-fungsi partai politik sehingga dapat menghambat jalannya proses demokrasi di Indonesia. Diperlukan kesadaran masing-masing pihak yang bersengketa agar tidak mementingkan egonya sendiri tetapi hendaknya memikirkan kepentingan lain yang lebih luas, yaitu berlangsungnya demokrasi di negara ini.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16643
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riyono Asnan
Abstrak :
Maksud dan tujuan penelitian mengenai Sirkulasi Elite Partai GOLKAR Pasca Orde Baru adalah pertama, untuk rnenggambarkan seperti apa sirkulasi atau pergantian elite Partai GOLKAR pasea Orde Baru. Kedua, untuk mengetahui perbedaan bentuk sirkulasi elite GOLKAR ketika semasa Orde Baru yang tergantung restu elite dalam hal ini Ketua Dewan Pembina GOLKAR Soeharto dan semasa reformasi, apakah mengalami perubahan seiring tuntutan reformasi yang disuarakan oleh mahasiswa. Ketiga, untuk mengetahui perubahan-perubahan yang texjadi di Partai GOLKAR sehingga rnenyebabkan organisasi ini tetap kukuh berdiri di tengah badai perubahan? Keempat, untuk mengetahui apakah sirkulasi elite dan perubahan-perubahan di Partai GOLKAR tersebut mempunyai dampak terhadap proses demokratisasi di tubuh GOLKAR. Dalam penelitian ini digunakan teori elite yang dikemukakan oleh Gaetano Mosca, Vilfredo Paretto, C. Wright Mills dan Robert Michels. Konsep teori elite yang dikemukaan mereka pada dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial masyarakat pasti terdapat kelompok sosial yang mempunyai kemampuan, kekayaan dan kecakapan tertentu yang dapat membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Kelompok masyarakat yang mempunyai kelebihan ini oleh para teoritisi elite disebut sebagai kelompok elite. Dalam struktur kekuasaan, kelornpok elite ini biasanya memegang peranan lebih besar dibanding kelompok lainnnya. Mereka biasanya menjadi pemimpin di dalam struktur kekuasaan. Sedangkan kelompok lainnya, yang berada diluar kekuasaan mengambil sikap oposisi atau sebagai kelompok yang mengkoreksi segala kebijakan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan. Sebenarnya, kedua kelompok ini saling bersaing untuk memperebutkan kekuasaan. Dalam proses Sirkulasi Elite di GOLKAR Pasca Orde Baru nampak sekali terjadi perubahan seiring perubahan politik di luar GOLKAR. Sirkulasi elite yang sebelumnya tergantung sepenuhnya kepada presiden Soeharto, telah mengalami perubahan mengikuti perkembangan politik di luar GOLKAR. Faksi-faksi yang ada di GOLKAR mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk memperebutkan kekuasaan. Perubahan ini nampak terlihat saat GOLKAR menggelar Munaslub tahun 1998 dan Munas VII GOLKAR di Bali. Semua kelompok baik penguasa (Srigala) maupun oposisi (Singa) saling bersaing untuk mendapatkan dukungan dari arus bawah. Perubahan-perubahan ini telah menjadikan GOLKAR lebih demokratis dibanding semasa kekuasaan Orde Baru. Terjadi ledakan panisipasi yang cukup besar dari arus bawah (DPD I dan II) setelah jatuhnya presiden Soeharto. Dari dua kali perubahan elite di GOLKAR, nampak kepentingan negara ikut mempengaruhi proses sirkulasi elite. Munaslub 1998 kepentingan negara terpersonifikasikan ke dalam diri B.J. Habibie. Habibie sangat berkepentingan untuk mernpertahankan kekuasaannya sehingga ia perlu menempatkan orang kepercayaannya untuk memimpin GOLKAR yalmi Akbar Tandjung. Sedangkan dalam Munas VII GOLKAR di Bali, kepentingan negara terwakili pada diri Jusuf Kalla. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla sangat berkepentingan untuk menjinakkan sikap oposisi GOLKAR yang tergabung dalam koalisi kebangsaan. Langkah ini diambil untuk mengamankan kebijakan pemerintali agar mendapat dukungan dari parlemen. Dukungan dari parlemen ini sangat penting untuk memperkokoh kebijakan pemerintah dan untuk menjamin kelangsungan program pemerintah maka negara perlu menguasai Partai GOLKAR. Faktor lain yang mempengaruhi sirkulasi elite di GOLKAR adalah kharisma elite (pengaruh elite), idiologi dan kepentingan politik sesaat elite yang biasanya bersifat oportunistik. Dari hasil penelitian tersebut, nampak sekali bahwa teori elite yang dikemukakan oleh Pareto, Mosca, Michels dan Mills jika diterapkan di GOLKAR tidak sesederhana yang mereka bayangkan. Perlu memperhatikan nilai-nilai lokal dimana organisasi itu berada. Hal ini wajar mengingat kondisi sosial politik saat teori ini muncul yakni di Italia dan Amerika Serikat berbeda dengan kondisi Indonesia. Masyarakat di Italia dan Amerika Serikat tentunya lebih maju dibanding dengan kondisi masyarakat Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21911
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ujang Komarudin
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mencari jawaban mengenai faktor-faktor apakah yang mempengaruhi kemenangan Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu legislatif 2004 di Provinsi DKI Jakarta dan bagaimana strategi yang digunakan Partai Keadilan Sejahtera untuk memenangkan pemilu tersebut. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori partai politik, kampanye politik, dan teori elit. Penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisis data menggunakan deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggabungkan berbagai sumber, baik data primer maupun sekunder dan melalui wawancara. Sumber data utama, diambil dari wawancara mendalam dengan elit PKS yang menjabat sebagai pengurus DPP, DPW, dan DPD sebanyak 5 orang, ditambah wawancara dengan 1 orang akademisi sebagai pembanding. Dari pertanyaan penelitian di atas, ditemukan beberapa faktor penyebab kemenangan PKS di Provinsi DKI Jakarta yaitu: faktor citra partai meliputi citra partai yang bersih dan peduli, responsif, dan anti KKN. Faktor fungsi partai yang berjalan dengan baik, meliputi fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik. Terakhir yaitu strategi partai yang meliputi konsolidasi, marketing, pengelolaan pemilih, dan optimalisasi leader di lapangan. Penemuan hasil penelitian di lapangan adalah bahwa faktor citra partai yang positif di masyarakat menjadi faktor yang dominan bagi kemenangan PKS pada Pemilu legislatif 2004 di Provinsi DKI Jakarta. Sedangkan faktor fungsi partai dan strategi partai menjadi faktor pendwcung penyebab kemenangan PKS pada Pemilu legislatif 2004 di Provinsi DKI Jakarta. Implikasi teori menunjukan bahwa proses pencitraan PKS dilakukan melalui kampanye politik. Seperti dikemukakan Riswandha Imawan, bahwa ada tiga dimensi kegiatan kampanye politik, yaitu dimensi dagang, komunikasi politik, dan mobilisasi. Sebagai dimensi dagang, elit PKS hares pandai mengkemas tema kampanye secantik mungkin, sehingga dapat menarik perhatian pemilih. Kampanye politik digunakan PKS untuk memasarkan citra partai yang bersih dan peduli, politik pencitraan yang dilakukan PKS menghasilkan suara yang signifikan pada Pemilu legislatif 2004. Kesimpulannya, teori yang dikemukakan oleh Riswandha Imawan tentang kegiatan kampanye politik yang berdimensi dagang, sesuai dengan apa yang telah dilakukan oleh PKS di lapangan.
This research aims to find the answer of factors that stimulate the triumphant of Prosperous Justice Party (PKS) in the legislative election in 2004 in Jakarta and the strategy used by the party to win the election. As a theoretical framework, this research applies theory of political party, political campaign, and elite. This research also uses qualitative method, meanwhile the technique of data analysis is descriptive analytics. To collect data needed in the research, several sources, primary and secondary data, are combined and done through interview. Primary data sources are in-depth interview with five elites as the functionaries of the party from DPP, DPW and DPD. An interview with a scholar is added to compare the analysis. From the research questions, it is found that there are several factors as reasons for the triumphant of the party in Jakarta, which are image of the party as clean and responsive party, and against any form of corruptions; good implementation of the function of political party, such as political communication, political socialization, and political recruitment; and the strategy of the party such as consolidation, marketing, constituent management, and party cadre in the society. The finding or the research in the field is that positive image of the party is the dominant factor for the triumphant. Meanwhile, the function and the strategy of the party are the secondary factors. Theoretical implication of the research is that imagination process of the party is set through political campaign. As stated by Riswandha Imawan, there are three dimensions of political campaign, which are market dimension, political communication, and mobilization. According to the market dimension. Elite of the party must be good to cover up the campaign to attract the voters. The party developed its campaign as clean and responsive party; the politic of imagination of the party has obtained significant voters in the election of 2004. To conclude, theory stated by Riswandha Irnawan on market dimension is suitable with what PKS did in the election.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21466
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Suswantoro
Abstrak :
Penelitian ini berupaya untuk memahami agenda partai politik nasionalis dan Islam dalam menyikapi boleh tidaknya bekas anggota PKI dan organisasi massanya dan yang terlibat langsung G30S/ PKI ikut serta dalam pemilu atau mendapatkan haknya untuk dipilih. Dinamika politik yang teljadi selama pembahasan inilah yang menarik untuk diteliti.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Teori Fungsi Parpol dari Carl J. Friedrich, Teori Kekuasaan dari Weber, Teori Keterwakilan dari Miriam Budiardjo, Teori Kebijakan dan Agenda dari Dewey serta Teori Konflik dalam melihat pemilahan struktur masyarakat Indonesia dari Clifford Geertz. Dari teori-teori tersebut bisa dilihat bagaimana masing-masing partai politik yang terlibat dalam pembahasan RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini memainkan peran, fungsi, maupun agenda politiknya guna memperoleh kekuasaan dan menambah jumlah keterwakilannya di parlemen. penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan lebih menekankan pada analisis penulis terhadap data dan referensi yang diperoleh melalui wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya agenda politik yang dimainkan oleh semua partai politik baik yang berlatar belakang ideologi nasionalis maupun Islam. Agenda politik itu menyangkut potensi tambahan perolehan suara yang dapat diperoleh PDI Perjuangan jika usulannya untuk menghapus salah satu aturan RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ini disetujui. Butir aturan yang dimaksud adalah pasal yang mengatur persyaratan calon anggota legislatif yang berbunyi: Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam "G30S/ PKI " atau organisasi terlarang Iainnya.

Pencantuman syarat itulah yang kemudian ditentang oleh Fraksi PDI Perjuangan meski ditentang oleh fraksi-fraksi lain. Harus diakui, semua partai politik yang terlibat dalam penyusunan RUU tentang Pemilihan Umum DPR, memainkan agenda kepentingannya masing-masing. Latar belakang kesamaan ideologi, agama, kesamaan plat form, atau kedekatan besaran perolehan jumlah kursi masing-masing partai politik sangat kental mewarnai kesepakatan-kesepakatan substansi yang dibahas dalam RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Terkait dengan implikasi teori dalam penelitian ini, maka semua teori yang digunakan sebagai alat analisis dikuatkan atau confirm dengan temuan di lapangan...
This research aims to understand the agenda of nationalist and Islamic political parties in facing the issue of ex-communist party member and other its mass organisation to involve in election or get back their right to be chosen. The dynamic of the issue is interesting to explore.

Theories applies in the research are theory of function of political party from Carl Friedrich, theory of power from Webber, theory of representation from Miriam Budiardjo, theory of policy and agenda from Dewey, and theory of conflict to identify the structure of Indonesian society from Clifford Geertz. From those theories it can be seen that each parties involved in the coditication of the law of election for DPR, DPD and DPRD play their own role, function, or also political agenda to get more power and increase their numbers in the parliament. This research applies qualitative research method and emphasizes on analysis of data and reference from interview.

The result shows that there is political agenda played by all nationalist or Islamic political parties. The political agenda relates to the raise of voters gained by PDI for Struggle if their proposal to avoid one of the article in the law. The article arranges the requirements of candidates of legislative member as, They are not ex-member of prohibited organisation that is Indonesian Communist Party, or not directly or indirectly involve with the tragedy of G30S/PKI or other prohibited organisations.

The insertion of that requirement is opposed by PDI for struggle; however its position is also opposed by other parties. In fact, all political parties involved in the codification of the law play their own political agenda. The background of ideology, religion, platform, or their representation in the parliament influences the substantial agreements in the codification. Relate to the implication of theories mentioned above, all of the theories applied in the research relevant with the fact found in the research....
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21455
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafdi
Abstrak :
Kerugian akibat selisih kurs terus dialami oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Meskipun PLN telah menerapkan kebijkan lindung nilai sejak tahun 2015, akan tetapi berdasarkan laporan keuangan PLN periode September 2018, PT PLN masih mengalami kerugian akibat selisih kurs sebesar Rp. 17,33 triliun. Apabila masalah ini tidak ditanggapi dengan serius, maka akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan PLN. Penelitian ini menggunakan simulasi Islamic cross currency swap untuk melihat efisiensi penerapan model Islamic cross currency swap pada PT PLN. ABSTRAK Berdasarkan fatwa DSN MUI No 96 Tahun 2015, kontrak swap merupakan transaksi hedging dengan skema spot dan forward agreement kemudian diakhiri dengan transaksi spot pada saat jatuh tempo serta serah terima mata uang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Islamic cross currency swap akan optimum diterapkan pada periode 16 April 2018 dan 19 November 2018 karena aliran kas keluar dengan menggunakan kurs forward lebih rendah dibanding menggunakan kurs spot jatuh tempo. Simulasi yang dilakukan pada periode 16 April 2018 dan 19 November 2018 juga menunjukkan bahwa kebijakan Islamic cross currency swap dengan komposisi 50% forward agreement dan 75% forward agreement efisien pada periode jatuh tempo 30 hari, 90 hari, 180 hari dan 360 hari.
ABSTRACT PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) has been losing due to foreign exchange differences. Although PLN has implemented hedging policies since 2015, based on PLN's financial statements for the period of September 2018, PT PLN is still  losing due to foreign exchange differences of Rp. 17.33 trillion. If this problem is not taken seriously, it will affect PLN's financial performance. This study uses the Islamic cross currency swap simulation to see efficient implementation of the Islamic cross currency swap model at PT PLN. Based on the 2015 MUI DSN fatwa No. 96, the swap contract is a hedging transaction with spot and forward agreements which then ends with a spot transaction at maturity and a currency handover. The results of the study indicate that the Islamic cross currency swap model will be optimum applied in the period April 16, 2018 and November 19 2018 because the cash outflow using the forward exchange rate is lower than using the maturing spot rate. Simulations conducted on April 16 and November 19 also showed that the Islamic cross currency swap policy with a composition of 50% forward agreement and 75% forward agreement are efficient in the maturity period of 30 days, 90 days, 180 days and 360 days.
Depok: Universitas Indonesia. Sekolah Kajian Stratejik dan Global, 2019
T54225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Anggraini
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Menuju Sistem Multipartai di Indonesia Pasca Reformasi, dengan tujuan utama untuk mengetahui pengaturan dan dasar pemikiran kebijakan penyederhanaan partai, akibat hukum dalam pelaksanaannya terhadap partai politik dan sistem kepartaian dan batasan-batasannya sehingga tetap sesuai dengan amanat UUD 1945. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dan membandingkan perundang-undangan yang berlaku dengan permasalahan yang terkait, kemudian dengan asas-asas hukum atau doktrin yang ada, serta memperhatikan praktek yang terjadi sebagai sebuah kajian terhadap sejarah hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Kebijakan Penyederhanaan Partai Politik Pasca Reformasi di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan sistem multi partai sederhana sebagai salah satu upaya memperkuat stabilitas sistem pemerintahan presidensiil dan juga untuk mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional, menciptakan integritas nasional dan menguatkan kelembagaan partai. Perwujudan kebijakan penyederhanaan partai politik yaitu melalui persyaratan kualitatif dan kuantitatif pembentukan dan pendaftaran partai politik sebagai badan hukum, persyaratan kualitatif dan kuantitatif serta persyaratan ambang batas perolehan kursi (electoral threshold) bagi partai untuk dapat menjadi peserta pemilihan umum dan juga persyaratan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold) sebagai syarat untuk dapat menempatkan kursi di DPR. Akibat hukum kebijakan penyederhanaan partai politik bagi partai politik adalah : 1) Partai Politik tidak mendapat status badan, 2) Partai Politik tidak dapat menjadi peserta pemilu dan 3). Partai Politik tidak dapat memperoleh kursi di DPR. Meskipun terjadi penurunan jumlah partai politik yang diakui sebagai badan hukum dan parpol yang dapat mengikuti pemilu, namun dari pemilu 2004 sampai 2009, masih menciptakan sistem multipartai ekstrim. Namun demikian, Pemberlakuan kebijakan Parliamentary Threshold telah sedikit menurunkan Nilai ENPP (jumlah efektif partai di Parlemen) yang semula pada tahun 2004 bernilai 7.07 menjadi 6.47. Kebijakan penyederhanaan partai politik merupakan kebijakan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan pelaksanaan dari Pasal 28 UUD 1945 dan Pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-Undang, namun demikian terdapat prinsip-prinsip yang harus dipedomani dalam pengaturan kebijakan tersebut, yaitu : prinsip demokratis, Rasional dan Non Diskriminatif. ......This thesis discusses Political Party Simplification Policy Towards Moderate Multiparty System in Indonesia Post-Reform, with main objective figuring out the arrangement and underlining idea at party Simplification, legal implication at its implementation on political parties and party system and its boundaries in keeping in line with the mandate of 1945 Constitution. The research was conducted using the method of normative legal research, literature study, and comparing applicable legislation to the associated problems, then with the principles of existing law or doctrine, and with regard to current practices as a study of the history of law. The results of this study demonstrate that the Political Party Simplification Policy Post-Reform in Indonesia aims to realize a simple multi-party system in an effort to strengthen the stability of the presidential system of government and also to create a political party as a national organization, promoting national integrity and strengthen the parties institutionallity. Manifestation of the simplification policies of political parties is through qualitative and quantitative terms in founding and registrating political parties as a legal entity, as well as qualitative and quantitative threshold requirement of seats (electoral threshold) for the party to take part in the elections and voting threshold requirement (parliamentary threshold) as a requirement to be able to put the seats in Parliament. The legal consequences of simplification policies of political parties are : 1) Political parties do not get the status of the legal body, 2) political parties do not take part in the elections and 3). Political parties can not gain seats in the House. Despite the decline in the number of political parties which are recognized as legal entities and political parties to follow the election, but the election of 2004 to 2009, it still creates extreme multiparty system. However, the policy Parliamentary Threshold enforcement lowered ENPP Value (effective number of parties in parliament) which was originally worth 7.07 in 2004 to 6.47 in 2009. Simplification policy do not conflict with the 1945 Constitution, simplification policy is an implementation of Article 28 of the 1945 Constitution and legal policy options of the former act. However, there are principles that should be followed in setting the policy, namely : democratic principle, rationality and non-discriminatory
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Wibawa
Abstrak :
Tingginya angka golongan putih (golput) pada Pemilihan Gubernur (pilgub) Jawa Timur 2018. Secara keseluruhan golput di Jawa Timur memang termasuk tinggi kisaran 30% dari total daftar pemilih. Jumlah golongan putih generasi millennial pada pilgub di Provinsi Jawa Timur sebesar 28% atau sebanyak 58 responden dari total 207 responden. Hal ini tentunya akan menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia. Karena golput bisa menjadi bentuk apatisme masyarakat terhadap pemilu yang dinilai tidak mampu memberikan perubahan yang signifikan kepada mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan millenial menjadi golput serta membuat strategi pencegahan golput untuk meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) di Jawa Timur dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Menurunnya kinerja partai politik, merosotnya integritas partai politik, dan tidak terealisasinya janji politik membuat millenial memilih golput.
The high number of non voters in the 2018 East Java Governor Election. Overall golput in East Java does include a range of 30% of the total voter list.   The number of non voters in the millennial generation in the East Java Governor Election was 28% or as many as 58 respondents out of a total of 207 respondents. This will certainly be a threat to democracy in Indonesia. Because abstentions can be a form of community apathy towards elections that are considered unable to provide significant changes to them. This study aims to determine the factors that cause millennial to become abstentions and make strategies to prevent abstentions to improve the Indonesian Democracy Index (IDI) in East Java using quantitative and qualitative methods. The decline in the performance of political parties, the decline of the integrity of political parties, and the lack of realization of political promises make millennials choose abstentions.
Depok: Sekolah Kajian Stratejig dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardianto Widyo Priohutomo
Abstrak :
Struktur dinding penahan tanah yang umumnya dijumpai hanya menahan satu muka atau sisi luar timbunan saja. Namun di samping itu juga terdapat struktur dinding yang menahan kedua muka atau sisi timbunan yang saling bertolak belakang, seperti dijumpai pada abutment flyover atau jembatan. Material struktural dinding penahan dapat menggunakan bahan beton, baja, atau geosintetik (geotekstil atau geogrid). Penggunaan geosintetik sebagai elemen struktural bangunan infrastruktur semakin populer di seluruh dunia karena terbukti memiliki ketahanan yang baik bahkan terhadap gempa dan terutama benefit ekonomisnya, termasuk aplikasinya sebagai dinding penahan tanah. Akhir-akhir ini, konsiderasi terhadap resiko kejadian gempa terhadap bangunan semakin tinggi, seiring dengan dampaknya terhadap kehidupan manusia, terutama mengingat semakin seringnya kejadian gempa. Penelitian ini merupakan studi parametrik melalui pemodelan metode elemen hingga menggunakan program Plaxis terhadap struktur dinding penahan tanah dua muka meliputi dinding perkuatan geogrid dan kantilever beton di bawah pembebanan gempa dengan variasi akselerasi dan frekuensi gempa serta geometri timbunan. Hasil-hasil analisis yang akan dievaluasi adalah tekanan lateral seismik, gaya dorong lateral seismik, koefisien lateral seismik, dan perbedaan fase. Dilakukan juga perbandingan antara output pemodelan dengan hasil metode-metode desain pseudostatik untuk mengevaluasi kinerjanya.
The structure of the retaining wall which is generally found only retains one outside facing of the soil embankment. But besides that there is also a wall structure that retains the two outside facings of the embankment or back to back, as can be found in the flyover or bridge abutment structures. Retaining wall structural materials can use concrete, steel or geosynthetic materials (geotextiles or geogrids). The use of geosynthetics as a structural element of infrastructure buildings is increasingly popular throughout the world since the satisfying prove of good resistance even to the great earthquakes and especially its economic benefits, including its application as a retaining wall. Eventually, the consideration of the risk of earthquake events in buildings has been higher, along with its impact on human life, especially the rapid occurence of earthquake events. This study is a parametric analysis through modeling the finite element method using the Plaxis program on the two-face retaining wall structures including the geogrid MSE wall and concrete cantilever wall under earthquake loading with variations of earthquake acceleration, earthquake frequency and geometry aspect of embankment. The analysis results that will be evaluated are lateral seismic pressure, lateral seismic force, lateral seismic coefficient, and phase difference. There is also a comparison between output modeling and the results of pseudostatic design methods to evaluate its performance.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>