Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 640 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chusnul Mar`iyah
Depok: UI-Press, 2013
321.8 CHU b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
London: Macmillan, 1990
306.2 STA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Franciscus Xaverius Mudji Sutrisno, 1954-
"On social and political conditions in Indonesia; collected articles"
Yogyakarta: Kanisius, 2013
320.959 8 MUD k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Neli Budiarti
"Perubahan politik yang ditandai mundurnya Soeharto, mendorong media ke dalam ruang gerak yang lebih leluasa untuk menyampaikan fakta dan pandangan secara lebih terbuka, berani dan independen. Wajah baru media massa akan terlihat dan terasa terutama pada pemberitaan. Salah satunya adalah ketika pers memberitakan perintah Presiden atas penangkapan Kapolri Bimantoro dan Kapolda Metro Jaya Sofjan Jacoeb. Pemberitaan itu menjadi menarik bukan saja karena mengundang pro dan kontra, tetapi berdampak kepada dituntutnya pertanggungjawaban Presiden Wahid melalui Sidang Istimewa MPR.
Intisari dari penelitian ini adalah melihat bagaimana Kompas, Republika dan Media Indonesia memaknai perintah Presiden atas penangkapan Bimantoro dan Sofjan Jacoeb yang disampaikan melalui Juru Bicara Kepresidenan Yahya C. Staquf, yang dianggap memicu dipercepatnya pelaksanaan Sidang Istimewa. Penelitian yang menggunakan metode analisis framing ini mengambil teks berita dan editorial Kompas, Republika dan Media Indonesia sebagai objek analisisnya.
Asumsinya adalah bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dan organisasi ide yang dihubungkan dengan elemen yang berbeda dalam teks berita. Dengan meminjam teknis analisis Pan & Kosicki dan van Dijk, penelitian ini berupaya menemukan elemen yang berbeda itu melalui strategi wacana seperti sintaksis, skrip, tematik, dan retorik. Dari strategi ini diketahui bagaimana media memaknai suatu peristiwa.
Frame yang dibangun Kompas dalam teks berita dan editorialnya perintah Presiden Wahid atas penangkapan tersebut adalah: Mendukung Percepatan Sidang Istimewa, Inkonsistensi Wahid dan Nasihat Untuk Presiden. Untuk mendukung frame Kompas menggunakan strategi dalam cara menulis fakta menggunakan elemen tematik Nominalisasi dan Generalisasi. Seperti: kita boleh menyarankan, semua orang dan kita semua. Disamping itu Kompas juga memperkuat frame dengan menggunakan metaphora dalam struktur retorisnya seperti yang terlihat dalam tajuk rencananya "demi keselamatan bangsa dan negara".
Republika cenderung memilih frame sebagai berikut: Konflik Ditubuh Eksekutif, Inkonsistensi Wahid dan Mundur Secara Damai. Republika menggunakan elemen retoris seperti ungkapan merancang skenario "rusak-rusakan" dan tidak ingin dicap "kacung" presiden. Dan Republika menggunakan metaphora seperti "menggunaang stabilitas bangsa dan negara". Frame yang dikemukakan Media Indonesia melalui teks berita dan editorial adalah: Percepatan Sidang Istimewa, Landasan Hukum dan Percepatan Sidang Istimewa. Untuk mempertegas frame yang dibangun Media Indonesia memakai struktur retoris seperti ungkapan "pabrik yang produktif menghasilkan persoalan".
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui frame yang dibangun Kompas, Republika dan Media Indonesia melakukan delegitimasi terhadap kekuasaan Wahid dalam rangka percepatan Sidang Istimewa yang meminta pertanggungjawabannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T897
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyanti Syas
"Penelitian ini mencoba melihat konsistensi peranan media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan yang berkuasa. Seperti diketahui, setelah jatuhnya rezim Orde Baru (Orba) kehidupan media massa mengalami perubahan drastis terutama dari segi isi teks yang disajikannya. Apa yang tabu dibicarakan pada masa Orba menjadi hal yang lumrah diperbincangkan. Penggunaan Bahasa dengan eufemismenya dimasa Orba, kini disajikan dengan hujatan oleh sebagian besar media massa. Kekritisan dan ketajaman analisis yang disampaikan media jauh dari apa yang pernah dilakukan pada masa Orba.
Melalui analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini, akan dilihat bagaimana dinamika atau konsistensi media massa dalam mengkritisi kinerja pemerintahan setelah lengsernya Soeharto, Sejauh mana ideologi politik media mempengaruhi dinamika framing yang dikemas dalam berita-berita yang disajikannya dari sudut pandang ekonomi politik media.
Aspek yang dikaji dalam penelitian ini adalah pemberitaan tentang kinerja pemerintahan Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid dengan perspektif ekonomi politik. Pemberitaan yang diangkat adalah mengenai kebijakan pemerintah BJ Habibie mengenai penyelesaian masalah Timtim dan kebijakan pemerintahan Abdurrahman Wahid yang akan membuka hubungan dagang dengan Israel.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kritis dengan menerapkan analisis framing dan analisis intertekstual. Analisis framing dilakukan terhadap isi teks, dan analisis intertekstual dilakukan terhadap produksi dan konsumsi teks serta analisa terhadap praktek sosial budaya khususnya mengenai perkembangan kehidupan pers di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai proses produksi isi media.
Hasil penelitian menunjukkan adanya tiga bingkai yang digunakan Republika dalam menilai kebijakan Presiden Habibie dalam mengatasi masalah Timtim, yaitu Human Right, Universalitas dan Nasional Interest. Sedangkan dalam pemberitaan tentang kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid, Harian Republika membingkai kasus tersebut dengan : Konstitusi dan HAM, Disintegrasi dan economic Interest. Lebih lanjut di temukan bahwa, pemberitaan tentang kebijakan Presiden Habibie dikemas Harian Republika dengan memberikan positive representation dan memberikan negative representation terhadap kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid.
Positif representation terhadap kebijakan Habibie dikemas Republika dengan menggunakan catchphrase; pilihan terbaik, prestasi terbaik Habibie. dan tindakan Habibie sebagai penghormatan terhadap hak rakyat Timtim. Sedangkan depiction yang digunakan adalah; keberanian Habibie, sikap kenegarawanan, dan dosa sejarah portugal. Negative Representation yang diberikan pada kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dikemas Republika dengan menggunakan retorika yang mendelegitimasi kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid. Kebijakan ini dinilai melalui metaphora yang digunakannya seperti; basa-basi diplomatik, tindakan yang gegabah, sikap arogan pemerintah serta menyakiti hati umat. Sedangkan depiction yang digunakan antara lain; tindakan brutal, pelecehan konstitusi, hubungan RI Israel adalah hubungan yang mubazir.
Lebih ekstrim lagi, jika kebijakan ini dijalankan, maka Republika memberikan consequences berupa; munculnya parlemen jalanan, tumbuhnya polarisasi dalam masyarakat, serta terganggunya hubungan dengan negara Arab lainnya. Sedangkan secara ekonomis efek yang ditimbulkan jika hubungan ini terealisasi adalah; timbulnya kerugian yang sangat besar di pihak Indonesia dan perbankan Yahudi akan memakan sebagian BUMN Indonesia.
Berdasarkan analisis framing yang dilakukan terhadap teks bahwa pada masa pemerintahan Presiden BI Habibie, Republika cenderung memberi bingkai positif terhadap kebijakannya. Sedangkan pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika memberikan bingkai negatif dan cenderung mendelegitimasi kebijakan pemerintah, terutama mengenai akan dibukanya hubungan RI - Israel.
Hal ini, secara politis bisa dijalankan, bahwa antara Republika dengan BJ Habibie sebagai presiden pada waktu itu memang ada unsur kedekatan, dimana BJ Habibie adalah Ketua Umum Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), organisasi yang melatarbelakangi lahirnya Republika. Jadi bisa dipahami apabila pembingkaian berita tentang kasus Timtim yang dibuat Republika adalah positif.
Pada masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Republika lebih bersikap kritis. Dalam kebijakan mengenai hubungan RI-Israel, Republika sangat gencar memberitakan permasalahan ini dengan mengambil bingkai mendelegitimasi kebijakan presiden. Secara politis dapat dipahami, bagaimana hubungan antara Presiden dengan Harian Republika yang kurang harmonis. Sedangkan dari segi ideologis, apa yang menjadi kebijakan Abdurrahman Wahid memang bertentangan dengan garis ideologi Republika sebagai koran yang berideologi Islam Modernis. Dalam hal ini Republika mendukung suara mayoritas masyarakat muslim yang tidak menginginkan adanya hubungan RI-Israel dalam bentuk apapun. Ini dikarenakan, Israel adalah negara yang telah sering melakukan penghinaan dan penindasan terhadap bangsa Palestina dan ingin menjadikan wilavah suci umat muslim ini sebagai wilayah kekuasaannya.
Secara ekonomis, pembingkaian Republika di kedua kasus ini diharapkan dapat meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia internasional. Sehingga kepercayaan mereka terhadap Indonesia kembali pulih dan secara tidak langsung akan memulihkan perekonomian Indonesia yang selanjutnya berdampak pada perkembangan industri media massa."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7021
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Indiwan Seto Wahju Wibowo
"Penelitian bertajuk `Pembunuhan Karakter dalam Pers Indonesia' ini menggunakan analisis semiotik, salah satu model analisis teks media. Tema yang diangkat adalah `character assassination' Presiden Abdurrahman Wahid dalam teks berita koran dan majalah Ibukota.
Sesuai sifatnya, penelitian kualitatif ini tidak berpretensi untuk menyamaratakan atau menggeneralisasi semua berita pers Ibukota telah melakukan `pembunuhan karakter' terhadap Presiden Abdurrahman Wahid. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis yang sejak awal sudah beranggapan bahwa tidak ada berita pers yang sungguh-sungguh netral.
Eriyanto (2001:52) menyatakan bahwa analisis teks berita yang bersifat kritis pada awalnya melihat realitas dan hubungan sosial berlangsung dalam situasi yang timpang. Media bukanlah saluran yang bebas tempat semua kekuatan sosial saling berinteraksi dan berhubungan.
Sebaliknya, pers penganut teori kritis memandang media bukanlah saluran yang bebas, tempat semua kekuatan sosial yang saling berinteraksi dan berhubungan. Media massa justru dimiliki oleh kelompok dominan, sehingga mereka lebih mempunyai kesempatan dan akses untuk mempengaruhi dan memaknai peristiwa berdasarkan pandangan mereka. Dalam suasana era reformasi, pers Indonesia seakan mendapat angin, berani mengkritik bahkan melakukan pembunuhan karakter.
Pembunuhan Karakter adalah upaya mendiskreditkan karakter seseorang terutama publik figur atau orang berpengaruh lewat pelemparan opini atau distorsi informasi yang penuh dengan kebohongan. Dalam penelitian kualitatif ini, figur Abdurrahman Wahid menjadi sosok yang sering dizalimi oleh media massa khususnya Rakyat Merdeka, Panji Masyarakat, Gatra serta Adil dan Republika.
Penelitian ini menganalisis teks-teks berita - baik berupa teks tertulis, gambar, foto atau ilustrasi yang berkaitan dengan sepak terjang dan pendapat Abdurrahman Wahid ketika menjadi Presiden RI.
Alasan utama mengapa topik ini diangkat adalah rasa ingin tahu penulis mengenai berita-berita macam apa yang bisa dikatagorikan sebagai upaya `pembunuhan karakter' oleh pers. Sekaligus menjadi telaah ilmiah mengenai konsep pembunuhan karakter yang selama ini seringkali disebut-sebut tetapi tidak pernah dikaji secara ilmiah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis semiotik Roland Barthes dan diperlengkapi dengan teknik analisis semiotik sosial Halliday. Semuanya terjalin dalam kerangka berpikir paradigma konstruktif yang mengarah kepada paradigma kritis saat melihat media massa dan kekuasaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam banyak hal media massa tertentu paling tidak dari 40 sample berita terpilih, telah melakukan `pembunuhan karakter' terhadap pribadi Gus Dur sebagai presiden.
Dari berita yang dianalisis menunjukkan hampir sebagian besar teks berita itu berisi berita-berita yang bertentangan atau melanggar kode etik jurnalistik wartawan. Pelanggaran yang sering dilakukan adalah pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia, yakni memuat berita tidak berimbang, terlalu interpretatif, mencampuradukkan antara fakta dan opini penulis serta melakukan penghinaan, pelanggaran hak privacy dan mencemarkan nama baik.
Di sisi yang lain hasil penelitian ini memungkinkan atau bisa mengilhami penelitian selanjutnya mengenai pelanggaran kode etik jurnalistik dan pengaruhnya pada kebebasan dan profesionalisme jurnalistik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9717
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarto
"Tesis ini mengkaji pemberitaan RCTI pada menjelang kejatuhan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998. Krisis ekonomi sejak awal tahun 1997 memicu gelombang aksi mahasiswa yang kemudian diikuti oleh berbagai unsur dari kalangan kelas menengah serta massa akar rumput di perkotaan. Aksi-aksi protes yang dimotori mahasiswa sendiri menjadi semakin besar, sebagian karena pemberitaan media baik di dalam maupun di luar negeri yang memblow-up aksi-aksi tersebut, sehingga mampu menekan institusi-institusi politik formal seperti DPR/MPR untuk menuntut Soeharto mundur dari jabatan Presiden. Selain itu, pemberitaan media tentang krisis ekonomi dan kerusuhan massal dengan berbagai dampaknya terhadap kehidupan masyarakat mampu membangun image tentang situasi chaos dan ketidak-berdayaan negara mengendalikan situasi yang ada, dengan demikian mendelegitimasi penguasa negara.
RCTI sebagai media yang sebagian besar sahamnya dimiliki Bambang Trihatmojo yang tidak lain dari anak Presiden Soeharto ternyata juga menunjukkan resistensinya terhadap kekuasaan negara. Fakta tersebut membuktikan bahwa media sebenarnya tidak pernah bersifat monolit menampilkan ideologi tunggal. Sebaliknya, media sebenarnya senantiasa menampakkan pluralitas ideologi dan kepentingan. Bahkan di negara-negara totalitarian, wajah media tidak semata-mata mewakili kepentingan negara, melainkan juga kepentingan berbagai pihak yang tidak selalu sejalan dengan kepentingan negara.
Selama pemerintahan Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto, media diposisikan sebagai aparat ideologi negara, sebagai bagian dari instrumen politik hegemoni negara. Namun negara sebenarnya tidak pernah mampu sepenuhnya mengontrol media. Sekecil apapun selalu ada ruang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan resistensi. Realitas masyarakat dan negara Orde Baru sebenarnya sangat kompleks. Struktur ekonomi-politik Orde Baru tidak bersifat kaku, monolit dan tidak tergoyahkan. Sebaliknya struktur ekonomi-politik Orde Baru mengandung kontradiksi-kontradiksi, baik yang bersifat internal maupun yang berasal dari faktor-faktor eksternal seperti kondisi ekonomi-politik global. Berbagai kontradiksi itulah yang memungkinkan lahirnya peluang bagi resistensi terhadap negara. Studi yang dilakukan dalam tesis ini menunjukkan bahwa media sebenarnya lebih sebagai "the battle ground for competing ideologies" daripada sebagai apparatus ideologi yang senantiasa tunduk dan takluk kepada negara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11468
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Nurani Muksin
"Fenomena konflik elit menjelang SI MPR 2001 yang tajam dan mendalam merupakan daya tarik tersendiri bagi media massa. Pengamatan awal memperlihatkan, pemberitaan beberapa media berkaitan dengan konflik elit tersebut cenderung memihak. Media menampilkan realitas sesuai dengan bingkai yang dikonstruksi, sehingga terdapat aspek yang ditekankan, dibesarkan, disamarkan atau bahkan dihilangkan. Dampaknya, terdapat pihak yang diuntungkan atau dirugikan oleh pemberitaan media tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang dikaji adalah: "Bagaimanakah konstruksi realitas tentang konflik elit politik menjelang SI MPR 2001 ditampilkan dalam bentuk berita oleh dua media nasional, Kompas dan Republika? Tujuan penelitiannya adalah: (1) menganalisis bingkai pemberitaan yang ditampilkan Kompas dan Repubiika, tentang konflik elit politik menjelang SI MPR 2001; (2) Mengetahui dan menganalisis peristiwa-peristiwa yang menjadi konteks dari berita pada periode tersebut; (3) Melihat kecenderungan pemberitaan Kompas dan Republika, dengan mengungkap, isu, individu, atau kelompok yang lebih diberi akses, dan diuntungkan dengan pemberitaan mereka yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertarungan wacana pada tataran publik.
Perspektif metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah perspektif konstruktivis yang beranggapan bahwa realitas adalah hasil konstruksi. Metode penelitiannya adalah analisis isi kualitatif. Sementara, metode analisis yang dipergunakan adalah analisis pembingkaian (framing analyis) dengan model analisis framing dari Zhondang Pan dan Gerald M. Kosicki (1993), meliputi perangkat: struktur sintaksis, skrip, tematik dan retoris. Satuan analisisnya adalah berita (hard news), meliputi: (1) memorandum l DPR; (2) Jawaban Presiden terhadap memorandum 1; (3) Memorandum II DPR; (4) Gagalnya pertemuan Presiden dan Pimpinan Parpol; (5) Percepatan SI MPR; (6) Penolakan Presiden hadiri SI; (7) Dekrit Presiden.
Teori yang dipergunakan dalam penelitian ini dipayungi oleh perspektif konstruktivisme. Teori konstruksi sosial atas realitas, dan teori komunikasi politik merupakan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian pertama, berkaitan dengan bingkai pemberitaan. (1) Pemberian memorandum 1 dibingkai Kompas: "upaya proses pelanggaran hukum", bingkai Republika: "saran agar Presiden non aktif"; (2) Jawaban Presiden terhadap memorandum I, dibingkai Kompas: "perlunya Presiden melakukan kompromi poiltik", Republika membingkainya: "jawaban Presiden tidak komprehensif karena menghindari soal Bulog"; (3) Memorandum II, dibingkai Kompas: "waktu Presiden satu bulan untuk memperbaiki kinerjanya oleh Republika dibingkai: "memorandum II merupakan kesempatan terakhir untuk Presiden; (4) Gagalnya pertemuan Bogor, dimaknai Kompas: "gagalnya upaya rekonsiliasi Presiden", oleh Republika dimaknai: "pimpinan parpol segan bertemu presiden"; (5) Percepatan SI, dibingkai Kompas: "SI jadi dilaksanakan oleh Republika dimaknai: "MPR bersidang menentukan pelaksanaan SI MPR (6) Penolakan Presiden hadiri SI MPR, dibingkai Kompas: "sikap Presiden dan PKB hadapi percepatan SI", Republika membingkai: "sikap lawan politik Presiden hadapi penolakan Presiden hadiri SI MPR"; (7). Isu dekrit dimaknai Kompas: "Presiden berlakukan dekrit", bingkai Republika: ?sikap konfrontatif Presiden direspon dengan rencana pengangkatan Mega jadi Presiden?.
Kedua: Peristiwa-peristiwa yang menjadi konteks dari berita pada periode tersebut adalah kebebasan pers era reformasi, fenomena konflik elit, dan hubungan elit politik (Presiden) dengan NU juga PKB.
Ketiga, Kecenderungan pemberitaan Kompas dan Republika berkaitan dengan beberapa isu yang diteliti, Kompas berusaha menampilkan pemberitaan yang netral dan tidak berpihak. Kompas lebih banyak mengkomodasi pernyataan Presiden, mereka yang tidak berlawanan dengan Presiden atau yang netral. Isu yang ditekankan adalah penyelesaian konflik baik dengan kompromi maupun rekonsiliasi. Sementara Republika, lebih menekankan aspek kesalahan Presiden. Isu yang ditekankan dalam adalah Presiden sebaiknya non aktif dan mengundurkan diri karena legitimasinya sudah habis. Yang Iebih diberi akses oleh Republika adalah Amien Rais sebagai sumber berita dan beberapa pernyataan dari lawan politik Presiden. Sumber berita dapat memberikan legitimasi dan delegitimasi terhadap seorang komunikator politik tertentu. Sumber berita yang diakses Republika cenderung memberikan delegitimasi pada Presiden Abdurrahman Wahid.
Bagi studi mendatang, untuk mengungkap konflik politik di media massa, secara metodologis direkomendasikan menggunakan analisis wacana kritis. Asumsinya adalah karena analisis wacana kritis dengan analisis yang holistik (bukan hanya pada level teks) diharapkan dapat mengungkap realitas konflik beserta ideologi yang tersembunyi di baliknya secara lebih tajam dan mendalam."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T12241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Susanto
"ABSTRAK
Malaysia, sebuah negeri Melayu di kawasan Asia Tenggara, yang mempunyai kekhasan tertentu dalam melaksanakan politik luar negerinya. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor-faktor alamiah (negeri penghasil industri asal agraris), masyarakat rasial Melayu, Cina, India), dan faktor-faktor luar yang saling berkaitan dengan persoalan-persoalan di dalam negeri.
Kepemimpinan Mahathir sejak 1981 menunjukkan corak yang berbeda dengan para pendahulunya. Perubahan orientasi yang dimaksudkan beriring dengan upaya merubah sekmentasi budaya pribumi yang berkesan tidak sesuai dengan masyarakat industri. Kebijaksanaan penataan kembali hubungan dengan Inggris, bekas koloninya, berkaitan dengan upaya menegakkan jati-diri bangsa. Peningkatan hubungan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah berkaitan dengan akomodasi gerakan fundamentalis di dalam negeri. Kebijaksanaan menoleh ke arah Timur (Jepang dan Korea Selatan) dimaksudkan merangsang perubahan segala aspek kehidupan masyarakat menuju era masyarakat industri sambil mendapatkan modal bagi pembangunan. Peningkatan dan bersandarkan pada kebijaksanaan bersama dalam ASEAN membantu meredakan ketegangan hubungan dengan sesama negara se-kawasan. Sementara membuka hubungan diplomasi dengan Pasifik Selatan seiring dengan upaya menegakkan kemandirian sesama bangsa dan negara yang baru merdeka di abad ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Antonius Sujata
Jakarta : Jambatan, 2000
342.03 ANT r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>