Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Esti Puji Hartanti
Abstrak :
Kebijakan komunikasi sebagai kebijakan publik hendaknya selalu berpihak pada kepentingan publik. Maka, diperlukan proses analisis terhadap kebijakan komunikasi. Tujuannya adalah untuk mengelaborasi alternatif atau prediksi yang muncul dalam sistem, sehingga memperoleh hasil dengan sedikit risiko tetapi memiliki peluang yang besar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan proses pengumpulan data yaitu teknik field research, mengumpulkan berbagai notulensi rapat dan wawancara para pembuat kebijakan. Kemudian dijabarkan secara deskriptif, dan dianalisis secara tematik dari proses general system theory. Tema yang dijabarkan meliputi masalah (problem), sumber input (resource input), proses internal (internal process), hasil (solution), dan evaluasi (evaluation). Kelima tema ini memunculkan konsep elaborasi alternatif, yang mampu membuat struktur dalam sistem menjadi lebih dinamis. Hal ini dikarenakan hubungan arah panah diagram yang asimetris, setiap bagian bisa saling berhubungan pada saat bersamaan. Maka sistem selalu mengalami pertumbuhan untuk hasil yang lebih baik.
Communication policy as a public policy is intended as a favour of public interest. Accordingly, communication policy needs analysis process. The purpose is to elaborate alternative or prediction which appears in system, so that minimal risk can be achieved and it creates a big chance. The research used qualitative method with field research technique. The researcher collected the minutes of the meeting and did in-depth interview with the policy maker. The result was descriptively explained and thematically analyzed by the general system theory. The themes explained were the problem, the resource input, the internal process, the solution, and the evaluation. Those five themes create an elaborated alternative concept that is able to make systems structure more dynamic. It happens because the direction of the diagram arrow heads to asymmetric and every part can connect in the same time. Then, the systems show a growth for a better output.
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurahman Adhiyamtomo
Abstrak :
Penelitian ini dibuat untuk mencapai tiga tujuan. Pertama, untuk memahami pengaturan penolakan permohonan eksekuatur Arbitrase Internasional di Indonesia, kedua, untuk mengetahui penafsiran asas ketertiban umum di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan arbitrase dan ketiga, untuk mengetahui apakah Penolakan Permohonan Eksekuatur Putusan Arbitrase SIAC No. ARB062/08/JL oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung dengan menggunakan asas Ketertiban Umum sudah tepat atau tidak. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan dimana hal ini dilakukan dengan cara mengkaji putusan-putusan pengadilan dan Arbitrase, peraturan perundang-undangan serta buku-buku dan dokumen lain untuk dianalisis. Tipologi penelitian adalah yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundangundangan di bidang arbitrase serta aturan prosedural (rules) yang berlaku dalam pengakuan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa Penggunaan asas ketertiban umum oleh PN Pusat di dalam Penetapan No.05/Pdt/ARBINT/2009 dan Mahkamah Agung dalam Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/2010 tidak tepat dalam kasus ini karena hanya menggunakan interpretasinya sendiri yang tidak didasarkan kepada arti dari ketertiban umum itu sendiri. Penulis juga berkesimpulan bahwa pada saat Putusan Arbitrase SIAC ini tidak mendapat eksekuatur, maka asas ketertiban umum itu sendiri yang akan terlanggar dengan pemahaman bahwa tidak adanya kepastian hukum untuk menjalankan Perjanjian yang sesuai dengan kontrak (tidak ditaatinya Pacta Sunt Servanda sesuai pasal 1338 KUH Perdata) dan juga terlanggarnya kebijakan publik yaitu Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. ......The research is made to achieve three objectives. First, to understand the rule in refusing international arbitration award in Indonesia. Second, to understand the interpretation of public order in Indonesia?s arbitration laws, and third to know whether the use of public order in the refusal of Arbitration Award No. ARB062/08/JL by Jakarta Pusat District Court and Republic of Indonesia Supreme Court is already proper. The research is using literature research methodology, which is done by studying court verdicts, arbitration awards, rules and legislations, books and other documents in making the analysis. The research typology is normative, which is done by doing analysis to legislations in arbitration field and other arbitration rules and procedures applied applied in Indonesia. The research found that the use of public order in refusing arbitration award by Jakarta Pusat District Court in Penetapan No.05/Pdt/ARBINT/2009 and Republic of Indonesia Supreme Court in Putusan No. 01 K/Pdt.Sus/2010 is not proper. They used their own interpretation of public order without considering the essential meaning of the public order itself. The writer concluded that, at the time SIAC Arbitration Awards didn?t get the exequatur, the public order itself was violated, with the justification that there?s no law certainty to execute agreeement (violation against Pacta Sunt Servanda as in Article 1338 KUH Perdata) and there is also a violation to Indonesia?s public order, Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41858
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mainora
Abstrak :
Faktor penyebab stunting menurut WHO 2013 secara komprehensif diuraikan menjadi faktor langsung dan tidak langsung. Prevalensi Balita stunting di Indonesia tergolong cukup tinggi dan distribusinyapun tidak merata, antara desa kota maupun antar provinsi. Tujuan penelitian ini ingin melihat bagaimana gambaran prevalensi stunting, capaian indikator PISPK, serta bagaimana hubungan 12 indikator PISPK dengan prevalensi stunting di kabupaten/kota di Indonesia tahun 2017. Desain penelitian ini adalah studi crossectional dengan sampel sebanyak 452 kabupaten/kota di Indonesia, menggunakan data sekunder prevalensi stunting dan 12 indikator program PIS-PK. Analisis statistik yang di lakukan yaitu univariat,Uji korelasi Spearmen dan Pearson serta analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi linear ganda.Hasil penelitian ini menunjukkan. Hasil uji bivariat di peroleh variabel dengan prevalensi stunting yang berhubungan secara signifikan adalah persentase keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat - , persentase keluarga sudah menjadi anggota Jaminan Kesehatan Nasional JKN - , persentase bayi mendapatkan imunisasi dasar lengkap - , persentase ibu melakukan persalinan di fasilitas kesehatan - , persentase penderita tuberkulosis paru mendapatkan pengobatan sesuai standart , persentase penderita hipertensi melakukan pengobatan secara teratur. Hasil uji multivariat di dapatkan persentase keluarga mempunyai akses atau menggunakan jamban sehat merupakan faktor dominan yang berhubungan dengan prevalensi stunting.Dari hasil penelitian ini diharapkan pemerintah dan semua pihak dapat meningkatkan program-program yang sudah berjalan selama ini dalam meningkatkan akses jamban sehat oleh keluarga di Indonesia, serta program lainnya yang berhubungan dengan prevalensi stunting, seperti peningkatan fungsi Posyandu. ......Stunting factors according to WHO 2013 are comprehensively described to be direct and indirect factors. The prevalence of under five stunting in Indonesia is quite high and the distribution is uneven, between urban and inter provincial villages. The purpose of this study is to see how the prevalence of stunting, PISPK indicator achievement, and how 12 PISPK indicator relationship with stunting prevalence in districts cities in Indonesia in 2017. The design of this study is cross sectional study with 452 districts cities in Indonesia, using data secondary prevalence of stunting from the results of Nutrition Status Monitoring PSG and 12 indicators of PIS PK program. Statistical analysis done was univariate, Spearmen and Pearson correlation test and multivariate analysis using multiple linear regression test. The results of this study show that bivariate test results obtained by variables with prevalence of stunting are significantly related is the percentage of families have access or use healthy latrine, the percentage of families have become members of the National Health Insurance JKN, the percentage of infants get basic immunization complete, the percentage of mothers performing delivery at health facilities, the percentage of patients with pulmonary tuberculosis get treatment according to standard, the percentage of hypertensive patients perform regular treatment. Multivariate test results in obtaining a percentage of families having access to or using healthy latrine were the dominant factors associated with stunting prevalence. From the results of this study, it is expected that the government and all parties can improve the programs that have been running so far in improving access to healthy latrines by families in Indonesia, as well as other programs related to the prevalence of stunting, such as improving the function of Posyandu.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T51154
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
H. Soenarko
Surabaya: Airlangga University Press (AUP), 2005
320.6 SOE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Amri Marzali
Jakarta: Kencana Prenada Media, 2012
320.6 AMR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Shergi Laksmono
Jakarta: UI-Press, 2009
PGB 0306
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Fona Lengkana
Abstrak :
ABSTRAK
Sektor berbasis lahan menjadi andalan utama untuk mereduksi emisi, setidaknya 17 dari target penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia. Sebagian besar pendanaan publik dalam negeri untuk perubahan iklim hampir 75 dialokasikan untuk berbagai kegiatan inti di bidang mitigasi. Untuk kegiatan pendukung, sebagian besar dukungan pendanaan ditujukan ke sektor kehutanan sebesar 73 . Pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu topik utama yang dibicarakan dan dinegosiasikan di setiap pertemuan perubahan iklim internasional karena merupakan sumber biaya dan investasi untuk dapat mengurangi emisi. Dengan membangun kerangka berpikir penelitian, didapatkan hasil bahwa Pemerintah Indonesia belum cukup mampu untuk dapat memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca untuk kegiatan mitigasi sektor kehutanan, baik pada kondisi unconditional dan juga conditional. Kebijakan yang dapat ditempuh yaitu dengan meningkatkan pendanaan publik perubahan iklim, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
ABSTRACT
Land based sector has become a major force in emission reduction, covering at least 17 of the greenhouse gas emissions reduction target in Indonesia. Most of the domestic public climate finance in Indonesia nearly 75 is allocated for core activities in the areas of mitigation. For support, the majority of the finance intended to support forestry sector amounted to 73 . The climate finance is one of the major topics discussed and negotiated in any international climate change conventions because it is a source of costs and investments to reduce emissions. By building a conceptual framework, the results obtained show that Indonesian government is yet to be quite capable to meet the target to reduce greenhouse gas emissions for forestry mitigation activities, either conditionally or unconditionally. Policies that can be drawn includes increasing public climate finance, both from within the country and abroad.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2017
T47583
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Wahyu Pangesti
Abstrak :
Implementasi kebijakan bantuan sosial APBD berupa uang tunai sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang ekonominya terdampak akibat pandemi COVID-19 di Kota Depok diberikan pada tahun 2020 secara tiga tahap, yaitu bulan April, bulan Mei dan bulan Juli. Bantuan sosial APBD diberikan sebesar Rp250.000/KK untuk masyarakat Kota Depok Non-DTKS yang kriterianya telah ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota Depok Nomor 38 Tahun 2020. Pemberian bantuan sosial APBD tersebut bertujuan sebagai bentuk perlindungan untuk menjamin masyarakat yang terdampak ekonomi akibat adanya pandemi COVID-19. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi bantuan Sosial APBD sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat terdampak COVID-19 di Kota Depok dengan menggunakan teori policy implementation framework analysis oleh Moulton da Sandfort (2017). Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu post-positivist dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara mendalam sebagai data primer dan studi literatur sebagai data sekunder, serta teknik analisis yang digunakan adalah kualitatif. Hasil dari penelitian ini bahwa pengimplementasian kebijakan bansos APBD sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat yang ekonominya terdampak akibat pandemi COVID-19 di Kota Depok berlangsung dengan baik dikarenakan dari 8 subdimensi dari 10 subdimensi yang ada pada komponen dalam kerangka kerja analisis kebijakan publik sudah terpenuhi. Perubahan yang ingin dicapai dampaknya sudah dirasakan oleh masyarakat melalui koordinasi dan mobilisasi yang dilakukan oleh para pelaksana agar intervensi yang dilakukan sesuai dengan yang ditetapkan. Walaupun demikian, sebagai bansos tidak terduga masih ada permasalah yang terjadi akibat adanya trial error. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah Dinsos Depok meningkatkan upaya koordinasi pembuat kebijakan serta pelaksana lainnya dan memperbaiki database penerima bantuan sosial baik DTKS maupun Non-DTKS ......Implementation of the APBD social assistance policy in the form of cash as a social safety net for people whose economies are affected by the COVID-19 pandemic in Depok City will be given in 2020 in three stages, namely April, May and July. The APBD social assistance is given in the amount of Rp. 250,000/KK for the people of Depok City Non-DTKS whose criteria have been set in the Depok Mayor Regulation Number 38 of 2020. The provision of APBD social assistance is intended as a form of protection to ensure that people are economically affected by the COVID pandemic -19. Therefore, this study aims to analyze the implementation of APBD Social assistance as a social safety net for communities affected by COVID-19 in Depok City using the theory of policy implementation framework analysis by Sandfort and Moulton (2017). The research approach used is post-positivist with data collection techniques with in-depth interviews as primary data and literature study as secondary data, and the analysis technique used is qualitative. The results of this study are that the implementation of the APBD social assistance policy as a social safety net for people whose economies are affected by the COVID-19 pandemic in Depok City is going well because of the 8 subdimensions of the 10 subdimensions that exist in the components in the framework of public policy analysis have been fulfilled. The impact of the changes to be achieved has already been felt by the community through coordination and mobilization carried out by the implementers so that the interventions carried out are in accordance with what has been determined. However, as an unexpected social assistance, there are still problems that occur due to trial error. The recommendation that can be given is that the Depok Social Service Office increases the coordination of policy makers and other implementers and improves the database of recipients of social assistance, both DTKS and Non-DTKS.
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iwan Kurniawan
Abstrak :
ABSTRAK
Tuntutan pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar khususnya kesehatan bagi masyarakat sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan sangat tinggi. Sementara kebijakan pemerintah dalam rangka mendorong perbaikan pelayanan dasar melalui desentralisasi sejak tahun 1999 belum terlihat hasilnya. Oleh karena itu, Pemerintah telah mencanangkan perlunya dilakukan pengaturan Standar Pelayanan Minimal (SPM) bagi daerah otonom. Penerapan kebijakan SPM bagi daerah otonom mulai diperkenalkan tahun 2000 dengan berlakunya PP No. 25 Tahun 2000, namun baru efektif sejak keluarnya SE Mendagri No.100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002. Namun, belum sempat daerah otonom menerapkan SPM sesuai amanat peraturan perundangundangan, UU No. 22 Tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan ini dilanjutkan dengan terbitnya PP No. 65 tahun 2005 yang memperkuat posisi SPM untuk diterapkan di daerah otonom. Penelitian ini berangkat dari permasalahan pokok yaitu bagaimana pengaturan SPM di instansi Pemerintah Pusat dan instansi Pemerintah Daerah, dan efektivitas pengaturan tersebut di daerah otonom, serta faktor-faktor apa yang mendorong dan menghambat efektivitas pengaturan SPM di daerah otonom. Jawaban atas permasalahan penelitian ini dilakukan secara yuridis-normatif, dengan menelaah data sekunder yang menggunakan alat pengumpulan data secara studi kepustakaan dengan metode pengolahan dan analisa data secara pendekatan kwalitatif serta bersifat deskriptif-analitis dan berbentuk preskriptif-analitis. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan. Pertama, amanat konstitusi yang menghendaki pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar belum mampu diberikan oleh pemerintah (Pusat dan Daerah) secara optimal, meskipun Pemerintah terus mengembangkan pengaturan terkait penerapan SPM di daerah otonom. Kedua, pengaturan SPM bagi daerah otonom belum efektif karena peraturan perundang-undang yang mengatur SPM tidak menegaskan jenis pelayanan dasar yang wajib diatur dan rumusan norma dan validitas norma peraturan yang dibuat sebagai dasar hukum pemberlakuan kebijakan SPM tersebut tidak taat asas-asas hukum dan dapat dikatakan tidak valid. Ketiga, terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi pelaksanaan SPM di daerah otonom. Untuk itu, dalam rangka ius constituendum, tiada jalan lain yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengaturan SPM bagi daerah otonom adalah dengan merevisi Pasal dalam UU Pemerintahan Daerah yang berisi pengaturan tentang jenis pelayanan dasar yang menjadi urusan pemerintahan yang wajib diatur melalui pengaturan SPM. Selain itu, merevisi pedoman penyusunan dan penerapan SPM agar lebih sederhana dan tidak berbelitbelit, sehingga memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk berkoordinasi dalam rangka mencapai target akhir SPM yaitu mewujudkan kesejahteraan melalui pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar sesuai amanat.
ABSTRACT
Demands on the fulfillment of basic service requirements, public health in particular as it grafted in the constitution and in many laws and regulations, are very high. Meanwhile, the government policies in order to encourage the amelioration of basic services through decentralization since 1999 has not seen the results. In order to do so, the Government has established the need for Minimum Service Standards (MSS) regulation for the self-government regions. Actually in 2000, the implementation of MSS policy for the autonomy regions have had introduced with the enactment of PP No. 25/2000, but it was going into effect since the issuance of SE Mendagri No.100/757/OTDA July 8, 2002. However, before the autonomy regions yet had time to implement the MSS as mandated by the legislation, Law number 22/1999 was altered to Law number 32/2004 regarding Local Governance. These changes are followed by the issuance of PP. 65/ 2005 to strengthen the position of MSS to be implemented in autonomy regions. This research begin with the main issue about how the MSS regulation in the government agencies and local government agencies, and the effectiveness of these regulations in autonomy regions, as well as the factors that encourage and impede the effectiveness of the MSS regulations in autonomy regions. The answer to the issues of this research was held in juridical-normative approach, by studying secondary data in a literature study manner using data collecting tool with data processing and analysis methods in qualitative approach and descriptive-analytical and prescriptive-analytical form. This research has found several findings. First, despite still continue developing regulation regarding MSS implementation in autonomy region, the Government (both central and local) has not been able to give the the fulfillment of basic service requirements in an optimal fashion that required by the constitutional mandate. Secondly, MSS regulation for autonomy regions has not been effective yet due to laws and regulations governing the MSS does not emphasize the type of basic services that must be regulated and the formulation of norms and validity of regulation norms that are made as the legal basis of policies such MSS does not comply with the law principles and can be said invalid. Third, there are many factors that affecting the realization of MSS in the autonomy regions. For the matter of that, to comply ius constituendum, there is no other way to do to improve the MSS regulation for the autonomy regions other than to revise the articles in Law regarding Local Governance that contain the regulation regarding the types of basic services that become governance affair that must be regulated through the MSS regulation. And what is more, to revise guidance for the drafting and implementation of MSS to be more simple and not complicated, making it easier for the Government and Local Government to coordinate in order to achieve the MSS final target that is to actualize the public welfare through the fulfillment of basic service requirements as mandated by the constitution.
2011
T29260
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Morris, Schaefer
Geneva: World Health Organization, 1999
613 SCH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>