Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Windy Kusuma
Abstrak :
Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat. Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan. ......Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification. Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded. Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups. Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Eka Putri Heriyati
Abstrak :
Latar Belakang: Sel endotel kornea (SEK) paling mudah mengalami kerusakan pasca fakoemulsifikasi (fako). Pengaturan parameter fako menjadi salah satu cara untuk mengurangi kerusakan SEK. Tekanan intaokular (TIO) selama fako berlangsung mempengaruhi kenyamanan pasien. TIO dipengaruhi oleh pengaturan parameter fako. Tujuan: Membandingkan pengaturan fako dengan parameter high (H) dan low (L) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) terhadap SEK dan persepsi nyeri pasien selama fako. Desain: Uji klinis randomisasi tersamar ganda. Hasil: 48 sampel untuk kedua kelompok fako parameter high dan low terkumpul selama periode November 2013-April 2014. Penilaian objektif SEK meliputi endothel cell density (ECD) dan central corneal thickness (CCT). Persepsi nyeri untuk menilai persepsi nyeri pasien digunakan kartu visual analog scale (VAS) yang telah menjadi standar JCI di RSCM. Terjadi peningkatan CCT dan penurunan ECD kedua kelompok parameter pasca fako 1 bulan, masing-masing 0.23VS2.23 dan 8.53VS6.99 (p>0.05). Tidak ada perbedaan signifikan pada VAS kedua parameter. Efikasi fako berdasarkan penilaian cumulative dissipated energy (CDE) kelompok H lebih baik daripada L (15.80VS21.29). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan keamanan dan kenyamanan pasien fako parameter H dan L. ......Background: Corneal endothelial cell (CEC) prone to damage after phacoemulsification (phaco). Phaco parameter setting is an effort to reduce damage to the CEC. Patient?s comfort during phaco is influenced by IOP during phaco, in which are influenced by parameter settings. Purpose: To compare phaco setting parameters from high (H) and low (L) parameters in Cipto Mangunkusumo (CM) hospitals impacted on CEC and patient?s pain perception (PP) during phaco procedure. Study design: randomized control trial double blind. Results: 48 outpatients were elegibly selected by RCT at CM hospital in periods of November 2013 ? April 2014. Impact of setting parameter difference were observed by objective measurement of endothel cell density (ECD), central corneal thickness (CCT). For PP a JCI approved standard using visual analog scale (VAS) were adapted. A built in software for phaco US energy count which is cumulative dissipated energy (CDE) used to objectively timed the phaco time, duration of operation (DO) were timed, and standard visual acuity (VA) was also noted. Analisis data using general linear model (GLM) repeated measures. Increase of CCT and decrease of ECD after 1 month in high and low phaco parameter are not significantly difference, respectively 0.23VS2.23 and 8.53VS6.99 (p>0.05).Significant difference were found in CDE between H and L; 15.80VS21.29 (p0.015).No statisticaly significant difference of VAS nor DO and VA. Conslusion: No different in safety and patient's comfort using high and low parameter phaco.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Buratto, Lucio
Grove Road : SLACK , 2003
617.742 PHA
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Tujuan : membandingkan efektifitas dan keamanan antara teknik fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur. Metoda : penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan metoda tersamar ganda terhadap 32 pasien katarak senilis matur putih yang dilakukan bedah katarak insisi kecil dengan pemasangan lensa intra okular (LIO). Pasien dibagi menjadi 2 kelompok secara acak,16 pasien menjalani bedah katarak dengan teknik fakofragmentasi (kelompok I) dan 16 pasien lain dengan teknik fakoemulsifikasi (kelompok II). Parameter keamanan adalah perubahan diameter pupil sesaat sebelum pembedahan dan sesaat sebelum implantasi LIO, ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan (BMD). Lama waktu mengeluarkan nukleus, tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK) dan surgically induced astigmatism (SIA) yang terjadi dipakai sebagai parameter efektifitas. Tindak lanjut dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-15 dan ke-30 pasca bedah. Hasil : tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel usia, tajam penglihatan, ketebalan kornea dan jumlah suar sebelum pembedahan antara kedua kelompok. Rerata diameter pupil sebelum pembedahan dan sebelum implantasi LIO tidak berbeda bermakna, serta tidak didapatkan perubahan konstriksi pupil yang signifikan pada kedua kelompok. Lama waktu mengeluarkan nukleus lebih lama pada kelompok II (4.38+2.51 mnt) dibanding kelompok I (1.98+1.61 mnt). Perbedaan bermakna hanya terjadi pada TPTK (p=0.00067) dan ketebalan kornea (p=0.0044) pada tindak lanjut hari pertama. Namun, tidak didapatkan lagi perbedaan bermakna pada tindak lanjut selanjutnya. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel jumlah suar dan SIA selama tindak lanjut. Kesimpulan : teknik fakofragmentasi dan teknik fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur memberikan hasil keamanan dan efektivitas yang sama baik. Teknik fakofragmentasi tampaknya dapat merupakan suatu alternatif bedah katarak insisi kecil dan dapat menggantikan bedah katarak konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas bedah katarak. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)
Purpose : To compare the effectiveness and safety of phacofragmentation and phacoemulsification techniques on senile white mature cataract. Methods : Prospective, double masked, randomized study comprises 32 eyes of senile white mature cataract randomly divided into 2 groups, 16 eyes had phacofragmentation (group I) and 16 eyes had phacoemulsification (group II). The evaluated safety parameters were pupil diameter pre surgery and prior to intra ocular lens (IOL) implantation, corneal thickness and flaremeter. Nucleus delivery, uncorrected visual acuity (UCVA) and surgically induced astigmatism (SIA) were the effectiveness parameters. Follow-up were scheduled for post-operative day 1,7,15 and 30. Results : prior to the surgery there were no significant differences in age, visual acuity, corneal thickness and flaremeter between two groups. Pre surgical and prior to IOL implantation mean pupilarry diameters in both groups were not significantly different. There was no significant difference in pupillary constriction on both groups. The mean of time to deliver the nucleus was significantly longer in the group II (4.38+2.51 min) than in the group I (1.98+1.61 min). There was significant difference on UCVA (p= 0.00067) and corneal thickness (p=0.0044) only on the first post-operative day. However, there was no significant difference on further evaluations (p>0.05). There were also no significant difference on flaremeter and SIA during follow-up. Conclusion : Both phacofragmentation and phacoemulsification techniques were effective and safe for cataract surgery on senile white mature cataract. Phacofragmentation technique therefore could be an alternative small incision cataract surgery. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 94-102, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-94
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartini Rustandi
Abstrak :
Buta katarak merupakan masalah kesehatan dan sosial yang m gakibatkan kerugian ekonomis yang besar bagi penderita maupun keluarga, dapar diatasi dengan dndakan operasi. Terbatasnya mmber daya dan dana serta tingginya angka buta katarak pada masyamkat kumng mampu di Kabupaten Karawang, memerlukan altematif rchabilitasi yang paling cos! ejiecrive. Tiga altematif kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di Knbupaxen Karawang tahun 2000, yaim di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), Balai Kesehatan Mata Masyarakat (BKMM) dan puskesmas. Penelitian ini mcrupakan penelitian deskmiptif, yang menggunakan data sekunder ditinjau dari sisi provider, di sarana pclayanan yang melaksanaknn kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Karawang Tahun 2000, .dengan tujuan mendapatkan gambaran aiternatif terbaik dari kegiatan pelayanan operasi katarak di Kabupaten Kamwang dengan membandingkan biaya satuan dan cakupan kegiatan ketiga altematitf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pelayanan operasi katarak yang dilaksanakan di puskesmas merupakan altemaiif yang paling can qffecfive ditinjau dali segi biaya., dibandingkan kegiatan pelayanan di BICMM dan RSUD Tetapi BKMM memiliki jangkauan pclayanan yang paling Unmk mendukung Jawa Barat bebas buta katarak penduduk misldn tahun 2005 disarankan rneningkatkan iielcuensi kegiatan pelayanan operasi katarak di puskesmas dan melakukan kombinasi kegiatan di BKMM dan puskesmas Serta meningkatkan penyuluhan kebutaan karcna ka.ta.rak $66811 terpadu. ......Cataract blindness is a health and social problem, which can bring great economic loss to the person as well as hisfher family, but it can be solved by taking an operation procedure. Because of limited resources in health sector and high cataract prevalence, most cost eE`ective altemative treatment is needed. There are 3 altematives of cataract operation service available in Karawang District. The purpose of this smdy is to explore the best alternative or the most cost etfective cataract operation service rendered in-Karawang Disuict by comparing the unit cost and output of cataract operastion in District Hospital (RSUD), Community Eye Centre (BKMM) and Health Center. This study is a descriptive one, base on mondary data related to the cataract operation services and the data were collected using a specilic instruments. The result of this study shows that cataract operation service held publicly in Health Center is the most cost elfective alternative, compare to those held in Community Eye Centre (BKMM) and District Hospital (RSUD), however Community Eye Centre (BKMM) has th largest coverage or output. To support "Jawa Barat Bebas Katarak Penduduk Miskin Tahun 2000" it is recommended to increase the Eequency of the cataract operation service in Health Center, combined with cataract operation services in Health Center and Community Eye Centre. It is also recommended to promote the dissemination of information about the rehabilitation of blindness due to cataract.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T6436
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azrina Noor
Abstrak :
Tujuan: membandingkan efektivitas yang dinilai berdasarkan Cumulative Dissipated Energy (CDE), Phaco Time, Best Corrected Visual Acuity (BCVA), dan Keamanan yang diukur berdasarkan Endothelial Cell Density (ECD), Central Corneal Thickness (CCT), dan Balanced Salt Solution. (BSS) volume yang digunakan, dari empat dan enam segmen nukleofraktis dalam teknik fakoemulsifikasi stop and chop untuk katarak sedang-keras. Metode: Uji klinis prospektif yang melibatkan 42 dengan densitas nuklear derajat NO/NC 3-5 berdasarkan Lens Opacities Classification System III (LOCS III), dirandomisasi menjadi dua kelompok nukleofraksis, empat segmen (21 subjek) atau enam segmen (21 subjek). Pengukuran objektif dilakukan pre operatif, 1 hari, 1 minggu, dan 1 bulan pasca operasi yang meliputi ECD, CCT, dan TPDK. Intra- operatif dinilai CDE, phaco time, dan volume BSS yang terpakai. Hasil: terjadi penurunan ECD (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) dan peningkatan CCT (346.42 ± 154.45 sel/mm2 VS 247.05 ± 160.40 sel/mm2) pada kedua kelompok pada satu bulan pasca operasi. Tidak ada perbedaan yang bermakna pada TPDK satu bulan pasca operasi kedua kelompok (logMAR 0.05 VS 0.04). Parameter intra-operatif dalam kelompok empat segmen (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 detik, BSS 59.38 ± 12.04 ml) sebanding dengan kelompok enam segmen (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 detik, BSS 58.86 ± 13.32 ml), dan tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik. Simpulan: tidak terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik parameter efektivitas dan keamanan antara kelompok nukleofraksis empat segmen dan enam segmen. Namun, pasca operasi nukleofraksis empat segmen mempunyai kecenderungan menimbulkan efek kerusakan endotel lebih banyak dibandingkan nukleofraksis enam segmen. ......Objective: to compare effectiveness, assessed by cumulative dissipated energy (CDE), phaco time, best corrected visual acuity (BCVA), and safety which were observed by endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), and balanced salt solution (BSS) volume used, of four and six segments nucleofractis in stop and chop phacoemulsification technique for moderate-hard cataract. Methods: This prospective study comprised forty-two subjects with NO/NC 3-5 nuclear density according to the Lens Opacities Classification System III (LOCS III) system. Patients were equally randomized into four segments or six segments nucleofractis group. Stop-and-chop technique were applied in all subjects. The objective measurements of ECD, CCT, and BCVA were performed pre-operative, 1 day, 1 week, and 1 month post-operative. Phaco time, CDE and BSS volume were measured intraoperatively. Results: The mean ECD were reduced (5.76 ± 29.08 μm VS 2.33 ± 13.73 μm) and CCT increased (346.42 ± 154.45 cells/mm2 VS 247.05 ± 160.40 cells/mm2) in both groups after 1 month follow-up. No statistically difference was found between mean BCVA at 1 month follow-up in both group (logMAR 0.05 VS 0.04). All intraoperative parameters of four segments group (CDE 20.73 ± 6.46, phaco time 78.49 ± 23.63 second, BSS 59.38 ± 12.04 ml) were comparable with six segments group (CDE 20.46 ± 5.47, phaco time 78.62 ± 13.80 second, BSS 58.86 ± 13.32 ml). Conclusions: No effectiveness and safety difference between four and six segments nucleofractic in stop and chop phacoemulsification technique for moderate - hard cataract. However, our study demonstrates the tendency of higher endothelial cell loss in four segments nucleofractis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Dwijayanti
Abstrak :
ABSTRAK
Kemajuan teknologi dalam peralatan kedokteran menciptakan alternatif baru dalam pelayanan kedokteran, termasuk di oftalmologi. Salah satu cara operasi katarak yang baru disebut fakoemulsifikasi (Fako) yang memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan cara konvensional yaitu Ekstraksi Katarak Ekstra Kapsular (EKEK). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi efektivitas biaya dari dua metode operasi katarak yaitu Fako dan EKEK yang dilakukan di RSUP Fatmawati di Jakarta. Penelitian ini deskriptif, namun beberapa pendekatan analitis juga digunakan. Pengambilan data secara cross sectional dengan sampel sebanyak 192 pasien operasi katarak (96 pasien Fako dan 96 pasien EKEK) yang dipilih secara acak dari 300 populasi. Data sekunder diperoleh dari rekam medis pasien yang menjalani operasi katarak pada tahun 2009 di rumah sakit untuk mengetahui tiga indikator keberhasilan operasi. Activity-based costing (ABC) digunakan untuk menghitung biaya dari setiap metode, dan teknik pembobotan oleh duabelas dokter mata dari RSUP Fatmawati dan RSU Dr. Sardjito dilakukan untuk mendapatkan nilai tunggal (indeks komposit) dari efektivitas operasi katarak. Biaya yang dihitung adalah biaya langsung yang berhubungan dengan operasi katarak, yaitu biaya pemeriksaan mata, biaya laboratorium, biaya rontgen thorax, biaya konsultasi, biaya operasi, biaya pelayanan farmasi, dan biaya administrasi. Efektivitas diperoleh melalui pembobotan tiga indikator keberhasilan operasi katarak, yaitu ketajaman visus pasca operasi, tidak adanya astigmat pasca operasi, dan tidak adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi. Perhitungan efektivitas operasi katarak dilakukan dengan modifikasi metode Bayes. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya satuan normatif operasi Fako sebesar Rp. 4.419.755,17, yang lebih mahal dibandingkan EKEK (Rp. 3.369.549,24). Biaya obat-obatan dan bahan medis adalah komponen biaya terbesar pada operasi katarak di RSUP Fatmawati. Hasil penelitian menunjukkan ketajaman visus pasca-operasi untuk grup Fako secara signifikan lebih baik daripada kelompok EKEK (p <0,05 dan odds ratio = 28.5). Dalam hal tidak adanya astigmat pasca-operasi, kelompok Fako secara signifikan lebih baik daripada kelompok EKEK (p <0,05, rasio odds = 22.7). Namun, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok untuk tidak adanya komplikasi intra-operasi dan pasca-operasi (p> 0,05). Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa Average Cost-effectiveness Ratios (ACER) metode Fako lebih rendah (Rp.1.379.326,08) dibandingkan dengan ACER EKEK (Rp. 1.485.113,49). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa, dalam penelitian ini metode Fako lebih cost effective daripada metode EKEK. Disarankan penelitian lebih lanjut yang mencakup seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pasien operasi katarak dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif terhadap dua teknik operasi katarak dan pilihan yang lebih baik terhadap teknik operasi yang dapat ditawarkan untuk populasi yang lebih luas
Abstract
Technological advancement in medical equipment has created new alternatives in medical care, including in ophthalmology. One of the new cataract operation called Phacoemulsification (Phaco) provides better results as compared to conventional Extracapsular Cataract Extraction (ECCE). This study aimed at exploring the cost-effectiveness of two methods of cataract surgeries i.e. Phaco and ECCE done at Fatmawati General Hospital in Jakarta. It was a descriptive inquiry in nature; however, some analytical approaches were also used. A cross sectional examination of a sample of 192 cataract surgery patients (96 phaco patients and 96 ECCE patients) was randomly selected from 300 populations. Secondary data were obtained from patients? medical records undergoing cataract surgeries in 2009 at the hospital to explore three success indicators of the surgeries. Activity-based costing (ABC) was used to calculate the costs of each method, and weighing technique of twelve peer ophthalmologists from Fatmawati General Hospital and Dr. Sardjito General Hospital was done to obtain a single value (composite index) of the effectiveness indicators of the cataract surgery. The costs were calculated for direct costs relevant to cataract surgery, i.e. the costs of eye examinations, laboratory tests, thorax roentgen, consultation, surgical fees, pharmaceutical services, and administrative costs. The effectiveness were obtained through the weighing of three success indicators of cataract surgery, i.e. post-operative visual acuity, the absence of post-operative astigmatism, and the absence of intra-operative and post-operative complications. The calculation of effectiveness of cataract surgery was performed by modified Bayes Method. The findings of the study showed that the normative unit cost of Phaco surgery was Rp. 4.419.755,17, which was more expensive than that of ECCE (Rp. 3.369.549,24). The costs of medicines and medical supplies were the largest cost components in cataract surgery in Fatmawati General Hospital. The result of study showed that post-operative visual acuity for Phaco group was significantly better than ECCE group (p <0.05 and odds ratio = 28.5). In terms of the absence of post-operative astigmatism, Phaco group was significantly better than ECCE group (p<0.05, odds ratio = 22.7). However, there was no significant difference between the two groups in the absence of intra-operative and post-operative complications (p>0.05). The result of this study also found that the average cost-effectiveness ratio (ACER) of Phaco method was lower (Rp.1.379.326,08) than that of ECCE (Rp. 1.485.113,49). Therefore, it was concluded that, in this study, Phaco method was more cost effective than ECCE method.More rigorous studies covering all the costs incurred to patients of cataract surgeries using a bigger sample size were suggested, so that a more comprehensive understanding of the two cataract surgery techniques could be obtained and a better choice of the surgery technique could be offered for wider population.
2010
T31393
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rahmah
Abstrak :
ABSTRAK
Nama : Siti RahmahProgram Studi : Kajian Administrasi Rumah SakitJudul : Analisis Strategi Pemasaran Tindakan Operasi Katarak DenganTeknik Fakomulsifikasi Pada Era Jaminan Kesehatan NasionalDi Rumah Sakit ABC JakartaPembimbing : Puput Oktamianti, SKM., MM.Tindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi adalah layananunggulan yang dimiliki oleh Rumah Sakit ABC Jakarta. Namun pemanfaatan yangbelum maksimal serta idle capacity yang besar merupakan alasan untuk dilakukan suatuanalisis strategi pemasaran yang dilakukan dengan mengeksplorasi faktor lingkunganinternal dan eksternal kemudian dilakukan formulasi tujuan dan formulasi strategisehingga didapatkan alterntif strategi pemasaran terpilih yang dapat digunakan untukmeningkatkan pemanfaatan tindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi diRumah Sakit ABC Jakarta. Dengan masuknya era JKN, Rumah Sakit ABC Jakartatentunya harus menemukan cara pemasaran yang sesuai dengan kondisi yang ada.Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah metode kualitatifdengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer didapatkan dariwawancara mendalam, observasi dan survey, sedangkan data sekunder didapatkan daritelaah dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemasaran terpilih untuktindakan operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi adalah dengan cara: 1 Optimalisasi kegiatan pemasaran, 2 Pengembangan produk tindakan operasi katarakdengan ldquo;One Stop ServiceCataract rdquo;, 3 Pengelolaan dana pemasaran dengan baik, 4 Memperbaiki physical facilities dan 5 Penguatan SDM dalam pelayanan.Kata Kunci : katarak, fakoemulsifikasi, idle capacity, faktor lingkungan internal,faktor lingkungan eksternal, analisis strategi pemasaran, era jaminankesehatan nasional, Rumah Sakit ABC Jakarta.
ABSTRACT
Name Siti RahmahStudy Program Hospital Administration StudyTitle Marketing Strategy Analysis of Cataract Surgery withPhacoemulsification Technique in National Health Insurance Era inABC Hospital JakartaCounsellor Puput Oktamianti, SKM., MM.Cataract surgery with phacoemulsification technique is an excellent service byABC Hospital Jakarta. However, lack of maximum utilization and large idle capacity isthe reason for analysis of marketing strategy that is done by exploring internal andexternal environment factors, then made the formulation of objectives and strategy so asto obtain alternatives of selected marketing strategy that can be used to improve theutilization of cataract surgery with phacoemulsification technique at ABC HospitalJakarta. Within the National Health Insurance NHI era, ABC Hospital Jakarta mustfind a way of marketing in accordance with existing conditions.The research method used in this thesis is a qualitative method by using primaryand secondary data. Primary data obtained from in depth interviews, observation andsurvey, while secondary data obtained from document review. The result of thisresearch indicates that the chosen marketing strategy for cataract surgery withphacoemulsification technique is by 1 Optimazation of marketing activities, 2 Development of cataract surgery with ldquo One Stop Service Cataract rdquo , 3 Goodmanagement of marketing fund, 4 Improve physical facilities, and 5 Strengtheningof human resources in service.Key Words cataract, phacoemulsification, idle capacity, internal environment factor,external environment factor, marketing strategy analysis, national healthinsurance era, ABC Hospital Jakarta.
2018
T49412
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
Abstrak :
Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya. Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification. Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah. Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak. ......Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year. Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery. This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively. The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study. The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maulia Fitra Purnama
Abstrak :
Tujuan: mengetahui tingkat efisiensi dan keamanan antara teknologi Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi pada fakoemulsifikasi katarak derajat sedang-keras. Desain: Penelitian ini merupakan uji klinis randomisasi. Metode: sebanyak 48 pasien dilakukan randomisasi untuk dilakukan fakoemulsifikasi. Setiap subjek diukur densitas sel endotel dan ketebalan kornea sentral. Efisiensi dinilai dari effective phaco time EFX . Mesin fakoemulsifikasi yang digunakan adalah Signature Ellips FX. Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan untuk median phaco time, penurunan densitas sel endotel dan peningkatan ketebalan kornea sentral. Tidak terdapat komplikasi pada penelitian ini. Kesimpulan: tidak ada perbedaan efisiensi dan keamanan antara sistem Ellips FX-Peristaltik dengan Ellips FX-Venturi. ......Purpose: To know the level of efficiency and safety of the technology Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury in phacoemulsification of moderate to hard grade cataract. Methods: 48 outpatients were eligible selected by RCT at CM hospital in periods of January 2016 ndash June 2016. Impacts of pumps system setting difference were observed by objective measurement of endothelial cell density ECD and central corneal thickness CCT. Efficiency was recorded as effective phaco time EFX. Signature Ellips FX were used as phacoemulsification machine. Result: The total sample that has been analyzed was 46 patients. There is no significant difference in median phaco time, a decrease in endothelial cell density and an increase in central corneal thickness. There were no complications in this study. Conclusion: There is no difference between the efficiency and safety of Ellips FX peristaltic with Ellips FX Ventury systemKeywords peristaltic, Ventury, Ellips FX, efficiency and safety
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>