Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herlis Rahdewati
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Terapi regenerasi jaringan periodontal pada pola kerusakan tulang alveolar horizontal selama ini belum membuahkan hasil yang memuaskan. Terapi regenerasi memerlukan scaffold, sel punca, dan signaling molecules. Scaffold dalam terapi regenerasi salah satunya yaitu kitosan. Penambahan arginylglycylaspartic acid RGD pada kitosan membantu adhesi sel. Periodontal ligament PDL cell sheet membantu regenerasi periodontal.Tujuan: Mengevaluasi efek kitosan, RGD, dan PDL cell sheet terhadap perlekatan jaringan periodontal klinis pada kerusakan tulang alveolar horizontal.Metode dan Bahan: Model kerusakan tulang horizontal pada M. nemestrina dibuat dengan bur dan elastik ortodontik. Sampel dibagi empat kelompok n=8 : kitosan, kitosan RGD, kitosan PDL cell sheet, dan kitosan RGD PDL cell sheet. Peningkatan perlekatan jaringan periodontal klinis dievaluasi setelah empat minggu.Hasil: Peningkatan perlekatan jaringan periodontal klinis kelompok kitosan RGD PDL cell sheet 3,00 0,756 mm lebih baik dibandingkan kitosan 1,75 0,707 mm dan kitosan RGD 2,13 0,835 mm .Kesimpulan: Kelompok kitosan RGD PDL cell sheet berpotensi dapat meningkatan perlekatan jaringan periodontal klinis terbaik.
ABSTRACT Background Periodontal regeneration therapy in horizontal bone defect has not been satisfactory yet. Tissue regeneration require scaffold, stem cells, and signaling molecule. One of scaffold that use in regenerative therapy is chitosan. Combination of chitosan with arginylglycylaspartic acid RGD has the ability to improve cell adhesion. Periodontal ligament PDL cell sheet has the ability to promote periodontal regeneration.Objectives Evaluate attachment gaining on clinical periodontal attachment using chitosan RGD, and PDL cell sheet in horizontal bone defect.Material and Methods The horizontal bone defect model of M. nemestrina was made using bur and orthodontic elastic. Regenerative therapy divided into four groups n 8 chitosan, chitosan RGD, chitosan PDL cell sheet, and chitosan RGD PDL cell sheet. Clinical periodontal attachment was evaluated after four weeks.Results Clinical periodontal attachment of chitosan RGD PDL cell sheet 3,00 0,756 mm was better than chitosan 1,75 0,707 mm and chitosan RGD 2,13 0,835 mm .Conclusion Chitosan RGD PDL cell sheet groups has the potential to increase clinical periodontal attachment.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anandhara Indriani Khumaedi
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Periodontitis merupakan penyebab infeksi kronis terbanyak pada penyandang diabetes. Periodontitis adalah penyakit inflamasi kronis yang menyerang jaringan penyanggah gigi yang disebabkan oleh organisme spesifik. Periodontitis secara klinis bermanifestasi sebagai pembentukan poket pada gingiva dan kehilangan perlekatan gingiva yang dapat memfasilitasi kebocoran mediator inflamasi dari rongga mulut. Inflamasi sistemik derajat rendah ini telah diketahui berperan dalam aterogenesis. Hubungan periodontitis dengan insiden aterosklerosis telah banyak dilaporkan dengan hasil yang konsisten. Di lain pihak hubungan periodontitis dengan aterosklerosis subklinis, khususnya kekakuan arteri, tanda awal dari aterosklerosis menunjukkan hasil yang beragam. Studi-studi sebelumnya yang menilai periodontitis dengan kekakuan arteri dilakukan pada populasi umum, hanya sedikit yang dilakukan pada populasi diabetes.Tujuan: Mengetahui korelasi derajat periodontitis dengan kekakuan arteri pada penyandang DM tipe 2.Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang terhadap 97 penyandang DM tipe 2 dewasa ddi poliklinik metabolik endokrin RSCM pada bulan April hingga Agustus 2017. Periodontitis dinilai secara klinis dengan kedalaman poket periodontal dan jarak kehilangan perlekatan gingiva. Kekakuan arteri dinilai dengan PWV karotis-femoral menggunakan SphygmoCor.Hasil penelitian: Sembilan puluh sembilan persen penyandang DM tipe 2 mengalami periodontitis dan 78 penyandang DM tipe 2 mengalami periodontitis berat sesuai dengan kriteria AAP 1999. Korelasi antara menifestasi periodontitis kedalaman poket dan kehilangan perlekatan dengan kekakuan arteri tidak terbukti pada penelitian ini karena baik kedalaman poket dan kehilangan perlekatan menunjukkan korelasi sangat lemas dan keduanya tidak menunjukkan hasil yang bermakna PD, r= 0,024 p= 0,403 CAL, r= 0,011 p=0,456 .Kesimpulan: Sebagian besar penyandang DM tipe 2 mengalami periodontitis berat dan tidak ada korelasi positif bermakna antara derajat periodontitis dengan kekakuan arteri pada penyandang DM tipe 2. ABSTRACT
Background Periodontitis is an inflammatory disease affecting tissue teeth supporting tissue caused by specific organism and is a major cause of chronic infection in diabetic population. Periodontitis is clinically manifested by gingival bleeding, pocket formation and attachment loss that facilitated systemic leakage of oral inflammatory mediators. These low grade systemic inflammation is known to play a role in atherogenesis. Association on periodontitis and atherosclerosis incident is established and showed consistent results in previous studies. The association of periodontitis and subclinical atherosclerosis however, showed conflicting result, specially in studies involving arterial stiffness, the early sign of atherosclerosis. These studies were conducted in general population, very few were performed in type 2 diabetes population. Objective To learn about the correlation between periodontitis and arterial stiffnes.Method This is a cross sectional study involving 97 type 2 diabetics recruited in endocrinology clinic fin ciptomangunkusumo general hospital from April to August 2017. Periodontitis were defined by clinical measures such as pocket depth and clinical attachment loss, those measures reflected disease activity and gingival destruction. Arterial stiffness were measured by carotid femoral PWV using cuff based tonometry device, SphygmoCor.Result Periodontitis is found in 99 type 2 diabetics and 78 of them had severe periodontitis. Correlation coefficient for both pocket depth and clinical attachment loss showed very weak positive result, but none of them is statistically significant PD, r 0,024 p 0,403 CAL, r 0,011 p 0,456 .Conclusion Most of type 2 diabetics has severe periodontitis and correlation between periodontitis and arterial stiffness can rsquo t be concluded in this study.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mora Octavia
Abstrak :
ABSTRAK
Splin intrakorona sebagai terapi tambahan pada perawatan periodontal: laporan dua kasus. Berkurangnya panjang akar yang tertanam dalam jaringan periodontal dapat menyebabkan kegoyangan gigi. Melakukan splin gigi yang goyang ke gigi yang lebih stabil menggunakan prinsip stabilisasi beberapa akar gigi dapat dilakukan. Splin sementara dalam perawatan periodontal bertujuan untuk mencegah migrasi patologis, mengembalikan fungsi kunyah, menstabilkan gigi sebelum/sesudah operasi, dan mengevaluasi prognosis. Penggunaan splin intrakorona masih kontroversial dan hanya ada sedikit literatur yang mendukung bahwa terapi ini berguna dalam mencapai jaringan periodontal yang sehat. Kami melaporkan dua kasus untuk mengevaluasi efek spin intrakorona dalam perawatan kasus periodontal. Splin intrakorona digunakan sebelum, selama dan sesudah terapi periodontal regeneratif yang menggunakan graf tulang. Penyebab kegoyangan gigi dihilangkan dan prinsip, syarat serta tatacara splin diikuti untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk perawatan periodontalnya. Kedua kasus dievaluasi secara radiograf 10 bulan setelah operasi dan memperlihatkan hasil yang baik. Splin merupakan terapi suportif sebelum selama dan sesudah operasi, namun bukan satu-satunya cara untuk mendapatkan stabilitas oklusi.
Reduction of the amount of tooth roots which are embedded in their periodontium could cause tooth mobility. Splinting a weaker tooth with a more stable one, and using the principle of the multiple-root stabilization is one way to overcome tooth mobility. Temporary splinting aims to prevent pathological migration, restore masticatory function, stabilize teeth before/after surgery, and evaluate the prognosis of periodontal treatment. The use of intracoronal splint is still controversial because there are only a few studies that have evaluated the effect of splinting on periodontal health. We report two cases to evaluate the effect of intracoronal splint on periodontal treatment. Two periodontal cases that use intracoronal splint before, during, and after periodontal regenerative therapy using bone graft. Causes of tooth mobility were removed and the splinting principles, terms and guidelines were mastered to get the maximum results of periodontal treatment. Both cases were evaluated radiographically 10 months after treatment. In these cases, intracoronal splint has supported the therapy before, during, or after surgery. Splinting is only for adjunctive therapy, and does not serve as the sole method in getting occlusal stability.
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
J-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Newman, Michael G.
St. Louis Missouri: Elsevier Saunder, 2012
617.632 CAR
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eley, B. M.
London: Wright, 2004
617.632 ELE p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jenkins, W.M.
Oxford : Wright , 1994
617.632 JEN g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Kieser, J. Bernard
London; Boston: Wright, 1990
617.632 KIE p (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Nurul Mustaqimah
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Prevalensi penyakit periodontal di Indonesia sangat tinggi. Cara penanggulangan penyakit ini yang umum dilakukan adalah ?flap operation? (FO). Penyembuhan FO membutuhkan waktu cukup lama. Beberapa peneliti menemukan berat penyakit periodontal erat kaitannya dengan produksi ?gingival crevicular fluid? (GCF), konsentrasi ?alkaline phosphatase? (ALP) dan protein dalam GCF. Mineral zinc (Zn) berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh di antaranya mempercepat proses penyembuhan luka bakar dan bedah mayor. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui manfaat suplementasi Zn per oral terhadap penyembuhan luka FO, dan apakah aktivitas ALP dapat digunakan sebagai parameternya. Sejumlah 23 subyek dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok A (12 orang) memperoleh kapsul ZnSO4 220 mg dan kelompok B (11 orang) mendapat plasebo. Masing-masing 3x1 sehari selama 14 hari. FO dilakukan pada hari ke 5. Pada hari ke 5, 12, 19, 26 (F0, K1, K2, K3) dilakkan pemeriksaan klinik dan laboratorik. Data klinik yang diteliti adalah ?papillary bleeding index? (PBI), kedalaman poket, dan kegoyangan gigi. Pemeriksaan laboratorik meliputi konsentrasi Zn plasma; besar produksi, konsentrasi protein dan aktivitas ALP GCF. Status gizi para subyek juga diperiksa. Hasil dan kesimpulan : Status gizi subyek baik. Data PBI dan kegoyangan gigi kelompok A saat K2 menunjukkan kemaknaan penyembuhan klinik. Konsentrasi Zn menunjukkan kemaknaan penyembuhan klinik. Konsentrasi Zn plasma A selama penelitian (F0 149, K1 127, K2 117 ug/dl) walau tidak bermakna. Saat K1 produksi GCF B meningkat bermakna (p < 0,01) dan konsentrasi protein A menurun bermakna (p < 0,01). Didapatkan perbedaan bermakna (p < 0,01) dari konsentrasi protein A saat K1 dan K3 dibandingkan dengan B. Pemberian ZnSO4 per oral dapat mempercepat penyembuhan FO. Aktivitas ALP GCF tidak mempercepat penyembuhan FO. Aktivitas ALP GCF tidak dapat dinilai, sehingga penggunaan ALP GCF sebagai parameter penyembuhan tersebut belum dapat disimpulkan. ......Scope and Method of Study: the prevalence of periodontal disease in Indonesia is still high. Flap operation (FO) is the common therapy for this disease is closely related to the production of the gingival crevicular fluid (GCF), alkaline phosphatase (ALP) and protein levvel in GCF. Zinc (Zn) is a mineral with various physiological functions eg to accelerate the healing process of burns and wounds after surgery. The purpose of this study is to investigate the benefit of Zn given orally to wound healing after FO and whther the GCF ALP could be used as the parameter of the healing. The 23 subjects were devided into 2 groups. Group A (12 persons) received 220 mg ZnSO capsuls and group B (11 persons) received placebo 3 ti d for 14 days. FO was done on day 5 of the study. On day 5, 12, 19, 26 (FO, K1, K2, K#) the following were examiner: papillary bleeding index (PBI), pocket depth, looseness of the tooth, plasma Zn level, GCF production, protein level, ALP activity in GCF and the nutritional status was assessed. Findings and conclusions: all the subjects were in good nutritional status. PBI and the looseness of the tooth of group A on K2 showed significant clinical healing. Although not significantly different the plasma Zn level of group A (FO 208, K1 227, K2 209 ug/dl) was higher than group B (FO 149, K1 127, K2 117 ug/dl). The GCF production of group B on K1 was significantly increased (p <0,01) and GCF protein level of group A was significantly decreased (p < 0,01). The difference in protein level between group A and group B on K1 and K3 was significant (p<0,01). Thus ZnSO4 given orally accelerated the healing of the FO wound. The use of GCF ALP as a parameter for the healing of an FO wound could not yet be proven.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Hanna Suherman
Abstrak :
Latar Belakang: Informasi radiografis mengenai kehilangan tulang berperan penting dalam penentuan diagnosis, rencana perawatan, dan prognosis periodontitis. Pengklasifikasian diagnosis periodontitis berdasarkan AAP 2017 mencakup komponen kehilangan perkelatan klinis dan persentase kehilangan tulang radiografis yang menghasilkan diagnosis periodontitis berdasarkan tingkat keparahan. Tujuan: Melihat tingkat kesesuaian diagnosis radiografis berdasarkan persentase kehilangan tulang dengan diagnosis klinis berdasarkan kehilangan perlekatan. Metode: Menggunakan studi potong lintang menggunakan 70 sampel komponen data kehilangan perlekatan klinis rekam medis dan radiograf intraoral sisi proksimal sampel gigi dengan diagnosis dan kerusakan terparah dari pasien periodontitis kronis di RSKGM FKG UI. Perhitungan kerusakan menggunakan persentase kehilangan tulang dengan mengukur jarak CEJ ke defek tulang terparah dan jarak CEJ ke ujung apeks gigi. Hasil: Uji komparatif Wilcoxon menunjukkan terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara diagnosis klinis dan radiografis berdasarkan klasifikasi AAP 2017 mengenai periodontitis dengan nilai p=0,003. Sebanyak 64,3% sampel memiliki kesesuaian diagnosis klinis dan radiografis, 27,1% sampel memiliki diagnosis radiografis < klinis, dan 8,6% sampel memiliki diagnosis radiografis > klinis. Kesimpulan: Diperlukan dua alat diagnostik untuk menentukan tingkat keparahan periodontitis, yaitu secara klinis dan diikuti dengan pemeriksaan radiografis untuk menutupi limitasi dari masing-masing jenis pemeriksaan. Berdasarkan kesesuaian diagnosis yang signifikan, radiograf periapikal dapat digunakan untuk membantu diagnosis periodontitis. ......Background: Radiographic information regarding bone loss plays an important role in determining periodontitis diagnosis. The AAP 2017 classification of periodontitis diagnosis uses CAL and the RBL that would result in a periodontitis diagnosis based on the severity and disease progression. Objectives: The study was aimed to compare the diagnosis based on a percentage of RBL and clinical diagnosis based on CAL. Methods: The cross-sectional study was conducted on 70 samples using CAL and percentage of RBL in proximal sites. Radiographic assessment was done by calculating the distance from CEJ to proximal bone defects and from CEJ to root tip. Result: The result of the Wilcoxon comparative test showed a statistically significant difference between clinical and radiographic diagnosis based on the AAP 2017 classification with p-value=0.003. The result showed that 64,3% had clinical diagnosis = radiographic diagnosis, 27,1% had a radiographic diagnosis < clinical diagnosis, and 8,6% had a radiographic diagnosis > clinical diagnosis. Conclusion: Two diagnostic tools are needed to determine the severity of periodontitis, clinically and followed by a radiographic examination to cover the limitations of each examination. Based on the significant accuracy of the diagnosis, the periapical radiograph can be used to assist in the periodontitis diagnosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Wuryan Prayitno
Jakarta: UI-Press, 1994
PGB 0445
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>