Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ira Dewantari
Abstrak :
ABSTRAK
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan semakin diperhatikan oleh seluruh lapisan masyarakat terutama kalangan orang tua. Hal ini diperkuat dengan semakin berkembangnya teknologi sehingga sumber daya manusia semakin dituntut kemampuannya agar dapat berjalan seiring dengan kemajuan zaman. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak kalangan orang tua terutama keluarga muda mulai mempersiapkan putraputri mereka sejak dini bahkan sejak usia batita. Sekarang ini cukup banyak keluarga muda yang menyekolahkan anak batita mereka ke kelompok bermain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, banyak kelompok bermain mulai berdiri dan menawarkan berbagai program kegiatan sesuai dengan konsep sekolah masing-masing sehingga semakin banyak bermunculan kelompok bermain . tersebar di seluruh Jabotabek mulai dari fisik yang megah, sedang sampai sangat sederhana.

Sehubungan dengan fenomena tersebut, peneliti ingin mengetahui lebih jauh tentang kelompok bermain yang mulai menjamur tersebut Penelitian dilakukan pada sebuah kelompok bermain yang relatif masih baru namun sudah memiliki siswa/i yang cukup banyak jumlahnya. Yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah persepsi keluarga muda terhadap kelompok bermain yang merupakan tempat batitanya bersekolah. Pembahasan tentang kelompok bermain ini meliputi program pendidikan, tim pengajar seria fasilitas yang ada di sekolah tersebut Dengan kata lain, penelitian ini akan membahas bagaimana persepsi keluarga muda terhadap program pendidikan yang diberikan kepada batita mereka, para guru yang mengajar, serta sarana dan prasarana yang tersedia di sekolah tersebut.

Penelitian ini dilakukan secara kuantitatif dimana para ibu siswa/i diminta mengisi kuesioner yang mencakup pertanyaan mengenai program pendidikan sekolah, para pengajar serta fasilitas yang tersedia di sekolah. Selain itu, orang tua diminta menjawab pertanyaan terbuka mengenai alasan memasukkan anak ke kelompok bermain, alasan memilih sekolah tersebut dan kritik serta saran yang dapat diberikan kepada pihak pengelola sekolah. Selain itu, peneliti melakukan observasi dan wawancara sederhana sebagai tambahan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi keluarga muda terhadap aspek program pendidikan, pengajar dan fasilitas sekolah adalah positif. Yang artinya, keluarga muda mempunyai pandangan bahwa program pendidikan, pengajar maupun fasilitas yang ada di sekolah sudah cukup baik. Namun masih terdapat kekurangan terutama pada aspek fasilitas dimana perlu adanya perbaikan yang sebaiknya dilakukan pihak sekolah. Berbagai-hal juga diungkapkan oleh keluarga muda mengenai alasan menyekolahkan batita mereka ke kelompok bermain yaitu antara lain agar anak dapat bersosialisasi. Salah satu alasan memilih sekolah tersebut juga dikatakan karena ingin menanamkan ilmu agama sejak dini.

Pada penelitian ini masih banyak kekurangan dan untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan tidak hanya di satu sekolah, tetapi beberapa kelompok bermain dengan jumlah subyek yang jauh lebih banyak agar hasil penelitiannya lebih representatif. Selain itu, proses observasi dan wawancara sebaiknya dilakukan lebih rinci dan mendalam sehingga hasil yang didapat juga lebih memuaskan.
2004
S3412
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Susiwi Sinar Rochani
Abstrak :
ABSTRAK
Semua anak Indonesia adalah aset bangsa. Upaya dan kesempatan untuk pertumbuhan dan perkembangannya harus memperoleh prioritas yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga mereka dapat menjadi anak bangsa yang berkualitas, sehat fisik dan mental. Tidak semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam mengoptimalkan perkembangannya. Ada anak-anak yang tidak mempunyai kesempatan untuk bertumbuh dan berkembang secara baik dan sehat. Penyebabnya macammacam, antara lain anak-anak berasal dari keluarga miskin, anak yatim piatu, anak dari keluarga bermasalah, misalnya pada keluarga dimana ayah melakukan kekerasan kepada isteri atau anak-anaknya, dan lain-lain. Cukup banyak di antara anak-anak ini yang harus bekeija setiap hari meninggalkan sekolah karena orangtua tidak dapat lagi membiayai sekolah mereka. Pendidikan mereka yang rendah menyebabkan mereka hanya dapat bekeija di sektor informal, antara lain menjadi penjual koran, pembersih kaca mobil dan lainnya di jalanan. Di berbagai kota besar di Indonesia, kita dapat melihat anak-anak jalanan yang berkeliaran semakin hari semakin meningkat jumlahnya. Menurut penjelasan resmi pemerintah, jumlah anak jalanan di berbagai kota besar di Indonesia sudah mencapai sekitar 50.000 jiwa lebih. (Kompas, 1999). Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi masalah anak jalanan, antara lain dengan menampung anak-anak jalanan di sebuah rumah yang dinamakan rumah singgah. Namun menurut Yaya Wahyudin, pengurus Rumah Singgah Ciliwung (dalam Kompas 20.Agustus 2002) tidak membuat anak-anak jalanan yang ditampung di rumah singgah dapat bertahan berada di rumah singgah. Besar kecenderungan mereka akan meninggalkan rumah singgah dan kembali ke jalanan lagi. Perlu dikaji cara yang tepat untuk menampung anak jalanan di rumah singgah yang benar-benar efektif dalam menangani masalah anak jalanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi anak binaan (anak jalanan yang sedang dibina di rumah singgah dinamakan anak binaan) tentang rumah singgah, keadaan kondisi, keinginan dan kebutuhan dari sebuah rumah singgah. Informasi yang diperoleh diharapkan bisa mengupayakan rumah singgah yang sesuai dengan harapan mereka sehingga menjadi tempat untuk pembinaan sesuai dengan tujuan pemerintah mengadakannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif , dengan subyek yang berjumlah empat orang, yaitu anak-anak binaan berusia remaja, yang tinggal dan dibina di rumah singgah minimal satu tahun. Pengambilan data menggunakan metode wawancara mendalam {depth interview) dan observasi. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa pendekatan, perlakuan dan pengelolaan rumah singgah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar anak jalanan, yang penting untuk dilakukan meliputi kebutuhan biologis, kebutuhan akan rasa aman dan kebutuhan akan rasa memiliki dan dicintai. Program dan kegiatan yang dilakukan mengacu pada kebutuhan yang bersifat aplikatif, tidak melulu skolastik, serta suasana dan sifat hubungan yang tidak terlalu ketat. Aturan dan sanksinya dibuat bersama melibatkan persetujuan dan keinginan mereka. Bangunan fisik yang layak, pengaturan ruang dan perbandingan luas ruangan dengan jumlah anak yang sesuai. Beberapa saran yang dikemukakan dari penelitian ini adalah perlu ada penelitian dengan subyek yang berada di rumah singgah lain, yang meninggalkan rumah singgah, dan bukan berada pada tahap perkembangan remaja untuk melengkapi hasil penelitian ini. Sejauh ini memang hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah singgah seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan KDM bisa menjadi rumah singgah percontohan.
2004
S3497
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solley, Charles
New York: Basic Books, 1960
152.1 SOL d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Januar J. Rasyid
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1987
S2147
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Baby Ingrid
Abstrak :
Seiring dengan perkembangan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan, kini wanita maupun pria memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri. Wanita yang bekerja di luar rumah menjadi sorotan masyarakat ketika ia memutuskan untuk tetap bekerja setelah menikah dan mempunyai anak. Pandangan tradisional masyarakat menuntut wanita untuk bertanggung jawab terhadap urusan rumah tangga dan pengasuhan anak. Ada berbagai alasan mengapa seorang istri memutuskan untuk bekerja. Selain untuk memperoleh penghasilan (ekonomis) juga adanya kebutuhan untuk memperluas wawasan intelektual dan interaksi sosial (non-ekonomis). Keputusan istri untuk bekerja mendatangkan konsekuensi pada tiga aspek dalam lingkungannya, yaitu pada hubungan perkawinan, pada anak serta pada dirinya sendiri. Penelitian-penelitian yang dilakukan selama ini cenderung berfokus pada konsekuensi negatif tanpa lebih dalam melihat pandangan obyektif, dari pihak istri dan suami. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengetahui gambaran yang lebih mendalam mengenai persepsi kedua pihak terhadap tujuan dan konsekuensi istri yang bekerja penuh waktu. Adapun yang dimaksud persepsi adalah interpretasi secara selektif oleh individu untuk memberi arti pada Iingkungannya Dengan demikian permasalahan dalam penelitian ini ialah : Bagaimanakah persepsi suami dan istri terhadap istri yang bekerja sebagai karyawati penuh waktu ? Penelitian ini menggunakan pengumpul data berupa kuesioner dan wawancara sebagai pelengkap. Subyek penelitian ialah pasangan suami-istri yang bekerja penuh waktu sudah mempunyai anak, berpendidikan minimal SLTA. Istri berusia 22-45 tahun dan bekerja di instansi swasta. Hasil yang diperoleh dari 57 pasang suami-istri menunjukkan bahwa istri dan suami mempersepsi adanya tujuan ekonomis dan non-ekonomis dari bekerja. Adapun terhadap konsekuensi, suami mernpersepsi konsekuensi yang positif dari istri yang bekerja sedangkan istri mempersepsi adanya konsekuensi yang positif dan sekaligus negatif pada hubungan perkawinan, anak dan diri istri yang bersangkutan. Hasil tambahan menyatakan bahwa semakin positif persepsi suami terhadap konsekuensi istri bekerja semakin negatif persepsi istri, sebaliknya semakin positif persepsi istri semakin negatif persepsi suami. Hasil wawancara mendukung hasil di atas dan memberi data tambahan bahwa pasangan suami istri cenderung rnenjalankan peran tradisional. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa istri bekerja untuk tujuan ekonomis dan non-ekonomis, dimana hal ini dipersepsi sama pentingnya oleh suami maupun istri. Berkaitan dengan konsekuensi istri bekerja, ternyata persepsi suami Iebih positif dibandingkan dengan persepsi istri bekerja yang bersangkutan. Sebagai tambahan, hasil penelitian ini juga mengungkapkan bahwa pasangan suami-istri mempersepsikan peran masing-masing dalam rumah tangga yang masih cenderung tradisional.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Novani Nugrahani
Abstrak :
Perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi yang cepat di era globalisasi ini menimbulkan tuntutan yang semakin besar terhadap adanya sumber daya manusia yang berkualitas untuk dapat terus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Sumber daya manusia yang berkualitas dapat diperoleh melalui pendidikan yang baik dan berkualitas pula, terutama melalui jalur pendidikan formal atau sekolah. Dusek (1996) menyatakan bahwa sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal, memiliki tugas pokok untuk membantu peserta didik agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan. Sekolah juga merupakan sarana anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya dan dengan orang dewasa selain anggota keluarganya. Karena peran sekolah yang besar serta lamanya waktu anak yang dihabiskannya di sekolah, maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sesungguhnya seorang anak mempersepsikan keadaan sekolahnya. Persepsi siswa mengenai sekolahnya sendiri dapat diukur dengan menggunakan skala Quality of School Life. Pengukuran Quality of School Life dinilai sebagai hal yang penting dan memiliki hubungan dengan prestasi akademik yang dicapai oleh siswa tersebut (Bourke, 1993; Mok & Flynn, 1997). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Quality of School Life pada siswa dan siswi SMA co-educational dan gambaran Quality of School Life pada siswa SMA non co-educational khusus laki-laki serta gambaran Quality of School Life pada siswi SMA non co-educational khusus perempuan. Selain itu, peneliti juga ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan antara gambaran Quality of School Life siswa dan siswi pada ketiga jenis SMA tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan juga merupakan penelitian kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah siswa dan siswi dari SMA coeducational, SMA non co-educational khusus laki-laki dan SMA non coeducational khusus perempuan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Quality of School Life yang merupakan skala tipe Likert. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, siswa dari ketiga jenis SMA yaitu SMA co-educational, SMA non co-educational khusus laki-laki dan SMA non co-educational khusus perempuan merasa sejahtera dengan Ouality of School Life di sekolah mereka masing-masing. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada gambaran persepsi Quality of School Life menurut persepsi siswa SMA co-educational, siswa SMA non co-educational khusus laki-laki dan siswi SMA non co-educational khusus perempuan.
2004
S3360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Andyan Pinasthi
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan antara psychological well-being dan self-perception of aging pada lansia dengan penyakit kronis. Psychological well-being didefinisikan sebagai kesejahteraan yang terdiri dari selfacceptance, personal growth, purpose in life, positive relations with others, environmental mastery, dan autonomy (Ryff & Keyes, 1995), sedangkan self-perception of aging merupakan pandangan individu terhadap penuaan yang mereka alami dan persepsi serta sikap subjektif lansia terhadap penuaan mereka sendiri (Lawton, 1975 dalam Kim, Jang & Chiriboga, 2012). Banyak penelitian sebelumnya yang berasumsi bahwa self-perception of aging merupakan salah satu prediktor dari psychological well-being. Namun, belum ada penelitian yang melihat hubungan antara keduanya pada lansia dengan penyakit kronis, khusunya di Indonesia. Penelitian dilakukan pada 110 lansia dengan penyakit kronis dengan menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (RSPWB) dan sub skala Attitudes Toward Own Aging dari Philadelphia Geriatric Center Morale. Dalam penelitian ini ditemukan adanya hubungan positif signifikan antara psychological wellbeing dan self-perception of aging (r = 0,203) pada LoS 0,05.
ABSTRACT
This study aims to investigate the relationship between psychological well-being and selfperception of aging on elderly with chronic illness. Psychological well-being is defined as welfare that consists of self-acceptance, personal growth, purpose in life, positive relations with others, environmental mastery, and autonomy (Ryff & Keyes, 1995), whereas selfperception of aging is an individual perspective towards the aging process they experience and the subjective attitude of elderly regarding their own aging process (Lawton, 1975 in Kim, Jang & Chiriboga, 2012). Previous studies assumed self-perception of aging as one of the predictor of psychological well-being, but there is not much of attention to see the correlation between them especially in Indonesian older adults with chronic illness. 110 older adults with chronic illness are involved in this study using Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (RSPWB) and Attitudes Toward Own Aging sub scale of Philadelphia Geriatric Center Morale and it is found that psychological well-being and self-perception of aging correlates positively and significantly (r = .203; p<.05).
2015
S59132
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Diani Paramitha Maharsi
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara religiusitas dengan persepsi diri terhadap penuaan pada lanjut usia. Sebanyak 100 orang lanjut usia berusia 60 tahun keatas yang tinggal di Depok berpartisipasi pada penelitian ini. Religiusitas dalam hal ini meliputi sembilan dimensi, yaitu perilaku religius publik, perilaku religius pribadi, dukungan kelompok keagamaan, coping religius, kepercayaan dan nilai, komitmen religius, pengampunan, pengalaman spiritual harian, dan intensitas religius. Pengukuran religiusitas dilakukan dengan alat ukur Brief Multidimensional Measure of Religiousness/Spirituality yang dibuat oleh Idler, Musick, Ellison, George, Krause, Ory, Pargament, Powell, Underwood, dan Williams (2003), sedangkan persepsi diri terhadap penuaan diukur melalui Attitude Towards Own Aging yang dibuat oleh Liang dan Bollen (1983). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya terdapat hubungan positif yang signifikan pada satu dimensi, yaitu dimensi pengampunan (forgiveness) pada religiusitas dengan persepsi diri terhadap proses penuaan pada lanjut usia. Artinya, semakin individu menunjukkan kesediaan untuk memohon ampun pada Tuhan dan memaafkan orang lain dan diri sendiri, semakin positif pula persepsi terhadap proses penuaannya; begitu pula sebaliknya. Disisi lain, tidak terdapat hubungan yang signifikan pada delapan dimensi lainnya, yaitu dimensi perilaku religius publik, perilaku religius pribadi, dukungan kelompok keagamaan, coping religius, kepercayaan dan nilai, komitmen religius, pengalaman spiritual harian, dan intensitas religius. ......This study examined the relationship between religiosity and self-perception of aging among elderly. 100 elderly living in Depok participated in this study. Religiosity in this study consists of nine dimensions, i.e public religious practices, private religious practices, congregation support, religious coping, belifs and values, religious commitment, forgiveness, daily spiritual experiences, and religious intensity Religiosity was measured by the Brief Multidimensional Measure of Religiosness/Spirituality (Idler, Musick, Ellison, George, Krause, Ory, Pargament, Powell, Underwood, dan Williams, 2003), whereas the self-perception of aging was measured by the Attitude Towards Own Aging scale (Liang & Bollen, 1983). This study shows that there is a significant, positive relationship only on one dimension, which is the forgiveness dimension of religiosity and self-perception of aging among elderly. The result of this study shows that the more willing for an individual to ask for forgiveness from God and to forgive other people and oneself, the more positive participants? perception towards aging; vice versa. On the other hand, the other eight dimensions has no significant relation with self-perception of aging. The dimensions are public religious practice, private religious practices, congregation support, religious coping, beliefs and values, religious commitment, daily spiritual experiences, and religious intensity.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S59165
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>