Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panggabean, Bela Titis Gantika Br
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia telah menyatakan keikutsertaannya dalam perjanjian iklim, Persetujuan Paris atau Paris Agreement, dalam rangka penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Dalam pelaksanaanya, Persetujuan Paris memberikan kewajiban bagi negara-negara pesertanya untuk membentuk kontribusi nasional yang disebut dengan Nationally Determined Contribution (NDC), dimana didalamnya terdapat target yang hendak dicapai dalam upaya mengurangi emisi Gas Rumah Kaca sesuai dengan kondisi domestik negara-negara peserta. Tentunya, setiap negara memiliki prioritas yang berbeda dalam upaya mengurangi emisi GRK, termasuk Indonesia. Bencana alam seperti kebakaran hutan dan lahan gambut yang sering terjadi di Indonesia menjadi pertimbangan pemerintah untuk memprioritaskan kegiatan restorasi hutan dan lahan gambut di dalam NDC yang telah disampaikan Indonesia kepada UNFCCC pada tahun 2016. Dalam NDC tersebut, Indonesia ditargetkan dapat merestorasi gambut di Indonesia sebesar 2 (dua) juta hektar pada tahun 2030. Pada tahun 2016, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) sebagai pelaksana kegiatan restorasi gambut yang terfokus pada tujuh provinsi prioritas. Pelaksanaan restorasi gambut di Indonesia oleh BRG diharapkan mampu mencapai target NDC Indonesia sebagai komitmen Indonesia dalam menuju masa depan yang rendah emisi dan berketahanan iklim, dengan adanya kerjasama dengan masyarakat dan sektor privat, dan institusi pemerintah lainnya maupun lembaga non-pemerintah, serta adanya konsistensi dalam menerapkan prinsip iktikad baik dan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional lainnya.
ABSTRACT
Indonesia has stated its participation in one of the Climate Agreement, namely Paris Agreement, in the context of reducing GHG emission. In its implementation, Paris Agreement provides obligations for the Parties to conduct a Nationally Determined Contribution (NDC), in which there are targets to be achieved in an effort to reduce GHG emissions, in accordance with the domestic conditions of the participating countries. Undoubtedly, each state has different priorities in efforts to reduce GHG emissions, including Indonesia. Natural disasters such as forest and peatland fires that often occur in Indonesia are considered by the government to prioritize forest and peatland restoration in Indonesias Nationally Determined Contribution, that has been submitted to the UNFCCC in 2016. Based on the NDC, Indonesia is targeted two million hectares of peatland to be restored by 2030. In 2016, President Joko Widodo established the Peatland Restoration Agency (BRG) as the main executor of peatland restoration that focused in seven priority provinces. The implementation of peatland restoration in Indonesia by BRG is expected to be able to achieve Indonesias NDC target, as Indonesias commitment towards a low emissions and climate resilient future, through the cooperation with the societies and private sectors, along with other governmental institutions and non-governmental organizations, and also the consistency of implementing good faith and other principles applied in the international environmental law.
2020
T54926
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amira Bilqis
Abstrak :
Dalam skripsi ini membahas mengenai implementasi prinsip Common But Differentiated Responsibilities (CBDR) dalam Kyoto Protocol dan Paris Agreement yang memiliki pendekatan yang masing-masing berbeda yaitu Top-Down Approach dan Bottom-Up Approach. Kedua pendekatan tersebut memiliki mekanisme yang berbeda dalam menentukan target reduksi emisi untuk memperlambat laju perubahan iklim serta memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing yang berpengaruh pada kebijakan lingkungan nasional yang harus dijalankan oleh negara Annex I dan Non-Annex I United Nations Framework Convention of Climate Change (UNFCCC). Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis normatif yang menjelaskan bahwa prinsip CBDR diimplementasikan secara berbeda dalam kedua instrumen hukum internasional tersebut dan mengidentifikasi perubahan tren kebijakan lingkungan nasional negara maju (Australia dan Swiss), negara berkembang (Filipina, Indonesia), dan negara berkembang kepulauan kecil (Fiji).
This thesis discusses regarding the implementation of Common but Differentiated Responsibilities (CBDR) principles in the Kyoto Protocol and Paris Agreement which have different approaches, namely the Top-Down Approach and Bottom-Up Approach respectively. Both approaches have different mechanisms in determining emission reduction targets to slow down climate change and each has advantages and disadvantages which affect national environmental policies that must be implemented by Annex I and Non-Annex I United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) countries to be able to carry out their respective roles. This study uses qualitative research methods with a normative juridical approach which explains the CBDR principle is implemented differently in the two international legal instruments and identifies changes in national environmental policy trends in developed countries (Australia and Switzerland), developing countries (Philippines, Indonesia), and developing countries small islands (Fiji).
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Primarani Hendarto
Abstrak :
Dalam beberapa dekade terakhir, penerapan Environmental, Social, and Governance (ESG) mulai menyebar di pasar negara berkembang. Indonesia dan Malaysia sebagai negara tetangga punya berbagai kesamaan dalam aspek budaya dan ekonomi, dipilih untuk diteliti dalam penelitian ini. Menggunakan data yang dikumpulkan dari Refinitiv Eikon, penelitian ini berkontribusi dengan mengeksplorasi dampak penilaian ESG terhadap laporan keuangan perusahaan di Indonesia dan Malaysia yang terdaftar pada tahun 2011 hingga 2020. Dikarenakan laporan keuangan perusahaan dapat diukur dengan banyak indikator, penelitian ini memilih dua indikator yang mewakilkan laporan keuangan. Pertama, return on asset (ROA) yang dianggap sebagai profitabilitas perusahaan (firm profitability) dan kedua adalah Tobin's Q yang menunjukkan nilai perusahaan di pasar (firm value). Selain dampak langsung dari Skor ESG terhadap laporan keuangan perusahaan, penelitian ini juga menilai bagaimana ukuran perusahaan (firm size) memoderasi kinerja ESG suatu perusahaan. Selain itu, temuan kami memerhatikan bagaimana Perjanjian Paris pada tahun 2015 menjadi tonggak sejarah ESG dan mempengaruhi perkembangan kinerja ESG pada kedua negara. Dengan demikian, penelitian ini menawarkan implikasi praktis bagi perusahaan untuk pengambilan keputusan, investor yang mencari portofolio yang sustainable, dan pengambil kebijakan yang ingin mempromosikan praktik-praktik ESG di pasar negara berkembang. ......In recent decades, the appliance of Environmental, Social, and Governance (ESG) has started to spread out in emerging markets. Indonesia and Malaysia as neighboring countries have multiple similarities in cultural and economic aspects, are chosen to be examined in this study. Using data gathered from Refinitiv Eikon, this study contributes by exploring the impact of ESG scores on corporate financial performance in Indonesian and Malaysian public companies listed from 2011 to 2020. As corporate financial performance can be measured by many indicators, this study chooses to have two indicators which represent the financial performance. Firstly, return on asset (ROA) which regarded as firm’s profitability and second one is Tobin’s Q which denotes the firm’s value in the market. Apart from the direct impact of ESG score on corporate financial performance (CFP), this study also assessed how firm size moderates the ESG performance of the company. In addition, our findings highlight how 2015 paris agreement as the ESG milestones affected the development of ESG performance on both countries. Thus being said, this study offering practical implications for corporate decision-makers, investors seeking sustainable portfolios, and policymakers aiming to promote ESG practices in emerging markets.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dhiwa Fathi
Abstrak :
Performa ambivalen Norwegia terhadap komitmen Rezim Paris semakin intens pasca keputusan Norwegia untuk mengekspansi pendirian kilang migas di kawasan Arktik serta memperkuat komitmen iklim melalui Climate Act. Hal ini berimbas pada kegagalan konstan Norwegia dalam memenuhi target pengurangan emisi (NDC)—tertinggal jauh dibandingkan negara-negara Nordik lainnya. Penelitian ini menjawab alasan intensifikasi performa ambivalen Norwegia dengan menggunakan kerangka analisis kebijakan luar negeri di bawah payung Teori Peran dan Konsep Transformasi Negara. Temuan utama dalam penelitian ini mengacu pada status prominen Norwegia di ranah iklim merupakan wujud performa dari konsepsi peran sebagai Pemimpin Upaya Mitigasi Perubahan Iklim. Namun, derajat kontradiksi semakin intens pada tahun 2016-2023 lantaran proses manifestasi peran diintervensi oleh konteks-konteks khusus yang turut menempatkan optimalisasi migas sebagai kepentingan strategis. Benang merah dari temuan ini dibagi ke dalam dua tingkatan. Di tingkat perumusan kebijakan Norwegia, kompetisi politik domestik mencapai titik konvergensi antara iklim dan migas bermuara pada kebutuhan kapabilitas materiil partai politik yang bersumber dari pendapatan migas serta penjaringan legitimasi melalui isu iklim sebagai agenda populis. Adapun absensi kontrol aktivitas migas dalam Rezim Paris dalam ranah struktural menjadi celah bagi pemenuhan komitmen pengurangan emisi. ......Norway’s ambivalent performance towards its Paris Agreement has intensified following its decision to expand oil and gas infrastructure in the Arctic and simultaneously strengthen climate commitments through the Climate Act. This duality has led to Norway's consistent failure to meet its Nationally Determined Contributions, lagging behind other Nordic countries. This study examines the reasons behind Norway's intensified ambivalent by employing a foreign policy analysis framework grounded in Role Theory and the Concept of State Transformation. The main findings indicate that Norway's prominent status in the climate arena reflects its role as a Leader in Climate Mitigation Efforts. However, from 2016-2023, the degree of contradiction has increased due to the interplay of special contexts that prioritize the optimization of petroleum interests as a strategic necessity. These findings can be categorized into two levels. At the policymaking level, domestic political competition converges on climate and oil interests, driven by the need for political parties to secure material capabilities sourced from oil revenues and to garner legitimacy by elevating climate issues as a populist agenda. Additionally, the structural absence of controls on oil activities within the Paris Agreement creates a gap that hinders the fulfillment of NDC commitments.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library