Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marlina
Abstrak :
ABSTRAK


Telah dilakukan penelitian terhadap telur jenis-jenis cacing parasit usus pada sapi dan kerbau yang terdapat di R.P.H Cakung, Jakarta Timur. Pada sapi yang berasal dari Jawa Timur terbanyak diinfeksi oleh cacing Trichuris spp., Trichostrongylus spp., dan Bunostomum spp. Pada sapi asal Bali banyak diinfeksi oleh Toxocara spp., dan Bunostomum spp. Pada sapi asal Nusa Tenggara Timur banyak diinfeksi Moniezia spp., Toxocara spp. Dan Oesphagostomum spp. Pada kerbau asal Jawa Timur banyak diinfeksi oleh Fasciola spp. Dan Mecistocirrus spp. Pada kerbau asal Sulawesi Selatan banyak diinfeksi oleh Fasciola spp. Dan Mecistocirrus spp.

Dari berbagai jenis cacing parasite usus pada sapid an kerbau yang didapatkan, terdapat jenis yang juga dapat menginfeksi manusia, yaitu Fasciola spp., Toxocara spp., Oesphagostomum spp., Trischostrongylus spp., dan Trichuris spp.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwadhiar
Abstrak :
ABSTRAK


Keong Lymnaea rubiginosa telah diketahui sebagai hospes perantara di dalam siklus hidup beberapa cacing Trematoda. Dalam penelitian ini keong diberikan sebagai makanan tikus putih (Rattus norvegicus) strain WN, untuk mengetahui species cacing Trematoda pada keong yang dapat hidup di saluran pencernaan tikus. Sebelum diberi makan keong, tinja tikus diperiksa ada tidaknya telur atau larva cacing untuk meyakinkan bahwa tikus bebas dari parasit, dan tikus dilaparkan selama 1 hari. Tiap tikus diberi makan 20 ekor keong, dan tikus dipelihara. Enam hari setelah infeksi, dilakukan kembali pemeriksaan tinja tikus. Tikus yang positif mengandung telur cacing, dibedah, dicari cacingnya, dihitung jumlahnya, dan dicatat tempat ditemukannya. Untuk keperluan identifikasi, spesimen cacing diwarnai dengan pewarnaan HE dan dibuat sediaan. Hasil identifikasi terhadap 111 ekor cacing yang ditemukan pada saluran pencernaan tikus putih, terdiri dari 4 species, yaitu: 68 ekor (61,26 %) cacing Echinostoma ilocanum, 23 ekor (20,72 %) cacing E. malayanum. 8 ekor (7,21%) cacing E. recurvatum, dan 7 ekor (6,31 %) cacing E. revolutum, serta 5 ekor (4,50%) tidak dapat diidentifikasi. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keong L. rubiginosa berperan sebagai hospes perantara cacing Echinostoma spp. tersebut.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Canda Insyira Tamarahen
Abstrak :
Ivermectin merupakan obat yang telah disetujui FDA untuk digunakan pada Strongyloidiasis dan Onchocerciasis, yaitu dua kondisi yang disebabkan oleh cacing parasit. Namun ivermectin banyak disalahgunakan sebagai obat COVID-19 yang sebenarnya membutuhkan dosis berkali lipat agar konsentrasi plasma yang dibutuhkan untuk efikasi antivirus tercapai. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji profil farmakokinetika untuk mengetahui keamanan, efikasi, serta toksisitas suatu obat. Pengujian ini dilakukan dengan menganalisis kadar ivermectin pada plasma 6 orang subjek Indonesia sehat yang telah mengonsumsi tablet ivermectin 12 mg secara oral menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Ultra Tinggi Tandem Spektrometri Massa (KCKUT-SM/SM). Pengambilan darah subjek dilakukan sebanyak 16 titik pada beberapa interval waktu hingga jam ke-72. Kondisi kromatografi yang digunakan adalah kolom Acquity UPLC BEH C18 (2,1 x 100 mm x 1,7 µm); suhu kolom 40oC; fase gerak amonium format 5 mM pH 3 – asetonitril dengan perbandingan 10:90; laju alir 0,2 mL/menit; dan doramectin sebagai baku dalam. Profil farmakokinetika dalam sampel plasma menghasilkan; AUC0-t 518,43 ± 71,89 ng/mL; AUC0- 582,92 ± 114,28 ng/mL; Cmaks 47,79 – 53,31 ng/mL; tmaks 4,50 ± 0,00 jam; dan t½ 23,15 ± 6,81 jam. Berdasarkan penelitian sebelumnya, Cmaks in vitro yang dibutuhkan untuk mematikan virus COVID-19 yaitu sebesar ± 5 µg/mL, apabila dibandingkan dengan Cmaks yang diperoleh pada penelitian ini, memperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi untuk mematikan virus COVID-19 tidak tercapai. ......Ivermectin is a drug approved by FDA that used for Strongyloidiasis and Onchocerciasis, two conditions caused by parasitic worms. However, ivermectin is widely misused as a COVID-19 drug which requires multiple doses to achieve the plasma concentration required for antiviral efficacy. Therefore, it is necessary to test the pharmacokinetic profile to determine the safety, efficacy, and toxicity of the drug. This test was done by analizing the ivermectin levels in the plasma of 6 healthy Indonesian subjects who had taken 12 mg of ivermectin tablet orally by using Ultra High Performance Liquid Chromatography Tandem – Mass Spectrmetry (UHPLC-MS/MS). Subjects’ blood sampling was collected as many as 16 points at several time intervals up to 72 hours. The chromatographic conditions used was Acquity UPLC BEH C18 column (2.1 x 100 mm x 1.7 µm); 40oC column temperature; mobile phase consists of ammonium formate 5 mM pH 3 – acetonitrile with 10:90 comparison; 0,2 mL/minute flow rate; and doramectin as an internal standard. The pharmacokinetic profile in plasma results were; AUC0-t was 518,43 ± 71,89 ng/mL; AUC0- was 582,92 ± 114,28 ng/mL; Cmax ranged from 47,79 to 53,31 ng/mL; tmax was 4,50 ± 0,00 hours; and t½ was 23,15 ± 6,81 hours. Based on previous research, the in vitro Cmax required to kill the COVID-19 virus is ± 5 g/mL, when compared with the Cmax obtained in this study, it is concluded that the concentration to kill the COVID-19 virus was not achieved.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davin Nathan Wijaya
Abstrak :
Pendahuluan: Toksokariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing parasit Toxocara canis dan Toxocara cati dengan inang definitif anjing dan kucing domestik. Infeksi pada manusia terjadi melalui ingesti telur matang. Manifestasi klinis toksokariasis meliputi visceral larva migrans dan ocular larva migrans. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang berisiko terhadap infeksi Toxocara karena populasi anjing yang cukup tinggi. Namun, belum terdapat penelitian mengenai seroprevalensi toksokariasis di daerah ini. Selain itu, penelitian mengenai hubungan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis juga menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui seroprevalensi toksokariasis dan hubungannya dengan usia dan jenis kelamin di Desa Karang Indah, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur. Metode: Sebanyak 110 sampel plasma dipilih secara acak dari sampel darah penduduk Desa Karang Indah yang dikumpulkan pada bulan Oktober 2016 – Desember 2016. Sampel plasma yang terpilih diuji menggunakan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgG anti rTc-CTL-1 dengan hasil berupa nilai absorbansi (OD). Data sekunder, berupa usia dan jenis kelamin, didapat dari Tim Peneliti Departemen Parasitologi FKUI. Data usia dikelompokkan ke dalam dua kategori (anak-anak dan dewasa) dan empat kategori (5-10, 11-20, 21-35, dan >35 tahun). Hasil: Penelitian ini menunjukkan seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah sebesar 80,91%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dan jenis kelamin dengan seroprevalensi toksokariasis (p>0,05). Seroprevalensi toksokariasis tertinggi terdapat pada kelompok usia >35 tahun (91,3%) dan terendah pada kelompok 11-20 tahun (52,4%). Kelompok jenis kelamin laki-laki memiliki seroprevalensi toksokariasis yang lebih tinggi (85,1%) daripada perempuan (77,8%). Kesimpulan: Seroprevalensi toksokariasis di Desa Karang Indah tergolong tinggi. Usia dan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap seroprevalensi toksokariasis. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko selain usia dan jenis kelamin. ......Introduction: Toxocariasis is a disease caused by parasitic worms, Toxocara canis and Toxocara cati, with domestic dogs and cats as the definitive hosts. Human infections occur through ingestion of mature eggs. Clinical manifestations of toxocariasis include visceral larva migrans and ocular larva migrans. East Nusa Tenggara is an area that is at risk of Toxocara infection because the dog population is quite high. However, there has been no study regarding the seroprevalence of toxocariasis in this area. In addition, the researches on the association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis also showed inconsistent results. Therefore, this study aimed to determine the seroprevalence of toxocariasis and its association with age and gender in Karang Indah Village, Southwest Sumba Regency, East Nusa Tenggara. Method: A total of 110 plasma samples were randomly selected from blood samples of people in Karang Indah Village collected between October 2016 – December 2016. Selected plasma samples were tested using ELISA to detect anti- rTc-CTL-1 IgG antibodies with the results in the form of absorbance values (OD). Age and gender as secondary data were obtained from the Research Team of the Parasitology Department of FMUI. Age data are grouped into two categories (children and adults) and four categories (5-10, 11-20, 21-35, and >35 years of age). Result: This study showed that the seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was 80.91%. There was no significant association between age and gender with the seroprevalence of toxocariasis (p>0.05). The highest seroprevalence of toxocariasis was found in the age group of >35 years (91.3%) and the lowest in the 11-20 years group (52.4%). The males had a higher seroprevalence of toxocariasis (85.1%) than women (77.8%). Conclusion: The seroprevalence of toxocariasis in Karang Indah Village was high. Age and gender had no effect on the seroprevalence of toxocariasis. Further research needs to be done to identify risk factors besides age and gender.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library