Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 28 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Beatrice Intan Kasih
"Latar Belakang: Analisis rugae palatal merupakan salah satu metode identifikasi sekunder untuk penentuan jenis kelamin. Tujuan: Mengetahui perbedaan jenis dan asal rugae laki-laki dan perempuan. Metode: Analisis rugae palatal 100 cetakan maksila menurut klasifikasi Lysell. Hasil: Rugae sekunder dan total semua rugae palatum kiri laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05); rugae fragmenter palatum kanan laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Rugae asal raphae pada laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (p<0.05) sedangkan rugae asal medial pada laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan (p<0.05). Kesimpulan: rugae sekunder, fragmenter, total semua rugae, rugae primer asal raphae dan medial berbeda antara laki-laki dan perempuan.

Background: Palatal rugae analysis is a secondary identification for sex determination. Objectives: To identify differences of types and origins palatal rugae in sexes. Methods: Analysis of 100 maxilla casts by Lysell’s classification. Results: Secondary and total rugae males’ left palate has more number than females (p<0.05); fragmentary rugae males’ right palate has less number than females (p<0.05). Raphae origin males’ rugae has more number than females (p<0.05) while medial origin rugae in males has less number than females (p<0.05). Conclusions: Secondary, fragmentary, total rugae as well as raphae and medial origins palatal rugae is different between males and females."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titis Maulanti
"Latar Belakang: Gen MGMT berperan dalam mekanisme perbaikan DNA melalui transfer alkil mencegah terjadinya mutasi gen ? gen terkait orofacial cleft. Metilasi pada promoter gen MGMT mempengaruhi regulasi ekspresi gen tersebut.
Tujuan: Mengetahui gambaran kejadian metilasi gen MGMT penderita orofacial cleft.
Metode: Dua puluh empat sampel orofacial cleft dan 24 sampel normal dilakukan deteksi status metilasi melalui methylation specific-PCR (MSP).
Hasil: Diperoleh 33.3% orofacial cleft berstatus fully methylated dan 66.7% partially methylated. Sedangkan pada kontrol, 100% berstatus partially methylated.
Kesimpulan: Terjadi metilasi gen MGMT pada penderita orofacial cleft dan distribusinya berbeda dengan individu normal (p=0.004).

Background: MGMT gene plays a role in DNA repair mechanisms via the transfer of alkyl to prevent mutation of gene related orofacial cleft. Methylation at MGMT gene promoter has effect in the regulation of gene expression.
Objective: To determine MGMT gene methylation status in orofacial cleft.
Methods: Methylation status were detected in 24 orofacial cleft and 24 healthy individuals samples by methylation-specific PCR (MSP).
Results: 33.3% orofacial cleft were fully methylated and 66.7% were partially methylated. Meanwhile, in control group, 100% were partially methylated.
Conclusion: MGMT gene methylation occurred in orofacial cleft and the distributions are different from healthy individuals (p=0.004).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melina Tiza Yanuardani
"Pendahuluan: Ukuran anatomi nostril normal mendapat sedikit perhatian pada bayi usia kurang dari dua tahun. Gagasan tentang hidung yang ideal adalah penting untuk rekonstruksi daerah ini, terutama untuk bibir sumbing dan perbaikan hidung.
Metode: Dilakukan studi potong lintang. Aspek basal foto diambil dari screen capture video. Sepuluh antropometri lubang hidung diukur dan dianalisa menggunakan software Image J. Hasil dibandingkan secara statistik menggunakan uji t dua sisi dan koefisien korelasi dihitung.
Hasil: 156 subjek (usia rata-rata, 9,5 bulan; anak perempuan, n: 72 dan anak laki-laki, n: 84; Deutero Melayu ras, n: 127 dan ras lainnya, n: 29). Tidak terjadi perbedaan bermakna (p> 0,05) pada ras Deutero Melayu dan ras lain, yaitu tonjolan tip hidung, panjang alar, ketebalan alar, lebar dan panjang collumella, lebar sill. Lebar dasar alar, lebar sub alar, lebar anatomi dan lebar morfologi hidung secara signifikan lebih pamjang pada ras Deutero Melayu dibandingkan dengan ras lainnya (p <0,05). Pada usia kurang dari 9 bulan bayi ras Deutero Melayu, setiap kelompok usia (0-3, 4-6, 7-9), terdapat peningkatan nilai lebar lubang hidung 0,77- 1,04 mm dan nilai tinggi lubang hidung 0,4-0,54 mm. Pada ras Deutero Melayu, semua pengukuran nostril berkorelasi positif dengan usiadan berat badan (p<0,05).
Kesimpulan: Morfologi normal nostril pada populasi bayi Indonesia kurang dari 2 tahun sudah dideskripsikan. Dengan menyediakan data referensi dari morfometrik lubang hidung yang normal pada bayi Indonesia, dapat menjadi pedoman untuk pengobatan sumbing atau rekonstruksi bayi Indonesia.

Introduction: Indonesian normal nostril anatomy has received little attention in infants younger than 2 year. The notion of an ideal nose is critical to reconstruction, especially for cleft lip and nose repair.
Methods: A cross sectional study was performed. Basal aspect images taken from screen capture of the video. Ten anthropometric measurements of the nostril were measured and analyzed with Image J software. Results were compared statistically using the two-tailed t test and correlation coefficients were calculated.
Results: 156 infants were included (median age, 9,5 months; girls, n:72 and boys, n: 84; Deutero Malay race, n:127 and other race, n: 29). Measurements were similar (p>0.05) in Deutero Malay races and other races, included nasal tip protrusion, alar length, ala thickness, collumella width and length, sill width.Alar base width, sub alar width, anatomical width andmorphological width of nose were significantly longer in Deutero Malay race than in other race (p<0.05). In under 9 months old Deutero Malay infant, everyage group (0-3, 4-6, 7-9) were increase their sill width value 0,77- 1,04 mm and nostril height value 0,4-0,54 mm. Measurements of Deutero Malay race were correlated positively with age and weight (p < 0.05).
Conclusion: Normal nostril morphology is described in a population of Indonesian infants. By providing reference data of normal nostril morphometric in Indonesian infants, it can guuide the cleft treatment or reconstruction of the Indonesian infant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Cleft Lip and Cleft Palate Management of a Four Yearl Old Child.
Cleft lip and cleft palate caused problems in esthetic, swallowing, and spelling. This present case was a case of a four year old girl referred to Department of Pediatric Dentistry Universitas Indonesia after having a labioplasty. She was received an obturator and a denture. The obturator was aimed to close the cleft in the palate while the denture was aimed to correct the alveolar and lip contour. It was revealed that a team was required to manage this case especially during the period of dental and facial growth and the parent played an important role in maintaining
oral hygiene and diet control."
[Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Journal of Dentistry Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Parintosa Atmodiwirjo
"Pendahuluan: Operasi penutupan sumbing langit-langit merupakan bagian dari proses tatalaksana penderita sumbing bibir dan langit-langit. Proses palatoplasti biasanya menurunkan kadar hemoglobin karena perdarahan yang terjadi. Dengan diketahuinya rerata penurunan kadar hemoglobin diharapkan operator dapat melakukan seleksi pasien dengan kadar hemoglobin yang tidak adekuat, sehingga penyulit pascabedah dapat dihindari terutama pada kegiatan bakti sosial di daerah yang kondisi umum pasien sulit diprediksi.
Metode: Dilakukan penelitian untuk mengetahui berkurangnya kadar hemoglobin pada pasien yang menjalani operasi palatoplasti. Diambil data kadar hemoglobin sebelum dan segera setelah palatoplasti serta dicatat data operator, lama operasi serta evaluasi keadaan luka operasi satu minggu pascaoperasi. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif.
Hasil: Dari 14 sampel yang diteliti didapat hasil 8 pasien mengalami penurunan kadar hemoglobin rata rata sebesar 0,5 ± 0,36 gr/dl. Lima pasien mengalami peningkatan kadar hemoglobin pascaoperasi rata rata sebesar 0,32 ± 0,28 gr/dl. Satu pasien tidak mengalami penibahan. Hanya satu pasien mengalami dehisensi seminggu pascaoperasi, walaupun kadar hemoglobin baik.
Simpulan: Agaknya pasien yang direncanakan operasi palatoplasti sebaiknya memiliki kadar hemoglobin yang lebih atau sama dengan 8,5 gr/dl untuk memenuhi keadaan yang optimal pascaoperasi."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T18157
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Niko Falatehan
"ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan fonetik seringkali dialami oleh pasien yang baru
memakai gigi tiruan lepas, namun dalam praktek sehari-hari fungsi fonetik
seringkali terabaikan oleh dokter gigi. Salah satu penyebab terjadinya gangguan
fonetik adalah karena palatum tertutup oleh basis gigi tiruan, sehingga fungsi
palatum sebagai salah satu alat bicara terganggu terutama pada pengucapan
konsonan linguo-palatal.
Untuk mengevaluasi gangguan fonetik biasanya digunakan palatogram,
yaitu gambaran yang terbentuk pada daerah palatum yang berkontak dengan
lidah saat berlangsungnya suatu aktifitas spesifik, biasanya saat aktifitas
berbicara.
Tujuan : untuk mendapatkan metode baru dalam memprediksi adaptasi
pemakai gigi tiruan penuh rahang atas berdasarkan palatogram konsonan
linguo-palatal Bahasa Indonesia. Diharapkan pasien mampu mengucapkan
konsonan linguo-palatal, khususnya huruf ‘s’ dan 'z’.
Bahan dan Cara : Subjek penelitian adalah 40 orang pemakai gigi tiruan
penuh (GTP) yang terdiri dari 20 laki-laki dan 20 perempuan, dengan
rentang usia antara 30-80 tahun. Dibuat palatogram pada gigi tiruan penuh
rahang atas (GTP RA), dengan cara subjek diinstruksikan untuk
mengucapkan bunyi desis ‘s’ dan ‘z setelah bagian palatal GTP RA
dioleskan pressure indicator paste. Jenis penelitian ini adalah penelitian
analitik observasional dengan desain potong lintang. Penelitian ini dianalisis
dengan analisis univariat, bivariat (uji T tidak berpasangan) dan multivariat
(uji repeated ANOVA).
Hasil : Pemakai GTP RA membutuhkan waktu 10-14 hari untuk mampu
beradaptasi terhadap pengucapan konsonan linguo-palatal S – Z. Nilai mean
subjek saat pengucapan huruf ‘s’ dan ‘z’ yang dapat dilakukan dengan baik dan
jelas adalah 920,63 dan 987,31, dengan deviasi standar 92,28 dan 107,61.
Kesimpulan : Didapatkan metode baru untuk menilai adaptasi pemakai GTP
rahang atas, berdasarkan palatogram konsonan linguo-palatal Bahasa
Indonesia.

ABSTRACT
Introduction : Phonetic interference often occurs on a new removable denture
wearer, but phonetic is usually ignored by dentist in daily practice. The
removable denture base that covers palate is one of the phonetic interference
causes. Denture base interfere the palate to function, as one of the speech
instrument, especially in pronouncing linguo-palatal consonant.
Phonetic interference can be evaluated by a palatogram. Palatogram is a
graphic representation of the palate area that contacts by the tongue during a
specified activity, usually speech.
Aim : to obtain a new method in predicting the adaptation of upper complete
denture wearer based on the palatogram of Indonesian linguo-palatal
consonant, in order to be able to pronounce linguo-palatal consonant, especially
‘s’ and ‘z’.
Material and method : There are 40 participants on this study, consists of 20
males and 20 females, by an age range between 30-80 years old. The subject
was asked to and palatogram record was taken on upper complete denture by
instructing the subject to pronounce ‘s’ and ‘z’, after some PIP is put on palatal
plate. This study is an analytic observational with cross sectional design. This
study was anaylzed with univariat, bivariat (Unpaired T-test), and multivariat
analysis (Repeated ANOVA test).
Result : Upper denture wearer need 10-14 days to adapt with ‘s’ and ‘z’
consonant. The subject’s means in phonetic ‘s’ and ‘z’ are 920,63 and 987,31,
with standard deviation are 92,28 and 107,61.
Conclusion : a new method in evaluating the adaptation of upper complete
denture wearer was obtained based on the palatogram of Indonesian linguopalatal
consonant."
2013
T33185
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Laureen
"Bibir sumbing dengan atau tanpa sumbing langit-langit adalah cacat bawaan kraniofasial yang paling banyak ditemukan. Penyebabnya kompleks dan melibatkan banyak faktor genetik dan lingkungan. Cacat bawaan ini dapat menyebabkan banyak morbiditas, serta beban ekonomi yang berat; karena pasien sumbing membutuhkan intervensi medis setidaknya selama 18 tahun pertama yang mencakup beberapa aspek kehidupan pasien. Derajat dan kompleksitas sumbing sangat bervariasi, yang nantinya akan menentukan tatalaksana dan hasil akhir rekonstruksi untuk tiap individu. Identifikasi dan klasifikasi sangat berperan dalam penilaian awal kasus sumbing yang masing-masing unik, selanjutnya menjadi panduan untuk pemilihan metode yang tepat untuk mengoreksi defek. Beberapa klasifikasi yang ada dapat mengukur derajat keberhasilan rekonstruksi setelah operasi. Upaya yang telah dilakukan dan tantangan untuk dapat memformulasikan suatu klasifikasi yang ideal dan mencakup semua jenis sumbing ditelaah dalam tulisan ini.

Abstract
Cleft lip with or without cleft palate is the most occurring craniofacial anomaly in human, resulting from a complex etiology involving multiple genetic and environmental factors. The defect carries lifelong morbidity and economic burden. Children with clefts will require continuous medical interventions for at least the first 18 years of life, affecting many aspects of their lives. The extent and complexity of clefts vary infinitely, later determining individual management and outcome. Identification and classification play significant roles in initial assessment of these unique cleft cases, which affect options for following correctional attempts. Some classifications even allow measurement of progress after anatomical repositioning, and success rate after surgical repairs. The challenge of developing one such widely inclusive classification is discussed."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabila Hanoum Nurifai
"Latar Belakang: Dalam rangka mengembangkan terapi alternatif rekonstruksi tulang alveolar pada celah bibir dan palatum (CLP), teknologi rekayasa jaringan menjadi alternatif yang menjanjikan dengan menggunakan komponen sel stromal dan faktor pertumbuhan. Penelitian terbaru mengenai DPSC pada pasien CLP menghasilkan penyembuhan tulang yang memuaskan. Selain itu, ditemukan ekspresi berlebih dari IGF-1 pada DPSC pasien CLP. AKT dan MTOR merupakan downstream dari jalur pensinyalan IGF-1. AKT memiliki peran sebagai pengatur kelangsungan hidup dan proliferasi sel. Pensinyalan MTOR mengatur transkripsi gen dan sintesis protein untuk mengatur proliferasi sel dan diferensiasi sel. Namun, karakteristik DPSC subjek normal dan pasien celah bibir dan palatum berdasarkan ekspresi gen AKT dan MTOR dengan penghambat IGF-1 belum diketahui secara pasti. Tujuan: Mengevaluasi efek anti IGF-1R dan IGFBP-3 terhadap karakteristik DPSC subjek normal dan pasien CLP melalui ekspresi gen AKT dan MTOR. Metode: RNA DPSC subjek normal (n=4) yaitu kelompok sebelum perlakuan, kontrol negatif tanpa FBS, kontrol negatif dengan FBS, perlakuan anti IGF-1R. RNA DPSC CLP (n=3) yaitu kelompok sebelum perlakuan, kontrol negatif tanpa FBS, kontrol negatif dengan FBS, perlakuan anti IGF-1R. Analisis ekspresi gen AKT dan MTOR menggunakan GAPDH sebagai housekeeping gene dengan Real time PCR. Hasil: Tidak terdapat perbedaan ekspresi gen AKT dan MTOR, antara DPSC subjek normal dengan CLP sebelum perlakuan (p0,05) ataupun DPSC subjek normal dengan CLP setelah perlakuan anti IGF-1R (p0,05). Kesimpulan: Sel stromal pulpa gigi permanen subjek normal dan pasien celah bibir dan palatum pada kelompok sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan anti IGF-1R memiliki karakteristik yang sama melalui ekspresi gen AKT dan MTOR.

Background: In order to develop alternative therapies for alveolar bone reconstruction in cleft lip and palate (CLP), tissue engineering technology is a promising alternative using stromal cell and growth factors. Recent studies regarding DPSC in CLP patients have resulted in satisfactory bone healing. In addition, overexpression of IGF-1 was found in the DPSC of CLP patients. AKT and MTOR are downstream of the IGF-1 signaling pathway. AKT has a role as a regulator of cell survival and proliferation. MTOR signaling regulates gene transcription and protein synthesis to regulate cell proliferation and cell differentiation. However, the characteristics of DPSC normal subjects and cleft lip and palate patients based on AKT and MTOR gene expression with IGF-1 inhibitors are unknown. Objective: To evaluate the effect of anti-IGF-1R and IGFBP-3 on DPSC normal and CLP subject through AKT and MTOR gene expression. Methods: RNA from DPSC normal subject (n=4) with pretreatment, negative control without FBS, negative control with FBS, anti IGF-1R treatment dan DPSC CLP subject (n=3) with pretreatment, negative control without FBS, negative control with FBS, anti IGF-1R treatment. Analysis of AKT and MTOR gene expression using GAPDH as a housekeeping gene with Real time PCR test. Results: There was no difference in AKT and MTOR gene expression, either between DPSC of normal subjects and CLP patients before treatment (p0.05) or DPSC of normal and CLP patients after anti IGF-1R treatment (p0.05). Conclusion: DPSC of normal subjects and cleft lip and palate patients have the same characteristic with anti IGF-1R treatment through AKT dan MTOR gene expression."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahdadiansyah
"Latar belakang: Palatoplasti merupakan tindakan operasi untuk merekonstruksi celah langit-langit, sehingga fungsi bicara maupun fungsi mastikasi dapat lebih baik. Pada proses penyembuhan pasca palatoplasti, akan terjadi gaya tarik dari flap mukoperiosteal yang disatukan. Gaya tarikan pada mukoperiosteal itu diduga dapat menyebabkan kontraksi jaringan dan menyebabkan terjadinya jaringan parut. Adanya pembentukan jaringan parut tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan maksila baik ke arah antero-posterior maupun ke arah lateral. MMP-9 merupakan protein yang berperan penting dalam penyembuhan luka pada fase remodelling. Ekspresi MMP-9 ditemukan tinggi pada jaringan yang lebih sedikit terjadinya jaringan parut. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk melihat ekspresi MMP-9 pada pasien pasca palatoplasti primer celah langit-langit unilateral komplit non sindromik. Metode: Studi dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada sampel jaringan mukoperisoteal palatum pasien celah langit-langit pasca palatoplasti primer. Hasil: Pada pemeriksaan imunohistokimia didapatkan hasil intensitas ekspresi MMP-9 pada kelompok favorable berkisar 26,62 % hingga 41,30 %, sedangkan skor intensitas ekspresi MMP-9 kelompok unfavorable berkisar 8,78 % hingga 24,91 %. Kesimpulan: Intensitas ekspresi MMP-9 pada kelompok favorable lebih tinggi (rata-rata 41,30 %) daripada intensitas ekspresi MMP-9 kelompok unfavorable (rata-rata 16,50 %).

Background: Palatoplasty is an operation procedure to reconstruct a cleft palate, so that both speech and mastication functions can be better. In the post palatoplasty healing process, there will be a attraction of the mucoperiosteal flap unity. The attraction force on mucoperiosteal can make a tissue contraction and scarring. The formation of scar tissue can cause interference with the growth of the maxilla both antero-posterior and lateral. MMP-9 is a protein that plays an important role in wound healing at the remodeling phase. MMP-9 expression was high in tissue with less scarring. Objective: This study aims to observe the expression of MMP-9 in post primary palatoplasty non-syndromic complete unilateral cleft-palate patients. Methods: The study uses immunohistochemical examination of mucoperisoteal tissue samples of the palate of patients with cleft palate post primary palatoplasty. Results: In the immunohistochemical examination the results of MMP-9 expression intensity in the favorable group ranged from 26.62% to 41.30%, while the MMP-9 expression intensity score of the unfavorable group ranged from 8.78% to 24.91%. Conclusion: The intensity of MMP-9 expression in favorable groups was higher (on average 41.30%) than the intensity of MMP-9 expression in unfavorable groups (average of 16.50%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Debora Theresa
"Latar Belakang: Epigenetik lingkungan merupakan faktor yang masih dapat dikontrol dalam kejadian celah bibir dan lelangit. Masyarakat diharapkan dapat mengetahui apa saja epigenetik lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian celah bibir dan lelangit sehingga masyarakat sadar akan pentingnya tata laksana yang baik pada penderita celah bibir dan lelangit. Tujuan: Mengetahui gambaran epigenetik lingkungan pada penderita celah bibir dan lelangit. Metode: Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang dengan sampel 184 rekam medis pasien celah bibir dan lelangit di RSAB Harapan Kita. Data menunjukkan gambaran epigenetik lingkungan pada anak dengan celah bibir dan lelangit yang sudah selesai menjalani perawatan bedah primer di RSAB Harapan Kita. Hasil: Nilai rerata usia ibu saat hamil adalah 30,5 tahun. Terdapat riwayat konsumsi obat pada 77,7 persen subjek. Tidak diketahui adanya kebiasaan merokok pada ibu. Tingkat pendidikan ibu sedang (SMP, SMA, Diploma 1–3) dan tingkat pendidikan ayah tinggi (Sarjana 1–2) memiliki persentase terbesar. Mayoritas ibu pasien berdomisili di Jabodetabek. Nilai rerata berat badan lahir, lingkar kepala lahir, dan panjang badan lahir sebagai parameter dari nutrisi ibu termasuk dalam kategori normal. Sebanyak 79,9% subjek menjalani recall pasca perawatan primer. Kesimpulan: Epigenetik lingkungan menunjukkan gambaran yang normal pada pasien celah bibir dan lelangit di RSAB Harapan Kita.

Background: Environmental epigenetics are controllable elements in the occurrence of cleft lip and palate. The community is expected to understand the environmental epigenetics that influence the incidence of cleft lip and palate, raising awareness of the importance of proper management in cleft lip and palate. Objective: This study aims to understand the overview of environmental in epigenetics individuals with cleft lip and palate. Methods: Descriptive research with a cross-sectional design involving a sample of 184 medical records of cleft lip and palate patients at RSAB Harapan Kita. The data illustrates the overview of environmental epigenetics in children with cleft lip and palate who have completed primary surgical treatment at RSAB Harapan Kita. Results: The average maternal age during pregnancy is 30,5 years. About 77,7% of subjects have a history of drug consumption, and smoking habits are unknown. Mothers typically have a moderate education level, while fathers have a higher education level. Most mothers reside in Jabodetabek. Birth weight, head circumference, and birth length fall within normal ranges. A recall after primary care was conducted for 79,9% of the subjects. Conclusion: The environmental epigenetics indicate a normal overview in patients with cleft lip and palate at RSAB Harapan Kita."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>