Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Natasya Salma Aulia
Abstrak :
Latar Belakang Semakin banyak orang yang memilih untuk menunda menikah, memiliki anak, dan menjadi orang tua. Simpan beku sel telur adalah teknik yang digunakan untuk mempertahankan kesuburan. Dalam beberapa tahun terakhir, simpan beku sel telur mengalami peningkataan dalam popularitas karena alasan sosial atau non-medis. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana tingkat pengetahuan, sikap, dan persepsi mahasiswa kedokteran di Indonesia terhadap penyimpanan dan pembekuan sel telur untuk alasan sosial. Metode Ini adalah studi potong lintang berbasis survei terhadap mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Penelitian berlangsung dari bulan Agustus 2022 sampai dengan bulan Juli 2023. Total responden 102 mahasiswa. Tiga komponen kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data: pengetahuan, sikap, dan persepsi terhadap simpan beku tel telur untuk alasan sosial. Hasil Sebagian besar mahasiswa FKUI memahami mengenai topik kesuburan serta simpan beku sel telur (95%). Mayoritas mahasiswa adalah mahasiswa pre-klinik, dengan 75.6% diantaranya memiliki pengetahuan menengah. Siswa yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim atau Katolik cenderung tidak mengeksplorasi mengenai simpan beku sel telur atau preservasi fungsi fertilitas secara umum. Persepsi mahasiswa tentang aksesibilitas dan keterbukaan teknik simpan beku sel telur terhadap alasan non-medis dipengaruhi oleh pertimbangan mereka untuk melakukan pembekuan oosit yang umumnya positif. Kesimpulan Secara umum, mahasiswa memiliki kesadaran terhadap masalah fertilitas dan simpan beku sel telur. Agama berkaitan dengan sikap, yang dapat mempengaruhi persepsi mahasiswa kedokteran di Indonesia terhadap simpan beku telur untuk alasan sosia. ......Introduction In today's society, there are more people who choose to put off getting married, having kids, and becoming parents. Cryopreservation of oocytes is a technique used to maintain fertility. Oocyte freezing has, nevertheless, gained popularity in recent years for social or non-medical reasons. This study aims to understand how medical students in Indonesia feel about oocyte freezing for social reasons. Method Between June and July 2023, a cross-sectional survey including 102 female students at the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, was carried out. Three components of a questionnaire were used to collect the data: knowledge, attitude, and perception of oocyte freezing for social reasons. Results Most of the students understood fertility issues as well as oocyte freezing (95%). The majority of students were pre-clinical students, with 75.6% of them having intermediate knowledge. Students who identify as Muslim or Catholic are less likely to explore oocyte freezing or fertility preservation in general. The students' perceptions about the accessibility and openness of oocyte freezing to non-medical reasons were influenced by their consideration to undertake oocyte freezing, which are primarily positive. Conclusion Students are mostly aware of fertility awareness and egg freezing. Religion is associated with attitude, in which can influence the perception of female medical students in Indonesia towards social egg freezing
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aidrus
Abstrak :
Tujuan : Membandingkan dan menentukan perbedaan kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada wanita infertil dengan dan tanpa endometriosis, kemudian menganalisis pengaruh kadar homosistein tersebut dengan mutu oosit. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional). Lima puluh sembilan subjek mengikuti program fertilisasi in-vitro yang masuk dalam kriteria penerimaan dibagi menjadi dua kelompok sama besar, yakni kelompok endometriosis dan tanpa endometriosis secara konsekutif (consecutive sampling). Masing-masing subjek diambil percontoh dari darah dan zalir folikel kemudian diukur kadar homosisteinnya dengan metode teraimun CMIA. Rerata masing-masing kelompok diuji statistik dengan uji t independen. Hasil : Rerata kadar homosistein dalam darah pada kelompok endometriosis lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa endometriosis dan secara statisik berbeda bermakna (8,34 ±2,68 vs 6,71 ±1,56, p=0.007;95%CI: 0,02417-0,14657). Demikian pula dengan kadar homosistein dalam zalir folikel, kelompok endometriosis lebih tinggi dan secara statistik berbeda bermakna (6,19 ±1,67 vs 3,46 ±1,03; p= 0,000; 95% CI : 0,19310-0,32353). Semua mutu oosit baik pada kedua kelompok, yakni derajat 3. Terdapat korelasi antara kadar homosistein di dalam darah dan zalir folikel pada kelompok endometriosis dan dinilai dengan uji Pearson didapatkan bermakna (p = 0,002) dan nilai korelasi 0,553 (kekuatan korelasi sedang) dan arah korelasi positif. Kesimpulan : Rerata kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada wanita infertil dengan endometriosis lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa endometriosis dan secara statistik berbeda bermakna. Kadar homosistein ini tidak berpengaruh terhadap mutu oosit. Terdapat korelasi positif antara kadar homosistein dalam darah dan zalir folikel pada kelompok endometriosis. ......Purpose : Compare and determine the differences in levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in infertile women with and without endometriosis, then analyze the effect of homocysteine levels with oocyte quality. Method : This study was cross-sectional study. Fifty-nine subjects following the in-vitro fertilization program are included in the admission criteria were divided into two equal groups, ie groups of endometriosis and without endometriosis consecutively (consecutive sampling). Each subject taken from the blood and follicular fluid then measured the levels of homocystein levels with immuoassay method : The mean of each group was statistically tested with an independent t test. Results : The mean levels of homocysteine in the blood is higher in the endometriosis group than without endometriosis group and it was statisticaly significance (8,34 ±2,68 vs 6,71 ±1,56, p=0.007;95%CI: 0,02417-0,14657). Similarly, the levels of homocysteine in follicular fluid , the endometriosis group is higher and statisticaly significance (6,19 ±1,67 vs 3,46 ±1,03; p= 0,000; 95% CI : 0,19310-0,32353). All oocytes are in good quality in both groups, maturation grade 3. There is a correlation between the levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in the endometriosis group and assessed with Pearson test, and it found significant (p = 0.002) and the correlation value 0.553 (moderate correlation strength) and direction of a positive correlation. Conclusion : The mean levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in infertile women with endometriosis is higher than without endometriosis and were statistically significantly different. These homocysteine levels does not affect the quality of oocytes. There is a positive correlation between the levels of homocysteine in the blood and follicular fluid in endometriosis group.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonita Triwachyuni Agustina Sutrisna
Abstrak :
Latar Belakang:  Masalah infertilitas merupakan salah satu masalah yang cukup besar pada masyarakat Indonesia. Salah satu penyebab utama dari masalah infertilitas adalah menurunnya cadangan ovarium pada wanita. Terapat beberapa teknik untuk memprediksi cadangan ovarium pada wanita seperti dengan pengukuran kadar serum FSH, estradiol, inhibin B, dan AMH. Pada perkembangannya, terdapat aplikasi berbasis android dan iphone disebut IKO yang mampu untuk memprediksi jumlah cadangan ovarium dengan menggunakan kadar AMH. Kemampuan untuk memprediksi jumlah cadangan ovarium memungkinkan wanita untuk melakukan perencanaan reproduksi yang lebih baik dan meningkatkan kualitas hidup wanita. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk melihat dampak penggunaan aplikasi IKO terhadap pemilihan teknologi reproduksi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengembangkan aplikasi Indonesian Kalkulator of Oocytes (IKO) sebagai peramal usia biologis. Metode: Desain dari studi ini merupakan potong lintang pada 106 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang diambil pada penelitian ini adalah usia biologis sesuai dengan aplikasi IKO, mengetahui terhadap usia biologis, mengetahui mengenai marker untuk menilai usia biologis, dan metode reproduksi yang dipilih subjek. Hasil: 145 Sampel dikumpulkan dengan berbagai macam karakteristik, dengan rentang usia kronologis 20-40 tahun dan rentang usia biologis 18-50 tahun. Perbedaan usia kronologis dan usia biologis dengan rentang antara minus 26 sampai 19 tahun. Karakteristik subjek penelitian menunjukan bahwa terdapat kecenderungan pemilihan teknologi reproduksi pada wanita dengan usia yang lebih muda. Pada uji komparasi pemilihan teknologi reproduksi pada hasil usia biologis pada aplikasi IKO menunjukan hasil yang tidak signifikan (P>0,05). Meskipun demikian, subjek penelitian yang memilih menggunakan teknologi reproduksi memiliki usia yang lebih muda dengan selisih median 9 tahun. Lebih lagi didapatkan perbedaan yang sinifikan dari kelompok usia biologis dibawah 35 tahun dan diatas 35 tahun dengan nilai median 6 tahun. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara usia biologis yang didapatkan dari aplikasi IKO, mengetahui mengenai usia reproduksi, dan mengetahui mengenai marker untuk menentukan usia biologis dengan pemilihan teknologi reproduksi. Namun median dari subjek dengan usia biologis yang memilih dan tidak memilih teknologi reproduksi cukup tinggi dengan perbedaan 9 tahun, dan juga didapatkan perbedaan bermakna diantara kelompok usia kronologis dibawah dan diatas 35 tahun. ......Background: Infertility problem is one of the main reproductive problem in Indonesia. One of the major cause of infertility is depletion of ovarian reserve in woman. Ovarian reserve in women can be estimated by quantification of serum FSH, estradiol, inhibin B, and AMH. Development have been made to use android and iphone based application called IKO to predict ovarian reserve count with serum AMH level. The knowledge of ovarian reserve count will enable woman to have a better pregnancy planning that will increase quality of life. Objective: The objective of this study is to observe the effect of IKO application on the choice of reproductive technology. Method: This study is a cross-sectional study with 106 subjects which is eligible to inclusion and exclusion criteria. This study will obtain biological age prediction calculated from AMH serum with IKO application, biological age knowledge, marker of biological age knowledge, and reproductive technology choice. Results : In this study, 145 samples were collected with varied characteristics, with chronological age range of 20 to 40 years and biological age range of 18-50 years. Difference in chronological age with biological age range between minus 26 to 19 years. Subject characteristic shows preference of reproductive technology in younger woman. Comparative analysis of reproductive technology choice on biological age from IKO application shows no significant result (P>0,05). Even so, the median of the biological ages of subjects who chose reproductive technology and did not choose reproductive technology was quite high with a difference of 9 years. More over, there are a significant differences between the biological ages in the chronological age group below 35 years and above 35 years, which is 6 years differences in median data. Study shows subject which choose reproductive technology has younger biological age. Another comparative study of reproductive technology choice on knowledge of biological age also shows no significant result. Conclusion: Although there are no relation between biological age from IKO application, knowledge of biological age, and knowledge of biological age marker to the choice of reproductive technology. Even so, the median of the biological ages of subjects who chose reproductive technology and did not choose reproductive technology was quite high with a difference of 9 years and significant differences between chronological age group below 35 years and above 35 years.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhriti Chandru Bhavnani
Abstrak :
Latar Belakang: Kasus infeksi HIV-1 terus meningkat di dunia dan di Indonesia setiap tahunnya. Diperkirakan 5,8 juta orang hidup dengan HIV dan 640.000 di antaranya tinggal di Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir, HIV telah dikendalikan karena terapi antiretroviral (ART) seumur hidup yang efektif. Oleh karena itu, ada peningkatan dalam keinginan untuk memiliki anak kandung terutama pada pasien yang berada pada usia reproduksi yang prima. HIV-1 dan ART telah dikaitkan dengan infertilitas terutama akibat stress oksidatif yang dapat menganggu pematangan kromatin sperma. Pematangan kromatin sperma merupakan proses penting dimana protein histon yang berkaitan dengan DNA sperma digantikan oleh protamin dan membuatnya jauh lebih padat dibandingkan sel somatik, untuk memastikan bahwa informasi genetik ayah diturunkan dengan aman dari generasi ke generasi. Abnormalitas dalam proses ini telah dikaitkan dengan infertilitas, aborsi berulang, peningkatan risiko kelainan kongenital, perkembangan dan pembentukan embrio yang buruk serta kelahiran anak yang tidak sehat. Oleh karena itu, pematangan kromatin sperma dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai infertilitas pada laki-laki. Penggunaan pematangan kromatin sperma untuk mempredisi hasil fertilitas pada laki-laki HIV-1 positif di Indonesia masih kurang, meskipun dapat menjadi alat diagnostic yang baik untuk menilai kesuburan dan memberikan informasi yang tidak dapat diperoleh dengan analisis sperma sederhana (konsentrasi, motilitas dan morfologi). Metode: Sampel sperma akan diperoleh dari 36 subjek, dengan 18 subjek positif HIV dan 18 subjek kontrol dengan HIV seronegative. Sampel kemudian diapuskan pada kaca objek dan dilakukan pewarnaan sesuai petunjuk dari SpermFunc® Histone kit for determination of the maturity of spermatozoan nucleoprotein (Aniline Blue Staining Method). Slide kemudian akan diamati di bawah mikroskop cahaya dan jumlah inti sperma yang diwarnai biru (belum matang) dan diwarnai merah-ungu (matang) akan dihitung dalam 100 sperma. Hasil: Terdapat perbedaan statistik yang signifikan antara kelompok HIV dan Non-HIV (p<0,05). Kelompok subjek HIV memiliki proporsi/persentase pematangan sperma yang tergolong buruk (AB<87%) lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Kesimpulan: Terjadi penurunan pematangan kromatin sperma pada kelompok subjek HIV dibandingkan dengan kontrol yang mungkin disebabkan oleh stres oksidatif, hal ini dapat mempengaruhi kesuburan pada laki-laki HIV-1 positif. ......Introduction: HIV-1 infection cases continue to rise globally and in Indonesia each year. It is estimated that 5.8 million people are living with HIV and of those, 640,000 are living in Indonesia. However, HIV have been declared manageable in the past few decades due to the effective lifelong highly active antiretroviral therapy (HAART). Hence, there is an increased desire to have biological children especially in patients who are at a prime reproductive age. HIV-1 and the use of antiretroviral therapy have been linked to infertility mainly as a result of oxidative stress which can disrupt sperm chromatin maturation. Sperm chromatin maturation is a process wherein histone proteins which coils with sperm DNA are replaced by protamine and make it much more compact than somatic cells to ensure that paternal genetic information is safely transferred through generations. Abnormality in this process have been linked to infertility, recurrent abortion, increased risk for congenital abnormalities, poor development and sustenance of embryo as well as the birth of an unhealthy offspring. Hence, sperm chromatin maturation can be used as a parameter to asses male infertility. The use of sperm chromatin maturation to predict fertility outcomes in HIV-1 positive men in Indonesia have been lacking, even though it can be an imperative tool to assess fertility and sperm viability which cannot be obtained from a simple semen analysis (concentration, motility and morphology). Method: Semen samples were taken from 36 subjects, with 18 subjects positive for HIV and 18 subjects as control with seronegative HIV. These samples are then smeared on object glass and stained according to the instructions of the SpermFunc® Histone kit for determination of the maturity of spermatozoan nucleoprotein (Aniline Blue Staining Method). These stained slides will then be observed under the light microscope and number of red-purple stained (mature) and dark blue stained (immature) sperm nuclei will be calculated from 100 sperm. Results: There was a significant statistical difference between HIV and Non-HIV/control group (p<0.05). HIV subject group had a higher proportion of sperm maturation percentage which was classified as poor (AB<87%) in comparison to control group. Conclusion: There is a decreased sperm chromatin maturation in HIV subject group in comparison to control which may be caused by oxidative stress and this may affect fertility in HIV-1 positive men.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Cintani Kusuma
Abstrak :
Prevalensi infertilitas di Indonesia yang meningkat tiap tahunnya juga memperbesar kebutuhan pasangan infertil terhadap program fertilisasi in vitro (FIV). Diketahui oosit mempunyai peranan penting dalam keberhasilan FIV. Namun pada pelaksanaannya, oosit yang didapat saat tindakan petik oosit mempunyai maturitas yang tidak sama. Dari beberapa penelitian didapatkan stimulasi ovarium terkendali (SOT) dapat meningkatkan apoptosis sel granulosa dan reactive oxygen species (ROS) yang dapat memberikan efek negatif pada maturasi oosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh elektroakupunktur terhadap maturasi oosit, laju fertilisasi, kadar GDF9 dan BMP15 pada program FIV. Uji klinis acak tersamar ganda dengan kontrol dilakukan terhadap 24 subjek yang menjalani program FIV. Subjek dialokasikan secara acak ke dalam kelompok elektroakupunktur (n=12), dan kelompok elektroakupunktur sham (n=12). Penilaian maturasi oosit dan laju fertilisasi dilakukan secara mikroskopis oleh embriolog, sedangkan pemeriksaan kadar ekspresi mRNA GDF9 dan BMP15 oleh analis lab. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna maturasi oosit antara kelompok elektroakupunktur dengan elektroakupunktur sham (p=0,02); laju fertilisasi (p=0,03). Tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar GDF9 (p=0,34) dan BMP15 (p=0,47) antara kelompok elektroakupunktur dengan elektroakupunktur sham. Kesimpulan penelitian ini adalah elektroakupunktur dapat meningatkan maturasi oosit dan laju fertilisasi pada program FIV.
Increasing prevalence of infertility in Indonesia every year also increases the need for infertile couples in the in vitro fertilization program (FIV). It is known that oocytes have an important role in the success of FIV. But in its implementation, oocytes obtained during oocyte retrieval have unequal maturity. From several studies it was found that controlled ovarian stimulation (COS) can increase the apoptosis of granulosa cells and reactive oxygen species (ROS) which can have a negative effect on oocyte maturation. This study aims to determine the effect of electroacupuncture on oocyte maturation, fertilization rate, levels of GDF9 and BMP15 in the FIV program. A double blind randomized clinical trial with controls was conducted on 24 subjects who underwent the FIV program. Subjects were randomly allocated to the electroacupuncture group (n = 12), and the electroacupuncture sham group (n = 12). The assessment of oocyte maturation and the rate of fertilization were carried out microscopically by the embryologist, while the examination of the levels of GDF9 and BMP15 mRNA by lab analysts. The results showed that there were significant differences in oocyte maturation between the electroacupuncture group and electroacupuncture sham (p = 0.02); fertilization rate (p = 0.03). There were no significant difference in GDF9 levels (p = 0.34) and BMP15 levels (p = 0.47) between the electroacupuncture group and sham electroacupuncture. The conclusion of this study is electroacupuncture can enhance oocyte maturation and fertilization rate in the FIV program.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silvia Werdhy Lestari
Abstrak :
Temuan hasil penelitian pertama ini untuk seleksi/preparasi sperma adalah berupa modifikasi tehnik pada preparasi sperma berupa kecepatan dan periode atau jangka waktu tertentu pada sentrifugasi, yang sesuai dengan kondisi kualitas sperma saat pengeluaran, untuk mendapatkan panen sperma yang lebih berkualitas untuk digunakan pada TRB inseminasi intra uterus
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
PGB-Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Batara Imanuel
Abstrak :
Pengawetan fungsi reproduksi dengan simpan beku oosit matur tidak dapat dilakukan pada pasien kanker, sehingga simpan beku oosit imatur menjadi pilihan. Simpan beku oosit imatur masih terkendala angka maturasi dan fertilisasi yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh vitrifikasi sel kumulus granulosa sebagai representasi maturitas dan kualitas oosit matur dan imatur. Penanda maturitas adalah GDF-9, BMP-15, FSHR, LHR, dan koneksin-37, sedangkan kaspase-3 dan survivin sebagai penanda kualitas. Kadar protein total dan protein spesifik penanda maturitas (FSHR, LHR) dan kualitas (kaspase-3) oosit juga diteliti untuk memperoleh gambaran komprehensif pascavitrifikasi. Disain penelitian adalah true eksperimental in-vitro, dilakukan dari bulan Juli 2020 sampai Februari 2022. Subjek penelitian adalah pasien yang menjalani program fertilisasi in-vitro di klinik bayi tabung Morula IVF, RSIA Bunda Jakarta. Sampel sel kumulus-granulosa dari 38 pasien dengan diagnosis sindrom ovarium polikistik (SOPK) dianalisis. Prosedur vitrifikasi dilakukan dengan memajan sel kumulus-granulosa pada medium ekuilibrasi (VS1, 15% etilen glikol) selama 5 menit dan medium vitrifikasi (VS2, 15% etilen glikol, 15% dimethyl sulfoxide dan 0,5 M sukrosa) selama 30 detik. Sel kumulus-granulosa dimasukkan secara cepat ke nitrogen cair (suhu -196 oC). Setelah 5 menit, sampel dihangatkan dengan memajankan larutan sukrosa bertingkat 0,5 M, 0,25 M, 0.125 M. Metode real-time quantitative polimerase chain reaction (rt-qPCR) digunakan untuk mengukur ekspresi relatif dan sandwich Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengukur kadar protein. Analisis data menggunakan T-independent atau Mann-Whitney. Analisis ekspresi relatif gen target level mRNA menggunakan rumus Pfaffl. Didapatkan kadar protein total yang tidak berbeda bermakna antara sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (30 µg/mL dan 12,5 µg/mL, nilai p > 0,05). Kadar protein spesifik FSHR, LHR dan Kaspase-3 juga tidak berbeda bermakna antara kelompok oosit matur dan imatur (masing-masing adalah 0,47 µg/mL dan 0,48 µg/mL, 0,1 µg/mL dan 0,09 µg/mL, 0.51 µg/mL dan 0.58 µg/mL, nilai p > 0,05). Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi relatif BMP-15, LHR dan koneksin-37 pascavitrifikasi pada kelompok sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing 1,6 dan 1,4 kali untuk BMP-15, 2,3 dan 2,3 kali untuk LHR, 0,9 dan 0,9 kali untuk koneksin-37, nilai p < 0,01). Didapatkan penurunan bermakna ekspresi relatif GDF-9 dan FSHR pada kelompok sel kumulus-granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing 0,2 dan 0,1 kali untuk GDF-9, 0,3 dan 0,02 kali untuk FSHR, nilai p < 0,01). Ekspresi relatif gen penanda kualitas oosit matur dan imatur yaitu survivin dan kasapase-3 tidak berubah pascavitrifikasi (1,3 dan 1,2 kali untuk survivin, 0,7 dan 0,8 kali untuk kaspase-3, nilai p > 0,05). Analisis kadar protein FSHR, LHR, dan kaspase-3 pascavitrifikasi menunjukkan bahwa vitrifikasi tidak mengubah ekspresi gen sel kumulus granulosa oosit matur dan imatur (masing-masing adalah 0,4;0,4 µg/mL dan 0;4;0,5 µg/mL untuk FSHR, 0,1;0,1 µg/mL dan 0,1;0,1 µg/mL untuk LHR, 1,9;1,5 µg/mL dan 1,7;1,6 µg/mL untuk kaspase-3, nilai p > 0,05). Disimpulkan simpan beku sel kumulus-granulosa dengan metode vitrifikasi tidak mengubah ekspresi gen penanda maturitas dan kualitas oosit kecuali GDF-9 dan FSHR. Vitrifikasi terbukti aman untuk mempertahankan viabilitas sel kumulus-granulosa sebagai representasi kesintasan oosit matur dan imatur. ......Fertility preservation through mature oocytes cannot be recommended for cancer patients and immature oocytes is preferable. However, immature oocyte vitrification remains unfavorable due to low number of mature oocytes as well as low fertilizability post-warming. This study aimed to investigate the effect of cumulus-granulosa cells' vitrification on maturity and quality-associated markers of mature and immature oocytes as an indirect assessment. Expression of GDF-9, BMP-15, FSHR, LHR, and Connexin-37 genes which represent oocyte maturity and oocyte quality (caspase-3 and survivin) were analyzed post-warming. Protein total and specific proteins including FSHR, LHR, and Caspase-3 were also measured to comprehend the effect of vitrification. This was an in-vitro experimental study conducted from Juli 2020–February 2022 in Morula IVF Jakarta Clinic. A total of 38 cumulus-granulosa cell samples from infertile women diagnosed with polycystic ovary syndrome (PCOS) were analyzed. Vitrification was commenced by exposing the cells sample to the equilibration medium containing 15% EG for 5 minutes followed by exposing the cells to vitrification medium (15% EG and 15% DMSO) for 30 seconds. Cell samples were subsequently immersed in liquid nitrogen (-196 0C) for 5 minutes. Warming procedure using sucrose solution (0.5 M, 0.25 M, 0.125 M) was performed consecutively. Real-time quantitative polymerase chain reaction (rt-qPCR) dan sandwich ELISA was utilized to measure relative expression and concentration of both total and specific protein. Data analysis was performed using T-independent or Mann-Whitney and Pfaffl formulation for fold-changes measurement. This study found that concentration of both total (30 µg/mL vs. 12.5 µg/mL, p > 0.05) and specific proteins was similar between cumulus-granulosa cells of mature and immature oocytes (FSHR: 0.47 µg/mL vs. 0.48 µg/mL , LHR: 0.1 µg/mL vs. 0.09 µg/mL, and caspase-3: 0.51 µg/mL and 0.58 µg/mL, respectively, p > 0.05). Relative expression of maturity-associated genes such as BMP-15, LHR and connexin-37 post-warming did not significantly different in either cumulus-granulosa cells obtained from mature or immature oocytes (BMP-15: 1.6 vs. 1.4 fold, LHR: 2.3 vs. 2.3 fold, connexin-37: 0.9 vs. 0.9 fold, p > 0.05). However, we observed decreased relative expression of GDF-9 and FSHR post-warming in either cumulus-granulosa cells obtained from mature or immature oocytes (GDF-9: 0.2 vs 0.1 fold, and FSHR: 0.3 vs. 0.02 fold, p < 0.01, respectively). In protein level, concentration of FSHR, LHR, and caspase-3 as well as protein total post-warming did not significantly different than that of fresh condition (FSHR: 0.4 vs. 0.4 µg/mL and 0.4 vs. 0.5 µg/mL, LHR: 0.1 vs. 0.1 µg/mL dan 0.1 vs. 0.1 µg/mL, and caspase-3: 1.9 vs. 1.5 µg/mL and 1.7 vs. 1.6 µg/mL, repectively, p > 0,05). This study concluded that vitrification is a safe procedure for fertility preservation which is able to preserve cumulus-granulosa cells viability as a representative of mature and immature oocytes survival post-warming.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Farina Ilato
Abstrak :
Objektif: infertilitas didefinisikan sebagai kelainan reproduksi yang terjadi secara klinis sebagai gagalnya memperoleh kehamilan dalam 12 bulan setelah hubungan seksual rutin. Teknologi reproduksi berbantu merupakan bentuk teknologi yang membantu peningkatan kesuksesan kehamilan dalam kasus infertilitas. Salah satu factor penting dalam Teknik ini adalah viabilitas oosit. Salah satu yang mempengaruhi viabilitas oosit adalah nutrisi maternal. Nutrisi maternal dalam bentuk suplementasi kedelai diduga dapat mempengaruhi viabilitas oosit. Oleh karena itu, efeknya perlu diteliti lebih lanjut. Metode: mencit betina strain Swiss berusia 6 minggu dibagi dalam dua grup, grup dengan pemberian pakan kedelai sebanyak 120 g/kgBB dan grup tanpa pemberian pakan kedelai. Kedua grup kemudian diterminasi pada minggu ke 8 untuk koleksi oosit. Oosit diwarnai menggunakan MitoTracker untuk menilai potensial membrane mitokondria dan TUNEL untuk menilai tingkat apoptosis. Pendaran cahaya dinilai menggunakan mikroskop konfokal kemudian dianalisis menggunakan piranti lunak ImageJ. Oosit dari dua grup juga difertilisasi menggunakan metode ICSI dan diamati perkembangannya selama 5 hari Hasil: Diperoleh 10 oosit dari kelompok dengan kedelai dan 7 oosit dari kelompok tanpa kedelai. Rerata intensitas warna pada kelompok dengan kedelai lebih rendah (0,89 + 0.15) dibandingkan dengan kelompok tanpa kedelai (2,57 + 0,6). Uji Mann-Whitney menunjukkan adanya perbedaan statistic ecara signifikan di antara kedua grup (p<0,05). 16 oosit dari kelompok kedelai dan 7 oosit dari kelompok tanpa kedelai dianalisis menggunakan MitoTracker dan diperoleh bahwa intensitas cahaya dari kelompok kedelai lebih tinggi, namun uji statistik tidak menunjukkan adanya perbedaan rerata yang signifikan. Kesimpulan: suplementasi kedelai dapat meningkatkan viabilitas oosit secara signifikan dengan menurunkan tingkat apoptosis yang ditandai dengan adanya penurunan fragmentasi DNA. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada viabilitas membrane kedua kelompok.
Objective: Infertility is defined as a reproductive disorder that occurs clinically as a failure to get a pregnancy in at least 12 months of sexual intercourse. Assisted Reproductive Technology is a form of technology that helps reproductive success in infertility cases. One of the important factors in this technique is oocyte viability. One factor that influences oocyte viability is maternal nutrition. Maternal nutrition in form of soybean supplementation is thought to have benefits in oocyte viability. Therefore, the effect needs to be further investigated. Method: Female mice from Swiss strain aged 6 weeks were divided into two groups, groups with soybean feed with of 120 g / kgBW and groups without being fed soybeans. Both groups were terminated at 8 weeks of age for oocyte collection. The oocyte is stained with MitoTracker for assessing the mitochondrial membrane potential and TUNEL for assessing the apoptotic level. The luminescence was assessed using a confocal microscope. The luminescence was then analyzed using ImageJ software. Oocytes from the 2 groups are also fertilized using ICSI and observed for 5 days for the morphological development of the embryo. Results: 10 oocytes were gathered for groups with soy treatment and 7 for groups without soy treatment. The average color intensity of the group with soybean treatment was lower (0,89 + 0.15) compared to the group without soybean treatment (2,57 + 0,6). The Mann-Whitney statistical test showed a significant difference in the mean of the two groups (p<0,05). 16 oocytes from the soybean group and 7 from the pellet-only group was analyzed using MitoTracker and the average intensity for the soybean group is higher, but the difference is not statistically significant after analysis using independent paired t-test (p>0,05). Conclusion: Soybean supplementation can significantly increase the oocyte viability by reducing apoptosis levels in mice oocytes which is marked by a decrease in DNA fragmentation. No significant difference is observed between the 2 groups regarding mitochondrial membrane viability.
Depok: Fakultas Kedokteran Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Anda Syahril
Abstrak :
Growth differentiation factor 9 (GDF9) dan bone morphogenetic protein 15 (BMP15) merupakan growth factor yang disekresikan oosit yang berperan penting dalam meningkatkan pertumbuhan awal folikel serta pematangan oosit. Keberadaan protein GDF9 dan BMP15 tidak hanya terdapat pada oosit, tetapi juga pada sel granulosa. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ekspresi gen GDF9 dan BMP15 pada sel granulosa manusia. Sel granulosa yang diteliti berasal dari 30 pasien yang menjalani fertilisasi in vitro (FIV). Hasil isolasi RNA dari sel granulosa diubah menjadi cDNA melalui reaksi reverse transcription, lalu ekspresi gen GDF9 dan BMP15 diukur dengan QRT-PCR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar sampel tidak mengekspresikan gen GDF9 dan BMP15. Beberapa sampel yang menunjukkan ekspresi gen GDF9 dan BMP15 pada sel granulosa memiliki tingkat ekspresi yang bervariasi pada tiap sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gen GDF9 lebih banyak diekspresikan pada sel granulosa manusia dibandingkan gen BMP15.
Growth differentiation factor 9 (GDF9) and bone morphogenetic protein 15 (BMP15) are oocyte-derived growth factors that have important role to improve early follicle growth and oocyte maturity. Localization of GDF9 and BMP15 protein are not only in oocyte, but also in granulosa cells. Purpose of the research is to find out expression level of GDF9 and BMP15 genes in human granulosa cells. Granulosa cells were collected from 30 patients undergoing in vitro fertilization (IVF) treatment. Total RNA was isolated from the cells and reverse transcribed to cDNA via reverse transcription reaction, and then GDF9 and BMP15 genes expression were quantified using QRT-PCR. Result of this research is granulosa samples majority did not expressed GDF9 and BMP15 genes. Only several samples shown GDF9 and BMP15 genes expression which have vary expression level in each sample. Based on the result, GDF9 gene more expressed in human granulosa cells than BMP15 gene.
2013
S53733
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover