Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budiman Sunaryawan
Abstrak :
Pada penelitian ini ingin diketahui perbandingan biaya suplai dan distribusi antara hasil optimasi distribusi Bahan Bakar Minyak (BBM) serta analisis kelayakan penambahan depot Bahan Bakar Minyak dilokasi yang konsentrasi kebutuhan BBMnya tinggi (Alternatif 3) terhadap hasil optimasi distribusi Bahan Bakar Minyak dengan pengembangan di depot existing (Alternatif 2) maupun terhadap biaya suplai dan distribusi kondisi existing (Alternatif 1) di Unit PPDN II Palembang. Hasil optimasi tersebut akan menurunkan biaya operasional Unit PPDN II pada khususnya dan Pertamina pada umumnya, sehingga akan menurunkan subsidi BBM atau menaikkan LBM (Laba Bersih Minyak). Subsidi BBM terjadi apabila total Biaya Pokok BBM lebih besar dibandingkan dengan total hasil penjualan (Harga Keppres), sebaliknya disebut LBW. Untuk melihat perbandingan tersebut maka disusun langkah-langkah secara sistematis. Pertama dicari penghematan dengan menghitung dan membandingkan biaya suplai dan distribusi masing-masing. Langkah kedua dicari kebutuhan BBM dimasa yang akan datang untuk menghitung perbedaan biaya Investasinya. Langkah terakhir membandingkan penghematan terhadap perbedaan biaya Investasi. Terlihat bahwa hasil optimasi suplai dan distribusi perbulannya lebih hemat sebesar Rp. 1.096.279.217 dibandingkan dengan pola suplai dan distribusi kondisi existing. Hal ini menggambarkan pola suplai dan distribusi existing belum effisien. Sedangkan, meskipun penambahan depot dikonsentrasi kebutuhan BBMnya tinggi (Alternatif 3) lebih hemat dibandingkan dengan pengembangan depot di depot exsisting (Alternatif 2) tetapi menghasilkan NPV negatif. Hal ini disebabkan penghematan tersebut tidak sebanding dengan biaya Investasi yang harus dikeluarkan. ......From this study, we would like to know the expenses comparison of supply and distribution between alternatives 1,2 and 3. Alternative three is the optimization result of fuel oil distribution and feasibility analysis of the fuel oil depot expansion in the location with full fuel oil concentration. Alternative two is the optimization result of fuel oil distribution with the development of existing fuel oil depot, while alternative one is the fuel oil distribution pattern and fuel oil depot development of the existing condition in the Domestic Supplying and Marketing Unit II (UPPDN II) Palembang. The optimization result will reduce the operation expenses of UPPDN II especially and Pertamina in general, so that all this will reduce fuel oil subsidy and even increase net fuel oil profit. Fuel oil subsidy will occur when the total fuel oil expenses is higher compared the total sales revenue (President Decree for the fuel oil), or on the other hand, it is called net fuel oil profit. To know the comparison, we are trying to apply a number of steps to anlyze. First of all, we try to search the most efficient way by calculating the expenses of fuel oil supply and distribution of each alternative. The second step is search the future fuel oil demand in order to calculate the difference of investment expenses. The last step to compare the efficiency against the difference of investment expenses. It seems that the optimization result of supply and distribution per month is more efficient totaling Rp. 1.096.279.217 compared to the supply and distribution of the existing condition. All this indicated that supply and distribution patterns of the existing condition is not efficiency yet. Alternative three with full concentration of high fuel oil demand which is more efficient compared with alternative two with the depot development of existing condition, however, the result is negative Net Present Value. All this is brought about that the efficiency is not suitable compared to incur expenses for investment.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Widjonarko
Abstrak :
Peranan minyak dan gas bumi yang secara tradisional menjadi sumber devisa negara, dana pembangunan dan sebagai komoditi guna pemenuhan energi dalam negeri diperkirakan masih tetap dominan terhadap perekonomian Indonesia, setidak-tidaknya sampai dua dasawarsa mendatang. Sebagai salah satu andalan penerimaan negara, kekayaan sumberdaya alam minyak dan gas bumi dengan produksi rata-rata 1,5 juta barel minyak bumi dan 3 milyar kaki kubik gas bumi perhari, menjadikan Indonesia pada saat ini sebagai negara produsen minyak dan gas bumi terbesar di Asia Tenggara. Sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar tahun 1945, Pasal 33, ayat (2) dan (3) dinyatakan secara tegas bahwa sumberdaya minyak dan gas bumi sebagai bagian dari kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia adalah dimiliki dan dikuasai oleh negara. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa sumberdaya minyak dan gas bumi merupakan property right negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Rancangan penelitian ini adalah mengkaji bentuk kerjasama atau sistem kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia dengan model keputusan yang disusun dari hirarki manfaat dan hirarki biaya yang dilakukan untuk memperoleh pilihan strategi atau kebijakan sistem kerjasama. Hal tersebut dilakukan dengan menggunakan metodologi AHP untuk analisis manfaat-biaya guna menentukan alternatif sistem kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia berdasarkan sistem kerjasama pengusahaan minyak dan gas bumi yang telah diterapkan atau sistem kerjasama lain yang diharapkan akan memberikan manfaat dan kontribusi penerimaan negara yang optimal, serta berdampak positif kepada masyarakat. Model keputusan tersebut dianalisis menggunakan software Expert Choice 2000 untuk menentukan skala prioritas global dari masing masing hirarki. Hasil akhir analisis dengan membandingkan total manfaat dengan total biaya yang diperoleh dari analisis prioritas global diperoleh rasio manfaat-biaya berturut-turut dari yang tertinggi sebagai alternatif strategi atau kebijakan sistem pengusahaan minyak dan gas bumi adalah Kontrak Royalti dan Pajak 1,217, Kontrak Karya 1,021, , Kontrak Bagi Hasil Tanpa Pembatasan Cost Recovery 0,943, Kontrak Bagi Hasil Dengan Pembatasan Cost Recovery 0,996 dan Kontrak Jasa 1,047.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Yuliany
Abstrak :
Sistem distribusi BBM dalam negeri, mencakup kegiatan mulai dari kilang sebagai penghasil produk BBM, kemampuan tankerlpipa untuk mengangkut BBM ke Depot-Depot dan kemampuan sarana pembekalan BBM yang berfungsi sebagai suplai point baik langsung maupun tidak langsung kepada konsumen. Ketiga lingkup kegiatan yang dirangkai menjadi satu kesatuan operasi disebut sistem distribusi BBM, dimana masing-masing fungsi saling terkait dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya. Untuk mengidentifikasi Strategi Distribusi BBM digunakan analisis SWOT dengan mengidentifikasi faktor-faktornya, sebagai faktor kekuatan adalah faktor yang dapat mendorong terciptanya sistem distribusi yang terintegrasi dan berkesinambungan, faktor kelemahan antara lain kapasitas sarana penyediaan dan pembekalan BBM belum cukup serta usia pakainya sudah tua, dan pola suplai distribusi yang belum optimal. Faktor peluang antara lain kesempatan atau peluang bagi pengembangan usaha untuk bekerja sama dengan pihak lain/pihak asing, faktor ancaman adalah lemahnya PERTAMINA dalam menjamin suplai distribusi BBM. Hasil ini dijadikan dasar untuk menetapkan prioritas strategi dengan menggunakan metode Analisa Hierarki Proses (AHP). AHP adalah suatu analisis yang memerlukan para respondennya adalah orang yang ahli dibidangnya, oleh karena itu yang menjadi subyek penelitiannya adalah para pejabat maupun staf terkait di PERTAMINA, khususnya yang berada dibawah satuan kerja Pemasaran dan Niaga pada UPPDN III Jakarta. Optimalisasi distribusi BBM masing-masing dipengaruhi oleh lima faktor pada strategi distribusinya. Strategi distribusi minyak tanah dipengaruhi oleh lima faktor yaitu : Kebutuhan minyak tanah dengan bobot 0.281, disusul dengan, Kebijakan PERTAMINA dengan bobot 0.228, Sistem distribusi dengan bobot 0.188, Production Cost dengan bobot 0.175, Delivery cost dengan bobot 0.129. Strategi distribusi minyak tanah dibuat beberapa alternatif strategi distribusi minyak tanah dengan urutan prioritas sebagai berikut: Depot Plumpang dengan bobot 0.213, Depot Tasikmalaya/Ujung Berung dan Depot Padalarang mempunyai bobot yang sama yaitu 0.202 Depot Balongan dan Terminal Tg. Gerem dengan bobot yang sama yaitu 0.191 Berikutnya diketahui bahwa Strategi distribusi minyak solar dipengaruhi oleh lima faktor dengan urutan: Kebutuhan minyak solar dengan bobot 0.358 , Kebijakan PERTAMINA dengan bobot 0.214, Sistem distribusi dengan bobot 0.192, Production Cost dengan bobot 0.126, Delivery cost dengan perolehan bobot 0.102. Strategi distribusi minyak solar dibuat beberapa alternatif strategi distribusi minyak solar dengan urutan prioritas sebagai berikut: Depot Tanjung Periok dan Depot Plumpang dengan masing-masing bobot 0.172, Depot Balongan, Tg. Gerem, Depot Tasikmalaya/Ujung Berung dan Depot Padalarang mempunyai bobot yang sama yaitu masing-masing 0.164.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T10294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edid Erdiman
Abstrak :
Dalam perekonomian Indonesia minyak sawit merupakan salah satu bahan baku utama minyak goreng. Minyak goreng merupakan salah satu dari barang kebutuhan pokok masyarakat. Dari tahun 1979-1998, luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat sebesar 11,3% per tahun, produksi minyak sawit meningkat sebesar 11,6% per tahun, dan ekspor minyak sawit Indonesia meningkat 12,2% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa komoditi minyak sawit Indonesia mempunyai peranan, potensi dan prospek yang baik bagi perekonomian Indonesia. Namun di dalam pelaksanaannya, penawaran minyak sawit Indonesia sering dihadapkan pada dua pilihan yang agak rumit antara apakah lebih ke pasar ekspor atau lebih ke pasar domestik. Keadaan dilema tersebut, diduga sering menjadikan penawaran minyak sawit Indonesia tidak mencapai tingkat keseimbangan antara produsen, konsumen di dalam negeri, dan pemerintah. Begitupun kebijakan Pemerintahnya diduga lebih mementingkan kepentingan Pemerintah (stabilitas harga dan inflasi). Analisis Kebijakan industri Minyak Sawit Indonesia: Orientasi Ekspor dan Domestik, Marimba mengungkap dan menganalisanya. Analisis ini bertujuan untuk: i) Memberikan gambaran penawaran minyak sawit Indonesia; ii) Mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran minyak sawit Indonesia; iii) Memberikan gambaran kebutuhan minyak sawit industri minyak goreng di dalam negeri dan ekspor, iv) Memberikan gambaran arah atau orientasi kebijakan penawaran industri minyak sawit Indonesia, dan v) Memberi masukan pada pengembangan kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit. Penelitian ini menggunakan pendekatan: i) Secara deskriptif pada: luas areal perkebunan, produksi minyak sawit, produktivitas tenaga kerja, alokasi penawaran ke pasar ekspor dan domestik, harga minyak sawit, perdagangan minyak sawit dunia; ii) Analisa Regresi pada penawaran minyak sawit Indonesia di pasar ekspor dan domestik; dan iii) Analisa Struktur Pasar pada industri minyak sawit dan minyak goreng sawit Indonesia. Dari hasil penelitian didapat temuan dan kesimpulan sebagai berikut: 1) Dari tahun 1979-1985 perkebunan kelapa sawit Indonesia paling besar dikuasai oleh Perkebunan Besar Negara, yaitu luas arealnya 64%-67% dari luas areal kelapa sawit seluruh Indonesia. Dari tahun 1989-1998 paling besar dikuasai oleh Perkebunan Besar Swasta, yaitu luas arealnya 37%-50% dari luas areal kelapa sawit seluruh Indonesia. 2) Pada tahun 1997 luas areal kelapa sawit Indonesia terkonseritrasi di propinsi Sumatera Utara yaitu 42,4% dari luas areal seluruh Indonesia. 3) Dari tahun 1979-1988 produksi minyak sawit Indonesia yang paling besar dihasilkan dari Perkebunan besar Negara, 47%-68% dari seluruh produksi minyak sawit Indonesia. Dari tahun 1989-1998 produksi minyak sawit yang paling besar dihasilkan dari Perkebunan Besar Swasta, 39%-50% dari produksi minyak sawit di Indonesia. 4) Dari tahun 1979-1998 rata-rata produksi per ha per tahun Perkebunan Rakyat adalah 0,85 ton/ha, Perkebunan Besar Negara adalah 3,18 ton/ha, dan Perkebunan Besar Swasta adalah 2,09 ton/ha. Rata-rata produksi per ha per tahun nasional adalah 2,21 ton/ha. Produksi per ha perkebunan kelapa sawit Indonesia per tahun masih rendah masih dapat ditingkatkan. 5) Produktivitas tenaga kerja per tahun industri minyak sawit Indonesia pada tahun 1993 adalah 46,4 ton/tk (tk= tenaga kerja), dan pada tahun 1997 adalah sebesar 103 ton/tk. Pada tahun 1996 produktivitas tenaga kerja per tahun mencapai yang paling tinggi yaitu sebesar 133,6 ton/tk. Produktivitas tenaga kerja industri minyak sawit Indonesia masih rendah, masih dapat ditingkatkan misalnya sebesar yang dicapai pada tahun 1996. 6) Dari tahun 1993-1997 industri minyak sawit Indonesia merupakan pemasok terbesar minyak makan nabati Indonesia. Jumlah produksi industri minyak sawit Indonesia dari tahun 1993-1997 adalah antara 88,5%-92,6% dari seluruh produksi industri minyak nabati Indonesia. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa dari tahun 1993-1997 penawaran minyak nabati di pasar domestik dikuasai oleh penawaran industri minyak sawit Indonesia. 7) Dari tahun 1988-1997 pabrik pengolahan minyak sawit Indonesia telah berkembang cukup pesat, yaitu dalam 9 tahun dari tahun 1988 jumlah pabrik telah meningkat sebesar 135 pabrik (195,6%), kapasitasnya meningkat sebesar 6.020 ton TBS/jam (293%). 8) Struktur pasar industri minyak sawit Indonesia di dalam negeri dari tahun 1993-1997 mempunyai tingkat konsentrasi (CR4) yang relatif rendah yaitu antara 0,10-0,20. Hal ini berarti di pasar domestik minyak sawit Indonesia tidak terdapat sekelompok kecil yang cukup dominan menguasai pasar atau sisi penawaran industri minyak sawit Indonesia di pasar domestik tidak dikuasai oleh sekelompok kecil perusahaan. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa sering terjadinya ketidakseimbangan penawaran dan permintaan di pasar dalam negeri bukan karena kondisi struktur pasar industri minyak sawit. 9) Struktur pasar industri minyak goreng sawit Indonesia di dalam negeri terkonsentrasi cukup tinggi yaitu angka CR4-nya sekitar 0,65-0,80. Karena angka CR4 dihitung dari pangsa jumlah pengadaan bahan baku, make berarti pasar minyak sawit di dalam negeri telah dikuasai oleh pembelian bahan baku 4 perusahaan terbesar industri minyak goreng sawit Indonesia. Atau penawaran dan permintaan minyak sawit di pasar dalam negeri dikuasai oleh 4 perusahaan terbesar industri minyak goreng sawit. 10) Realisasi alokasi penawaran minyak sawit Indonesia di pasar ekspor dari tahun 1967-1980 antara 55%-97% dari seluruh produksi minyak sawit Indonesia. Berarti dari tahun 1967-1980 arah penawaran industri minyak sawit Indonesia lebih ke pasar ekspor dari pada pasar dalam negeri. 11) Realisasi alokasi penawaran minyak sawit Indonesia di pasar dalam negeri dari tahun 1981-1996 adalah rata-rata per tahun 50% dari produksi minyak sawit seluruh Indonesia. Berarti dari tahun 1981-1996 arah penawaran industri minyak sawit Indonesia lebih ke pasar dalam negeri. 12) Beralihnya arah atau orientasi penawaran minyak sawit Indonesia diantaranya karena kebutuhan minyak sawit di dalam negeri memang meningkat banyak dan diarahkan oleh pemerintah melalui kebijakan pajak ekspor. 13) Perilaku penawaran minyak sawit Indonesia di pasar domestik dan ekspor dapat digambarkan dengan model regresi sebagai berikut: LQDN t = 4,68 + 1,39 LHSD t - 0,54 LHSI t + 0,58 LKURS t LQEK , = 2,69 + 0,16 LHSD , + 0,79 LHSI t + 0,80 LKURS1 QDN = jumlah penawaran di pasar dalam negeri QEK = jumlah penawaran di pasar ekspor HSD = harga minyak sawit di pasar dalam negeri HIS= harga minyak sawit di pasar ekspor KURS = nilai tukar rupiah terhadap dolar. 14) Pasar ekspor memang sangat menggiurkan produsen minyak sawit Indonesia. Hal ini karena disamping harganya di pasar internasional cenderung meningkat terus, harga minyak sawit di luar negeri dalam nilai rupiah selalu lebih tinggi dari harga di dalam negeri, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar jugs cenderung meningkat terus. 15) Di dalam perdagangan minyak sawit dunia, minyak sawit Indonesia masih mempunyai peranan yang cukup besar dan penting. Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia menduduki posisi terbesar ke dua di dunia setelah negara Malayasia. Pangsa ekspor dan produksi minyak sawit Indonesia dalam perdagangan minyak sawit dunia pada tahun 1997 adalah 24% untuk ekspor dan 29% untuk produksi semua. Oleh karena itu pasar ekspor dapat menjadi aiternatif yang menguntungkan. 16) Penawaran minyak sawit Indonesia lebih menguntungkan jika penawarannya ditujukan di pasar ekspor semua dari pada untuk pasar domestik. 17) Di dalam perdagangan minyak sawit dunia, komoditi minyak sawit Indonesia mempunyai peluang yang cukup besar untuk ditingkatkan. Produksi minyak sawit dunia masih di bawah kebutuhan minyak sawit dunia. Permintaan minyak sawit Indonesia di pasar ekspor juga cenderung meningkat terus. 18) Kebutuhan minyak sawit industri minyak goreng Indonesia adalah pada tahun 1979 sebesar 0,13 juta ton, pada tahun 1997 adalah sebesar 3,15 juta ton atau telah naik sebesar 19,3% per tahun. 19) Dari tahun 1978-1997 terdapat 3 kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit Indonesia yaitu: (1).kebijakan pengadaan minyak sawit di dalam negeri; (2) kebijakan penetapan harga minyak sawit di dalam negeri; dan (3) kebijakan pajak ekspor minyak sawit. Yang sering dilaksanakan pemerintah adalah kebijakan pajak ekspor minyak sawit Indonesia. 20) Kebijakan-kebijakan pemerintah pada industri minyak, sawit Indonesia dapat dikatakan kurang tepat karena tujuannya hanya untuk stabilitas harga di pasar domestik. Terbukti jika targetnya tercapai, sifatnya sementara, dan kemudian sering muncui ketidak seimbangan permintaan dan penawarannya. Sebenarnya kebijakan pemerintah pada industri minyak sawit Indonesia dapat dikatakan tidak berhasil mencapai sasarannya dan tujuannya. Target yang diharapkan pemerintah dan konsumen di dalam negeri, hampir semuanya tidak tercapai. Harga minyak sawit dan harga minyak goreng di dalam negeri terlihat sering tidak stabil dan sering bergejolak. Pasokan minyak sawit di dalam negeri sering terjadi kelangkaan. Ekspor minyak sawit juga sering berfluktuasi tajam. 21) Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintah yang diperlukan industri minyak sawit Indonesia adalah kebijakan untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas. Dengan meningkatkan produksi minyak sawit di dalam negeri, maka permintaan di pasar ekspor dan pasar domestik dapat dipenuhi semua serta pasar ekspor dapat dipelihara tetap meningkat untuk mengumpulkan devisa. Harga di dalam negeri juga dapat dipelihara stabil karena kebutuhannya terpenuhi. Untuk jangka pajang kebijakan publik yang diperlukan adalah kebijakan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di pulau Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya yang cocok untuk tanaman kelapa sawit dan mempunyai potensi yang cukup besar. 22) Juga dapat disimpulkan yang menjadi masalah utama industri minyak sawit Indnesia adalah masalah penentuan alokasi penawaran untuk pasar ekspor dan pasar dalam negeri, bagaimana agar dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi produsen dan petani minyak sawit di dalam negeri, konsumen di dalam negeri (khususnya konsumen minyak goreng), dan pemerintah.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T1662
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herman Bastari
Abstrak :
Sejalan dengan Restrukturisasi Pertamina dan persaingan global, maka diperlukan pengelolaan perusahaan secara efisien dan efektif. Khususnya berkaitan dengan pengelolaan aset perusahaan di Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri perlu dilakukan pengaturan dimaksud, sejalan dengan Strategi PPDN yaitu : Mengoperasikan Sistem Distribusi fisik yang efisien, efektif dan terpadu, sejalan dengan Strategi Hilir untuk fokus pada Jawa dan Bali, maka perlu dilakukan pengkajian lokasi dan jumlah Depot di Jabar dan DKI. Langkah pertama dilakukan identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap permintaan BBM di Jabar dan DKI. Berdasarkan hasil survey dan brain storming maka dapat ditetapkan variabel dependen yaitu kebutuhan BBM dan variable independen yang berpengaruh terhadap pendirian suatu depot meliputi 12 independen variabel. Dengan menggunakan teknik statistik melalui paket Program SPSS dilakukan suatu analisa atas independen variabel yang teridentifikasi untuk memperoleh variabel yang dominan. Dengan melalui proses statistik diperoleh 4 variabel yang paling dominan yaitu : variabel pekerja industri, variabel pekerja jasa masyarakat, variabel pekerja keuangan dan variabel pekerja listrik. Setelah dilakukan serangkaian test statistik maka persamaan multiple regresi linier dapat digunakan sebagai alat untuk meramal kebutuhan BBM. Maka dilakukan peramalan untuk setiap independen variabel pada interval 10 tahun mendatang, sehingga dapat diketahui kebutuhan BBM dimasa mendatang sejalan dengan strategi dasar Pertamina (2000-2010). Setelah diketahui kebutuhan BBM, dilakukan perhitungan kebutuhan Depot di Jabar dan DKI, dari hasil perhitungan diperoleh 7 Depot pada tahun 2010 di Jabar dan DKI. Dengan model program linier, khususnya Branch and Bound, dilakukan perhitungan untuk menentukan lokasi yang paling optimal. Dari identifikasi kebutuhan di setiap lokasi diketahui bahwa dan 21 lokasi yang ada, diketahui ada 14 lokasi yang potensial untuk didirikan depot. Jadi lokasi depot sebanyak tujuh buah berada pada 14 lokasi potensial. Dari hasil perhitungan lokasi optimal diperoleh lokasi yang optimal yaitu : Serang, Kerawang, Cianjur, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon dan Indramayu, yang dimaksudkan untuk dapat melayani 21 lokasi yang telah ditentukan. Kedepan diharapkan Depot lebih didayagunakan untuk melayani konsumsi secara optimal, dengan memberikan perangkat-perangkat yang diperlukan. Sedangkan Unit dapat di minimalkan sumber dayanya, sehingga terjadi peningkatan efisiensi dan efektifitas.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
T1168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soedjoko Pudjoutomo
Abstrak :
Dalam kontek pengadaan energi nasional BBM mempunyai peranan sekitar 75,51 dari total energi final dengan tingkat pertumbuhan berkisar 6% per tahun. Sehubungan dengan itu, pengadaan BBM didasarkan pada "Security of Supply" dan dilakukan melalui pengolahan minyak mentah di Kilang Dalam Negeri dan impor. Keterbatasan minyak mentah sebgai feedstock dan kapasitas kilang dalam negeri, ketergantung pada pasok luar negeri semakin besar. Hal ini mengakibatkan biaya pengadaan menjadi "at any cost", karena harga mahal dan kurang didasarkan nilai keekonomian, sehingga memberatkan anggaran pemerintah. Dalam kaitan ini diperlukan model optimalisasi pengadaan BBM dengan biaya terendah dan dapat mengakomodasi kebijaksanaan Security of Supply. Untuk ini, dilakukan simulasi model optimalisai pengadaan BBM didasarkan berbagai kebijaksanaan impor BBM maksimum. Simulasi menghasilkan Model Optimalisasi Pengadaan BBM didasarkan kebijaksanaan pembatasan impor maksimum 60% s/d 80% adalah optimal dan feasible ditinjau dari aspek finansial, namun perlu pengkajian dan analisa lebih lanjut, karena penilaian optimal tidak hanya didasarkan pada aspek finansial saja, tetapi juga didasarkan pada aspek non-ekonomi dan non-finansial, mengingat BBM merupakan sumber energi strategis dan vital serta berpengaruh terhadap sektor-sektor lain. Penelitian lebih lanjut memberikan kesimpulan bahwa model optimalisasi pengadaan BBM yang optimal berdasarkan hasil simulasi diatas dipadukan dengan kebijaksanaan Security of Supply yang mempertimbangkan nilai keekonomian.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T5560
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Prijatmodjo
Abstrak :
Indonesia telah mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (6 -- 8 % per tahun) sebelum Juli 1997, yang diimbangi juga oleh pertumbuhan kebutuhan BBM berkisar 5 - 6 % per tahun. Selain karena faktor pendorong industrialisasi yang meningkatkan Produk Domestik Bruto, penduduk dan harga BBM Indonesia juga merupakan faktor yang cukup berperan dalam pertumbuhan BBM di Indonesia. Produksi minyak mentah dan kapasitas kilang yang ada kurang mampu mengantisipasi pertumbuhan kebutuhan BBM Indonesia. Dengan asumsi pertumbuhan skenario rendah, kekurangan kapasitas kilang Indonesia diperkirakan sudah mencapai 440 MBCD. Pada tahun 2006 pada skenario optimis dan pada tahun 2013, Indonesia akan menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer country), perkiraan tersebut akan dipercepat bila kondisi ekonomi Indonesia pulih kembali. Disamping kemampuan keuangan Pemerintah yang terbatas, untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia harus mampu menarik investor asing agar berpartisipasi pada kedua sektor industri minyak, yaitu eksplorasi minyak dan pembangunan kilang. Untuk eksplorasi minyak, insentif penanaman modal di Indonesia harus lebih menarik dibanding dengan negara tetangga, seperti Vietnam, Laos, Malaysia. Sedangkan untuk pembangunan kilang swasta, penyesuaian harga BBM Indonesia adalah sebagai peluang utama untuk memberikan kesempatan investor asing/swasta agar mampu mendapatkan untung. Diusahakan agar pembangunan kilang swasta menyertakan `secondary and tertiary process' untuk mengantisipasi kelebihan 'bottom product' Indonesia, sehingga akan dapat diperoleh `added product value' yang lebih tinggi dan dapat meningkatkan keuntungan investor asing/swasta.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Balya
Abstrak :
Sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi merupakan somber kekayaan alam Indonesia yang yang sangat strategis dan dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Negara dalam bentuk Kuasa Pertambangan untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi telah membentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP MIGAS). BP MIGAS merupakan kepanjangan tangan Pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi pada Wilayah Kerja yang ditentukan. Dalam pelaksanaannya, BP MIGAS melakukan ikatan kerjasama dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap ("Kontraktor") dalam suatu kontrak yang disebut Production Sharing Contract (Kontrak Production Sharing). Konsep yang dianut oleh Kontrak Production Sharing adalah bahwa Kontraktor bertanggung jawab untuk menyediakan permodalan dan pendanaan atas biaya operasi dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Apabila Kontraktor berhasil memasuki Fase produksi komersial maka biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh Kontraktor dikembalikan (cost recovery) oleh Pemerintah melalui BP MIGAS. Peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang minyak dan gas bumi dan Kontrak Production Sharing memberikan pengaturan mengenai hak dan kewajiban serta tanggung jawab Kontraktor. Pemerintah juga telah membuat Keputusan Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang mengatur mengenai tata cara penetapan dan penawaran Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi yang antara lain mengatur mengenai kriteria calon Kontraktor yang dapat ditunjuk untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Kontraktor yang telah menandatangani Kontrak Production Sharing dengan BP MIGAS memiliki tanggung jawab untuk melakukan kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati sendiri oleh Kontraktor. Namur dalam pelaksanaannya seringkali timbul permasalahan hukum berkaitan dengan pelaksanaan tanggung jawab Kontraktor. Kontraktor seringkali menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan kewajiban-kewajibannya yang pada akhirnya banyak menimbulkan tanggung jawab yang harus dipikul oleh Kontraktor. Permasalahan-permasalahan tersebut perlu dikaji lebih lanjut bagaimana sebenarnya hambatan-hambatan yang sering dihadapi Kontraktor dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi dan apa solusi atau jalan keluar yang dapat dilakukan oleh Kontraktor.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19899
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mustafid Gunawan
Abstrak :
Perubahan pengaturan pengusahaan minyak dan gas bumi melalui pemberlakuan regulasi baru UU No. 22 tahun 2001 beserta peraturan pelaksananya merupakan upaya penerapan kebijakan persaingan melalui pemisahan antara fungsi regulator yang ada pada pemerintah dan fungsi usaha pada perusahaan (PERTAMINA), serta pemberian kesempatan partisipasi yang terbuka luas bagi pihak swasta untuk melakukan pengusahaan minyak dan gas bumi. Terdapat perbedaan yang mendasar terhadap struktur pengusahan minyak dan gas bumi di Indonesia sebagai akibat pemberlakuan regulasi baru, yaitu berakhirnya pemberian monopoli oleh pemerintah kepada PERTAMINA dan menjadi lebih terbukanya pengusahaan minyak dan gas bumi di Indonesia. Berdasarkan regulasi baru tersebut maka jumiah minyak bumi yang dapat dialokasikan bagi kebutuhan dalam negeri terdiri dari bagian pemerintah dan DM0 sebesar 25% dari bagian kontraktor. Pasokan minyak mentah hasil kegiatan hulu dalam negeri sangat dipengaruhi oleh beberapa perusahaan yang mendominasi pasokan tersebut. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisis regresi yang menunjukkan bahwa perubahan penguasaan oleh dominan menentukan besaran pasokan minyak mentah hasil kegiatan huku dalam negeri. Data pasokan minyak mentah ke kilang dalam negeri tahun 2000 s/d 2005 menunjukkan bahwa pasokan minyak mentah hasil kegiatan hufu dalam negeri ke kilang dalam negeri didominasi oleh Caltex, Pertamina, Expan, dan Unocal serta ARCO yaitu mencapai lebih dari 70%. Caltex merupakan posisi dominan dengan pasokan mencapai 52,3 dan 53,1% pada tahun 2004 dan 2005. Regulasi baru yang membuka kesempatan secara luas kepada swasta tersebut akan dapat mendorong terjadinya persaingan dalam pengusahaan migas yang efisien, namun di sisi lain juga memberikan peluang munculnya perusahaan dominan. Berdasarkan data produksi minyak bumi nasional tahun 2000 s/d 2005 dapat diketahui bahwa konsentrasi produksi minyak bumi sebesar 70% ada pada 4 (empat) perusahaan terbesar. Dengan kondisi yang demikian maka diharapkan melatul kebijakan persaingan akan dapat menjadi insentif bagi perusahaan untuk Iebih agresif dalam melakukan pencarian migas. Penemuan lapangan baru sebagai hasil eksplorasi akan dapat mempertahankan dan meningkatkan potensi pasokan minyak bumi hasil kegiatan hulu dalam negeri ke kilang dalam negeri. Analisis regresi dengan mempergunakan data pasokan, produksi den dummy kebijakan tahun 2000-2005 menunjukkan banwa kebijakan yang diterapkan selama ini memberikan pengaruh positif terhadap potensi pasokan minyak mentah ke kilang dalam negeri. Meskipun demikian, kebijakan persaingan yang diterapkan pemerintah perlu untuk dilakukan pembenahan terutama dengan munculnya perusahaan dominan. Regulasi yang ada memungkinkan perusahaan untuk menguasai kegiatan hulu dan hilir sekaligus.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dicky Sondani
Abstrak :
Kita patut bersyukur karena termasuk menjadi bagian dari sebuah Negara yang dilimpahi kekayaan sumber daya alam, termasuk berbagai jenis sumber daya energi seperti minyak dan gas bumi (migas). Peranan migas dalam pembangunan nasional selama ini sungguh tidak diragukan lagi. Bukan saja sebagai sumber energi di dalam negeri, tetapi juga berperan menjadi sumber penerimaan Negara dan devisa, serta bahan Baku industri nasional. Hingga lima tahun terakhir ini subsektor migas menyumbang penerimaan dalam negeri sebesar rata-rata 33,55%. Namun, selama sepuluh tahun terakhir, ekspor minyak mentah Indonesia mengalami penurunan walaupun kecil yaitu rata-rata sebesar 3,8% per tahun. Produksi minyak Indonesia mengalami penurunan jauh di bawah volume yang ditargetkan dalam APBN. Untuk menanggulangi penurunan produksi minyak Indonesia, perlu dilakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta mengundang investor untuk menanamkan investasinya di bidang Migas. Agar investor berminat maka perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, dimana secara jelas telah diatur dalam pasal 4 bahwa minyak dan gas bumi sebagai sumber daya alam strategis takterbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai Negara. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, secara resmi kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak lagi berpedoman pada UU No 44 Prp Tahun 1960 tentang pertambangan minyak dan gas bumi dan UU No 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Tambang Minyak dan Gas Bumi Negara. Sesuai dengan amanah Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002, pengawasan dan pembinaan kontrak kerja sama (KKS) atau kontrak bagi hasil yang sebelumnya dilaksanakan oleh PT Pertamina (Persero) beralih ke BP Migas. Kontrak Kerja Sama (KKS) dalam kegiatan eksplorasi dan produksi yang diperbolehkan tidak hanya sebatas bentuk Kontrak Bagi Hasil atau Production Sharing Contract, tetapi dimungkinkan juga dalam bentuk Kontrak Kerja Sama lain yang Iebih menguntungkan Negara.
We make proper grateful because including becoming the part of a State which exuberant properties of natural resources, including various resource type of energy like gas and oil (Migas). Role of Migas in national development during the time really do not in doubting of again. Not only as source of energy in Country, but also share to become the source of acceptance of State and Foreign exchange. and also industrial raw material [of] National. Till this five the last year of atonal migas subsection of acceptance in energy equal to flattening - flatten 33,55 %. But, during ten the last year, Indonesia crude oil export of degradation although small that is flattening equal to 3,8 % per year. Natural Oil Indonesia production of degradation far below Volume which targeting in APBN. To overcome degradation of Indonesia oil production, need conducting activity of exploration and also invite investor to inculcate the investment of area of migas. So that enthusiastic investor hence needing in creating investment climate which is contusive. Section 33 Invitor - Elementary Invitor 1945, where clearly arranging in section 4 that gas and oil as strategic natural resources isn't it which consist in Indonesia mining right region is properties of National which mastering State. With the of Invitor No 22 Year 2001 concerning Gas and oil, officially oil business activity and gas shall no longer at UU No. 44 Prp Year 1960 concerning mining of gas and oil and of UU No.8 Year 1971 About Company Of Mine Gas and oil Public Ownership. As according to Invitor trust - Invite Migas Number 22 Year 2001 and Regulation of Government of No. 42 Year 2002, observation and Production Sharing Contract (KKS) or previous sharing holder contract in executing by PT. Pertamina ( Persero) change over to BP Migas. Contract Work. Production Sharing Contract in activity of enabled production and explorers do not only limited to form of Production Sharing Contract, but enabled also in the form of other Production Sharing Contract which more beneficial of state.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2007
T19669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>