Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irman Susandi
"Karya akhir ini bertujuan untuk mcngembangkan salu metode menganalisis kelayakan sebuah proyek investasi yang di dalam perhitungannya mencoba untuk mengakomodir fleksibilitas dari pengambilan keputusan oleh manajemen perusahaan. Fleksibilitas pengambilan keputusan tersebut diperlukan pada satu proyek dihadapkan padu ketidakpastian di masa datang yang tidak dapat diantisipasi di masa kini. Untuk mempermudah pemahaman terhadap metode ini. penulis mengambil kasus proyek investasi minyak dan gas bumi di bidang hulu di salah satu perusahaan yang bergerak di eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi. Setiap proyek di bidang eksplorasi dan eksploitasi migas pada umumnya mempunyai resiko tinggi dan terdiri dari banyak tahap.
Dalam perhitungan valuasi investasi sebuah proyek yang umum dilakukan, parameter-parameter seperti NPV (Net Present Value), IRR (lnternal Rate of return) menjadi acuan standar ekonomis atau tidaknya sebuah proyek. Dalam proyek migas tiap-tiap tahap dalam proyek memiliki ketidakpastiannya masing-masing, sehingga parameter-parameter tersebut sangatlah tergantung kepada probabilitas masing-masing ketidakpastian tersebut. Ketidakpastian yang dihadapi dalam sebuah proyek migas umumnya dibagi menjadi dua kategori yaitu ketidakpastian teknologi dan ketidakpastian ekonomi. Kelidakpastian teknologi diwakili oleh tingkat keberhasilan dalam tiap-tiap tahap pelaksanaan proyek sedang ketidakpastian ekonomi diwakili oleh fluktuasi harga minyak.
Pembahasan dalam karya akhir menggunakan metodologi pendekatan real option valuation. Dalam terminologi real option voluation, analisis kelayakan proyek migas ini digolongkan pada karegori compound rainbow yaim analisis kelayakan pada proyek yang memiliki faktor ketidakpastian dan bertahap. Melalui pendekatan ini, keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan proyek harus ditentukan pada setiap tahapan proyek. Keputusan melanjutkan atau menghentikan proyek tersebut sangat terganlung terhadap hasil (outcome) dari masing-masing alternatif.
Dalam perhitungan menggunakan perhitungan NPV standard diketahui bahwa proyek tersebut mempunyai NPV negatif yang, artinya proyek tersebut tidak layak untuk dilaksanakan. Sedangkan jika perhitungan dilakukan melalui pendekatan real option valuation, proyek tersebut ternyata memiliki NPV positif yang artinya proyek tersebut layak untuk dilaksanakan. Perbedaan NPV yang dihasilkan dari perhitungan NPV standar dengan NPV yang didapat dengan pendekatan real option valuation dikenal dengan nilai fleksibilitas pengambilan keputusan.
Dari hasil analisis sensitivitas terhadap probabilita kesuksesan di tiap-tiap tahap, daput dilihat bahwa nilai NPV sangat dipengaruhi oleh tahap dalam proyek yang memiliki biaya paling besar sehingga probabilita pada tahap ini sangat mempengaruhi perhitungan kelayakan proyek. Analisis sensitivitas terhadap besaran risk free rate yung digunakan juga menunjukkan bahwa semakin kecil risk free rate yang digunakan semakin besar nilai NPV ROA yang didapat."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13525
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Nurkirana Yuniarsari
"Kegiatan operasi minyak dan gas bumi (migas) di lepas pantai Indonesia sudah dimulai sejak sekitar 1960-an. Dengan kegiatan operasi migas yang berlangsung sudah 50 tahun lebih ini, selain perlu upaya ekstra dalam proses produksi, juga harus memperhitungkan biaya Kegiatan Pasca Operasi (KPO). Biaya KPO menurut PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 adalah kegiatan untuk penutupan sumur secara permanen, penghentian pengoperasian fasilitas produksi serta fasilitas penunjang sehingga tidak beroperasi kembali, termasuk pembongkarannya secara permanen, serta melakukan pemulihan lingkungan di Wilayah Kerja (WK) pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Tantangan secara keuangan dihadapi WK yang beroperasi dengan skema gross split, yaitu tidak berlakunya skema pengembalian biaya, sehingga menyebabkan biaya KPO ditanggung perusahaan dan pada akhirnya mempengaruhi nilai keekonomian WK tersebut. Pada Kontrak Bagi Hasil di industri hulu migas, biaya pencadangan diatur oleh SKK Migas dalam Peraturan Tata Kerja Nomor: PTK-040/SKKMA0000/2018/S0. Secara komersial, untuk mendapatkan laporan keuangan yang reliabel bagi para pemegang kepentingan stakeholder, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah mengatur biaya pencadangan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan nomor 57 (PSAK 57-mengenai biaya kontinjensi). Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan antara metode pencadangan biaya KPO yang saat ini (existing) digunakan dengan metode Kaiser (2018). Metode yang saat ini digunakan adalah penilaian KPO semua sumur tanpa dibedakan kategori eksplorasi ataupun produksinya. Metode Hybrid oleh Kaiser (2018) mengkategorikan biaya KPO berdasarkan karakteristik struktur. Dalam penelitian ini yang menggunakan metode Kaiser menyajikan total potensi net revenue dari keseluruhan hasil operasi migas sebagai potensi arus kas masuk yang menentukan besaran durasi masa akan dilakukannya proses KPO. Apabila perbandingan net revenue masih positif dibandingkan dengan net operating expenditure berjalan yang merupakan arus kas keluar, maka kegiatan operasi hulu migas di wilayah kerja masih menguntungkan, namun sebaliknya ketika net revenue < net operating expenditure artinya economic limits sudah habis, dengan demikian WK persiapan masa KPO. Hasil kesimpulan dari penelitian ini adalah pada masa KPO yang dilakukan pada akhir masa economic limits yaitu hingga 2031 akan lebih menguntungkan perusahaan dibandingkan tetap menjalankan kegiatan bisnis tersebut hingga akhir kontrak yaitu di 2038, karena net cash flow yang masih pada posisi positif. Dengan demikian maka metode ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif terbaik dalam melakukan proyeksi KPO di lepas pantai laut dangkal.

The operation of oil and gas (oil and gas) off the coast of Indonesia has started since around the 1960s. With the oil and gas operation that has been going on for more than 50 years, in addition to the need for additional production processes, it must also reimburse Post-Operational Activity (KPO) costs. KPO costs according to PTK-040/SKKMA0000/2018/S0 are activities for permanent well closure, temporary stopping of production facilities and supporting facilities so that they cannot be returned, including permanent demolition, as well as repairs in the upstream oil and gas working area. When the working area using gross split, the costs recovery are not applicable, causing the ASR costs to be borne by the company and ultimately increasing the economic value of the field. In Production Sharing Contracts in the oil and gas industry, the backup fee is regulated by SKK Migas in the Work Order Number: PTK-040/SKKMA0000/2018/ S0. Commercially, to obtain financial reports that are relied upon for stakeholders (stakeholders), the Indonesian Institute of Accountants (IAI) has agreed to reserve costs in Statement of Financial Accounting Standards number 57 (PSAK 57-read contingency fees). This study compares to compare between the current (existing) decommisioning cost reserve methods used with the Kaiser method (2018). The method currently used is to determine all wells without differentiating them from product and service categories. The Hybrid Method by Kaiser (2018) categorizes decommisioning costs based on structural characteristics. In this study using the Kaiser method presents the total potential net income of all oil and gas operating results as potential cash inflows that determine the amount of future duration will improve the decommissioning process. If related to net income is still positive compared to net operating expenses which are cash outflows, then upstream oil and gas operations in the work area are still profitable, but instead compilation of net income "
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Ronald Partogi
"Skripsi ini membahas peran pemerintah dalam penyelesaian kemelut di wilayah pertambangan minyak di Sumatra Utara 1949-1957. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tindakan apa saja yang dilakukan pemerintah dalam upaya penyelesaian dan memperbaiki wilayah pertambangan ini pasca penandatangan perjanjian KMB. Dimasa setelah penandatanganan persetujuan muncul dua pandangan besar ketika itu, yakni yang pro-nasionalisasi dengan yang pro-pengembalian. Sejak saat itulah status wilayah pertambangan ini menjadi kemelut dan timbul berbagai konflik di wilayah pertambangan ini.
Di masa parlementer, setiap kabinet mengeluarkan berbagai kebijakan guna mengatasi permasalahan di wilayah pertambangan. Akan tetapi berbagai kebijakan yang diterapkan tidak berkelanjutan, hal ini menyebabkan masalah pertambangan tidak kunjung usai dan menjadi terkatung-katung. Pergantian kabinet nantinya juga mempengaruhi timbulnya konflik diantara kalangan pegawai tambang.
Untuk mengakhiri ini semua, maka setelah dibatalkannya perjanjian dalam KMB, pemerintah memutuskan untuk tidak mengembalikan tambang ini kembali kepada Shell dan memilih untuk mengelolanya sendiri, yang kemudian diserahkan kepada Militer. Dengan pengangkatan militer ini, kemelut di wilayah pertambangan ini dapat segera di atasi, dan keberhasilan yang dicapai adalah dengan pendirian PT. ETMSU. Para pemimpin daerah turut dilibatkan dalam jajaran direksi sebagai jawaban dari tuntutan mereka terkait penyelesaian masalah di wilayah pertambangan ini. Pada tanggal 10 Desember 1957, dikeluarkanlah akta pendirian PT PERMINA yang sebelumnya adalah PT ETMSU. Sejak penetapan ini secara resmi Bangsa Indonesia memiliki maskapai perusahaan minyak sendiri.

This undergraduate thesis analyzes the role of the Government in the solution of the oil crisis in the mining area of Northern Sumatra, 1949-1957. The objective of this study is to show the actions of the Government in effort to improve the area of mining settlement and subsequent to the signing of this agreement in the Round Table Conference. Two perspectives appears after tihe signing of the agreement, the pro-nationalization and the pro-reembolso perspective. Since then the situation of the mining region is in the chaos and conflictive.
During parliamentary era, Cabinet of Ministers issues variety of policies to address problems in mining areas. Nevertheless, various policies that applied are not sustainable, it caused problems and a drift of production proceeds. Replacement of the Cabinet would also affect the frequency of conflicts between mine worker later on.
The government decided not to return the field back to Shell and choose to manage it themselves, yet they handed it over to the military to bring the problem to an end, after the cancellation of the deal in the Round Table. As the government appointed the military, the chaos in the mining area can be quickly resolved, and the success achievement is by establishing PT. ETMSU. Local leaders involved in the board of directors in response to their demands associated with solving problems in mining areas. On December 10, 1957, The Act of Formed certificate formerly PT PERMINA is PT ETMSU was issued. Since this designation The Indonesian Republic officially announce their own airlines oil copmpany.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S498
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rumingraras Widowathi
"Skripsi ini membahas tentang perbandingan pengikatan jaminan atas participating interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi menurut Sistem Konsesi dengan Sistem Kontrak Bagi Hasil di Indonesia. Dari hasil penelitian ini bertujuan untuk menemukan sistem Kontrak Migas yang tepat dalam melakukan pengikatan jaminan atas participating interest. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang dianalisa secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengikatan jaminan atas participating interest lebih ideal dilakukan dalam Sistem Konsesi dan menyarankan bahwa pengikatan penjaminan atas participating interest sebaiknya tidak dilakukan di dalam Sistem Kontrak Bagi Hasil yang dianut Indonesia.

Abstract
In this thesis, I present a theoretical analysis and comparison of pledging participating interest as collateral in concession system and Production Sharing Contract System in Indonesia. The aim of the thesis is therefore finding a system of oil and gas contract which suitable to do a pledging of participating interest as collateral. This thesis use normative research and qualitative methods. The thesis results stated that the implications of pledging participating interest under Concession System is more suitable than in Production Sharing Contract in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Syahrir
"Terdapat tiga permasalahan dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana konsep sistem konsesi dalam pertambangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia. Kedua, bagaimana konsep Kontrak Bagi Hasil (KBH) dalam pertambangan migas di Indonesia. Terakhir, bagaimana bentuk kontrak yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan antara sitem konsesi dengan KBH. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep sistem konsesi dan KBH yang pernah diterapkan di Indonesia. Kemudian, untuk mengetahui sistem yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan membandingkan sistem konsesi dengan KBH. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan melakukan penelitian lapangan dan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan sistem konsesi yang pernah diterapkan sebelumnya. Hal tersebut berkaitan juga dengan Pasal 33 UUD 1945 yang menghendaki penguasaan negara atas kekayaan alam. Kesimpulannya, sistem KBH lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia. Hal tersebut karena dengan menerapkan sistem KBH, negara memiliki posisi yang kuat terhadap kontraktor.

Abstract
This research is mainly discussed about three problems. First, how the concept of concession system in Indonesian?s oil and gas upstream business works'. Second, how the concept of Production Sharing Contract in Indonesian's oil and gas upstream business works'. And last, how to form the appropriate contract to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with Production Sharing Contract. The first objective of this study is not only to describe the concept of concession system and production sharing contract that have been applied in Indonesia, but also to find which one that is more profitable to be implemented in Indonesia by comparing the concession system with the Production Sharing Contract. In this study, the author is using normative legal research method by conducting field research and literature studies. The results showed that production sharing contract more profitable to be applied in Indonesia as compared with the concession system that had applied previously. This is also related with Article 33 Constitutional Law 1945 which requires state control over natural wealth. In conclusion, the Production Sharing Contract is more profitable to be applied in Indonesia than the concession system because by applying production sharing contract, the state has a strong position against the contractor. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S313
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Pratama
"Penelitian ini membahas mengenai kontroversi yang terjadi pada lapangan minyak Blok Cepu di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Barat. Kontroversi yang terjadi adalah penandatanganan kerjasama dengan ExxonMobil dan penunjukkan oleh Pemerintah Indonesia kepada ExxonMobil sebagai operator utama dalam pengelolaan Blok Cepu. Pemerintah lebih menunjukkan keberpihakan kepada perusahaan multinasional asing daripada kepada perusahaan minyak negara, Pertamina. Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan empat konsep yang saling terkait satu sama lain, yaitu roving bandit dan stationary bandit, institusi, perusahaan multinasional, dan daya tawar politik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak dapat dikategorikan secara tegas dalam kedua tipe tersebut, melainkan terdapat irisan diantara keduanya, dan daya tawar politik Indonesia rendah, sehingga Indonesia cenderung menuruti kemauan pihak asing.

This research explains controversy happened on Cepu Oil Field in border if East Java and West Java, Indonesia. The Government of Indonesia signed production sharing contract and awarded ExxonMobil as main operator on Cepu Oil Field. Government of Indonesia tends on the side multinational corporation than with Pertamina as Indonesia national oil Company. Answering the question this research uses four concepts which they connected each other; roving bandit and stationary bandit, institution, multinational corporation and political bargaining. The research shows that Government of Indonesia not both as stationary bandit or roving bandit but they have sheet, and Indonesia political bargaining power is weak. So that Indonesia tends to follow multinational corporation will."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Putra Syah
"Skripsi ini membahas mengenai otonomi negara dalam pengelolaan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas di Blok Cepu pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2005. Setelah beberapa tahun kebuntuan negosiasi, pada tahun 2005 ExxonMobil diberi bagian yang cukup besar dalam Operasi Bersama (45%) dengan Pertamina EP Cepu dan empat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan perpanjangan kontrak hingga 2035 (30 tahun). Penelitian ini berpendapat bahwa otonomi relatif negara berkontribusi pada pembuatan keputusan untuk mereformasi kontrak kendati posisinya sebagai kapitalis pinggiran dalam pembagian kerja internasional. Studi kasus ini memperkuat kembali teori Poulantzas mengenai otonomi relatif dan teori Alavi mengenai kapitalisme pinggiran di negara paska kolonial.

This thesis discusses state?s autonomy in governing the exploration and extraction of oil and gas in Cepu Block during Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) administration in 2005. After a few years of negotiation deadlock, in 2005 ExxonMobil was given a large share in the Joint Operation (45%) to extract in Cepu Block with Pertamina EP Cepu and four local enterprises. And the contract extended up to 2035 (30 years). This study argues that state?s relative autonomy contribut to the new decision to reform the contract despite its position as periphery in the international division of labor. This case confirms Poulantzas? theory on relative autonomy and Alavi's theory on peripherial capitalism in postcolonial states."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S62375
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirza Aulia
"Cost recovery merupakan hak Kontraktor Kontrak Kerja Sama ldquo;KKKS rdquo; dan merupakan biaya operasi yang tercantum di dalam work plan and budget WP B yang diajukan tiap tahunnya kepada badan pelaksana sekarang SKK Migas . Cost recovery dalam WP B merupakan bagian dari Kontrak Bagi Hasil ldquo;KBH rdquo; . Pemerintah Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh SKK Migas, merupakan pihak dalam KBH tersebut. Di dalam KBH, terdapat ketentuan bahwa KBH tidak dapat diubah dalam segala hal kecuali dengan persetujuan tertulis dari masing-masing pihak. Namun, berdasarkan PP No.79/2010, pemerintah Indonesia mewajibkan KKKS untuk melakukan penyesuaian biaya-biaya operasional yang tecantum di dalam KBH ketentuan terkait WP B. Hal inilah yang menimbulkan permasalahan bahwa terlihat adanya ketidaktaatan terhadap azas pacta sunt servanda di dalam KBH yang telah dibuat.
Dalam meneliti permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan historis. Berdasarkan penelitian tersebut, penulis mengetahui bahwa i pengaturan terkait cost recovery terdapat di dalam KBH. Untuk mengatur biaya yang dimasukan sebagai cost recovery, Pemerintah Indonesia menerbitkan Permen ESDM No.22/2008 dan PP No.79/2010; ii penerapan azas pacta sunt servanda dalam KBH tidak terlaksana dengan baik karena ada kewajiban secara sepihak oleh Pemerintah Indonesia kepada KKKS untuk menyesuaikan KBH berdasarkan PP No. 79/2010; dan iii kebijakan mengenai cost recovery yang ada di dalam KBH dan peraturan perundang-undangan merupakan kebijakan yang ideal di industri migas saat ini.

Cost recovery is the right of the Contractor of Cooperation Contract KKKS and represents the operating costs listed in the work plan and budget WP B which is submitted annually to the implementing body currently called as SKK Migas . Cost recovery in WP B is part of Production Sharing Contract KBH . The Government of Indonesia, in this event represented by SKK Migas, is a party in KBH. In KBH, there is a provision that KBH can not be changed in any way except with the written consent of each party. However, pursuant to PP No.79 2010, the Government of Indonesia required KKKS to adjust the operational costs listed in KBH WP B provision. This matter arose the problem that it seems like there was the disobedience to the principle of pacta sunt servanda in the KBH which has been made.
The author used normative legal research methods with legislation and historical approaches for examining these problem. Based on the research, the author knew that i the arrangement of cost recovery is contained in KBH. The Government of Indonesia issued Permen ESDM No.22 2008 and PP No.79 2010 to manage the expenditure included as cost recovery ii the application of the principle of pacta sunt servanda in KBH is not well implemented due to there is an unilateral obligation by the Government of Indonesia to KKKS to adjust KBH based on PP No. 79 2010 and iii the policy on cost recovery which was in the KBH and law and regulation is currently an ideal policy in oil and gas industry.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arifuddin
"Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi UU Nomor 22 Tahun 2001 berimplikasi pada adanya tafsir konstitusional pengelolaan hulu minyak dan gas bumi di Indonesia yakni pada pelaksanaan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis realitas dan implikasi pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola hulu minyak dan gas bumi yang sesuai dengan amanat konstitusi. Penelitian ini menggabungkan metode kualitatif dan kuantitatif. Penggunaan metode kualitatif dilakukan untuk melihat bagaimana realitas pelaksanaan sistem fiskal dan kelembagaan pengelola terhadap penerimaan negara dengan teknik analisis deskriptif. Sementara penggunaan metode kuantitatif terbatas untuk membandingkan bagaimana komposisi penerimaan negara dan kontraktor atas penerapan sistem kontrak bagi hasil gross split dan cost recovery dengan teknik analisis regresi berganda.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa sistem kontrak bagi hasil KBH adalah sistem fiskal yang mampu menerjemahkan konsep kepenguasaan negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Dalam pelaksanaan sistem KBH Cost Recovery, pemerintah rata-rata mendapatkan komposisi 55,96 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Pada tahun 2016, komposisi penerimaan pemerintah adalah sebesar 38,41 persen. Berdasarkan analisis data historis dan proyeksi minyak bumi, komposisi penerimaan pemerintah dan kontraktor tidak berbeda jauh jika menggunakan sistem KBH gross split dimana rentang penerimaan pemerintah adalah 41 - 42 persen sementara kontraktor sebesar 57 - 58 persen dari total penerimaan minyak dan gas bumi. Kelembagaan pengelola yang memiliki risiko fiskal paling rendah adalah berbentuk badan usaha khusus sebab pemerintah tidak menjadi pihak peserta kontrak.

The Constitutional Court 39 s decision on the judicial review of Law Number 22 2001 has impacted to the constitutional interpretation of upstream oil and gas management in Indonesia, namely on the concept of state control and the greatest prosperity of the people. This study aims to analyze the reality and implications of the implementation of the fiscal system and management body of upstream oil and natural gas in accordance with the mandate of the constitution. This research combines qualitative and quantitative methods. The use of qualitative methods is conducted to see how the implementing of the fiscal system and management body to state revenues by descriptive analysis techniques. The use of quantitative methods is limited to compare how the composition of state revenue and contractors on the implementation of gross split and cost recovery production sharing contract with multiple regression analysis techniques.
This study concludes that the production sharing contract PSC is a fiscal system capable for translating the concept of state control and the maximum prosperity of the people as mandated by the constitution. In the implementation of the PSC cost recovery, the government gets average of 55.96 percent of total oil and gas revenues. In 2016, government revenues amounted to 38.41 percent. Based on analysis of historical data and projection of petroleum, government revenue and contractor does not differ much if using gross split PSC where the government revenue range is 41 42 percent while contractor equal to 57 58 percent of total oil and gas revenue. The organizational institution that has the lowest fiscal risk is in the form of a special business entity because the government is not a party to the contract.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T49539
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Nugroho
"Minyak mentah merupakan salah satu komoditas yang utama dalam proses produksi. Pada perkembangannya harga dari minyak mentah dunia terus mengalami fluktuarif dan cenderung bersifat volatil. Volatilitas minyak mentah dunia tentu saja akan berdampak pada proses produksi di suatu industri di Indonesia yang akhirnya berimbas pada perekenomian di Indonesia. Secara garis besar, penelitian ini ingin mempelajari bagaimana volatilitas harga minyak mentah dunia akan memberi dampak kepada daya saing komoditas unggulan di Indonesia dan juga pada perekonomian. Penelitian ini menggunakan dua metode yaitu metode ARCH-GARCH untuk melihat volatilitas minyak mentah di Indonesia dan menggunakan VAR-VECM untuk melihat dampak dari volatilitas tersebut kepada daya saing dan perekonomian di Indonesia. Hasil analisis mengungkapkan bahwa terdapat volatilitas pada harga minyak mentah dunia. Secara umum volatilitas akan meurunkan daya saing produk unggulan Indonesia, mendepresiasikan rupiah, dan meningkatkan inflasi.

Crude oil is one of the main commodities in the production process. In its development, the price of world crude oil continues to fluctuate and tend to be volatile. The volatility of crude oil of the world will of course have an impact on the production process in an industry in Indonesia which ultimately impact on the economy in Indonesia. Broadly speaking, this research wanted to study how the volatility of world crude oil prices will affect the competitiveness of leading commodities in Indonesia as well as in the economy. This research uses two methods ARCH GARCH method to see the volatility of crude oil in Indonesia and using VAR VECM to see the impact of the volatility to the competitiveness and economy in Indonesia. The results of the analysis reveal that there is volatility in world crude oil prices. In general, volatility will lower Indonesia 39 s competitiveness of flagship products, depreciate the rupiah, and increase inflation."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>