Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fietrysia Leonita
Abstrak :
Salah satu upaya untuk menghindari jatuhnya korban jiwa pada kebakaran adalah dengan melakukan evakuasi yang efektif dan aman. Namun pada saat bangunan melakukan evakuasi penuh, dapat terjadi penurunan kecepatan turun tangga yang mungkin disebabkan jauhnya jarak tempuh dan kepadatan yang akan memperlama waktu mencapai daerah aman di lantai dasar luar bangunan. Sesuai hasil penelitian Aydin Ӧzkaya [1] tentang pengaruh faktor budaya setempat pada evakuasi, untuk itu pada penelitian ini akan dipelajari karakteristik evakuasi penghuni gedung di Indonesia dan strategi evakuasi yang diharapkan dapat mempercepat waktu perjalanan (travel time) seperti strategi penempatan lif. Penelitian dilakukan dengan metode survei dan simulasi. Dari hasil survei latihan evakuasi yang diperoleh sepertinya terlihat adanya penurunan kecepatan saat terjadi pertambahan jarak tempuh dan peningkatan kepadatan. Pada survei dengan kondisi tidak ramai, kecepatan turun tangga dari lantai 4, lantai 9, dan lantai 19 berturut-turut adalah ± 0.70 ? 0.81 m/s, ± 0.62 ? 0.75 m/s, dan ± 0.50 - 0.73 m/s. Sedangkan pada kondisi dimana terlihat adanya antrian pada lantai pengamatan atas, kecepatan yang terjadi dapat lebih rendah dari pengamatan dengan jarak tempuh yang lebih jauh namun dalam kondisi yang tidak ramai. Data kecepatan penghuni yang diperoleh dari survei sesuai dengan literatur pada SFPE Handbook. Perilaku penghuni yang sepertinya menimbulkan antrian adalah perilaku pelaku evakuasi yang berjalan bersisian dengan anggota kelompoknya. Dari simulasi yang dilakukan, didapat hasil bahwa strategi pengaturan ruang gerak pada tangga eksit dengan pemisahan jalur antara pelaku evakuasi yang bergerak lambat dan berkelompok dengan pelaku evakuasi yang bergerak lebih cepat menghasilkan waktu perjalanan lebih cepat dari kondisi dimana pelaku evakuasi lambat berada pada jalur dalam dan luar tangga dan dari 2 strategi penempatan lif. Penambahan sarana lif secara umum sepertinya dapat mempercepat waktu perjalanan, dengan waktu perjalanan yang paling cepat didapat pada penempatan semua lif di lantai refuge tengah. ......One of the way to avoid the loss of life during building fires is by performing effective and safe evacuation. When building has to perform full evacuation, the decrease of downward speed could happen due to the increase of travel distance and density on stairs, that might caused delay to reach safety area that located outside the building on the ground floor. As sugested from Aydin Ӧzkaya [1] reseach about the influence of cultural background on evacution, therefore this paper intended to study the building occupant evacuation characteristic in Indonesia and the evacuation strategy that might improve evacuee travel time, such as elevator placement strategy. The reseach method are survey and simulation. The result from the evacuation drill survey sugested that the increase of travel distance and density could caused the decrease of downward speed. On the survey that relatively happen in uncrowded condition, the downward speed decending from 4th floor, 9th floor, and 19th floor were ± 0.70 ? 0.81 m/s, ± 0.62 - 0.75 m/s, dan ± 0.50 - 0.73 m/s, respectively. From the survey that queues already seen in the upper observation floor, the downward speed of evacuee can be lower than downward speed of evacuee from farther travel distance, but in relatively not crowded condition. The survey result in good understanding with literature in SFPE Handbook. The behaviour of evacuee that might create queues is the evacuee behaviour that travel side by side with other member of the group. The arrangement of space for movement in the exit stairs strategy, by separate the pathway of slow-moving evacuees (including travel in group evacuee) and fast moving evacuees, can faster the evacuees travel time. The travel time result are faster than the condition were slow-moving evacuees travel on the inside and outside part of the stairs and from 2 condition of elevator placement strategy. In general, the addition of elevator can faster the travel time. The fastest travel time resulted when all elevator positioned on refuge floor in the middle of building.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2015
T42927
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mujiarjo
Abstrak :
Studi ini mengungkap apa sebenarnya Pedagang Kaki Lima (PKL) terkait tindakan okupasi ruang publik perkotaan yaitu trotoar dan jalan. PKL sebagai pelaku usaha sektor informal adalah elemen bagi bergulirnya ekonomi perkotaan. Keberadaannya ikut mendukung kegiatan sektor formal di samping menjadi penyedia komoditas berharga murah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Karena disadari bahwa PKL ikut berperan dalam ekonomi perkotaan, Pemerintah Kota merasa perlu membina mereka agar berkembang dan mandiri dan mampu menembus 9pasar bersama usaha di sektor formal. Regulasi Pemerintah dalam legalisasi PKL sangat rinci namun tidak diimplementasikan dalam kebijakan spasial, sehingga PKL mengokupasi ruang publik perkotaan. Tindakan ini berstatus illegal karena tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Kota. Namun karena ruang publik yang diokupasi adalah lokasi ideal bagi PKL, mereka akan tetap bertahan dengan cara berlindung kepada aparat pemerintah dengan memberikan imbalan sesuai kesepakatan. Meskipun demikian okupasi tetap merupakan tindakan melanggar peraturan yang rawan terpinggirkan. Keberadaan PKL diruang publik ini juga merupakan bentuk ruang yang dipersepsikan berbeda dari yang dikonsepsikan. Okupasi trotoar dan jalan juga merupakan representasi ruang sosial yang terbangun dari praktik pertukaran antara PKL dengan pelanggan masyarakat perkotaan yang tidak terwadahi dengan tepat. Maka dengan mengacu pada teori Lefebvre : Produksi Ruang, gejala ini dapat dijelaskan sebagai masukan untuk acuan dalam proses konsepsi ruang, yang akan mengarahkan pada wujud lingkung bangun yang memberi persepsi akan guna ruang yang sesuai untuk merepresentasikan hubungan sosial yang diwadahinya. ......This study reveals what actually hawkers or Pedagang Kaki Lima (PKL) related to occupational measures of urban public space and street pavement. PKL as informal sector businesses are the elements for the passing of the urban economy. Supporting the existence of formal sector activities in addition to low-cost commodity providers for Poor People. Since it was realized that the PKL participating in the urban economy, the city felt the need to nurture them to grow and self-reliant and able to penetrate the market with the formal business sector. Government Regulation in the legalization of PKL are very detailed but not although conscious violation of the rules remain as PKL who occupied the location is most ideal for his business. Strategies to survive in the preferred location to do the street vendors to government officials is to take refuge with the reward according to agreement. The presence of PKL is also a form of public room space is perceived is different from that conceived. Occupational sidewalks and roads are also a representation of social space that is built up from the practice of exchange between the PKL with customers but is not contained properly. Referring to the theory of Lefebvre: Production of Space, this phenomenon can be explained as an input for reference in the conception of space, thus leading to a form suitable environment up to represent social relationships.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2011
T30085
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library