Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmi Dwi Kartika
"Obesitas sentral merupakan salah satu faktor risiko terjadinya berbagai masalah kesehatan seperti penyakit kardiovaskular. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan obesitas sentral. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional pada 83 orang karyawan laki- laki bagian produksi di PT. Semen Padang Sumatera Barat pada bulan April- Mei 2017. Pengambilan data dilakukan dengan pengukuran berat badan, tinggi badan, persen lemak tubuh, lingkar perut, dan pengisian kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan 50,6 responden mengalami obesitas sentral. Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa terdapat hubungan bermakna antara IMT, persen lemak tubuh, aktivitas fisik, asupan energi, asupan protein, asupan lemak, dan asupan serat dengan obesitas sentral.

Abdominal obesity is one of the risk factors for various health problems such as cardiovascular disease. This study was conducted to assess the association of risk factors for abdominal obesity. This study used cross sectional study design on 83 male employees at PT. Semen Padang Sumatera Barat in April May 2017. Data collection was done by measuring body weight, height, percent body fat, abdominal circumference, and filling questionnaire. The results showed 50.6 of respondents had abdominal obesity. Based on bivariate analysis known that there were a significant relationship between BMI, percent body fat, physical activity, energy intake, protein intake, fat intake, and fiber intake with abdominal obesity."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S66877
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranita Astikya Carolina
"Obesitas ditandai dengan akumulasi lemak berlebih dan menyebabkan stres oksidatif. Apabila tidak ditangani, stres oksidatif dapat menurunkan kualitas hidup, memicu berbagai penyakit, dan meningkatkan mortalitas. Salah satu cara untuk mengurangi stres oksidatif adalah dengan puasa intermiten. Puasa intermiten dapat meningkatkan pertahanan antioksidan, termasuk glutation tereduksi (GSH) sebagai antioksidan endogen sehingga mengurangi radikal bebas dan mencegah stres oksidatif. Penelitian dilakukan dengan metode uji klinis acak dengan kontrol. Subjek penelitian adalah karyawan pria dewasa berusia 19-59 tahun dengan IMT ≥ 25 kg/m2. Subjek terbagi menjadi kelompok kontrol dan puasa melalui randomisasi sederhana. Puasa intermiten 5:2 dilakukan setiap hari Senin dan Kamis selama 8 minggu serta tidak diperkenankan makan dan minum selama 14 jam berpuasa. Kadar GSH diukur menggunakan metode Ellman sebelum dan sesudah perlakuan pada sampel leukosit yang tersimpan dari penelitian sebelumnya oleh Yudhistina K, et al. Pengaruh puasa intermiten 5:2 terhadap kadar GSH dianalisis dengan uji perbandingan rerata Wilcoxon dan Mann-Whitney dengan batas kemaknaan 5%. Kadar GSH sesudah perlakuan menurun signifikan pada kelompok kontrol (p = 0,01) dengan kadar GSH 0,433 (0,041-2,372) µmol/mL menjadi 1,247 (0,415-2,631) µmol/mL dan kelompok puasa (p < 0,001) dengan kadar GSH 0,604 (0,080-2,976) µmol/mL menjadi 1,874 (0,052-6,937) µmol/mL. Kadar GSH sesudah perlakuan pada kelompok puasa lebih rendah signifikan (p = 0,045) dibandingkan kelompok kontrol. Selisih perubahan kadar GSH pada kelompok puasa lebih tinggi signifikan (p = 0,041) dibandingkan kelompok kontrol. Puasa intermiten 5:2 selama 8 minggu dapat meningkatkan kadar GSH pada pria dewasa dengan obesitas.

Obesity is characterized by excessive fat accumulation and correlates with oxidative stress, which can reduce quality of life, lead to various diseases, and increase mortality. An alternative way to reduce oxidative stress is intermittent fasting which can increase antioxidant defences, including reduced glutathione (GSH) as an endogenous antioxidant, thereby reducing free radicals and preventing oxidative stress. This study used a randomized controlled clinical trial. The subjects were male employees aged 19-59 years with BMI > 25 kg/m2 divided into control and fasting groups through simple randomization. Intermittent fasting 5:2 was done every Monday and Thursday for 8 weeks and subjects were not allowed to eat or drink during fasting. GSH levels were measured using the Ellman method in leukocytes stored from previous study by Yudhistina K, et al. The effect of intermittent fasting 5:2 on GSH levels was analyzed by the Wilcoxon and Mann-Whitney tests with a significance limit of 5%. GSH levels post-intervention decreased significantly both in the control group (p = 0.01) with GSH levels of 0.433 (0.041-2.372) µmol/mL to 1.247 (0.415-2.631) µmol/mL and the fasting group (p < 0.001) with GSH levels of 0.604 (0.080-2.976) µmol/mL to 1.874 (0.052-6.937) µmol/mL. GSH levels post-intervention in the fasting group were significantly lower (p = 0.045) than in the control group. The changes in GSH levels in the fasting group was significantly higher (p = 0.041) than in the control group. Intermittent fasting 5:2 for 8 weeks can increase GSH levels in adult males with obesity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library