Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jofizal Jannis
"BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini dengan meningkatnya arus lalulintas di tanah air kita, khususnya Jakarta, maka terjadi pula peningkatan jumlah penderita cedera kepala yang seringkali berakibat cacad (skwele) berupa hemiparesis, afasia, epilepsi, dan kerusakan saraf kranial dengan keluhan seperti diplopia, anosmia dan kaburnya penglihatan, atau bahkan kematian. Dari tahun 1983 dan 1984 misalnya, dimana jumlah penderita cedera kepala yang dirawat di RSCM adalah 3315 orang dan 2959 orang, tanpa tendensi kenaikan, tetapi dicatat kenaikan cedera kepala berat terjadi sebesar 5% (12). Data tersebut tidak mengungkapkan angka kecacatan yang menjadi keluhan sejak selesai perawatan.
Selain itu kecacatan akibat cedera kepala juga merupakan aspek tertentu yang penting dilihat dari sudut kehidupan sosial penderita. Penderita kecacatan akan mendapat kesulitan dalam melakukan pekerjaanya dengan baik bahkan mungkin tidak bisa bekerja sama sekali.
Suatu pengamatan tentang akibat cedera kepala di Inggris (7) memberi gambaran yang sangat memprihatinkan. Menurut catatan sekitar 50% dari penderita pasca cedera kepala terpaksa menganggur disebabkan ketidakmampuan berfungsi dengan baik dalam melaksanakan tugasnya.
Kerusakan-kerusakan yang timbul akibat cedera kepala pada umumnya akan mengenai kulit kepala berupa luka atau penumpukan darah di subgaleal, fraktur linier/impresi pada tulang tengkorak disertai cedera otak, disertai penurunan tingkat kesadaran dan adanya perdarahan dalam rongga kepala (4,27,43).
Sampai saat ini memang belum banyak ditemukan penelitian yang agak spesifik untuk menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi disfungsi dan kelumpuhan saraf kranial. Tetapi banyak hasil studi telah memberikan petunjuk kuat bagaimana kelumpuhan saraf kranial secara korelatif terkait dengan faktor-faktor tertentu.
Berikut ini, beberapa hasil studi yang telah dilakukan Para ahli menyangkut faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan saraf kranial akan diuraikan secara ringkas.
Terjadinya cedera kepala dapat menyebabkan komplikasi kelumpuhan saraf kranial yang kemungkinan disebabkan oleh fraktur, hematom yang menekan, tarikan segera setelah otak tergeser akibat akselerasi dan tekanan serebral traunatik yang menekan batang otak. (24,41,47).
Soernargo (44) pada tahun 1983 mencatat kecacatan saraf kranial berupa kelumpuhan n.fasialis tipe perifer pada 9 orang periderita dan optalmoparesis pada 5 orang penderita. Tidak dilaporkan adanya kelumpuhan saraf kranial yang lain.
Jennet (22) mengamati 150 pasien dan melaporkan terjadinya kerusakan saraf kranial pada 37% penderita, dimana 50% diantaranya hemianopia. Sedangkan kelumpuhan n.fasialis pada fraktur ospetrosum transversus antara 30-50% dan 10-25% terjadi pada fraktur longitudinal.
Menurut kepustakaan lain (30,48) disebutkan bahwa kelumpuhan saraf kranial sering terjadi pada penderita cedera kepala. Yang paling sering terkena adalah n.olfaktorius, n.optikus, n.akustikus, n.okulomotorius dan n.fasialis.
Bannister dan Rovit (3,42) mencatat bahwa saraf kranial yang paling sering dikenai adalah: n.fasialis, n.optikus, n.abdusen, n.okulomotorius dan n.trokhlearis. Dari basil penelitiannya, kehilangan penciuman terjadi pada 5-77. dari semua pasien penderita yang dirawat.
Kelumpuhan saraf kranial lain yang pernah dilaporkan 7,41,42) adalah kelair. pr1 n.optikus don kh_asma 0.3 5.2% dan Optalmoparesis; 2.6% n.okulomotorius, 2.7% n.abdusen dan 1.3% kombinasi n.okulomotorius dan n.abdusen.
Hughes (4) pada penelitian dengan 1000 sampel pasien mengamati 34 orang dengan kelumpuhan n.okulomotorius, 55 orang mengalami kelumpuhan n.abdusen dan 23 orang dengan kelumpuhan n.trokhlearis. Lebih jauh Hughes?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58524
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pingsari Bratadjaja
"Latar belakang dan tujuan : Pengobatan yang tepat untuk menghilangkan nyeri secara permanen pada Neuralgia pasca herpes (NPH) sampai saat ini belum diketahui. Disamping itu di Bagian Kulit RSUPN-CM terapi NPH dengan TENS (Franscutaneolls Electrical Nerve Stimulation) bdum pernah dicoba sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah TENS daplt mengurangi derajat nyeri, jumlah pemakaian obat analgetik dan meningkatkan acctivitas kebidupan sehari-hari. Rancangan : Melihat efek TENS pada NPH dala..'ll hal mengurangi derajat nyeri, jumlah ver.1akaian obat analgetik dan meningkatkan Aktifitas Kehidupan Sehari-hari (AKS). Cara : Penderita NPH yang datang ke IRM - RSUPN-CM dan memenuhi kriteria inklusi, diberikan TENS sebanyak 12 kali, dengan frekuensi 3 kali seminggu selama 20 menit. Elektroda diletakkan di luar area nyeri. Bila mengenai trigeminus, tiap cabang yang terkena masing-masing diberikan selama 20 menit. Perubahan nilai rasa nyeri diukur dengan VAS (Visual Analogue Scale), perubahan jumlah pemakaian obat analgetik dengan dosis obat, perubahan AKS dinilai dengan RAP (Rehabilitation Activities Profile). Masing-masing variabel dinilai sebelum diberikan TENS dan dibandingkan setelah 1 bulan diberikan TENS. Subyek : 14 orang penderita NPH usia antara 4S-80 tahun memenuhi kriteria inklusi. Basil penelitian : Dengan men&,crunakan Wilcoxon matched-paired Signed Rank Test didapatkan - Perbedaan bermakna antara VAS awal dengan VAS 12 (p<0,05) Perbedaan bermakna jumlah pemakaian obat analgetik sebelum dan sesudah TENS (pO,05). Perbedaan bermakna pada emosi terhadap anak sebelum dan sesudah pemberian TENS (p"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
T58794
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harry Topan
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan : Trigeminal neuralgia (TGN) atau tic douloureux adalah rasa nyeri seperti ditusuk-tusuk pada satu sisi wajah. Prevalensi TGN 0,01% sampai 0,3%, angka kejadian 3,4 sampai 5,9 per 100.000 orang pertahun. 3D CISS MRI waktu akuisisi singkat, Signal to Noise Ratio tinggi, dan Contrast to Noise Ratio yang baik. Instrumen Pain Assessment Scale (PAS) yang digunakan adalah Pain Rating Scale (PRS) karena mudah digunakan, tersedia luas dan murah. PRS dapat dipertimbangkan sebagai instrumen penilaian perkiraan jarak Neurovascular compression terhadap Root Exit Zone (REZ).
Metode : Penelitian retrospektif pada 32 subjek Trigeminal Neuralgia yang melakukan pemeriksaan 3D CISS MRI dalam rentang Januari 2013 sampai Januari 2016. Evaluasi 3D CISS MRI 32 subjek ditemukan 35 origin vaskular penyebab kompresi. Metode penelitian menggunakan uji korelatif dengan pendekatan potong lintang antara nilai PRS dengan jarak NC terhadap REZ yang dievaluasi menggunakan 3D CISS MRI.
Hasil : Menggunakan tes Spearman terhadap 35 subjek kompresi diperoleh hasil terdapat korelasi antara nilai PRS dengan jarak NC terhadap REZ dengan rerata jarak kompresi 2,10 mm ± 2,10 (r = -0,39 dan p= 0,021). Dihasilkan formulasi regresi jarak kompresi 3,15 ? 0,47 x Skala nyeri.
Kesimpulan : Terdapat korelasi antara nilai PRS dengan jarak NCterhadap REZ pada pasien Trigeminal neuralgia.

ABSTRACT
Background and Objective: Trigeminal neuralgia or tic douloureuxis unilateral facial pain. TGN prevalence 0,01% to 0,3%, incidence rate 3,4 to 5,9 per 100.000 people a year. High signal to noise ratio and better contrast to noise ratio is 3D CISS MR benefits. Trigeminal pain evaluated with pain assessment scale because simple, less expensive and widely available. So it can be considered as an assessment instrument to estimates neurovascular compressiondistance related to trigeminal nerve root exit zone.
Methods : This is a retrospective study on 32 subjects trigeminal neuralgia who had 3D CISS MR examination within January 2013 to January 2016. Evaluation 3D CISS MR found 35 vascular origin causes compression. This methods using correlative study with cross sectional between PAS value with neurovascular compression distance related to trigeminal nerve root exit zone.
Results : From 35 subject compression with Spearman test there is moderate correlation between PAS value with neurovascular compression distance related to trigeminal nerve root exit zone (Mean 2.10 mm ± 2,10, r = -0,39 and p = 0,021) and result Regretion formulation 3,15 ? 0,47 x Pain scale.
Conclusion : There is moderate correlation between PRS value with neurovascular compression distance related to trigeminal nerve root exit zone."
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Affan Priyambodo Permana
"Pendahuluan: Sindrom Disfungsi Hiperaktivitas Nervus Kranialis (SDHNK) merupakan gejala dan tanda yang ditimbulkan karena kontak pada pangkal saraf kranial di dekat batang otak. Neuralgia trigeminal merupakan contoh SDHNK berupa nyeri episodik unilateral pada nervus trigeminus yang menyebabkan nyeri hebat, cepat, dan sensasi tersetrum terutama jika dipicu oleh sentuhan. Diagnosis klinis masih merupakan baku standar dalam penegakkan diagnosis SDHNK. Demi meningkatkan ketepatan diagnosis, penelitian yang menilai pemeriksaan preoperasi semakin meningkat dan terutama difokuskan pada pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging, MRI) dan pengolahan data.
Tujuan: Menelaah pemeriksaan MRI preoperasi yang mendeskripsikan kelainan pada struktur anatomi yang menjadi penyebab SDHNK.
Metode: Penelitian dengan desain potong lintang ada pasien dengan SDHNK yang menjalani dekompresi mikrovaskular di Departemen Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode Januari 2014 sampai Juli 2014.
Hasil: Dalam pelayanan Bedah Saraf RSUPN Cipto Mangunkusumo selama periode April 2012 sampai April 2014 telah dilakukan operasi dekompresi mikrovaskular pada 19 pasien SDHNK dengan kasus Neuralgia Trigeminal sebanyak 12 pasien dan Spasme Hemifasial 7 pasien. Usia pasien berkisar antara 49-74 tahun (rerata 56 tahun). Sebaran gender terbagi rata untuk SDHNK dengan rasio laki-laki berbanding perempuan 1:0,9. Dilakukan uji diagnostik dalam menilai adanya offending artery antara MRI preoperatif dengan temuan saat operasi. Sensitivitas didapatkan sebesar 47,4%. Keluaran pasca operasi pada kasus neuralgia trigeminal segera dirasakan pasien pasca operasi dengan tingkat keberhasilan 100%, pada kasus spasme hemifasial 58 % mengalami kesembuhan total dan sisanya 42% reduksi hingga tidak mengganggu, setelah dilakukan operasi dekompresi mikrovaskular.
Kesimpulan: Pemeriksaan MRI dengan prosedur standar untuk evaluasi SDHNK di RSCM memiliki sensitivitas 47,4%, dimana cukup tinggi sebagai pemeriksaan penyaring. Operasi dekompresi mikrovaskuler merupakan prosedur aman, memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan rekurensi rendah.n MRI dengan prosedur standar untuk evaluasi SDHNK di RSCM memiliki sensitivitas 47 4 dimana cukup tinggi sebagai pemeriksaan penyaring Operasi dekompresi mikrovaskuler merupakan prosedur aman memiliki tingkat keberhasilan tinggi dan rekurensi rendah.

Introduction: Hyperactive Dysfunction Syndrome of the Cranial Nerve (HDSCN) is the syndrome caused by cranial nerve root contact near the brainstem. Trigeminal neuralgia is one of the HDSCN with the severe, fast, tingling sensation, and unilateral episodic pain, especially when touched. In order to increase the diagnosis acuracy, the study to evaluate preoperative evaluation is increasing, particularly focusing in magnetic resonance imaging (MRI) and data processing.
Objectives: Evaluating preoperative MRI potency in describing anatomical abnormality, which cause HDSCN.
Methods: We used cross sectional study to evaluate the preoperative MRI, intraoperative findings, and outcomes to patients who came to Neurosurgery Department, Cipto Mangunkusumo Hospital in periods January 2012 to July 2014.
Results: There was 19 patients with HDSCN (12 with trigeminal neuralgia and 7 with hemifacial spasm) who seek medical attention to Cipto Mangunkusumo Hospital from April 2012 to April 2014 and performed microvascular decompression. The mean age of them were 56 years old with male-female ratio 1 : 0.9. Diagnostic study was performed to evaluate the finding of offending artery between preoperative MRI and intraoperative findings. The sensitivity of MRI found in this study was 47.4%. Post operative outcome in trigeminal neuralgia was 100% pain free episode, and 58% free spasm episode in hemifacial spasm. The 42% of the hemifacial spasm patient got the symptoms reduced and could perform daily activity normally.
Conclusions: Standard proceudre of MRI to evaluate HDSCN in Cipto Mangunkusumo Hospital has sensitivity 47.4%. This value was quite high to be used as screening tools. Microvascular decompression was a safe procedure with high success rate and low recurrence rate.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ferlita Feliana
"ABSTRAK
Trigeminal neuralgia adalah nyeri pada sebagian wajah yang melibatkan nervus trigeminus. Penyakit ini dapat memberikan efek signifikan terhadap kualitas hidup penderitanya, seperti kehilangan berat badan, isolasi, bahkan depresi. Sebanyak 50% penderita trigeminal neuralgia tidak puas dengan pemberian obat-obatan farmasi karena pengobatan yang diberikan tidak efektif dan menimbulkan berbagai efek samping, seperti pusing dan gangguan gastrointestinal (sakit perut, mual, muntah). Oleh karena itu perlu dicari obat alternatif yang lebih ramah terhadap badan manusia yaitu jamu yang berbahan herbal. Menurut Penelitian Tristantini dkk., tanaman seperti cengkih (Syzygium aromaticum), jahe (Zingiber officinale), dan pala (Myristica fragrans) dapat digabungkan dan diramu sebagai jamu penurun ketegangan saraf. Ekstrak jamu tersebut diketahui mengandung berbagai senyawa fenolik dengan aktivitas antioksidan yang umumnya juga terdapat pada obat-obatan yang digunakan dalam terapi pengobatan trigeminal neuralgia seperti carbamazepine, lamotrigine, dan oxcarbazepine. Formulasi jamu dapat dibuat melalui metode ekstraksi refluks dengan menggunakan pelarut air pada suhu 80oC selama 90 menit yang merupakan suhu dan waktu terbaik ekstraksi jamu. Sementara ekstraksi bahan jamu yaitu pala dan jahe dibuat dengan ekstraksi menggunakan pelarut air, etanol, maupun campuran dari keduanya serta variasi suhu. Penggunaan metode pelarut air-etanol dengan perbandingan 50:50 pada suhu 70oC menghasilkan kadar fenolik tertinggi dari ekstrak pala dan jahe sebesar 23,13 mgGAE/g sampel. Pada penelitian ini dilakukan pengujian untuk mengkaji aktivitas antioksidan dari Jamu Penurun Ketegangan Saraf dengan menggunakan metode DPPH yang menghasilkan nilai IC50 sebesar 234,75 μg/ml.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library