Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andre Iswara
Abstrak :
ABSTRAK Gangguan saraf fasialis prefer unilateral merupakan suatu gangguan pada saraf fasialis akibat kelumpuhan otot sebagian atau seluruh wajah. Dalam menangani kasus saraf fasialis perifer unilateral, setiap klinisi dapat menggunakan beberapa modalitas pemeriksaan seperti pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann, uji topognostik (schirmer, refleks stapedius, gustatometri) dan pemeriksaan elektrofisiologis (kecepatan hantaran saraf, refleks blink, jarum EMG) dalam menentukan derajat kerusakan saraf dan letak lesi berdasarkan onset, derajat kerusakan saraf dan etiologi dalam membantu menegakkan diagnosis dan memperkirakan prognosis. Sangat penting dalam menyampaikan informasi yang tepat dan efektif antar klinisi mengenai keadaan saraf fasialis yang mengalami paresis saraf fasialis dalam menentukan tatalaksana selanjutnya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif cross-sectional dengan pengambilan subjek penelitian secara consecutive sampling di poliklinik Neurotologi THT dan poliklinik EMG Neurologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Agustus 2012 sampai dengan Mei 2013 dan didapatkan sebanyak 44 subjek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang cukup (Kappa R =0,5, p<0,05) pada 32 subjek penelitian dengan onset lama dengan derajat kerusakan sedang dan berat antara pemeriksaan motorik sistem Freyss, House-Brackmann dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan yang bermakna dan kesesuaian yang baik (Kappa R=0,011, p=0,935) dalam menentukan letak lesi antara pemeriksaan uji topognostik dengan pemeriksaan elektrofisiologis. Tiga belas subjek penelitian tidak dapat ditentukan letak lesi berdasarkan pemeriksaan elektrofisiologis pada onset kronis dengan derajat kerusakan sedang dan berat sedangkan pemeriksaan uji topognostik mampu menentukan letak lesi pada onset akut maupun kronis. Untuk daerah-daerah yang tidak memiliki modalitas pemeriksaan elektrofisiologis, pemeriksaan motorik sistem Freyss dan House-Brackmann dapat digunakan dalam menegakkan diagnosis dan memprediksi prognosis.
ABSTRACT Unilateral peripheral facial nerve palsy is a disturbance in facial nerve caused by partial or complete muscle paralysis. Clinician can use multiple examination modality such as Freyss system, House-Brackmann, topognostic test (schirmer, stapedius reflex, gustatometry) and electrophysiology (nerve conduction velocity, blink reflex, EMG needle) to establish diagnosis and prognosis. It is very important to deliver right and effective information between clinician about facial nerve condition and paralysis to determine further management. Achieve conformity between Freyss system, House-Brackmann, topognostic study and electophysiologic examination in diagnosis and prognosis. This study used descriptive cross-sectional method by taking study subject with consecutive sampling in Neurotology division of ENT department and EMG division of Neurology Department outpatient-clinic and 44 study subjects. According to study result, there is significance and conformity (Kappa R =0,5, p=0,005) for 32 subjects late onset with detriment degree moderate severe between motoric examination Freyss, House-Brackmann and electrophysiologic examination. In this study there is no significanceand conformity (Kappa R=0,011, p=0,935) between determining lesion site between topognostic test and electrophysiology examination. Thirteen study subjects could not be determined for lesion site, due to chronic onset with moderate severe damage by electrophysiology examination, whereas topognostic test can determine lesion site in acute nor chronic onset. In region without facility for electrophysiologic examination, Freyss and House-Brackmann motoric system can be used in establishing diagnosis and determining prognosis.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Maharani
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Neuropati perifer merupakan komplikasi neurologis tersering pada pasien HIV. Stavudin, yang dikaitkan dengan risiko neuropati perifer, mulai ditinggalkan sebagai pilihan pertama terapi antiretroviral. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka kejadian neuropati pada pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin menggunakan multimodalitas pemeriksaan, dan faktor risiko yang berhubungan. Metode Penelitian: Penelitian berdesain potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian JakCCANDO ditambah dengan data primer dari pasien HIV dalam terapi antiretroviral non stavudin minimal 12 bulan yang berobat di Unit Pelayanan Tepadu (UPT) HIV Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM). Anamnesis dan penelusuran data faktor risiko, skrining klinis Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), elektroneurografi, dan Stimulated Skin Wrinkling (SSW) dengan krim lidokain:prilokain 5% dilakukan pada setiap subjek penelitian. Data dianalisis dengan SPSS 17.0. Hasil: Angka kejadian polineuropati simetris distal (PSD) pada 68 subjek penelitian berdasarkan BPNS, elektroneurografi, SSW, dan kombinasi ketiga modalitas ialah 16,2%, 25%, 29,4%, dan 52,9%. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l memiliki risiko PSD sebesar 2,85 kali lebih tinggi dibandingkan kelompok subjek dengan CD4 nadir yang lebih tinggi (IK 95% 1,99-8,29). Subjek yang memiliki tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm (p<0,03) dan viral load lebih dari sama dengan 35.000 kopi/ml (p<0,05) memiliki rerata kecepatan hantar saraf sensorik tungkai bawah lebih rendah dibandingkan subjek dengan tinggi badan dan viral load yang lebih rendah. Kesimpulan: Angka kejadian neuropati perifer pada pasien HIV masih cukup tinggi yaitu 52,9% dari subjek penelitian, meskipun stavudin tidak lagi digunakan. Penggunaan multimodalitas pemeriksaan memberikan kemampuan deteksi neuropati lebih banyak dibandingkan modalitas pemeriksaan tunggal. Subjek dengan CD4 nadir kurang dari 50 sel/l, 2,85 kali lebih berisiko mengalami PSD. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan lebih dari sama dengan 170 cm dan viral load lebih dari sama 35.000 kopi/ml terhadap abnormalitas parameter elektroneurografi saraf sensorik tungkai bawah.
ABSTRACT Background: Peripheral neuropathy was a common neurologic complications in HIV patients. Stavudine, which was often associated with neuropathy risk, is no longer used as first line HAART. This study was aimed to determine prevalence of neuropathy in HIV patients receving HAART without stavudine using multi modalities examination, and associated risk factors. Materials and Method: A cross-sectional study was undertaken using secondary data from JakCCANDO study subjects and primary data from HIV patients receiving antiretroviral therapy without stavudine for minimum 12 months in Integrated HIV Outpatient Clinics of Cipto Mangunkusumo General Hospital. All subjects were performed history taking, Brief Peripheral Neuropathy Screen (BPNS), electroneurography, and Stimulated Skin Wrinkling (SSW) using lidocaine:prilocaine 5% cream. Data analysis was done using SPSS 17.0. Results:Prevalence of symmetric distal polyneuropathy (DSP) from 68 study subjects based on BPNS, electroneurography, SSW, and combination of three modalities were 16,2%, 25%, 29,4%, and 52,9%. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l were at increased risk of DSP 2,85 times larger than subjects with higher nadir CD4 (CI 95% 1,99-8,29). Subjects with a height of equal or more than 170 cm (p<0,03) and viral load of equal or more than 35.000 copies/ml (p<0,05) had significantly decrease mean of lower extremities sensory nerve conduction velocities based on electroneurography compared to subjects with lower height and viral load. Conclusions: Peripheral neuropathy remained a numerous neurological complication, as much as 52,9% of study subjects, even when stavudine was no longer used. Multiple diagnostic tools used in this study gave higher neuropathy number compared to single diagnostic modality. Subjects with nadir CD4 less than 50 cells/l had 2,85 times higher risk of having DSP. There were also correlation between height equal or more than 170 cm and viral load equal or more than 35.000 copies/ml with electroneurographic parameter abnormalities of sensory nerve in lower extremities.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amato, Anthony
New York: McGraw-Hill, 2008
616.744 NEU
Buku Teks  Universitas Indonesia Library