Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 308 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gunawan Hidayat
Abstrak :
Kualitas produk leering ditentukan oleh proses pengeringan. Pengujian alat pengering energi surya dilakukan guna memperoleh unjuk kerja sistem dengan kapasitas beban pengeringan yang ditentukan. Unjuk kerja di fokuskan pada : waktu pengeringan, distribusi temperatur dan laju aliran udara. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kinerja alat pengering energi surya, meningkatkan efisiensi pengeringan dan menurunkan kebutuhan energi serta melakukan simulasi model alat pengeringan. Simulasi numerik menggunakan program Computational Fluid Dynamics model Phoenics yang juga digunakan untuk memperoleh bentuk aliran udara dan distribusi temperatur. Pengujian alat pengering dilakukan dengan dua cara yakni pengujian tanpa beban dan pengujian dengan beban pisang basah. Hasil penelitian ini menunjukkan seluruh temperatur yang terdistribusi pada titik-titik pengujian berflukluasi sebanding dengan radiasi matahari. Kolektor mampu menaikkan temperatur maksimum sebesar 44,6 °C, sedangkan temperatur kolektor (absorber) sendiri mencapai 119,6 °C. Semakin besar rata-rata radiasi matahari harian selama pengujian, maka waktu pengeringan semakin singkat. Terjadi penurunan temperatur yang cukup besar antara temperatur keluar kolektor dengan temperatur masuk ruang pengering, dimana pada bagian ini terdapat fan.
The drying product quality highly depends on drying process. The experiment on Solar Dryer has been conducted to obtain performance systems with drying capacity regard to the prescribed Its performance is focused on dying times, temperature distribution and air flow rate. The purpose of this research is to obtain performance of Solar Fruits Dryer, to improve drying efficiency, and to decrease energy needed Numeric simulation using Phoenics Computational Fluid Dynamics (CFD) package is also used to obtain air flow pattern and temperature distribution. Experiment of Solar Fruits Dryer uses two ways, namely experiment without load test and experiment with it. The result of the experiment shows that the all temperature distribution in drying room is fluctuated as much as sun radiation. The collector can increase a mcarimum temperature until 44,6 ° Celsius that its temperature can to reach 119,6 ° Celsius. If the daily radiation became bigger and bigger a long the experiment. Thus the drying times become shorter. Temperature decreases occur between collector outlet temperatures and drying room 's inlet temperature, where the fan exists in this path.
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2000
T2399
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tristam Pascal M.
Abstrak :
Dengan berlaku dan mengikatnya Konvensi Hukum Laut 1982, kewajiban tiap negara penandatangan adalah, antara lain, mengimplementasikan ketentuan-ketentuan hukum positif yang terkandung di dalamnya, termasuk ke dalamnya kewajiban untuk menyelaraskan hukum nasional laut mereka dengan prinsip-prinsip yang mendasari pengaturan hukum laut. Berkenaan dengan ini dapat kita sebutkan satu bagian dari Konvensi Hukum Laut 1982 yang sangat relevan bagi Indonesia, yakni ketentuan tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Zona ini pada awal mulanya berkembang dari klaim-klaim sepihak negara pantai dalam rangka memperlebar yurisdiksi mereka atas sumber kekayaan alam (khususnya hayati) yang terletak di luar jalur laut teritorial di mana berlaku kedaulatan mutlak (full and complete sovereignty) oleh karena itu pula, selanjutnya untuk membedakannya dari kedaulatan di laut teritorial, disebutkan bahwa negara pantai memiliki hak berdaulat (sovereign right) untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya hayati yang terletak di wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya yang merupakan jalur laut selebar 200-350 mil laut diukur dari garis pangkal. Satu hal yang mencolok adalah perhatian Konvensi Hukum Laut 1982 pada soal pemanfaatan berkelanjutan sumber daya lautan dan aspek keadilan pemanfaatan tersebut, terutama bagi negara tidak berpantai atau yang memiliki letak geografis kurang menguntungkan. Di sini kata kunci adalah Maximum Sustainable Yield, yaitu untuk menghitung Total Allowable Catch: penghitungan tangkapan total yang diperbolehkan untuk satu musim tangkapan, sedemikian sehingga masih tetap memungkinkan sumber daya hayati meregenerasi diri demi pemanfaatannya secara berkesinambungan. Jelas bahwa untuk mengimplementasikan hal di atas disyaratkan adanya kemampuan teknologi kelautan yang canggih dan kontrol atau pengawasan yang ketat. Untuk yang pertama disebut, harus diakui Indonesia masih jauh tertinggal di banding negara-negara maritim lain. Ini dapat dilihat dari kekuatan armada perikanannya. Adapun untuk yang terkemudian ke dalamnya terkait soal tingkat investasi ke dalam industri perikanan yang dipengaruhi faktor rumitnya mekanisme perizinan serta tingkat pengawasan dan keamanan usaha perikanan laut. Untuk itupun harus diakui rumitnya perizinan tidak mendukung kemunculan iklim usaha yang sehat dan menarik untuk mengembangkan industri perikanan laut. Terpikirkan di sini untuk mengajukan usulan melakukan deregulasi-debirokratisasi juga dalam bidang industri perikanan laut. Sekalipun harus diimbangi dengan peningkatan kekuatan Angkatan Laut sebagai pihak paling kompeten untuk menjaga dan memelihara keamanan-ketertiban seluruh wilayah perikanan Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwandi Idris
Abstrak :
ABSTRAK Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, dan kurang lebih 17.508 pulau. Dua pertiga atau sekitar 62% (± 3,1 juta km2) dari keseluruhan wilayah Indonesia berupa perairan laut. Wilayah laut ini meliputi 0,3 juta km2 (5,17%) perairan teritorial dan 2,8 juta km2 (48,28%) perairan nusantara. Berdasarkan UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Indonesia diberi hak kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km2 (46,55%). Di wilayah pesisir dan laut Indonesia terdapat bentukan-bentukan terumbu karang yang luas, ekosistem hutan mangrove yang luas dan berbagai ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun, pantai pasir, pantai berbatu. Di samping itu peran lain dari wilayah pesisir adalah sebagai kawasan wisata, budidaya perikanan, usaha penambangan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya. Keadaan demikian menyebabkan banyaknya penduduk yang hidup di daerah pesisir, sehingga tingkat eksploitasi sumber alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) di daerah pesisir menjadi tinggi, yang disertai dengan turunnya kualitas Lingkungan. Sementara itu, wilayah pesisir juga memiliki berbagai peranan penting bagi kelestarian fungsi ekosistem alam dan kehidupan umat manusia. Misalnya, dari segi biogeofisik sebagai daerah penyangga bagi kehidupan aneka ragam biota laut; secara ekologis merupakan tempat berkembangnya berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya, dan secara hidrologis berperan sebagai kelestarian sumber tanah dan air di daratan dan kepentingan lainnya. Pengertian wilayah pesisir dan laut yang mencakup semua aspek yang terkandung di dalamnya masih sulit dilakukan. Namun demikian penelitian ini mencoba mengambil pengertian; bahwa wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan atau kegiatan manusia di darat. Dilihat dari segi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di Indonesia dihadapkan kepada suatu dilema. Di satu pihak beberapa kawasan pesisir telah dimanfaatkan secara intensif sehingga telah melampaui daya dukungnya seperti tangkap lebih dan pencemaran. Di pihak lain pemanfaatan wilayah pesisir dan laut belum optimal bahkan di beberapa wilayah belum dijamah sama sekali. Permasalahan yang menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah pesisir dan laut adalah disebabkan oleh meningkatnya kegiatan sektor pembangunan, baik oleh Pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kegiatan pembangunan tersebut di samping belum dilakukan secara terkoordinasi, juga belum sepenuhnya memperhitungkan dampak lingkungan. Sebagai akibat dari kegiatan tersebut potensi sumberdaya laut semakin menurun, seperti kerusakan terumbu karang, menurunnya luas hutan mangrove, gejala penangkapan sumberdaya perikanan yang berlebihan (over fishing) dan pencemaran perairan laut. Apabila ditinjau dari aspek pengelolaan wilayah pesisir dan laut, salah satu penyebab permasalahan ini adalah belum adanya Kelembagaan Nasional dan Daerah yang mempunyai tugas dan wewenang secara khusus mengkoordinasikan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Sementara instansi yang terkait dalam pengelolaan tersebut cukup banyak, seperti Departemen Pertanian, Kehutanan, Perhubungan, Perindustrian, Pariwisata dan Telekomunikasi, Pertambangan dan Energi, Pekerjaan Umum, Pertahanan Keamanan, Kantor Menteri Negara Lingkungan HidupBapedal, Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, LIPI, dan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek hukum dan kelembagaan serta sektor pembangunan yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan taut, dengan mengambil studi kasus wilayah pesisir di Teluk Arnbon Dalam, Kotamadya Arnbon, Propinsi Maluku. Hipotesis penelitian yang digunakan adalah : " Adanya berbagai kepentingan memanfaatkan sumberdaya alam pesisir dan taut yang terbatas di Teluk Ambon Dalam telah mengakibatkan tumpang tindih tanggungjawab kelembagaan yang mengelola sumberdaya alam, sehingga penggunaan lahan pesisir dan sumberdaya kelautan tidak sesuai dan serasi dengan peruntukan dan daya dukungnya". Studi dilakukan di kawasan pesisir dan taut Teluk Ambon Dalam dengan difokuskan kepada pengumpulan data dan informasi melalui: (i) Pengkajian kebijakan Pemerintah dalam pembangunan wilayah pesisir dan taut yang dimuat dalam GBHN, Repelita VI Nasional, Pala Dasar Pembangunan Daerah, Repelita Daerah serta fungsi dan tugas instansi terkait lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan; (ii) Mengumpulkan data dan informasi tentang aktivitas pembangunan di wilayah pesisir, meliputi: potensi aktivitas pembangunan, kondisi lingkungan, Peraturan Perundangundangan, sosial-ekonomi penduduk, tingkat pendidikan dan sosial budaya masyarakat; dan (iii) Pengamatan langsung ke lapang untuk melakukan wawancara semi terstruktur terhadap pengambil kebijakan pada instansi Pemerintah dan masyarakat. Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif, meliputi kajian terhadap: (i) Aktivitas pembangunan yang ada (Existing Development Activities), (ii) Analisis Keserasian antar sektorlkegiatan Pembangunan (Compatibility Analysis), dan (iii) Analisis Fungsi dan Wewenang Kelembagaan. Hasil penelitian di Teluk Ambon Dalam menunjukkan bahwa pada saat ini telah berkembang berbagai kegiatan pembangunan seperti, perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan, pangkalan angkatan laut, konservasi alam, industri, pertanian, pertambangan, energi, industri kayu dan perumahan. Namun atas dasar segi kesesuaian yang ideal (ekologis), maka pembangunan sektoral yang dapat dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah Perikanan Tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pelabuhan/perkapalan, konservasi alam, lahan industri, pertanian dan perumahan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari segi ekologis keruangan, pesisir Teluk Ambon Dalam telah jenuh dan relatif tidak dapat lagi menampung pengembangan sektoral. Hal ini diperkuat oleh adanya kerusakan lingkungan di wilayah pesisir ini, seperti pencemaran, sedimentasi, dan kerusakan fisik habitat. Terjadinya tumpang tindih dan pengembangan pembangunan sektor yang saling merugikan yang menimbulkan konflik di Teluk Ambon Dalam disebabkan karena kurang jelasnya tugas dan wewenang sektor, belum terkoordinasinya pelaksanaan tugas antar sektor serta belum jelasnya peran Pemerintah Daerah di wilayah pesisir dan laut. Penanggulangan permasalahan di atas dalam jangka pendek, perlu dikembangkan sistem pengelolaan yang bersifat terpadu di wilayah pesisir dan laut, melalui adopsi model pengelolaan wilayah pesisir terpadu yang dilakukan mulai dari proses penelitian, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengembangan. Sedangkan untuk jangka panjang diperlukan adanya restrukturisasi kelembagaan instansi Pusat dan Daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Untuk mendukung terlaksananya pengelolaan terpadu di wilayah pesisir, diperlukan adanya wadah yang berfungsi sebagai koordinator pengelolaan, dengan anggota semua instansi dan lembaga masyarakat yang mempunyai kegiatan di wilayah pesisir dan laut dan memiliki ciri-ciri produktivitas dan kelestarian fungsi. Prinsip-prinsip keterpaduan yang perlu dikembangkan di Teluk Ambon Dalam adalah: Pertama, Prinsip keterpaduan antara tata lingkungan daratan dengan wilayah pesisir dan laut yang dapat mencerminkan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Kedua, Pembentukan suatu wadah koordinasi yang bersifat integral antara instansi Daerah dan antara Pusat dan Daerah untuk mengatur kembali tumpang tindih pemanfaatan lahan dan untuk memelihara kelestarian lingkungan Teluk Ambon. Ketiga, Perlu diprioritaskan perlindungan dan rehabilitasi kawasan hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
ABSTRAK Institutional Arrangements For Marine And Coastal Resource Management (A Case Study in Ambon Dalam Bay, Ambon Regency)Indonesia is an Archipelagic Nation containing 17,508 islands with a coastline of approximately 81,000 kms. Two third of the area of Indonesia (approximately 5.8 million km2) is marine. This vast area is divided into Territorial Sea (0.3 million km2 or 5.2%) Archipelagic sea (2.8 million km2 or 48.28%) and Exclusive Economic Zone (2.7 million km2 or 46.55%) Coastal and marine areas of Indonesia contain a wide range of ecosystem type; these support some of the largest and most divers assemblages of coral reefs , mangroves and sea grass in the world. These ecosystem also support a wide range of human activities. Marine transportation, port/harbors, mariculture, tourism, oil and gas production and coastal settlements all depends on coastal and marine ecosystem and resources. The multiple use nature of many coastal resources combined with rapid economic and industrial growth in recent decades has attracted an increasing percentage of the Indonesia population to live in coastal areas. With increasing in population and related direct and indirect use pressures, many coastal and marine resources throughout Indonesia have become depleted and degraded. Coastal areas, as the interface between land and sea, serve several import biological, physical, economic and social functions and are inter-connected with adjacent terrestrial and marine ecosystems via a range of linking processes. For example, a key bio-geophysic function of coastal areas is to "buffer" the impact of land activities on marine areas and vice versa. Via physical and ecological processes and pathways, coastal ecosystems regulate the input of nutrients and sediments to marine waters. Many global studies have shown that the maintenance of these ecosystems and their component processes is required if the functions they serve are to be sustained. Since function and processes of coastal ecosystems are broad and complex, an holistic approach to coastal and marine resource management is required. This study thus proposes that such an approach requires the definition of the coast as a road ecotone which extends from the inland limit of marine ecosystems on land systems to the seaward limit of land influences on marine ecosystems. Management of coastal and marine areas poses a particular dilemma in the context of sustainable development due largely to uneven nature of coastal and marine resource exploitation throughout the archipelago. In many areas coastal and marine resources, particularly fisheries, have been overexploited beyond sustainable use (carrying capacity) limits. In other areas various resources remain unutilized or under-utilized, often due to access or technological constraints. Various studies identified that the major problem facing coastal and marine management in Indonesia is the sectorally-oriented development approach which has been used by government agencies, private sector investors and local communities. Development activities throughout the archipelago have, in general, not been well coordinated, nor have they adequately taken into account the environmental impact of development. As a consequence resources have not been optimally utilized and, in many cases, have been degraded as a result of development activities. That degradation can be described in terms of both loss of ecosystem quantity (e.g. over harvesting of fisheries) and loss of quality (e.g. pollution of coastal waters by industry). Contemporary coastal management practice now recognizes the important of adequate institutional arrangement that provide the authority and allocate responsibility for co-ordination of resource planning and management. However, at present in Indonesia there are many sectors (e.g. agriculture, forestry, transportation, industry, tourism, telecommunication, mining, public work, defense, environmental management and research) and levels (national, provincial, sub-regional and local) of government which act independently or in an uncoordinated manner in coastal and marine resources management. The aim of this study is to review legal and institution arrangements and approach that are used in coastal and marine resource management. The study focuses on a case study of Ambon Dalam Bay (Teluk Ambon Dalam) in Ambon Regency, the capital of Maluku Province in Eastern Indonesia. The hypothesis of the study is that because of the uncoordinated and overlapping responsibilities of agencies involved in management of this area, resources are not being used optimally or sustainably. The data and information for this study was collected from : 1. Reviews of government policy and planning documents and guidelines, including National Policy Guidelines (GBHN), the Sixth Five Years National Development Plan (REPELITA VI), Regional Policy Guidelines (Pola Dasar), the Sixth Five Year Regional Development Plan (REPELITADA), and overview of the role and function of various government agencies. 2. Data and information obtained as part of development activities including information on potential development options, environmental conditions, regulations, community/socio-economic studies; and 3. Field observations and survey interviews (using a semi-structural approach) of the local decision-maker and community leader. This information was analyzed by descriptive and matrix-based methods which sought to assess (i) existing development activities and responsibilities for development control; (ii) the compatibility of existing development activities with sectoral objectives and (iii) improved institutional arrangements for coastal and marine resource management. The case study analysis of Ambon Dalam Bay revealed that development activities have expanded considerably over time, both in terms of the area subject to development and in terms of the types of activities undertaken within development areas. These have led to physio-chemical, ecological and socio-economic change in the Bay and around the foreshores. These changes have also generated increasing conflict between resource uses. Based on results of the compatibility analysis it was observed that activities which are most suitable for Ambon Dalam Bay are : a) Fish catching/aquaculture; b) Nature conservation; c) Industrial development (indemnified areas) d) Agriculture; and e) Settlement/housing When these most suitable activities were compared with the existing development pattern in the Bay area, it was concluded that developments within coastal areas of Ambon Bay currently exceed the carrying capacity of the Bay. Furthermore. it was noted that the overlapping jurisdiction of sectoral agencies have led to conflicting and inappropriate resource use. This is considered to be due largely to the fragmentation of administrative responsibilities and to the lack of clearly defined management authority. These problems are exacerbated by uncertainty about the roles and responsibilities of government agencies at all levels, especially at the local government level. In order to overcome this problem in the short term, an integrated and systematic approach to coastal and marine resources management has to be imposed. This process should begin with identification and agreement on problems, development of spatial an/or resource use plans which better reflect the sustainable use limits of Bay resources, clarification of management responsibilities and institutional restructuring to facilitate plan implementation and evaluation. This process can be supported by adoption of integrated coastal zone planning and management (ICZPM) principles, including: a. integrated of environmental management both terrestrial and marine ecosystems to ensure that resource uses within these areas sustainable; b. establishment of a Co-ordinating board which involves regional and national agencies in Maluku Province and which embraces in the interest of all stakeholders in the Bay, including government agencies, private sector interests and NGOs so at to achieve a more effective balance between economic development and environmental quality; and c. to define and then conserve andlor rehabilitate key ecosystems in the Bay - the initial priorities identified in this study included mangroves, coral reefs and seagrass ecosystems. Total of References 68 bibliographies (1967-1997)
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Istiyanti
Abstrak :
[ABSTRAK
Pengelolaan SDA pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dinilai sangat memprihatinkan. Muncul berbagai masalah akibat ketidakmampuan Pemerintah dalam mengelola SDA dimaksud. Salah satu akibatnya adalah rendahnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari bidang SDA pertambangan mineral dan batubara. Penyebab dari rendahnya PNBP tersebut, antara lain ketidakjelasan penghitungan dasar bagian Negara sebagai dampak ketidakjelasan bentuk perikatan/akad yang dilakukan antara Pemerintah dengan pihak perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi. Penulis melakukan penelitian merumuskan solusi model perikatan sesuai syariah dalam mengelola SDA pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan menggunakan metodologi Analytic Networking Process (ANP) serta dengan bantuan software Super Decision. Hasil penelitian menunjukkan pilihan model perikatan/akad Mudharabah Musyarakah dalam mengelola SDA pertambangan mineral dan batubara dengan alasan pada asas keadilan.
ABSTRACT
Natural resources management of mineral and coal mining in Indonesia is considered very alarming. Arise various problems due to the inability of the government to manage natural resources in question. One result is the low tax state revenue (non-tax) from the field of mineral and coal mining natural resources. The cause of the low non-tax revenues, among others, uncertainty calculation basis as part of the State obscurity impact the model of the contract made between the government and the companies that carry out exploration and exploitation. Authors conducted a study to formulate a solution model of contract that Shariah compliance in managing the natural resources of mineral and coal mining in Indonesia by using the methodology Analytic Networking Process (ANP) as well as with the help of software Super Decision. The results of this research is choice of Musharaka Mudaraba models of contract in managing the natural resources of mineral and coal mining based on the principle of justice., Natural resources management of mineral and coal mining in Indonesia is considered very alarming. Arise various problems due to the inability of the government to manage natural resources in question. One result is the low tax state revenue (non-tax) from the field of mineral and coal mining natural resources. The cause of the low non-tax revenues, among others, uncertainty calculation basis as part of the State obscurity impact the model of the contract made between the government and the companies that carry out exploration and exploitation. Authors conducted a study to formulate a solution model of contract that Shariah compliance in managing the natural resources of mineral and coal mining in Indonesia by using the methodology Analytic Networking Process (ANP) as well as with the help of software Super Decision. The results of this research is choice of Musharaka Mudaraba models of contract in managing the natural resources of mineral and coal mining based on the principle of justice.]
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldy Syabadillah Akbar
Abstrak :
Negara Indonesia merupakan Negara dengan potensi kekayaan alam yang berlimpah. Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, maka ?bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung dalam wilayah Indonesia dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat?. Berdasarkan rumusan pasal tersebut, maka segala kekayaan alam yang terkandung di wilayah Indonesia hanya boleh digunakan untuk membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Meskipun potensi kekayaan alam di Indonesia, baik mineral, batubara maupun kekayaan alam lainnya sangat berlimpah, tetapi jumlah angka kemiskinan ternyata justeru semakin bertambah. Ketidaksinkronan ini disebabkan oleh pengelolaan kekayaan alam baik mineral maupun batubara yang tidak sesuai dengan konsep hak penguasaan Negara yang dirumuskan oleh Founding Fathers. Pengalaman Indonesia selama masa Orde Baru menunjukan lemahnya penegakan hukum dalam bidang pertambangan, mekanisme kontrak yang diberlakukan selama masa Orde Baru dijadikan celah bagi pihak yang ingin memproleh keuntungan. Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diharapkan mampu membawa perubahan yang signifikan dalam tujuan pemanfaatan segala kekayaan alam untuk dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Mekanisme kontrak yang berlaku selama Orde Baru kemudian berubah menjadi mekanisme perizinan, sehingga peran Negara dalam melaksanakan konsep hak menguasai Negara menjadi semakin nyata. Sistem penguasaan Negara terhadap kekayaan alam yang sebelumnya bersifat desentralistis kemudian kembali menjadi sentralistik, sehingga mengembalikan konsep hak menguasai Negara sesuai dengan maksud Founding Fathers.
Indonesia is a country with abundant natural resources potential.Pursuant to Article 33 paragraph (3) of the Constitution of Indonesia."Earth, water and all natural resources contained within Indonesian territory controlled by the State and used for the greatest prosperity of the people". Based on Article 33 paragraph (3) of the Constitution of Indonesiathen all the natural resources contained in the Indonesian territory may only be used to bring prosperity to the people of Indonesia. Although the potential of natural resources in Indonesia, whether mineral, coal and other natural resources are abundant, but the number turned out to be precisely the poverty rate increased. These discrepancies are caused by the management of natural resources both mineral and coal that is incompatible with the concept of tenure rights of the State that formulated by the Founding Fathers. The experience of Indonesia during the New Order period showed weak law enforcement in the field of mining, contracting mechanisms are put in place during the New Order period used as a loophole for those who want to profit. The enactment of act No. 4 of 2009 on Mineral and Coal Mining is expected to bring a significant change in the purpose of the utilization of all natural resources to be used for the greatest prosperity of the people. Contracting mechanisms that apply during the New Order then turned into a licensing mechanism, so that the State's role in implementing the concept of the right to master the State is becoming increasingly apparent. State control of the system to the natural resources that were previously decentralized nature and then back into a centralized, thus restoring the right to master the concept of the State in accordance with the intent of the Founding Fathers.
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ratna Mustafida
Abstrak :
ABSTRAK
Bahan bakar batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global, serta merupakan sumber terbesar emisi gas GHG (greenhouse gas) yang memicu perubahan iklim. Pada tahun 2026 diproyeksikan penggunaan batubara masih 50,4%, selain itu Indonesia telah menandatangani perjanjian Paris pada tahun 2015 Indonesia harus mengurangi emisi CO2 sampai 29% pada tahun 2030. Clean Coal Technologi yang ada saat ini adalah Ultra Supercritical (USC) dan Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC). Untuk mengetahui efisiensi dari kedua teknologi tersebut diperlukan pendekatan eksergi dalam analisisnya, analisis ekonomi diperlukan untuk menentukan kelayakan pembangunannya, serta harus diterima dari aspek lingkungan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa teknologi IGCC memiliki efisiensi eksergi lebih tinggi yaitu 41.51% sedangkan USC 33.71%, dengan jumlah batubara yang sama net power yang diproduksi sebesar 42 MW untuk IGCC dan 22 MW untuk USC. Dari segi ekonomi biaya investasi dan LCoE untuk teknologi IGCC dan USC secara berturut-turut (Rp 963,875,195,117; Rp 2,334/kWh) dan (Rp 309,489,207,487; Rp 2,993/kWh). Emisi CO2 yang dihasilkan setelah dilakukan capture pada IGCC sebesar 0.997 ton CO2/MWh dan USC sebesar 2.242 ton CO2/MWh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi IGCC merupakan teknologi pembangkit listrik yang lebih tepat untuk diterapkan di Indonesia
ABSTRACT
Coal fuel contributes 44% of total global CO2 emissions and is the largest source of GHG (greenhouse gas) emissions, which triggers climate change. In 2026, the composition of Indonesia's electricity production projected to be 50.4% using coal fuel. Indonesia has signed a Paris agreement in 2015 in which Indonesia must reduce CO2 emissions by 29% in 2030. Clean Coal Technology currently is Ultra Supercritical (USC) and Integrated Gasification Combined Cycle (IGCC). To find out the efficiency of the two technologies exergy approach is required in its analysis; economic analysis also needed to determine the feasibility of its development and accepted from environmental aspects. From the results, that IGCC technology has a higher exergy efficiency of 41.51% while USC 33.71%, with the amount of coal with the same net power produced at 42 MW for IGCC and 22 MW for USC. In terms of economic investment costs and LCoE for IGCC and USC technologies respectively (Rp. 963,875,195,117; Rp. 2,334 / kWh) and (Rp. 309,489,207,487; Rp. 2,993 / kWh). CO2 emissions produced after capture in IGCC technology are 0.997 tons CO2/MWh and USC of 2.242 tons of CO2/MWh. Therefore, it concluded that IGCC technology is a power generation technology that is more appropriate to applied in Indonesia.
2019
T53458
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herdhi Hermawan
Abstrak :
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan proyeksi permintaan listrik dan pemenuhannya menggunakan energi baru dan terbarukan (EBT) di Sulawesi Selatan. Proyeksi permintaan listrik didapatkan dari model time series berdasarkan data historisnya. Sedangkan penentuan pemenuhan listriknya didasarkan pada tiga skenario, yakni pemenuhannya hanya berasal dari EBT (skenario 1), EBT dan energi konvensional (skenario), dan berdasarkan pemenuhan bauran energy (skenario 3). Dua skenario pertama bertujuaan mendapatkan biaya energi listrik minimum (LCOE), sedangkan skenario 3 untuk mencapai proporsi energi terbarukan dalam bauran energi 23% pada tahun 2025. Hasilnya menunjukkan bahwa dari tahun 2017 sampai 2025 sektor umum menjadi sektor yang paling tinggi kenaikannya secara persentase (78%), sedangkan kenaikan secara nominal yang tertinggi adalah sektor rumah tangga (971 GWh). Secara total, ada penambahan sebesar 2.285 GWh (43%) permintaan listrik di Sulawesi Selatan. EBT yang tersedia di Sulawesi Selatan sudah dapat memenuhi target pemenuhan permintaan listrik dan bauran enegi dengan jenis EBT yang paling optimum adalah Hydropower dengan biaya sebesar USD 168.242.725
ABSTRACT
This study aims to determine electricity demand projections and fulfillment of using new and renewable energy (EBT) in South Sulawesi. Electric demand projection is obtained from the time series model based on historical data. Whereas the determination of electricity fulfillment is based on three scenarios, namely fulfillment only comes from EBT (scenario 1), EBT and conventional energy (scenario), and based on fulfilling the energy mix (scenario 3). The first two scenarios are getting minimum electricity costs (LCOE), while scenario 3 is to reach the proportion of renewable energy in the 23% energy mix in 2025. The results show that from 2017 to 2025 the public sector is the highest percentage increase (78 %), while the highest nominal increase is the household sector (971 GWh). In total, there is an addition of 2,285 GWh (43%) of electricity demand in South Sulawesi. EBT available in South Sulawesi has been able to meet the target of fulfilling electricity demand and the energy mix with the most optimum type of EBT is Hydropower at a cost of USD 168,242,725
2019
T53452
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andestian Wijaya
Bogor: Terbit Press, 2018
333.95 AND k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Brown, Lester R.
Washington: Overseas Development Council , 1974
333 BRO t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Barnett, Harold J.
Baltimore: John Hopkins Press, 1963
333 BAR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>