Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ratna Handayani
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang : Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan salah satu keganasan yang sering ditemukan di Indonesia dengan insiden 6,2/100 000 penduduk. Pemeriksaan serologik imunoglobulin A (IgA) terhadap viral capsid antigen (IgA-VCA) merupakan petanda tumor yang digunakan sebagai standar serodiagnostik karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap KNF. Titer antibodi IgA terhadap Epstein-Barr Virus (EBV) meningkat lebih dulu sebelum tampak tumor, dan titer pada usia ≤ 30 tahun lebih rendah daripada usia > 30 tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi ekspresi IgA pada jaringan biopsi KNF tidak berkeratin, tidak berdiferensiasi (WHO tipe 3) yang terinfeksi EBV pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan usia > 30 tahun. Bahan dan Metode : Studi potong lintang terhadap jaringan biopsi pasien KNF WHO tipe 3 yang terinfeksi EBV yang ditandai dengan positifitas EBER pada 13 pasien usia ≤ 30 tahun dan 20 pasien usia > 30 tahun, kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap IgA. Hasil dan pembahasan : Positifitas EBER ditemukan pada seluruh kasus KNF WHO tipe 3. IgA terekspresi pada epitel permukaan jaringan tumor dan terdapat positifitas ekspresi IgA sel plasma yang berbeda-beda di stroma sekitar jaringan tumor, dengan rerata pada kelompok usia ≤ 30 tahun lebih rendah dari kelompok usia > 30 tahun. Hasil uji t tidak berpasangan menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara ekspresi IgA sel plasma pada KNF WHO tipe 3 pada kelompok usia ≤ 30 tahun dan > 30 tahun dengan nilai p=0,025. Kesimpulan: Ekspresi IgA sel plasma disekitar jaringan tumor pada jaringan KNF WHO tipe 3 dipengaruhi oleh kelompok usia.
ABSTRACT Background : Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is one of the most frequent malignant tumors in Indonesia, with incidence rate 6.2 / 100 000. The IgA-VCA serologic examination is considered as a useful marker for early detection of NPC because its high sensitivity and specificity to NPC. IgA antibody titer to Epstein-Barr Virus (EBV) increased before the tumor arise, and it lower in ≤ 30 years old patients compare to > 30 years old patients. The aim of this study is to evaluated the expression of IgA in biopsy specimen of EBV infected undifferentiated NPC among both ≤ 30 and > 30 years old patients. Materials and methods : A cross-sectional retrospective study was performed in 13 young and 20 old groups of age of undifferentiated NPC. The EBER positive undifferentiated NPC was stained with IgA by immunohistochemistry, and then analized it between the two of age groups. Results : EBER positivity was found in all undifferentiated NPC. IgA was expressed in the normal surface epithelial submucous plasma cells and stromal plasma cells surounding the tumor mass in all cases of undifferentiated NPC with differented positivity. Statistical analysis with unpaired t test showed that IgA expression is significantly lower in ≤ 30 years old patients than > 30 years old patients with p value 0,025. Conclusion : IgA is expressed in plasma cell cytoplasm in the stromal site of undifferentiated NPC and influenced by age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T33121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winnugroho Wiratman
Abstrak :
Latar Belakang. Sebagian besar pasien kanker akan mengalami neuropati. Gejala neuropatik yang muncul akibat kemoterapi dapat menghambat proses terapi. Cisplatin merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan dalam terapi kanker nasofaring (KNF) dan banyak menyebabkan neuropati perifer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran neuropati pada pasien KNF yang mendapat kemoterapi di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode. Subyek penelitian ini adalah pasien KNF yang dikemoterapi dengan cisplatin kurang dari 6 bulan sebelum pemeriksaan, baik tunggal, sebagai kemoadjuvant maupun kombinasi dengan kemoterapi lain yang tidak menyebabkan neuropati perifer. Pasien Diabetes Mellitus serta gangguan neurologis sebelumnya disingkirkan dari penelitian. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik neurologis, dan elektroneurografi (ENG). Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain potong lintang. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Februari hingga Mei 2013. Hasil. Sebanyak 100 subyek penelitian yang terdiri dari 81 subjek laki-laki dan 19 subyek perempuan diikutsertakan dalam penelitian ini. Usia dari subjek penelitian berkisar antara 30-60 tahun. Didapatkan 76% subjek mengalami neuropati, 51 subjek diantaranya mengalami neuropati ENG, 25 subjek mengalami neuropati secara klinis dan ENG. Didapatkan neuropati sensorik 82.89%, neuropati motorik 80,26%, dan 51,32% mengalami neuropati otonom. Berdsarkan tipenya 89,47% mengalami degenerasi aksonal dan tidak satupun mengalami yang mengalami demielinisasi murni. Secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan dosis dengan kejadia neuropati secara klinis (masing-masing p < 0,05). Kesimpulan. Telah didapatkan yang mendapat kemoterapi cisplatin di RSUPN Cipto Mangunkusumo termasuk tinggi yaitu sebesar 76%, dan hanya 25% yang mengalami gejala neuropati secara klinis. Lebih dari setengah (51%) pasien mengalami neuropati subklinis prevalensi neuropati perifer. Neuropati sensorik merupakan neropati paling banyak terjadi. Hampir semua pasien yang mendapat kemoterapi cisplatin mengalami neuropati aksonal. Usia lebih tua dan dosis total yang lebih besar merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi neuropati pada pasien KNF yang mendapat kemoterapi cisplatin ......Background. The majority of cancer patients will experience neuropathy. Neuropathic symptoms arising from chemotherapy can inhibit the therapeutic process. Cisplatin is the most widely used chemotherapy in the treatment of nasopharyngeal cancer (NPC) and the many causes of peripheral neuropathy. This study aims to describe the neuropathy in NPC patients who received chemotherapy in Cipto Mangunkusumo and the factors that influence it. Method. The study subjects were NPC patients whose chemotherapy with cisplatin less than 6 months before the examination, whether single, as kemoadjuvant or in combination with other chemotherapy that does not cause peripheral neuropathy. Diabetes Mellitus and patients with neurological disorders previously excluded from the study. Anamnesis, neurological physical examination, and elektroneurografi (ENG) were done. The study was conducted using a cross-sectional design. The data was collected between February and May 2013. Results. A total of 100 study subjects consisted of 81 male subjects and 19 female subjects were included in this study. Age of study subjects ranged from 30-60 years. There were 76% of the subjects had neuropathy, 51 subjects had neuropathy based on ENG only, 25 subjects based on clinical and ENG. There were 82.89% had sensory neuropathy, 80.26% had motor neuropathy, and 51.32% had autonomic neuropathy. Most (89.47%) had axonal degeneration and none had the experience of pure demyelination. There is a statistically significant relationship between age and dose with the incidence of clinical neuropathy (each p <0,05). Conclusion. The prevalence of neuropathy in cisplatin chemotherapy in NPC patients in Cipto Mangunkusumo was as high as 76%, and only 25% who experienced clinical symptoms. More than half (51%) patients had subclinical neuropathy of peripheral neuropathy. Older age and greater total doses are all factors that influence the KNF neuropathy in patients receiving cisplatin chemotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nimim Putri Zahara
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Angifibroma nasofaring belia ANB adalah tumor fibrovaskular yang jarang, secara histologi bersifat jinak tetapi secara klinis ganas dengan angka kekambuhan yang masih tinggi. Angka kekambuhan pada tumor ini banyak dihubungkan dengan karakteristik tumor yang dapat dilihat dari sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat vascular endothelial growth factor VEGF . Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan ANB sebagai upaya untuk memprediksi adanya kekambuhan. Metode: penelitian dengan rancangan observasional pendekatan kohort retrospektif yang mengevaluasi karakteristik sosiodemografi, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat VEGF terkait kekambuhan. Hasil: didapatkan 38 jumlah kasus ANB, dengan kasus kambuh sebanyak 11 kasus dan tidak kambuh sebanyak 27 kasus. Insiden ANB terbanyak pada usia dekade kedua 12-30 tahun dengan rerata 15,8 tahun. Keseluruhan kasus berjenis kelamin laki-laki. Sumbatan hidung dan epistaksis merupakan keluhan utama pada semua kasus. Kekambuhan banyak ditemukan pada kasus usia muda, dengan onset cepat, stadium lanjut dan intensitas pewarnaan VEGF tinggi. Proporsi kekambuhan tidak berbeda secara statistik antara karakteristik sosiodemografik, klinis, gambaran radiologi, teknik pembedahan dan derajat ekspresi VEGF. Onset, massa tenggorok, stadium, embolisasi dan intensitas perwarnaan VEGF secara klinis mempunyai perbedaan yang bermakna. Pada penelitian ini embolisasi sebelum pembedahan tidak menurunkan angka kekambuhan. Kesimpulan: proporsi kekambuhan ANB sangat dipengaruhi oleh adanya residu tumor pasca operasi. Semakin bersih tumor diangkat, angka kekambuhan akan semakin menurun
ABSTRACT
Background Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma JNA is rare of fibrovascular tumor, histologically benign but clinically malignant with high recurrency rate. The recurrency rate of JNA was influenced by its characteristics that can be seen from sociodemografical, clinical, radiological, surgical and vascular endothelial growth factor VEGF . Objective the aim of this study is knowing the relation between sociodemographic, clinic, radiologic, surgical technique and expression of VEGF characteristic that influenced recurrency to predict the recurrency of JNA. Methods observasional design with retrospective cohort approach to evaluate the characteristic of sociodemografical, clinical, radiological, surgical technique, and expression of VEGF of JNA and the connection with recurrency. Result 38 cases, with 11 recurrence cases and 27 cases with disease free survival. The incidence of JNA mostly found in second decade 12 30 year with mean age 15,8 year old. All of the cases were male. Nasal blockage and epistaxis were the most common complaint in all cases. Recurrency rate is higher in young age, early onset, late stage and high expression of VEGF. Proportion of recurrency was not statistically significant among characteristics. Onset, oropharyngeal mass, stage, preoperative embolization and intensity of VEGF have clinically difference. In this study, preoperative embolization does not decrease recurrency rate. Conclusion the JNA rsquo s recurrence proportion was influenced by the residual tumor. The less residual tumor will dicrease the recurrency.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58668
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Hidayasri
Abstrak :
Penilaian karakteristik asimetris dinding nasofaring pada karsinoma nasofaring KNF pasca terapi memiliki implikasi penting pada penatalaksanaan pasien, tetapi seringkali sulit untuk mendiferensiasikan antara lesi tumoral dan non tumoral menggunakan CT scan/ MRI konvensional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui titik potong nilai ADC antara lesi tumoral dan non tumoral pada follow up MRI pasca terapi. Penelitian merupakan studi kesesuaian dengan pendekatan potong lintang antara nilai ADC dan histopatologi. Penelitian menggunakan data primer 21 pasien KNF pasca kemoradioterapi yang melakukan pemeriksaan MRI nasofaring di Departemen Radiologi RSUPN-CM pada Juni 2016-Oktober 2017. Range of interest dan pemetaan ADC nilai b 1000 s/mm2 diletakkan pada komponen solid. Rerata jarak terapi dan evaluasi MRI pasca terapi adalah 9,3 bulan. Rerata nilai ADC lesi tumoral 0,7 x 10-3 mm2/s SD 0,05 dan non tumoral 1,2 x 10-3 mm2/s SD 0,3. Pada uji independent T-test menunjukkan perbedaan bermakna secara statistik antara rerata nilai ADC tumoral dan non tumoral. Pada analisis ROC nilai ADC didapatkan titik potong 0,86 x 10-3 mm2/s AUC= 0,97; SE= 0,04 dengan nilai sensitivitas 100 dan spesifisitas 93,8. Berdasarkan uji McNemar nilai p> 0,005 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara temuan ADC dan histopatologi. Terdapat kesesuaian yang sangat kuat antara nilai ADC dan histopatologi untuk membedakan lesi tumoral dan non tumoral KNF pasca terapi. Pemeriksaan MRI sekuens DWI-ADC dapat digunakan untuk memberikan informasi tambahan pada kasus follow up KNF pasca terapi. ......Assessment of nasopharyngeal wall asymmetric characteristics of post treatment nasopharyngeal carcinoma NPC has important implication for management of the patients, but it is often difficult to distinguish between non tumoral and tumoral lession by using CT scan conventional MRI. The objective is to assess ADC cut off values between tumoral and non tumoral lession on MRI follow up after treatment. This research is a conformity study with cross sectional approach between ADC values compared with histopathology. This study used primary data of 21 post chemoradiotherapy NPC patients, who were examined nasopharnygeal MRI at Radiology Departement of Cipto Mangunkusumo Hospital in June 2016 October 2017. Range of interest ROI and ADC mapping b value 1000 s mm2 were placed on solid components. Mean interval between therapy and post treatment MRI was 9.3 months. Mean ADC values of tumoral lesions were 0.7 x 10 3 mm2 s SD 0.05 and non tumoral lession 1.2 x 10 3 mm2 s SD 0.3 . Independent T test showed statistically significant difference between the mean ADC values in tumoral and non tumoral lesions. In ROC analysis, ADC cut off value was obtained 0,86 x 10 3 mm2 s AUC 0,97 SE 0,04 with 100 sensitivity and 93,8 specificity. Based on the McNemar test p 0,05 , there was no significant difference between ADC findings and histopathology. There is very strong suitability between ADC and histopathologic values to differentiate tumoral and non tumoral lession in post treatment NPC. DWI ADC can be used to provide additional information on follow up post treatment NPC.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murni Asih
Abstrak :
Latar Belakang: Virus Epstein~Barr (EBV) merupakan virus dsDNA dan termasnk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti karsinoma nasofaring (KNF). Pada penderita KNF, gen EBV yang diekspresikan adalah gen lain, yaitu EBERs, EBNAI, LMP 1, LMPZA, dan LMPZB. Dari kesemua gen tersebuf., LMPI dianggap yang berperan penting dalam proses onkogenesis dan transformasi limfosit B oleh EBV. Dan beberapa Studi epidemiologi, ditemukan adanya Varian khusus pada gen LMP] berupa deiesi 30 pb pada bagian C-terminal. Di Indonesia, hingga saat ini belum diketahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMPI pada penderita KNF dan bila ditemukan, apakah delesi tersebut berhubungan dengan patogenesis KNF. Tujuan: Mengetahui apakah ditemukan delesi 30 pb gen LMP] EBV pada penderita KNF di Indonesia, dan bila ditemukan berapa frekuensi delesi 30 pb gen LMPI EBV pada penderita KNF di Indonesia, Serta mengetahui hubungan antara delesi tersebut dengan status patologi KNF. Metode: Identifikasi delesi 30 pb gen LMPI Vi1'l.lS Epstein-Barr dilakukan dengan metode nested PCR dan hasil PCR divisualisasi dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 2%. Hasil amplifikasi bempa pita DNA berukuran 162 pb untuk gen LMPI yang tidak mengalarni delesi 30 pb, sedangkan pita DNA berukuran 132 pb untuk gen LMP! yang mengalami delesi 30 pb. Hasil: Dari 100 sampel penderita KNF yang diidentifikasi, 29 sampel mengalami delesi 30 pb, 71 sampel tidak mengalami delesi 30 pb, dan 21 sampel mengalami coexislence varian. Kesimpulan: Di Jakarta, varian EBV berupa delesi 30 pb gen LMPI ditemukan dalam frekuensi yang rendah (24%; 29/ 121) bila dibandingkan varian yang tidak mengalami delesi 30 pb (76%; 92/121). Pada penelitian ini juga ditemukan adanya coexisrence Varian gen LMPL Berdasarkan uji Fisl1er's Exact, didapat bahwa nilai p > 0,05, berarti tidak ada hubungan bermakna antara delesi 30 pb gen LMPI dengan status patologi KINF.
Background: Epstein-Barr virus (EBV) is a dsDNA virus, member of Herpes (Herpesviridae) family. EBV infection may be associated with several diseases, one of them is nasopharyngeal carcinoma (NPC). NPC patients expressed EBV latent gene, they are EBERS, EBNA1, LMPI, LMPZA, and LMPZB. LMPI, in particular play important roles in epithelial oncogenesis and B lymphocyte transformation. Several epidemiological studies found specific variant of LMPI gene detectable as 30-bp deletion of C-tenninal region of LMP] gene. There is not any report of 30-bp LMP] gene on NPC patients so far and it is still unclear whether the deletion is associated with NPC pathogenesis. Purpose: (1) To understand the existence of the deletion of 30-bp LMP1 gene in Indonesia NPC patients. (2) To determine the frequency of 30-bp deletion of LMP1 gene and its association with pathological status. Method: Identification of 30-bp deletion in LMPI gene was done by nested PCR method. The PCR result was investigated by means of electrophoresis in 2% agarose gel. The results were determined as 162 bp of DNA band of LMPI gene (without 30-bp deletion) and 132 bp of DNA band of LMP1 gene (with 30-bp deletion). Results: Among 100 identified samples, 29 samples found to have 30-bp deletion, 71 samples doesn?t have 30-bp deletion and 21 samples carry coexistence variants. Conclusion: In Indonesia, especially in Jakarta, EBV variant of 30-bp deletion of LMP1 gene was found in low frequency (21-l»%; 29/ 121) in comparison with variant without deletion (76%; 92/121). There are variant of LMPI gene mixtures (coexistence with and without deletion). Analysis of data using Fisher°s Exact test (p>0,05) showed that there is not significant relationship between 30~bp deletion of LMPI gene and NPC pathological status.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32888
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raissa Edwina Djuanda
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Ayu Mulansari
Abstrak :
Latar Belakang: Kondisi besi berlebih, dengan feritin dan saturasi transferin sebagai surrogate marker, akan menimbulkan oksigen radikal bebas (ROS) yang menyebabkan stress oksidatif. Malondialdehid (MDA) merupakan ROS yang terbentuk dari peroksidase lemak sedangkan (manganese)superoksid dismutase (MnSOD) sebagai enzim yang mengubah radikal bebas oksigen menjadi oksigen biasa. Transfusi darah sering digunakan untuk mengatasi anemia pada kanker, namun juga berpotensi meningkatkan beban besi pada tubuh. Penelitian ini melihat peran transfusi darah terhadap feritin serum dan saturasi transferin serta kaitannya dengan stres oksidatif pada pasien kanker nasofaring. Tujuan: Mengetahui peranan transfusi sel darah merah (SDM) dalam kaitannya dengan perubahan kadar feritin serum dan saturasi transferin serta korelasinya dengan stress oksidatif pada pasien kanker nasofaring (KNF) yang menjalani kemoradiasi. Metode: Studi kohort prospektif. Pengambilan data dilakukan di klinik Hematologi-Onkologi Medik IPD RSCM Jakarta secara consecutive sampling pada bulan November 2015-Februari 2016. Pasien KNF yang menjalani kemoradiasi diperiksakan kadar feritin serum, saturasi transferin, MDA, MnSOD pra dan pasca terapi. Dilakukan pencatatan jumlah transfusi sel darah merah yang diterima. Analisa data menggunakan T-test/Mann Whitney dan uji korelasi Spearman. Hasil: Total 38 pasien yang menjalani kemoradiasi, usia rata-rata 47 tahun, laki-laki dan perempuan 4:1. Sebanyak 18 pasien (47,4%) menerima transfusi sel darah merah selama pengobatan. Didapatkan peningkatan rerata saturasi transferin sebesar 15,1% (p=0,016) dan MDA sebesar 1,368 (p=0,001) pada pasien yang mendapatkan transfusi SDM dibandingkan yang tidak mendapatkan transfusi. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada feritin serum (p= 0,35) dan MnSOD (p= 0,496) antara yang mendapatkan transfusi SDM dengan yang tidak. Didapatkan korelasi lemah antara feritin serum dengan MDA dan MnSOD (r=0,239 dan r= -0,374) dan tidak didapatkan korelasi antara saturasi transferin dengan MDA dan MnSOD (r=0,191 dan r=0,027). Simpulan: Terdapat peningkatan rerata saturasi transferin dan MDA pada pasien yang mendapatkan transfusi SDM. Tidak terdapat peningkatan feritin serum ataupun penurunan MnSOD. Terdapat korelasi yang lemah antara peningkatan kadar feritin serum dengan MDA dan MnSOD pada pasien KNF pasca kemoradiasi dan transfusi sel darah merah. Tidak terdapat korelasi antara kadar saturasi transferin dengan MDA dan MnSOD pada pasien KNF yang mendapat transfusi sel darah merah. ......Background: The presence of free iron in the circulation will induce the formation of reactive oxygen species (ROS) which result in cell injury. The free radical formed and cause lipid peroxidation which in result cause formation of malondialdehyde (MDA). (manganese)Superoxide Dismutase (MnSOD) as antioxidant enzyme have anti tumor activity and the level often found low in cancer patient. Ferritin and transferrin saturation are predictor of iron overload. Blood transfusion is the therapy often used to resolve anemia in cancer, but also increase iron burden in body. This study focus on the role of blood transfusion to serum ferritin and transferrin saturation and its correlation with oxidative stress in patients with nasopharyngeal cancer (NPC). Objective: To know the role of red blood cell (RBC) transfusion and its relations to serum ferritin and transferin saturation level and their correlation with oxidative stress in nasopharyngeal cancer patients undergoing chemoradiation. Methods: Prospective study. Sample obtained with consecutive sampling method collected in the Hematology-Medical Oncology Clinic in Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta November 2015 to February 2015. NPC patients undergoing chemoradiation, blood examination performed to measure ferritin, saturation transferrin, malondialdehyde, MnSOD before and after treatment. During treatment the amount of transfusion received is recorded. Data analysis done using T-test/Mann Whitney and Spearman correlation test. Results: Total of 38 patients received chemoradiation, mean age 47,97 years old, proportion man compare woman is 4:1. During treatment 18 patients (47,4%) received red blood cell transfusion. Difference in mean found between transferrin saturation 15,1% (p=0,016) and MDA serum 1,358 nM (p=0,001) in patient receiving RBC transfusion compare to subject not receving transfusion. There are no significantly differences in serum ferritin and MnSOD level between both group. We found a weak correlation between raise of serum ferritin to the raise of MDA and the declining of MnSOD (r = 0,239 and r= -0,374). There are no correlation between transferin saturation with MDA nor MnSOD Conclusions : Increase in transferin saturation and MDA level found in NPC receiving RBC transfusion after chemoradiation. There is a weak correlation found between serum ferritin with MDA and MnSOD in nasopharyngeal cancer undergoing chemotherapy radiation therapy receiving RBC transfusion and no correlation between transferin saturation with MDA and MnSOD changes.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Idramsyah
Abstrak :
Karya ilmiah ini bertujuan memberikan gambaran analisis praktik residensi Keperawatan Medikal Bedah selama 2 semester tentang penerapan teori model keperawatan dalam studi kasus, dan analisis hasil penerapan tindakan mandiri keperawatan berbasis pembuktian ilmiah evidence based nursing practice , serta analisis hasil inovasi kelompok terhadap fenomena yang ditemui selama praktik residensi. Penerapan peran perawat profesional dalam proses asuhan keperawatan dengan menggunakan teori adaptasi Roy dilakukan pada kasus karsinoma nasofaring dan berbagai kasus keganasan lainnya terbukti bermanfaat membantu dan meningkatkan kemampuan adaptasi pasien terhadap stimulus internal dan esternal yang dialami. Kegiatan aplikasi tindakan mandiri keperawatan berdasarkan pembuktian ilmiah pengunaan madu terbukti bermanfaat untuk mencegah dan mengatasi mukositis oral akibat kemoterapi dan atau radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring. Pada proyek inovasi manajemen edukasi pada pasien kanker tiroid yang menjalani terapi I-131 di ruang isolasi radioaktif terlaksana dengan memfasilitasi pembuatan multi media edukasi, peningkatan pengetahuan dan keterampilan perawat dalam manajemen edukasi. Peran perawat profesional dapat dijalankan dalam setiap tahap kegiatan praktik residensi keperawatan medikal bedah peminatan onkologi secara holistik dan komprehensif meliputi upaya promotif, reventif, kuratif, dan rehabilitatif.
This paper aims to provide an overview of medical surgical nursing residency residency proces for 2 semesters on the application of nursing model theory in case study, and analysis of the results of the implementation of evidence based nursing, and analysis of group innovation results on the phenomenon encountered during residency practice. The application of the role of professional nurses in the nursing care process using Roy 39 s adaptation theory was done in the primary case of nasopharyngeal carcinoma and other malignant cases proved helpful in improving the adaptability of the patient to the internal and esternal stimuli experienced. The activity of self directed nursing action application based on scientific evidence that use of honey proved useful to prevent and overcome oral mucositis due to chemotherapy and or radiotherapy in patients nasopharyngeal carcinoma. In an educational management innovation project in thyroid cancer patients undergoing I 131 therapy in radioactive isolation room was done by facilitating the making of multi media education, improvement of nurse knowledge and skill in education management. The role of professional nurse can be carried out in every stage of medical residency practice of medical surgery oncology surgery on holistically and comprehensively include promotive, reventif, curative and rehabilitative.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fadli
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini mengevaluasi perencanaan terapi radiasi kasus nasofaring dengan teknik Intensity Modulated Radiation Therapy IMRT dan Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT menggunakan algoritma Analytical Anisotropic Algorithm AAA dan Acuros External Beam AXB versi 13.0.01. Penelitian dibagi menjadi tiga yaitu 1 analisa dose volume histogram DVH di TPS, 2 verifikasi dosis fantom slab memakai film Gafchromic EBT3 dan bilik ionisasi CC13, dan 3 verifikasi fantom rando memakai film Gafchromic EBT3 dan Thermoluniscence Dosimeter TLD . Analisa DVH menghasilkan penyimpangan AXBDm dan AXBDw terhadap AAA pada PTVtulang sebesar -1.5 dan 2.0 , sedangkan pada organ sehat inner ear dan mandibula penyimpangan AXBDm dan AXBDw sebesar 8 . Conformity index AXBDm untuk IMRT dan VMAT adalah 0.58 dan 0.61, sedangkan homogeneity index AAA adalah 0.06 dan 0.05. Deviasi pengukuran dengan slab homogen dan inhomogen menunjukkan Acuros lebih kecil bacaan deviasinya dibandingkan AAA, dengan nilai deviasi 0.10 - 7.78 . Verifikasi dosis titik dengan fantom rando menunjukkan hasil yang acak, nilai deviasi menunjukkan pola yang tidak bisa diprediksi terhadap algoritma mana yang akan menghasilkan deviasi lebih kecil. Pengukuran nilai gamma dengan kriteria 7 /4mm dihasilkan passing rate gamma index untuk IMRT pada AAA, AXBDm, dan AXBDw sebesar 52.7 , 90.7 , dan 63.66 , sedangkan VMAT sebesar 61.51 , 90.09, dan 92.67 .
ABSTRACT
The purpose of this study to evaluate the radiation therapy planning techniques nasopharyngeal case with Intensity Modulated Radiation Therapy IMRT and Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT using algorithm Anisotropic Analytical Algorithm AAA and Acuros External Beam AXB version 13.0.01. The study was divided into three 1 the analysis of dose volume histogram DVH at TPS, 2 verification dose in slab phantom using film Gafchromic EBT3 and ionization chamber CC13, and 3 verification dose in rando phantom use film Gafchromic EBT3 and Thermoluminiscence Dosimeter TLD . DVH analysis resulted in deviations AXBDm and AXBDw to AAA on PTVbone amount 1.5 and 2.0 , whereas in healthy organs mandibula and inner ear and deviation of AXBDm to AXBDw up to 8 . Conformity index AXBDm for IMRT and VMAT is 0.58 and 0.61, while AAA homogeneity index is 0.06 and 0.05. Deviation measurements with homogeneous slab and inhomogen Acuros readings indicate the deviation compared to AAA, with a deviation 0 10 7.78 . . Point dose verification with fantom rando shows random results. Gamma value measurement criteria of 7 4mm generated gamma passing rate index for IMRT for AAA, AXBDm, and AXBDw was.7 , 90.7 and 63.66 , while VMAT was 61.51 , 90.09, and 92.67 .
2017
T48477
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marliana Sri Rejeki
Abstrak :
Latar belakang Sisplatin merupakan pengobatan utama untuk karsinoma nasofaring KNF , tetapi berpotensi menimbulkan nefrotoksisitas. Selain kadar BUN dan kreatinin serum, KIM-1 dan NGAL diduga cukup sensitif untuk mendeteksi nefrotoksisitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kadar KIM-1 dan NGAL dalam urin untuk mendeteksi gangguan fungsi ginjal pada pasien KNF stadium lanjut yang mendapatkan kemoterapi berbasis sisplatin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif. Subyek penelitian dibagi dalam 3 kelompok: pasien yang belum pernah terpapar dan yang sudah pernah mendapatkan kemoterapi berbasis sisplatin 75-100 mg/m serta pasien yang belum pernah mendapatkan kemoterapi sisplatin dan kemudian diberi sisplatin 40 mg/m 2 . Kadar KIM-1, NGAL dalam urin serta kadar BUN dan kreatinin dalam serum diukur pada saat sebelum dan sesudah mendapatkan sisplatin pada ketiga kelompok. Analisis statistik yang digunakan adalah uji ANOVA, uji Pearson, Spearman, Kolmogorov-Smirnov dan SPSS versi 22,0. Hasil: Terdapat perbedaan selisih kadar BUN yang bermakna antara sebelum dan sesudah diterapi pada ketiga kelompok p=0.0001 . Perbedaan selisih kadar NGAL dalam urin pada penelitian ini juga berbeda bermakna antara sebelum dan sesudah diterapi terhadap ketiga kelompok p=0,025 , tetapi ada perbedaan rerata pada sepasang kelompok yang bermakna hanya didapatkan pada kelompok yang belum pernah dikemoterapi 40 mg/m 2 dan kelompok yang sudah pernah diberi kemoterapi 75-100 mg/m 2 p=0,02. Perbedaan selisih kadar KIM-1 tidak bermakna pada ketiga kelompok p=0,275. Kesimpulan: Sisplatin menunjukkan akumulasi nefrotoksisitas yang tergantung pada dosis dose-dependent manner . Pengukuran kadar NGAL dalam urin dapat mendeteksi nefrotoksisitas tahap dini, tetapi belum bisa menggantikan peran BUN. Pengukuran kadar KIM-1 dalam urin tidak dapat mendeteksi gangguan fungsi ginjal. ...... Background: Cisplatin is the main treatment for nasopharyngeal carcinoma NPC with a potency of causing nephrotoxicity. In addition to serum BUN and creatinine levels, KIM 1 and NGAL levels is assumed to be quite sensitive in detecting nephrotoxicity. The study was aimed to evaluate urinary KIM 1 and NGAL level to detect kidney dysfunction in patients with advanced stage NPC who received cisplatin based chemotherapy. Method: The study was a cohort prospective study. Subjects were categorized into 3 groups, i.e. patients who had never received and who had received 75 100 mg m2 cisplatin based chemotherapy as well as those who had never received any cisplatin based chemotherapy and were subsequently received 40 mg m cisplatin. The levels of urinary KIM 1, NGAL and serum level of BUN and creatinine were measured before and after receiving cisplatin in the three groups. Statistical analysis used in our study were ANOVA, Pearson, Spearman, KolmogorovSmirnov test and SPSS version 22.0. Results: There was a significant difference of delta BUN level before and after treatment in all three groups p 0.0001 . Delta urinary NGAL level was also significantly different between before and after treatment in all groups p 0.025 however, a significant mean difference of a pair group was only found between those who never had 40 mg m 2 chemotherapy and those who had received 75 100 mg m 2 chemotherapy p 0.02 while delta KIM 1 level showed no significant difference in all three groups p 0.275. Conclusion: Cisplatin may cause accumulated nephrotoxicity, which has dosedependent manner. Measuring urinary NGAL level can detect an early stage of kidney dysfunction however, it still cannot replace the role of BUN. Measurement of urinary KIM 1 level cannot detect kidney dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>