Kondisi saat ini, kejahatan penyalahgunaan narkotika pada umumnya bersifat lintas negara, mengingat produsen, kurir, dan korban bisa berasal dari negara yang berbeda-beda. Perangkat hukum tentang narkotika yang ada telah cukup memadai untuk menanggulangi penyalahgunaan narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Namun tindak pidana narkotika tidak pernah surut, bahkan cenderung mengalami kenaikan. Salah satu daerah di wilayah hukum Provinsi Banten yang masuk dalam zona merah darurat narkotika adalah Kota Tangerang. Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, ditemukan 20 putusan Hakim dengan pelanggaran yang sama namun menjatuhkan putusan yang berbeda-benda (disparitas). Pada dasarnya disparitas dimungkinkan terjadi apabila adanya alasan yang jelas. Disparitas putusan tidak bisa dilepaskan dari adanya diskresi hakim dalam menjatuhkan hukuman, namun terjadinya disparitas putusan yang tidak dapat dihindarkan bertentangan dengan konstitusi, sebab berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum dalam penerapan hukumnya.
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui disparitas yang terjadi dalam putusan terhadap penyalahguna narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang, faktor penyebab hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang umumnya menjatuhkan pidana penjara terhadap para penyalahguna narkotika, dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika di Pengadilan Negeri Tangerang. Tipe penelitian menggunakan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Bahan penelitian terdiri dari bahan hukum primer, dan sekunder dengan teknik pengumpulan melalui wawancara dan studi kepustakaan yang dianalisis secara deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, terjadi disparitas putusan pada 20 kasus putusan yang dijadikan sampel penelitian. Pertama, Hakim sama-sama menjatuhkan pidana minimal dengan barang bukti shabu pada takaran yang berbeda. Kedua, faktor penyalahguna dipidana penjara diakibatkan karena dalam setiap dakwaan tidak terdapat tuntutan Terdakwa untuk direhabilitasi, Ketiga, pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan tindakan rehabilitasi tidak jelas, sebab dengan telah terbuktinya Terdakwa melanggar Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika dengan kondisi fakta dipersidangan yang tidak jauh berbeda, ada yang dipidana penjara, ada pula yang direhabilitasi, padahal secara umum syarat Terdakwa untuk dapat menjalani tindakan rehabilitasi sesuai SEMA tidak terpenuhi.
Kata Kunci : Disparitas, Putusan Hakim, Penyalahgunaan Narkotika
It is prevalent today that illicit narcotic abuse is a transnational crime as the producers, couriers and victims can be from a variety of countries. Laws related to narcotics have been sufficient to combat narcotic abuse, that is, Law No. 35 of 2009 on Narcotics. However, narcotic-related-crime rate has never reduced; in fact, it tends to rise.
One of regions under the authority of Province Banten which is categorized as red zone for acute narcotic abuse is Tangerang city. During the process of narcotic law enforcement in district court of Tangerang, 20 similar offences are found to be dropped with different verdicts (disparity). Basically, a disparity can occur for the legitimate reason. The disparity in the judicial verdict is strongly related to judicial discretion in sentencing. However, the disparity cannot contravene legal constitution since it potentially leads to inequality and legal insecurity in its application.
This study aims to analyze the disparities occurring in judicial verdicts against narcotic abuses in district court of Tangerang, the factors of judges’ verdicts, most of which are imprisonment for the defendants, and legal reasonings to decide on rehabilitation for the defendants. This study uses normative jurisprudence with the approach to laws and cases; research data are comprised of primary and secondary law sources, collected by interview and literature review analyzed using qualitative-descriptive approach.
This study reveals that disparities occurr to 20 verdicts, all the research samples. First, judge pronounced minimum sentence based on evidence of different dose of shabu/ extacy. Secondly, the defendants were sentenced to prison since there was no indictment for narcotic rehabilitation for the defendant. Lastly, judge’s legal consideration was not certain owing to the evidence that defendant’s action was in violation of Narcotics Act Article 127 verse (1) letter a jo. in essentially similar legal facts in courts in which ones were sentenced and ones were rehabilitated whereas generally the requirement for rehabilitation based on SEMA was not complied with.
Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta merupakan salah satu institusi penegakan hukum yang bertugas menangani penyelundupan narkoba melalui Bandara Soekarno-Hatta. Visualisasi terhadap peran bea dan cukai dalam menangani kasus penyelundupan narkoba memiliki unsur penggentarjeraan. Unsur tersebut dapat dianalisa menggunakan pendekatan kriminologi visual melalui berbagai foto Trophy shot Bea dan Cukai yang dipublikasi melalui berita online. Tulisan ini berfokus pada konteks visual, mengulas bagaimana visualisasi peran Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta dalam menangani kasus penyelundupan narkoba melalui foto trophy shot Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta yang dipublikasikan oleh portal berita online dalam kurun waktu 2017-2019. Kerangka berpikir dan analisis tulisan ini dilandasi pada pemikiran Stack (2010) dan Winters (2014) terkait karakteristik hukuman, konsep Trophy Shot yang dikemukakan oleh Linemann (2016), dan konsep image work policing. Karakteristik Hukuman yang dimaksud adalah Kepastian (certainty), Kelancaran (celerity), Keparahan (severity), dan Proporsionalitas. Penulis mengelompokkan foto trophy shot yang menggambarkan peran Bea dan Cukai Bandara Soekarno-Hatta dalam menangani penyelundupan narkoba ke dalam 4 jenis, yaitu Trophy shot saat petugas Bea dan Cukai menjalankan tindakan pemolisian pencegahan penyelundupan narkoba, Trophy shot barang bukti, Trophy shot pelaku penyelundupan narkoba, dan Trophy shot saat konferensi pers berlangsung. Hasilnya, Trophy shot yang memvisualisasikan peran Bea dan Cukai dalam menangani kasus penyelundupan narkoba dapat membangun citra tentang efek penggentarjeraan dan menggambarkan penerapan image work policing.
Soekarno-Hatta Airport Directorate General of Customs and Excise is one of the law enforcement institutions tasked with handling drug smuggling through Soekarno-Hatta Airport. Visualization of the role of Customs and Excise in handling drug smuggling cases has an element of general deterrence. These element can be analyzed using visual criminology approach through various trophy shot of Customs and Excise that published through online news. This paper focuses on the visual context, reviewing how the visualization of the role of the Customs and Excise of Soekarno-Hatta Airport in handling drug smuggling cases through a trophy shot of Customs and Excise of Soekarno-Hatta Airport that published by online news portals in the period 2017-2019. The thinking and analysis framework of this paper is based on the thought of Stack (2010) and Winters (2014) regarding the characteristics of punishment, the concept of the trophy shot that proposed by Linemann (2016), and the concept of image work policing. The characteristics of the punishment referred to are certainty, celerity, severity and proportionality. The Author grouped trophy shot photos that illustrate the role of Customs and Excise of Soekarno-Hatta Airport in dealing with drug smuggling into 4 types, namely (1) Trophy shots when customs and excise officers carry out policing measures to prevent drug smuggling, (2) Trophy shots of drug smugglers, (3) Trophy shots of evidence, and (4) Trophy shot during the press conference. As a result, the Trophy shot that visualizes the role of Customs and Excise in handling drug smuggling cases can build an image of the deterrence effects and illustrates the application of image work policing.
Tulisan ini mendeskripsikan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam pengambilan keputusan pada kasus penyalahguna narkotika di Pengadilan Negeri Jakarta periode 2015-2018. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama. Sebanyak 99 kasus dianalisis menggunakan software SPSS dan analisis tabulasi silang serta uji chi-square untuk mengidentifikasi faktor yang menentukan keputusan hakim pada kasus penyalahgunaan narkotika. Hasil statistik dianalisis menggunakan teori integrated complexity, prisma kejahatan dan teori penghukuman retributif. Hasil penelitian menunjukan bahwa tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), komposisi hakim dan saksi dokter menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan hakim. Penelitian ini berkontribusi sebagai masukan untuk para hakim dan aparat penegak hukum lainnya agar memiliki sudut pandang yang sama dalam menangani kasus penyalahguna narkotika, merehablitiasi penyalahguna narkotika yang memiliki adiksi dan pentingnya berpikir terintegrasi.
This paper describes the factors that are considered by judges in making decisions in cases of narcotics abuse in the Jakarta District Court for the 2015-2018 period. This research is a quantitative study that uses secondary data as the main data source. Total of 99 cases were analyzed using SPSS software and cross tabulation analysis and chi-square test to identify the factors that determine a judge's decision in narcotics abuse cases. Statistical results were analyzed using the theory of integrated complexity, the prism of crime and the theory of retributive punishment. The results showed that prosecutors 'demands, the composition of judges and doctor witnesses were factors that influenced the judges' decision. This research contributes as input for judges and other law enforcement officers to have the same perspective in handling cases of narcotics abusers, rehabilitating narcotics abusers who have addiction and the importance of integrated thinking.