Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Arminta Kinanti
"Munculnya era digital beserta perkembangan teknologi seharusnya didampingi oleh hukum yang memadai. Salah satu perkembangan yang dimaksud adalah munculnya Non-Fungible Token (NFT) sebagai objek yang diperjualbelikan pada blockchain. NFT merupakan hasil tokenisasi atau konversi suatu aset, yang kepemilikannya direpresentasi oleh token pada blockchain. Adapun aset yang dimaksud memiliki bentuk yang beragam, salah satunya karya seni yang dikonversi bentuknya menjadi token. Eksistensi NFT pada blockchain menimbulkan pertanyaan bagaimana perlindungan atas suatu karya yang dijadikan NFT berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penulisan ini akan menjawab bagaimana NFT atas suatu karya dapat dilindungi oleh undang-undang hak cipta di Indonesia, serta apakah peraturan di Indonesia mengenai aset kripto dibawah Bappebti dapat mengakomodir kegiatan NFT di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menggunakan studi dokumen peraturan perundang-undangan, penelusuran literatur, serta wawancara dari lembaga pemerintah untuk perolehan data. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Penulis sampai pada kesimpulan bahwa NFT bukan merupakan hal yang dilindungi hak cipta namun karya dalam NFT dapat dilindungi hak cipta. Disamping itu, peraturan mengenai aset kripto di Indonesia oleh Bappebti tidak dapat mengakomodir sepenuhnya tokenisasi aset sebagai NFT. Hal tersebut dikarenakan NFT yang belum diatur dan ditetapkan sebagai aset kripto, serta peraturan Bappebti sendiri yang tidak memperhatikan proses tokenisasi suatu karya menjadi token dalam blockchain.
The emergence of the digital era with technological developments should be accompanied by adequate laws. One of the developments is Non-Fungible Tokens (NFT) as objects that are traded on the blockchain. NFT is the result of tokenization or asset conversion, whose ownership is represented by a token on the blockchain. The assets themselves have various forms, one of which is works of art that are converted into tokens. The NFT’s existence on the blockchain raises the question of how a work that is made into an NFT is protected based on applicable laws and regulations. This paper will answer how the NFT of work can be protected by Indonesia’s copyright laws, and whether Indonesia's regulations on crypto assets under The Commodity Futures Trading Authority (CoFTRA/Bappebti)can accommodate NFT activities in Indonesia. This research was conducted by using a study of statutory regulations, literature researches, and interviews for data collection. The author concluded that NFT is not copyright protected but works in NFT can be copyrighted. In addition, the COFTRA’s regulation regarding crypto assets cannot fully accommodate asset tokenization as NFT. Since NFT has not been regulated and qualified as a crypto asset, CoFTRA's regulations do not cover the tokenization process of work into a token."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Naila Ashyla Azzahra
"Berkembangnya rasa ingin tahu manusia memunculkan inovasi di berbagai sektor yang juga melibatkan teknologi. Non-Fungible Token (NFT) lahir dari turunan teknologi blockchain, dan menjadi objek yang dapat ditransaksikan oleh masyarakat luas. NFT dan lapisan asetnya memberikan kemudahan bagi orang-orang yang tertarik dengan karya seni bentuk digital dengan memberikan keamanan dan nilai unik seolah-olah NFT tidak jauh berbeda dengan seni yang berbentuk tradisional. Namun, kemungkinan transaksi lintas negara dengan elemen asing telah menciptakan narasi di mana dalam beberapa kasus elemen hukum perdata internasional dapat mengatur transaksi NFT. Tulisan ini akan menganalisis dan menjawab bagaimana NFT dan karya di dalamnya dapat memperoleh perlindungan hukum bahkan tanpa kerangka hukum yang ada menyebut tentang NFT secara eksplisit, dan bagaimana hukum perdata internasional mengatur transaksi NFT. Penelitian ini dilakukan dengan mengkaji literatur, undang-undang terkait yang sudah ada sebelumnya, dan dokumen hukum lain yang ada dan terkait dengan topik tersebut. Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun tanpa peraturan yang saat ini mencakup NFT, aset yang mendasarinya masih dilindungi oleh undang-undang tentang hak cipta yang ada di seluruh dunia dan berbagai negara. Selain itu, hukum perdata internasional dapat mengatur transaksi dengan menggunakan beberapa teori terkait. Kemungkinan adanya sifat asing dalam diri para pihak menjadi salah satu faktor penghubung terkuat yang menjadikan transaksi NFT dapat menjadi kasus hukum perdata internasional. Jika tidak ada pilihan hukum tentang transaksi oleh para pihak, maka hukum dipilih secara diam-diam dengan menilai pihak mana yang memiliki hubungan terbesar dengan transaksi tersebut, dalam hal ini penjual NFT memiliki karakteristik hubungan terbesar dalam transaksi tersebut.
The development of human’s curiosity led to innovation in various sector where technology was also involved. Non-Fungible Token (NFT) was born from the derivatives of blockchain technology, and became a transactable object. NFT and its layers of assets brings easiness for people who are interested in digital form of artworks as it gives reassurance and unique value as if it was a traditional form of arts. However, the possibilities of cross border transactions with foreign elements have create a narrative where in some cases a private international law elements could regulate an NFT transaction. This paper will analyze and answer how can NFT and the underlying assets within can gain legal protection even without existing legal framework that explicitly mentioned about NFT, and how does private international law regulate an NFT transaction. This research was conducted by examining literatures, related preexisting laws, and other existing legal documents that is in relation with the topic. The research came into a conclusion that even without any regulations that currently cover the NFT, underlying assets is still protectable with existing laws regarding copyright throughout the world. In addition, private international law could regulate the transaction by using several theories. The possibilities of the existence of foreign nature within the parties become one of the strongest connecting factors that determines an NFT transaction can be a private international law case. If there is no choice of law regarding the transaction by the parties, then the laws were chosen tacitly by judging which party has the biggest connection to the transaction, in this case, an NFT seller has the biggest characteristic connection within the transaction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Nathania Alifiani Prameswari Larasati
"Sejak tahun 2021, Non-Fungible Token (NFT) menjadi pusat perhatian dunia, berbagai pihak mulai terjun ke dalam industri NFT, baik sebagai pencipta maupun pembeli. NFT dapat dianggap sebagai sebuah bukti kepemilikan seseorang atas sebuah karya seni digital, yang memiliki nilai jutaan hingga triliunan rupiah. Meskipun NFT terlihat aman dikarenakan disimpan dalam sebuah blockchain, tetapi NFT nyatanya memiliki berbagai risiko. Sudah banyak ditemukan kasus pencurian dan kehilangan NFT yang menyebabkan terjadinya kerugian bagi pencipta dan pembeli NFT. Dengan nilai yang dimiliki oleh NFT, maka diperlukan suatu mekanisme pengalihan risiko, seperti asuransi, untuk dapat melindungi pencipta maupun pembeli NFT dari kerugian-kerugian yang mungkin akan terjadi. Oleh karena itu, skripsi ini akan membahas dan menganalisis mengenai risiko yang dimiliki NFT, bagaimana peraturan perundang-undangan perasuransian serta teori hukum asuransi mengatur mengenai objek asuransi, dan apakah NFT dapat dijadikan sebagai objek dalam perjanjian asuransi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa NFT dapat diasuransikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, UU No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, serta teori hukum asuransi yang berlaku.
Since 2021, Non-Fungible Token (NFT) has been the center of attention of the world, many companies and individuals entered the NFT industry, as a creator or as a buyer. NFTs can be considered as proof of ownership of a digital work of art, which values for millions to trillions of rupiah. Although NFTs look safe because they are stored inside a blockchain, NFTs still possess various risks. There have been cases of theft and loss of NFTs which have caused losses to creators and buyers of NFTs. With the value possessed by NFTs, there must be a risk transfer mechanism, such as insurance, to be able to protect creators and buyers to avoid losses that might occur. Therefore, this thesis will discuss and analyze risks owned by NFTs, how Indonesian insurance regulations and insurance law theories regulates insurance objects, and whether NFTs can be an object of an insurance agreement. Based on the research conducted, it can be concluded that NFTs can be insured based on Indonesian Code of Business Law, Law No. 40 Year 2014 on Insurance, and based on existing insurance law theories."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Darwin Setiawan
"Perkembangan teknologi informasi telah membantu masyarakat dunia dalam berbagai lini kehidupan, termasuk bagi pelaku seni yang memiliki permasalahan dalam karya seninya. Dengan adanya teknologi, pelaku seni saat ini telah dimudahkan karena dapat memasarkan hasil karyanya ke seluruh dunia dengan mengubahnya menjadi token yang dapat diperdagangkan atau dikenal dengan istilah non-fungible token. Non-fungible token telah membantu para pelaku seni untuk dapat menjual, mengkomersilkan, dan memperdagangkan hasil seninya termasuk dengan komunitas didalamnya. Media perdagangan terbesar yang mewadahi proses transaksi ini salah satunya adalah Opensea. Transaksi di e-commerce Opensea dilakukan dengan menggunakan mata uang kripto berupa ethereum. Namun demikian, proses transaksi tersebut berpotensi batal demi hukum apabila dilakukan oleh masyarakat Indonesia mengingat eksistensi kripto yang hanya diakui sebagai komoditas. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa transaksi NFT yang dilakukan dengan aset digital berupa mata uang kripto memiliki payung hukum karena dapat dianggap sebagai sebuah perjanjian tukar menukar benda digital. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian menggunakan alat berupa studi dokumen peraturan perundang-undangan, penelusuran literatur, yang didukung dengan wawancara terhadap narasumber dari instansi terkait dengan pendekatan kualitatif.
Information technology existence has helped the world community in various lines of life, including for artists who have problems in their works of art. With technology, it is easier to promote their work to the world by turning them into tradable tokens or known as non-fungible tokens. Non-fungible tokens have helped artists to sell, commercialize, and trade their art, including activating the community. One of the biggest e-commerce that accommodates this transaction process is Opensea. Opensea required the users to use cryptocurrency-ethereum to do the transaction. However, based on the Indonesia regulation, the transaction has potential to be null and void considering the existence of crypto in Indonesia only recognized as commodity. The results shows that NFT transactions as digital assets using cryptocurrency-ethereum on e-commerce Opensea has legal basis that the transaction can be recognized as an exchange system. This study uses a juridical-normative research method with statutory approach. Study of legal documents, literature research, and a series of in-depth interviews from related government institutions are used as tools of data collection with qualitative approach."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Mohamad Alen Aliansyah
"Non-Fungible Tokens (NFTs) rentan akan terkena serangan siber yang mana umumnya terjadi pada platform yang menyediakan layanan tersebut. OpenSea merupakan salah satu penyedia platform NFTs terbesar dan terkenal di dunia serta telah banyak digunakan oleh berbagai masyarakat termasuk di Indonesia. Namun, banyak pengguna platform tersebut menderita kehilangan aset NFTs akibat serangan siber. Akan tetapi, Ozone Networks, Inc selaku pengelola OpenSea tidak bertanggung jawab atas kerugian yang diderita para penggunanya akibat dari serangan siber yang tercantum pada bagian disclaimer di terms of service OpenSea. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan pendekatan perundang-undangan yang didasarkan kepada teori biaya sosial (social cost theory), keabsahan perjanjian, dan perlindungan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan klausul disclaimer khususnya pada huruf D pada terms of service OpenSea telah bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang memuat klausul eksonerasi. Sehingga, batal demi hukum. Meskipun telah melakukan langkah-langkah secara preventif dan represif, Ozone Networks Inc tetap bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi akibat hilangnya aset NFTs akibat serangan siber. Merevisi ketentuan
disclaimer pada terms of service OpenSea dan melakukan penyelesaian sengketa konsumen melalui Online Dispute Resolution (ODR) dapat menjadi pilihan yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Non-Fungible Tokens (NFTs) are vulnerable to cyber attacks generally occuring on platforms that provide these services. OpenSea is one of the largest and well-known providers of NFTs platforms in the world and has been widely used by various people, including in Indonesia. However, many users of the platform have suffered loss of NFT assets due to cyber attacks. But, Ozone Networks, Inc. as the provider of OpenSea is not responsible for the losses suffered by its users as a result of cyber attacks as listed in the disclaimer section of OpenSea's terms of service. This study uses a normative method with a statutory approach based on social cost theory, the validity of the agreement, and legal protection. The results of the study indicate that the provisions of the disclaimer clause, especially letter D in the terms of service of OpenSea, have contradicted Article 18 paragraph (1) letter a of Law no. 8 of 1999 concerning Consumer Protection which contains an exoneration clause. So, it is null and void. Despite taking preventive and repressive measures, Ozone Networks Inc. remains responsible for losses incurred due to the loss of NFTs assets due to cyber attacks. Revising the disclaimer provisions in OpenSea's terms of service and resolving consumer disputes through Online Dispute Resolution (ODR) can be the right choice to resolve these problems."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library