Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cindy Prastika
"Kematian neonatal merupakan indikator penting dalam kesehatan anak dan menjadi dasar untuk menilai derajat kesehatan negara. Kematian neonatal menyumbang 2/3 dari kematian bayi. Menurut WHO tahun 2020, 75% kematian neonatal terjadi di minggu pertama kelahiran dan sekitar 1 juta bayi meninggal dalam 24 jam pertama kelahiran. Upaya pencegahan kematian neonatal periode tersebut adalah dengan pelayanan kunjungan neonatal pertama (KN 1) yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pelayanan KN 1 dengan kematian neonatal di Indonesia. Desain penelitian dengan cross sectional menggunakan data SDKI 2017. Sampel penelitian adalah WUS (15-49 tahun) yang melahirkan anak terakhir lahir hidup dan bukan kelahiran kembar. Analisis penelitian menggunakan complex sample dengan uji regresi logistik faktor risiko. Hasil penelitian menunjukkan kematian neonatal sebesar 2,3%, cakupan KN 1 sebesar 81,8% dan bayi yang menerima KN 1 lengkap sebesar 35,4%. Terdapat interaksi antara pelayanan KN 1 dengan persalinan sesar terhadap kematian neonatal sehingga kematian neonatal pada KN 1 tidak lengkap dengan sesar berisiko 1,4 kali lebih besar dan kematian neonatal pada KN 1 tidak lengkap dengan bukan sesar berisiko 4,4 kali lebih besar dibandingkan dengan kematian neonatal pada KN 1 lengkap dan bukan sesar. Oleh karena itu, peningkatan kelengkapan pelayanan KN 1 sangat diperlukan dalam penurunan kematian neonatal, seperti penyediaan pedoman neonatal esensial, promosi kesehatan terkait pentingnya perawatan bayi baru lahir. Selain itu juga penting mendorong ibu untuk melahirkan di fasilitas kesehatan agar bayi baru lahir dapat dipantau.

Neonatal mortality is an important indicator of child health and basis for assessing country’s health status. Neonatal mortality accounts for 2/3 of infant mortality. According WHO in 2020, 75% of neonatal mortality occur in the first week after birth and about 1 million infants die in the first 24 hours after birth. To prevent neonatal mortality in that period were by providing first neonatal visit service. Study aims to determined the relationship between first neonatal visit service with neonatal mortality in Indonesia. Design study was cross sectional using 2017 IDHS data. The sample was women of childbearing (15-49 years) who gave birth the last child born alive and not twins. Research analysis used complex sample with logistic regression of risk factors test. The results showed that neonatal mortality was 2.3%, coverage of KN 1 was 81.8% and newborns who received complete KN 1 were 35.4%. There was an interaction between KN 1 services with caesarean delivery and neonatal mortality so that neonatal mortality in incomplete KN 1 with caesarean section is 1,4 times greater and neonatal mortality in incomplete KN 1 with non-caesarean section is 4,4 times greater than death neonatal in KN 1 is complete and not caesarean. Therefore, increasing the completeness of KN 1 services is very necessary in reducing neonatal mortality, such as providing essential neonatal guidelines, health promotion related to the importance of newborn care. In addition, it is also important to encourage matenal to delivery in health facilities so that newborns can be monitored."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meryanti Sri Wulandari
"Studi ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara status kelangsungan hidup bayi dan jarak kelahiran saudara sekandung. Metode ana1isis yang digunakan adalah analisis log linier dua tahap. Dalam menganalisis dibedakan antara sampel bayi laki-laki dan bayi perempuan, Data yang digunakan adalah riwayat kelahiran dari wanita pemah kawin usia 15-49 tahun dari SDK!2007. Unit analisis adalah anak dengan urutan kelahiran 2 ke atas yang dilahirkan tahun 2002-2006. Dalam studi ini variabel jarak kelahiran sebagal variabel antara sedangkan variabel sosioekonomi dan demografi lalanya sebagai variabel latar belakang. Hasil analisis menunjukkan bahwa jarak kelahiran dan kematian bayi; mempunyai hubungan yang sangat erat, dirnana kematian bayi kelahiran pertama mempengaruhi jarak kelahirnn sedangkan jarak kelahiran yang pendek akan meningkatkan risiko kematian bayi berikutnya. Selain itu para orang tua sudah tidak !agi mempersoalkan tentang jenis kelamin anak pertama mereka akan tetapi mereka masih memperhltungkan jika anak pertama mereka yang menlnggal waktu bayi adalah anak laki - laki. Kematian bayi kelahiran pertama yang berjenis kelamin laki - laki meningkatkan risiko pendeknya jarak kelahiran bayi barikutnya. Diantara faktr utama lain, jarak kelahirnn dengan anak sebelumnya mempunyai pengaruh terhedap kelangsungan hidup bayi kelahiran berikutnya paling tinggi. Orang tua dengan keterbatasan sumber daya ekanami memiliki kecenderungan untuk mendahulukan anak laki - laki dibandingkan dengan anak perempuan pada bayi kelahiran kedua dan seterusnya, Pengaruh pendidikan ibu terhadap kematian bayi lebih tinggi pada sampel bayi perempuan daripada sampel bayi Iaki - laki. Diduga ibu - ibu berpendidikan SLTP ke atas tidak lagi membedakan perlakuan antara anak laki maupun anak perempuan, Secara wnwn kecenderungan bayi yang lahir dengan urutan kelahiran ke 2 atau ke 3 untuk meninggal di usia bayi lebih rendah dibandingkan dengan bayi urutan kelahiran 4 ke atas. Tetapi ketika anak pertama mati di usia bayi, kecenderungan bayi laki­-laki urutan kelahiran 2 atau 3 untuk mati lebih tinggi bila dibandingkan dengan adik laki - laki mereka.

This study investigates the relationships between infant survival and birth interval of siblings. A two stage Jog linear model was applied in the analysis. The estimate the model separately for male and female children. This study utilizes the information eollected on complete birth history for each ever married women aged 15-49 years from Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS) 2007. The index children of this study are composed of second and higher order births that occurred during a 4 years period between 2002 until 2006. In this study, a birth interval as the proximate variable and the other five socioeconomic and demographic as the background variables. This study find that birth interval and infant mortality have a closer relationship, death of the first child impact on sh01ter birth interval meanwhile a short birth interval too increases the mortality risks of subsequent infant Parents no more concern about the gender of their first child but they still concern if their first child died in infancy was male. The risk of subsequent infant mortality is higher if the first child is a male and dead during infancy. Among the other main effects, the prior birth interval has a strongest effect on subsequent infant survival. Parents with resource constrained, tend to have favorable treatment of males children of the second or higher order children. The effect of mother education has a strongest impact on infant mortality at female than male children. This implies that mother with middle or high education no more distinguish between male or female children. At general, the risk of the second or third order children died on infancy is higher than the fourth or higher order children. But if the first child died on infancy, the risk of male infant of the second or third order to die is higher than their young male brothers."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T20970
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Amelia
"Latar belakang: Blalock-Taussig shunt (BT shunt) merupakan prosedur paliatif yang bertujuan untuk mempertahankan aliran darah ke paru dan mengatasi sianosis pada pasien penyakit jantung bawaan dengan penurunan aliran darah ke paru. BT shunt masih rutin dilakukan di negara berkembang sebelum pelaksanaan operasi definitif. Namun, faktor risiko morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt masih jarang dilaporkan di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor prediktor morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt.
Metode: Penelitian retrospektif ini menganalisis data rekam medis pasien pascaoperasi BT shunt di Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dari tahun 2016-2020. Data yang diambil berupa data demografis, faktor risiko preoperasi, saat operasi dan pascaoperasi, morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt.
Hasil: Jumlah subyek penelitian ini adalah 197 anak yang terdiri dari 107 (54,3%) lelaki dan 90 (45,7%) perempuan. Nilai median usia dan berat badan saat dilakukan operasi adalah 20 bulan (11 hari-32 tahun) dan 7,9 (2,7-42) kg. Diagnosis terbanyak adalah Tetralogi Fallot yang ditemukan pada 80 (40,6%) pasien. Komplikasi pascaoperasi tersering adalah penggunaan ventilator >24 jam yang terjadi pada 102 (52%) anak. Mortalitas pascaoperasi BT shunt adalah 20,8% (41 orang). Berdasarkan analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan lama penggunaan ventilasi mekanis adalah transfusi pascaoperasi (OR 7,1; IK 95% 3,7-13,7; p <0,0001) dan jenis tindakan elektif/emergency (OR 2,5; IK 95% 1,1- 5,8; p =0,034). Faktor risiko yang berhubungan dengan lama rawat di cardiac intensive care unit (CICU) adalah malnutrisi (OR 2,8; IK 95% 1,4-5,6; p =0,003) dan transfusi pascaoperasi (OR 5,17; IK 95% 2,9-11,2; p <0,0001). Faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas adalah BB <4,25 kg (OR 20,9; IK 95% 7,4-59,0; p <0,0001) dan jenis tindakan elektif/emergency (OR 3,6; IK 95% 1,3-9,5; p =0,016).
Kesimpulan: Mortalitas pascaoperasi BT shunt PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah 20,8%. Faktor risiko yang berhubungan dengan lama penggunaan ventilasi mekanis adalah transfusi pascaoperasi dan jenis tindakan elektif/emergency. Faktor risiko yang berhubungan dengan lama rawat di CICU adalah malnutrisi dan transfusi pascaoperasi. Sedangkan faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas adalah BB <4,25 kg dan jenis tindakan elektif/emergency.

Background: Blalock Taussig (BT) is a palliative procedure that preserves blood circulation to the lungs and prevents cyanosis in patients with congenital heart diseases and reduced pulmonary blood flow. BT shunt remains a routinely performed procedure in developing countries before the definitive correction. However, evidence on risk factors of morbidity, mortality, and long-term outcomes after this procedure is still scarce in Indonesia. Objective: To evaluate the predictive factors of morbidity, mortality, and long-term outcome after the BT shunt procedure.
Methods: This retrospective study evaluated the medical record data of postoperative BT shunt patients at Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, from 2016 to 2020. We assessed demographic data, preoperative, intraoperative, and postoperative characteristics, morbidity, mortality, and long-term outcomes.
Results: The subjects in this study were 197 children, 107 (54.3%) boys and 90 (45.7%) girls. The median values for age and body weight at the time of surgery were 20 months (11 days-32 years) and 7.9 (2.7-42) kg. The most prevalent diagnosis was the Tetralogy of Fallot, which was found in 80 (40.6%) patients. The most common postoperative complication was mechanical ventilator use >24 hours, performed in 102 (52%) children. Postoperative mortality was 20.8% (41 patients). Based on multivariate analysis, the risk factors associated with the duration of mechanical ventilation were postoperative transfusion (OR 7.1; CI 95% 3.7-13.7; p <0.0001) and elective/ emergency procedures (OR 2.5; CI 95% 1.1-5.8; p =0.034). Risk factors associated with cardiac intensive care unit (CICU) length of stay were malnutrition (OR 2.8; 95% CI 1.4-5.6; p =0.003) and postoperative transfusion (OR 5.17; 95% CI 2,9-11.2; p <0.0001). Risk factors associated with mortality were weight <4.25 kg (OR 20.9; CI 95% 7.4- 59.0; p <0.0001) and elective/ emergency procedures (OR 3.6; CI 95% 1,3-9.5; p =0.016).
Conclusion: The mortality rate after BT shunt at PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo was 20.8%. The risk factors associated with the duration of mechanical ventilation were postoperative transfusion and elective/ emergency procedures. On the other hand, risk factors associated with CICU length of stay were malnutrition and postoperative transfusion. Meanwhile, the risk factors associated with mortality were weight <4.25 kg and elective/emergency procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Amelia
"Latar belakang: Blalock-Taussig shunt (BT shunt) merupakan prosedur paliatif yang bertujuan untuk mempertahankan aliran darah ke paru dan mengatasi sianosis pada pasien penyakit jantung bawaan dengan penurunan aliran darah ke paru. BT shunt masih rutin dilakukan di negara berkembang sebelum pelaksanaan operasi definitif. Namun, faktor risiko morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt masih jarang dilaporkan di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui faktor prediktor morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt.
Metode: Penelitian retrospektif ini menganalisis data rekam medis pasien pascaoperasi BT shunt di Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta dari tahun 2016-2020. Data yang diambil berupa data demografis, faktor risiko preoperasi, saat operasi dan pascaoperasi, morbiditas, mortalitas, dan luaran jangka panjang pascaoperasi BT shunt.
Hasil: Jumlah subyek penelitian ini adalah 197 anak yang terdiri dari 107 (54,3%) lelaki dan 90 (45,7%) perempuan. Nilai median usia dan berat badan saat dilakukan operasi adalah 20 bulan (11 hari-32 tahun) dan 7,9 (2,7-42) kg. Diagnosis terbanyak adalah Tetralogi Fallot yang ditemukan pada 80 (40,6%) pasien. Komplikasi pascaoperasi tersering adalah penggunaan ventilator >24 jam yang terjadi pada 102 (52%) anak. Mortalitas pascaoperasi BT shunt adalah 20,8% (41 orang). Berdasarkan analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan lama penggunaan ventilasi mekanis adalah transfusi pascaoperasi (OR 7,1; IK 95% 3,7-13,7; p <0,0001) dan jenis tindakan elektif/emergency (OR 2,5; IK 95% 1,1- 5,8; p =0,034). Faktor risiko yang berhubungan dengan lama rawat di cardiac intensive care unit (CICU) adalah malnutrisi (OR 2,8; IK 95% 1,4-5,6; p =0,003) dan transfusi pascaoperasi (OR 5,17; IK 95% 2,9-11,2; p <0,0001). Faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas adalah BB <4,25 kg (OR 20,9; IK 95% 7,4-59,0; p <0,0001) dan jenis tindakan elektif/emergency (OR 3,6; IK 95% 1,3-9,5; p =0,016).
Kesimpulan: Mortalitas pascaoperasi BT shunt PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo adalah 20,8%. Faktor risiko yang berhubungan dengan lama penggunaan ventilasi mekanis adalah transfusi pascaoperasi dan jenis tindakan elektif/emergency. Faktor risiko yang berhubungan dengan lama rawat di CICU adalah malnutrisi dan transfusi pascaoperasi. Sedangkan faktor risiko yang berhubungan dengan mortalitas adalah BB <4,25 kg dan jenis tindakan elektif/emergency.

Background: Blalock Taussig (BT) is a palliative procedure that preserves blood circulation to the lungs and prevents cyanosis in patients with congenital heart diseases and reduced pulmonary blood flow. BT shunt remains a routinely performed procedure in developing countries before the definitive correction. However, evidence on risk factors of morbidity, mortality, and long-term outcomes after this procedure is still scarce in Indonesia. Objective: To evaluate the predictive factors of morbidity, mortality, and long-term outcome after the BT shunt procedure.
Methods: This retrospective study evaluated the medical record data of postoperative BT shunt patients at Pusat Jantung Terpadu (PJT) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, from 2016 to 2020. We assessed demographic data, preoperative, intraoperative, and postoperative characteristics, morbidity, mortality, and long-term outcomes.
Results: The subjects in this study were 197 children, 107 (54.3%) boys and 90 (45.7%) girls. The median values for age and body weight at the time of surgery were 20 months (11 days-32 years) and 7.9 (2.7-42) kg. The most prevalent diagnosis was the Tetralogy of Fallot, which was found in 80 (40.6%) patients. The most common postoperative complication was mechanical ventilator use >24 hours, performed in 102 (52%) children. Postoperative mortality was 20.8% (41 patients). Based on multivariate analysis, the risk factors associated with the duration of mechanical ventilation were postoperative transfusion (OR 7.1; CI 95% 3.7-13.7; p <0.0001) and elective/ emergency procedures (OR 2.5; CI 95% 1.1-5.8; p =0.034). Risk factors associated with cardiac intensive care unit (CICU) length of stay were malnutrition (OR 2.8; 95% CI 1.4-5.6; p =0.003) and postoperative transfusion (OR 5.17; 95% CI 2,9-11.2; p <0.0001). Risk factors associated with mortality were weight <4.25 kg (OR 20.9; CI 95% 7.4- 59.0; p <0.0001) and elective/ emergency procedures (OR 3.6; CI 95% 1,3-9.5; p =0.016).
Conclusion: The mortality rate after BT shunt at PJT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo was 20.8%. The risk factors associated with the duration of mechanical ventilation were postoperative transfusion and elective/ emergency procedures. On the other hand, risk factors associated with CICU length of stay were malnutrition and postoperative transfusion. Meanwhile, the risk factors associated with mortality were weight <4.25 kg and elective/emergency procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library