Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ritonga, Lydia Indah Anneike
Abstrak :
Jabatan yang dipangku oleh Notaris adalah jabatan kepercayaan, sebagai seorang kepercayaan, Notaris berkewajiban untuk merahasiakan isi Akta. Seorang Notaris yang tidak dapat membatasi dirinya akan mengalami akibatnya dalam praktek; ia akan segera kehilangan kepercayaan publik dan tidak lagi dianggap sebagai orang kepercayaan. Kewajiban merahasiakan isi Akta dapat dikecualikan jika UndangUndang mengatur lain, kekecualian terhadap kewajiban tersebut hanya dapat dilakukan dalam keadaaan tertentu saja seperti kewajiban Notaris sebagai Pihak Pelapor untuk membuka dan memberikan keterangan Transaksi Keuangan Pengguna Jasa kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Hal ini ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 Tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Permasalahan yang dibahas dalam Tesis ini mengenai sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor dalam pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dihubungkan dengan kewajibannya merahasiakan isi Akta serta perlindungan hukum terhadap Notaris setelah membuka kerahasiaan isi Aktanya. Penulisan tesis ini menggunakan Metode Penelitian Hukum Normatif, yaitu penelitian dengan menggunakan data sekunder yaitu perundang-undangan mengenai Jabatan Notaris, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan, buku-buku teks, serta pendapat para ahli hukum. Sikap Notaris dalam kedudukannya sebagai Pihak Pelapor harus netral, mandiri, dan tidak berpihak. Notaris dimungkinkan menjadi pihak dalam Transaksi Keuangan Mencurigakan walaupun kemungkinan tersebut kecil. Notaris dapat memutuskan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa jika Pengguna Jasa menolak untuk mematuhi prinsip mengenali Pengguna Jasa atau Notaris meragukan kebenaran informasi yang disampaikan oleh Pengguna Jasa. Jika hal tersebut terjadi Notaris diwajibkan melaporkan tindakan tersebut kepada PPATK sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan. Notaris bukanlah pihak, Notaris dalam jabatannya bertindak dalam mewakili negara sehingga harus mendapat perlindungan hukum yang selayaknya.
A position held by a Notary is a position of trust, as a confidant, a Notary is obliged to keep the contents of the Deed. A Notary who cannot limit himself will face a consequences in his/ her practice; he will soon lose public trust and no longer regarded as a trusted object. The obligation to keep the contents of the Deed may be exempted. The exceptions to such obligations may only be made in certain circumstances such as the obligation of Notary as a Reporting Party to open and provide User Service Transaction information to the Financial Transaction Reporting and Analysis Center (PPATK). This is stipulated in Government Regulation Number 43 of 2015 concerning Reporting Parties in the Prevention and Eradication of Money Laundering Act which is the implementing regulation of Law Number 8 of 2010 concerning Money Laundering. The issues discussed in this Thesis regarding the attitude of Notary in his position as a Reporting Party in the prevention and eradication of Money Laundering related to his obligation to keep the contents of the deed as well as legal protection against Notary after disclosing the confidentiality of its contents. This thesis uses Normative Legal Research Method, which is research by using secondary data which is legislation about Notary Position, Money Laundering Crime, and related Government Regulation, textbooks, and opinion of jurists. Notary's attitude in his / her position as a Reporting Party shall be neutral, independent and impartial. Notary may be a party to Suspicious Transactions even though the possibility is small. The Notary may terminate the business relationship with the service user if the user refuses to comply with the principle of recognizing the service user or Notary questioning the correctness of the information submitted by the Service User. If the action occurs, Notary is required to report such action to PPATK as Suspicious Financial Transaction. Notary is not a party, Notary in his / her position acting in representing the country so that should get proper legal protection.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ichsan Syaidiqi
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang penanganan kejahatan perdagangan satwa liar melalui pendekatan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Pidana Pencucian Uang. Kejahatan perdagangan satwa liar saat ini dalam penanganannya masih menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Penggunaan cara konvensional tersebut dinilai tidak lagi relevan dalam menangani kejahatan perdagangan satwa liar yang sangat kompleks dewasa ini. Pendekatan menggunakan rezim anti pencucian uang digadang-gadang sebagai salah satu alternatif baru dalam penanganan kejahatan perdagangan satwa liar. Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif baik dengan penggunaan pendekatan undang-undang dan kasus. Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa rezim anti money laundering di Indonesia sebenarya secara normatif sudah memadai untuk menindak kejahatan perdagangan satwa liar dan penindakan terhadap kejahatan perdagangan satwa liar dapat dilaksanakan. Akan tetapi dalam tatanan pelaksanaannya pendekatan ini masih belum terlalu diprioritaskan, kemudian juga perlu diperhatikan pengaturan tentang predicate crime yang dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 seharusnya harus segera direvisi menimbang agar dapat mencakup kejahatan perdagangan satwa liar sebagai financial motivated crime. ......This thesis discusses the handling of wildlife trade crime through the approach of Act No. 8 of 2010 concerning the Eradication and Prevention of Money Laundering Crimes. Crimes against wildlife trafficking are currently still being dealt with using Act Number 5 of 1990 concerning Conservation of Living Natural Resources and Ecosystems. The use of conventional methods is considered no longer relevant in dealing with wildlife crime that is very complex today. The approach of using an anti-money laundering regime is predicted as a new alternative in handling wildlife trade crime. In this research using normative juridical legal research methods both with the use of a law and case approach. Based on the findings in this study, it can be concluded that the anti-money laundering regime in Indonesia is normatively sufficient to take action on wildlife trade crimes and the enforcement of wildlife trade crimes can be carried out. However, in the order of its implementation, this approach is still not prioritized, then it is also necessary to pay attention to the regulation of predicate crime which in this case is regulated in ActNumber 5 of 1990 should be immediately revised considering that it can cover wildlife trade crime as financially motivated crime.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feynita Susilo
Abstrak :
Program Tax Amnesty pada dasarnya merupakan sarana yang diberikan pemerintah untuk pengungkapan harta kekayaan Wajib Pajak secara sukarela untuk membayar pajak (voluntary tax compliance). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan kekayaan melalui program Tax Amnesty dapat digunakan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dan keberlakuannya apabila dijadikan dasar untuk kasus tindak pidana pencucian uang oleh aparat penegak hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, suatu pendekatan penelitian hukum yang dilakukan dengan menganalisis bahan pustaka atau data sekunder. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan data dan informasi yang berasal dari pengungkapan harta kekayaan dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak jelas tidak dapat dilakukan. Hal ini dikarenakan pengungkapan tersebut dilakukan secara sukarela (voluntary) dan untuk kepentingan negara. Penggunaan informasi yang bersifat voluntary tersebut dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak dapat melanggar prinsip non-self incrimination. Selain itu, apabila melihat pada kasus Putusan Pengadilan Jakarta Utara Nomor 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU TA) pada dasarnya dipergunakan untuk mengundang para pihak untuk melaporkan dan/atau mengungkapkan harta kekayaan karena Pasal 20 UU TA berkaitan dengan asas rekonsiliasi yang merupakan bagian bentuk trust dari Wajib Pajak untuk melaporkan harta kekayaannya. Maka itu tidak boleh sebenarnya proses rekonsiliasi dijadikan dasar dalam penyidikan karena apabila dijadikan satu-satunya bukti untuk menarik perbuatan pidana tindak pencucian uang, maka akan melanggar asas seseorang tidak boleh dihukum atas keterangannya sendiri. ......The Tax Amnesty program is basically a tool provided by the government for the voluntary disclosure of taxpayers' assets to pay taxes (voluntary tax compliance). The purpose of this research is to determine whether the use of data and information originating from wealth disclosure through the Tax Amnesty program can be used in the process of investigating, inquiring and/or criminally prosecuting taxpayers and its validity if used as the basis for a criminal case of money laundering by authorities. law enforcer. The research method used in this research is normative juridical research, a legal research approach carried out by analyzing library materials or secondary data. The results of this research indicate that the use of data and information originating from the disclosure of assets in the process of investigation, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers is clearly not feasible. This is because the disclosure is carried out voluntarily and is in the interests of the state. The use of voluntary information in the process of inquiry, inquiry and/or criminal prosecution of Taxpayers may violate the principle of non-self incrimination. Apart from that, if we look at the case of North Jakarta Court Decision Number 626/Pid.Sus/2022/PN Jkt. Utr., Article 20 of Law Number 11 of 2016 concerning Tax Amnesty (UU TA) is basically used to invite parties to report and/or disclose assets because Article 20 of the TA Law is related to the principle of reconciliation which is part of the form of trust of the Mandatory Tax to report his assets. Therefore, the reconciliation process cannot actually be used as the basis for an investigation because if it is used as the only evidence to attract criminal acts of money laundering, it will violate the principle that a person should not be punished based on his own statement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library