Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 313 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Suyanti
Abstrak :
Tulisan ini mengungkapkan masalah kegagalan kebijaksanaan Sanering dalam menaham laju inflasi pada masa Ekonomi Terpimpin. Kebijaksanaan Sanering tersebut oleh pemerintah dilakukan pada awal dan menjelang berakhirnya pembangunan sistem ekonomi terpimpin dengan munculnya pemerintahan baru dibawah Presiden Soeharto. Kebijaksanaan sanering tersebut kemudian dikenal sebagai Tindakan Moneter I, tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 I7esember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa Tindakan Moneter 1, secara kuantitatif berhasil mencapai target kebi/aksanaan, yaitu: a. Pengurangan secara drastis jumlah uang yang beredar, yang menurut pemerintah sebagai sumber yang paling mendasar terjadinya inflasi. b. Sebagai sumber penerimaan negara yang akan digunakan untuk menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I yang telah mencetak uang baru untuk memenuhi pinjaman pemerintah tersebut. Dengan tindakan Sanering 1, pemerintah berhasil menghimpun dana melalui penurunan nilai uang Rp 500 dan Rp 1000 masing-masing menjadi Rp 50 dan Rp 100 dan pembekuan sebagian tabungan masyarakat sebesar Rp 8264 juta. Sebagian dari jumlah tersebut dapat menutup hutang pemerintah kepada Bank Indonesia Unit I, sehingga hutang pemerintah pada Bank Indonesia, khususnya dalam Triwulan 111/1959 menjadi minus sebesar Rp 4154, (Lampiran II Sub A) sedangkan jumlah uang yang beredar menjadi minus sebesar Rp 7622 juta (Lampiran II Sub E). Tindakan Moneter I tersebut juga berhasil mengurangi prosentasi kenaikan inflasi yang termasuk dalam golongan inflasi berat inflasi diatas 30%). Pada tahun 1958 inflasi telah mencapai kenaikan 45,76% dan pada tahun 1959 dengan kebijakan Sanering I intensitas inflasi hanya mengalami kenaikan 22,22%. Namun harga tetap menunjukkan kenaikan. Tetapi sejak tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan. Bahkan pada tahun 1962 inflasi telah meningkat menjadi hyperinflasi. Sejak saat itu harga barangbarang pada umumnya dan tahun ke tahun semakin tidak terkendali. Pada bulan November tahun 1965 telah terjadi kenaikan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 600%. Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Urusan Minyak dan Gas Bumi No. 160 M/Migas/1965, pemerintah telah menaikan harga bensin dari Rp 4 per liter menjadi Rp 250 per liter, sedangkan harga minyak tanah naik menjadi Rp 100. Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak tersebut mendorong kenaikan harga barang-barang pada umumnya. Kenaikan tersebut mendorong pemerintah untuk kembali melaksanakan tindakan Sanering yang dikenal sebagai Tindakan Moneter II, pada tanggai 13 Desember 1965 untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan harapan pemerintah berhasil mengendalikan lajunya hyperinflasi tersebut. Namun dengan Tindakan Moneter II, pemerintah secara kuantitatif tidak berhasil mencapai target kebijaksanaan yaitu menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia dan mengurangi jumlah uang yang beredar. Karena dana yang berhasil dihimpun oleh pemerintah melalui penurunan nilai rupiah (Rp 1000 uang lama) menjadi (Rp 1 uang baru) dengan pajak penukaran 10% tidak berhasil menutup hutang pemerintah pada Bank Indonesia pada Triwulan I tahun 1966 telah bertambah sebesar Rp 3.180 juta. (Lampiran XIV Sub E). Beberapa hari setelah pemerintah melakukan Tindakan Moneter II, pada tanggal 13 Desember 1959 beberapa hari kemudian pada tanggal 3 Januari 1966 pemerintah kembali menaikkan harga Bahan Bakar Minyak sebesar 400%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 216/M/Migas11965, pemerintah menaikkan harga bensin dari Rp 250 per liter menjadi Rp 1000 per liter, minyak tanah dari Rp 100 per liter menjadi Rp 400 per liter. Dengan adanya desakan dari masyarakat untuk segera menurunkan harga BBM tersebut, maka pada tanggal 21 Ianuari 1966 pemerintah segera menurunkan harga bensin sebesar 50%. Dengan Surat Keputusan Minyak dan Gas Bumi No. 34/M/Migas/1966 harga bensin yang semula Rp 1000 turun menjadi Rp 500 per liter dan harga minyak tanah dari Rp 400 per liter turun menjadi Rp 200 per liter. Dengan kenaikan harga bahan bakar tersebut dengan sendirinya diikuti dengan kenaikan harga-harga baru lainnya yang mendorong inflasi mencapai puncaknya pada tahun 1966 naik sebesar 635,26%. Untuk menganalisis causal faktor perkembangan intensitas inflasi yang semakin tidak terkendali sebagaimana tersebut di atas, sehingga dapat menjawab permasalahan yang telah penulis rumuskan sebagaimana tersebut diatas, selain menggunakan beberapa temuan teori inflasi sebagai dasar untuk menganalisa permasalahan yang telah penulis rumuskan, maka penulis bertitik tolak dari Teori Transformasi struktur oleh Hollis Chinery, yang menekankan bahwa sebagai modal utama Pembangunan Ekonomi adalah suatu negara yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional (sub sistem) ke sektor industri. Karena tulisan ini penulis tempatkan dalam kerangka metodologi struktural, maka masalah meningkatnya inflasi yang semakin tidak terkendali pada masa Ekonomi Terpimpin, sangat berkaitan dengan beberapa kelemahan kebijakan sistem ekonomi yang dirumuskan oleh kelompok radikal khususnya PKI, militer yang mulai masuk dalam perekonomian, maupun Presiden Soekarno dan pendukungnya khusus PNI yang berhaluan kiri yang bertindak sebagai agent of change telah gagal mentransformasi struktur ekonomi kolonial ke nasional (sektor ekonomi yang bersifat esensial dikuasai/ dikelola penguasa pribumi). Dengan gagalnya kelompok radikal mentransformasi struktur ekonomi kita yang terletak pada sektor tradisional (pertanian) menuju sektor industri telah mengakibatkan terjadinya penurunan Produksi Nasional Bruto yaitu rata-rata pertahun hanya mencapai 2%. Pada masa ekonomi liberal, pemerintah telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,2%, perkembangan penduduk Indonesia rata-rata pertahun pada masa Ekonomi Terpimpin mencapai 2,3% maka pertumbuhan ekonomi perkapita menjadi minus. Terjadinya penurunan produksi nasional dan pertumbuhan ekonomi perkapita yang telah mengalami stagnasi secara langsung berdampak pada menurunnya penerimaan Negara. Dengan semakin menurunnya penerimaan Negara secara maka untuk membiayai pengeluarannya, pemerintah terus menerus menggunakan anggaran defisit dengan jumlah semakin meningkat. Bahkan sejak tahun 1962 defisit APBN telah melampaui penerimaannya yang mengakibatkan intensitas hyperinflasi semakin tidak terkendali, dengan semakin menurunnya produk nasional kita dan menurunnya penerimaan Negara kita secara bersama. Dalam tulisan ini dibahas bagaimana proses transformasi sosial mengalami kemunduran yang berdampak pada menurunnya Produk Nasional Bruto yang berakibat menurunnya pendapatan pemerintah yang pada gilirannya mendorong terjadinya defisit anggaran sebagai dasar untuk menganalisa masalah mengapa kebijakan Sanering pada masa ekonomi terpimpin gagal mengendalikan inflasi.
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T11120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Yuheri
Abstrak :
Dalam teori ekonomi, kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter di suatu negara melalui operasi pasar terbuka dengan mengubah domestik asset, secara otomatis akan menyebabkan perubahan dalam jumlah yang sama namun dalam arah yang berlawanan terhadap aset luar negeri. Disisi yang lain, dalam sistem kurs mengambang, pada saat terjadi defisit transaksi berjalan, kebijakan moneter yang dilakukan otoritas moneter berupa perubahan pada aset domestik bersih akan menyebabkan timbulnya kelebihan penawaran uang (excess money supply) yang dinetralisir dengan masuknya aliran modal sebagai surplus dari neraca pembayaran. Kebijakan moneter yang dilakukan oleh bank sentral seringkali tidak efektif apabila kebijakan yang dilakukan ternyata menimbulkan aliran pembayaran baik berupa aliran modal masuk maupun aliran modal keluar yang tidak dapat disterilisasi sehingga usaha yang dilakukan untuk menetralisir gangguan eksternal tidak memiliki pengaruh yang signifikan. Tesis ini akan mencoba menganalisa pengaruh aliran modal masuk terhadap efektifitas kebijakan moneter melalui operasi pasar terbuka untuk kasus Indonesia, Besarnya aliran modal masuk dari luar negeri telah mendorong semakin meningkatnya konsumsi domestik dan terjadinya substitusi tabungan domestik untuk ekspansi kredit perbankan sehingga menimbulkan tekanan terhadap inflasi. Dari uji ordinary least squared (OLS) terhadap model aliran modal masuk periode triwulan I 1990 sampai dengan triwulan IV tahun 2002, ditemukan bahwa pengaruh aliran modal masuk disamping meng-offset defisit transaksi berjalan juga telah menetralisir efek kebijakan pengendalian moneter melalui perubahan aset domestik bersih sebesar 57,63%. Sehingga pada perlode aliran modal masuk yang tinggi efektifitas pengendalian inflasi menjadi berkurang. Hal ini juga didukung dengan uji VAR dan impulse response function shock operasi pasar terbuka terhadap jumlah uang beredar (MO, Ml dan M2), bahwa shock operasi pasar terbuka terhadap uang primer, Ml dan M2 pada periode sebelum masuknya aliran modal luar negeri lebih efektif dibandingkan pada periode masuknya aliran modal luar negeri baik pada masa sebelum krisis (Januari 1990 sampai dengan Juli 1997) maupun pada masa setelah krisis (Agustus 1997 sampai dengan Desember 2002). Kurang efektifnya kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia pada periode aliran modal masuk tersebut disamping dipengaruhi oleh aliran modal masuk yang menetralisir efek operasi pasar terbuka, antara lain juga disebabkan kurang stabilnya hubungan antara uang primer sebagai sasaran operasional operasi pasar terbuka dengan M1 dan M2 sebagai sasaran antara.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T12056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngaisyah
Abstrak :
Tesis ini meneliti efektifitas kebijakan moneter yang meliputi pengawasan pada suku bunga, base money, dan Net International Reserve (NIR) dalam menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama periode fund supported program dari Dana Moneter Internasional (IMF). Seperti diketahui, ketika krisis keuangan melanda Asia tahun 1997, nilai tukar rupiah merosot tajam yang secara fundamental ekonomi sulit diperbaiki. IMF sebagai badan yang membantu Indonesia dalam mengatasi krisis tersebut memberikan beberapa saran kebijakan moneter yang tercantum dalam letter of intent (LoI) guna menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Dikatakan bahwa kebijakan moneter akan diperketat atau dengan kata lain tingkat suku bunga akan dinaikkan yang didukung dengan intervensi mata uang asing untuk meningkatkan kepercayaan serta memberikan arahan yang jelas bagi pasar. Selain itu kebijakan moneter juga akan memfokuskan pada pembatasan pengaruh depresiasi nilai tukar terhadap inflasi. Untuk mendukung kebijakan tersebut, IMF menyarankan pemerintah untuk mengatur besamya suku bunga, base money, dan NIR. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah apakah kebijakan moneter yang diambil pemerintah yang meliputi pengawasan terhadap suku bunga, base money, dan NIR mampu menguatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS selama periode fund supported program dari IMF? Penelitian ini menggunakan model Vector Autoregressions atau sering disebut dengan VARs. Dalam model ini setiap kelompok variabel dinyatakan dalam fungsi linier dari nilai masa lampau variabel itu sendiri, nilai masa lampau dari variabel lainnya, serta nilai konstanta atau fungsi dari waktu. Penelitian ini juga menspesifikasi peubah-peubah endogen dan eksogen yang diyakini berinteraksi sehingga harus dimasukkan ke dalam modelnya serta jumlah selang terbanyak yang diperlukan untuk menangkap pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing variabel terhadap variabel lainnya. Alasan pernilihan VARs berdasarkan pada penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Sims (1980) yang meyakini bahwa VAR mempunyai kemampuan lebih baik dalam memprediksi dibanding model persamaan struktural. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya instrumen base money yang mempunyai hubungan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Artinya, adanya perubahan pada base money akan mengakibatkan perubahan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sedangkan untuk instrumen tingkat bunga dan NIR, penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan antara kedua instrumen tersebut dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter melalui instrumen suku bunga, base money, dan NIR yang direkomendasikan oleh IMF hanya instrumen base money yang dapat diterapkan dalam menangani krisis keuangan di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, salah satu saran yang bisa diberikan kepada otoritas moneter adalah tetap meneruskan kebijakan nilai tukar mengambang secara konsiten, dengan money-base sebagai patokan, Intervensi di pasar valas dilakukan hanya untuk mengurangi fluktuasi jangka pendek atau untuk menjaga likuidilas pasar. Upaya intervensi untuk sterilisasi atau meredam volatilitas harus dihindari. Sebab sejak diberlakukannya sistem nilai tukar mengambang, nilai tukar rupiah sering terdepresiasi disertai volatilitas yang tinggi.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15749
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Argamaya
Abstrak :
Diduga bahwa inflasi lebih persisten dan kebijakan moneter lebih akomodatif terhadap inflasi di bawah rezim nilai tukar mengambang. Penelitian di Indonesia menunjukan hasil yang berbeda dari dugaan semula, yaitu rata-rata persistensi inflasi di Indonesia baik sebelum dan sesudah memperhitungkan rata-rata perbedaan pengaruh oil shocks di bawah rezim nilai tukar tetap cenderung lebih persisten. Sedangkan kebijakan moneter datam mengakomodasi inflasi baik dalam rezim nilai tukar tetap maupun rezim nilai tukar mengambang setelah memperhitungkan rata-rata perbedaan pengaruh oil shocks cenderung tidak menunjukkan adanya perbedaan yang berarti. Hal ini terutama disebabkan oleh karakteristik laju inflasi di Indonesia lebih kuat dipengaruhi masalah di sisi penawaran dibandingkan dengan sisi permintaan, atau jumlah uang beredar, Selain itu, diduga akibat tidak independennya bank sentral dalam menentukan kebijakan moneter khususnya dalam jumlah uang beredar, sebagaimana dapat dilihat pada hasil pengujian kebijakan sterilisasL Dengan demikian, otoritas moneter memilHd keterbatasan dalam mengendalikan laju inflasi
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2000
T257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Hengky Gongkon
Abstrak :
Jatuhnya mata uang Bath Thailand merupakan awal dari krisis Asia yang selanjutnya menimpa Korea Selatan dan Indonesia. Won dan Rupiah depresiasi nilainya yang mengakibatkan kedua negara mengalami krisis yang sangat parah dan mengguncang sistem perekonomian kedua negara secara menyeluruh. Kedua negara meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis di negaranya. IMF sebagai lembaga keuangan internasional memberikan bantuan likuiditas terhadap negara-negara anggota. Program bantuan IMF diiringi dengan prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara penerima bantuan. Prasyarat tersebut tertuang dalam nota kesepakatan yang disebut Letter of Intent (Lol). Butir-butir kesepakatan itu terkait dengan program reformasi yang mengandung nilai-nilai liberal. Tesis ini menggunakan konsep neo-liberal untuk menjelaskan butir-butir prasyarat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara. Butir-butir prasyarat ini diantaranya : Kebijakan moneter dan fiskal ketat, kebijakan orientasi ekspor, liberalisasi sistem keuangan, penegakan iklim transparansi, restraIrturisasi dan privatisasi, serta deregulasi kebijakan ekonomi yang berorientasi terhadap nilai-nilai pasar bebas. Kebijakan moneter dan fiskal ketat yang direkomendasikan IMF terhadap kedua negara menyebabkan kondisi ekonomi kedua negara semakin terpuruk. Nilai mata uang (kurs) semakin terdepresiasi, cadangan devisa semakin menipis, dan besarnya biaya sosial yang harus ditanggung oleh kedua negara seperti semakin tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan serta instabilitas politik. Teori developmental state digunakan dalam tesis ini untuk menjelaskan pengaruh peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Teori ini menjelaskan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik ditujukan untuk menciptakan stabilitas, dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi ditujukan untuk mempercepat perturnbuhan ekonomi. Kredibilitas dan kepekaan terhadap krisis, yang terkait dengan konsistensi, kejelasan motivasi, tranparansi, keseriusan dalam reformasi, pentingnya stabilitas jangka pendek, serta kebijakan yang cenderung memihak rakyat kecil merupakan faktor-faktor yang menyebabkan terciptanya stabilitas. Restrukturisasi sektor keuangan dan korporasi secara bijak, seperti terdapatnya mekanisme aturan yang jelas, tindakan cepat dalam merestrukturisasi hutang swasta, dan rnemperbaiki kinerja manajemen merupakan faktor-faktor yang pempercepat bangkitnya kembali sektor dunia usaha. Asumsi dalam tesis ini, jika kondisi stabil dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali maka proses pemulihan ekonomi akan berjalan dengan cepat. Jenis penelitian dalam tesis ini adalah eksplanatit di mana menghubungkan dua variabel dengan menggunakan teori-teori sebagai alat untuk menganalisa hubungan kousal yang terjadi. Diteliti keterkaitan hubungan antara peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonomi terhadap proses pemulihan ekonomi di kedua negara. Dalam interaksinya dengan IMF, peran aktif pemerintah Korea Selatan dalam aspek sosial-politik dan ekonomi menyebabkan kondisi stabil tetap terjaga dan peran aktif pemerintah dalam aspek ekonomi menyebabkan sektor dunia usaha cepat bangkit kembali. Tesis ini membuktikan, dalam berinteraksi dengan IMF, diperlukan peran aktif pemerintah dalam aspek sosial-politik dan ekonorni agar kondisi stabil tetap terjaga dan sektor dunia usaha dapat bangkit kembali dengan cepat. Terbukti, dengan kondisi politik yang stabil dan bangkit kembalinya sektor dunia usaha menyebabkan Korea Selatan lebih cepat pulih dan krisis dibandingkan Indonesia.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13881
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
Abstrak :
Krisis tahun 1997 yang salah satu sumbernya diperkirakan berasal dari krisis nilai tukar bath Thailand, pada tahun 1998 menjalar ke Indonesia dan telah menyebabkan kontraksi pada perekonomian Indonesia hanya dalam waktu tidak lebih dari 1 tahun. Hal ini mempunyai dampak langsung terhadap penurunan investasi di Indonesia sampai saat ini. Penelitian ini ingin menjelaskan secara empiris apakah kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank sentral setelah krisis (tahun 1997 sampai dengan tahun 2004) efektif dalam menghambat pelarian modal dan berhasil meningkatkan investasi di Indonesia yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter (suku bunga, pinjaman luar negeri, harapan inflasi, kredit perbankan) belum dapat mendorong investasi di Indonesia.Kemungkinan besar faktor diluar ekonomi seperti politik, keamanan, kepastian hukum, peraturan perundang-undangan sangat berpengaruh terhadap peningkatan investasi di Indonesia.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Muhammad Nasim
Abstrak :
Banyak sasaran yang ingin dicapai secara serentak serta tidak berfungsinya mekanisme transmisi secara efisien akibat disintermediasi dalam sistem keuangan menyebabkan pengendalian moneter secara tidak langsung menjadi kurang efektif. Di satu sisi, perkembangan nilai tukar yang belum stabil dan inflasi yang masih tinggi memaksa Bank Indonesia sebagai otoritas moneter untuk mempertahankan kebijakan uang ketat, yang berakibat tingginya suku bunga di dalam negeri. Di sisi lain, tingginya suku bunga telah berdampak negatif terhadap dunia usaha karena membengkaknya kewajiban pembayaran bunga dan terhentinya pemberian kredit barn oleh perbankan, akibatnya nonperforming loan (NPL) meningkat dan bank-bank beroperasi dengan negative spread. Penelitian ini mengevaluasi kembali apakah mekanisme transmisi yang selama ini dipergunakan masih relevan dijalankan dan mencari alternatif mekanisme lainnya yang lebih mengakomodasi terhadap kondisi perekonomian Indonesia yang semakin terbuka. Dengan menggunakan indeks kondisi moneter (IKM) sebagai sasaran antara pada mekanisme transmisi kebijakan moneter akan diketahui ketat atau tidaknya stance dari kebijakan moneter yang ditempuh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa indeks kondisi moneter (1KM) dapat memberikan informasi tentang akan dilakukannya pengetatan atau pelonggaran moneter di Indonesia. Pergerakan indeks kondisi moneter (IKM) ditentukan oleh gejolak dari komponen yang membentuk indeks kondisi moneter (1KM) yaitu suku bunga dan nilai tukar.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2003
T20049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syofriza Syofyan
Abstrak :
Kebijakan moneter Indonesia sampai saat ini pada dasarnya masih menggunakan paradigma lama yang mengandalkan mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui pengendalian jumlah uang beredar dalam mempengaruhi kegiatan ekonomi. Mekanisme transmisi kebijakan moneter adalah jalur yang dilalui oleh sebuah kebijakan moneter untuk mempengaruhi kondisi perekonomian. Mekanisme transmisi kebijakan moneter selama ini menyatakan bahwa Bank Indonesia (BI), dapat mengendalikan M (0) dan dengan asumsi multiplier uang (Money Multiplier) tetap, BI akan dapat mengendalikan M(1} dan M(2). Melalui pengendalian M(1) dan M(2), BI dapat mempengaruhi PDB Nominal atau permintaan agregat.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T20107
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi
Abstrak :
Krisis tahun 1997 yang salah satu sumbernya diperkirakan berasal dari krisis nilai tukar bath Thailand, pada tahun 1998 menjalar ke Indonesia dan telah menyebabkan kontraksi pada perekonomian Indonesia hanya dalam waktu tidak lebih dari 1 tahun. Hal ini mempunyai dampak langsung terhadap penurunan investasi di Indonesia sampai saat ini. Penelitian ini ingin menjelaskan secara empiris apakah kebijakan moneter yang dilakukan oleh Bank sentral setelah krisis (tahun 1997 sampai dengan tahun 2004) efektif dalam menghambat pelarian modal dan berhasil meningkatkan investasi di Indonesia yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan moneter (suku bunga, pinjaman luar negeri, harapan infiasi, kredit perbankan) belum dapat mendorong investasi di Indonesia. Kemungkinan besar faktor diluar ekonomi seperti politik, keamanan, kepastian hukum, peraturan perundang-undangan sangat berpengaruh terhadap peningkatan investasi di Indonesia. (world Development Report, 2005)
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T20010
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Kamelia Aisya
Abstrak :
Kebijakan pemulihan ekonomi yang terlalu bias kepada sektor finansial perlu diimbangi upaya perbaikan di sektor rid. Dalam situasi krisis ini agribisnis perikanan telah menunjukkan stabilitas pertumbuhan secara signifikan yaitu bisa tumbuh lebih dari 15 persen per tahun, dimana sektor lainnya yang tidak berbasis domestic resources berguguran dan sulit bangkit kembaii_ Perikanan yang sudah selayaknya diberikan peluang untuk menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang barb dan lebih besar, perlu dikaji faktorfaktor yang mempengaruhi peningkatan ekspornya. Sehubungan dengan itu, dalam tesis ini akan dilihat bagaimana pengaruh kebijakan moneter yang telah dilakukan pemerintah melalui transmisi kebijakan moneter untuk meningkatkan ekspor perikanan Indonesia baik sebelum krisis maupun pada periode recovery ekonomi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar hipotesis penelitian awal terbukti, yaitu bahwa variabel pendapatan luar negeri, tingkat produksi, dan nilai tukar riil berpengaruh secara positif terhadap ekspor perikanan Indonesia. Sedangkan variabel harga ekspor berpengaruh secara negatif terhadap nilai ekspor perikanan Indonesia. Hasil-hasil model ekonometrik menunjukkan bahwa nilai tukar riil mempengaruhi ekspor perikanan secara nyata. Pada umumnya dampaknya baru terasa setelah dua periode. Persamaan-persamaan dugaan memberikan indikasi bahwa nilai tukar riil yang lebih tinggi (depresiasi rupiah) akan menaikkan ekspor perikanan. Dalam studi ini ditemukan hipotesis bahwa perubahan-perubahan suku bunga mempengaruhi nilai tukar rill dart tingkat inflasi melalui transmisi kebijakan moneter yang selanjutnya kemudian akan mempengaruhi ekspor perikanan secara negatif pada periode observasi sebelum krisis ekonomi dan periode recovery ekonomi. Kebanyakan pemilik perusahaan perikanan di Indonesia adalah peminjam, sehingga suku bunga yang lebih rendah akan menurunkan biaya produksi dan selanjutnya akan menaikan keuntungan. Pada saat krisis ekonomi walaupun tingkat suku bunga dan inflasi sangat tinggi, tetapi keuntungan dari adanya depresiasi nilai tukar lebih tinggi dari pada biaya produksi yang dibiayai oleh bunga dan tingkat inflasi yang tinggi. Suku bunga berpengaruh pada periode observasi recovery. Hal ini disebabkan karena nilai tukar tidak lagi terlalu terdepresiasi, dimana hal tersebut akan mengurangi keuntungan, di sisi lain tingkat suku bunga dan inflasi, walaupun tidak setinggi pada periode krisis ekonomi, tetapi rnasih cukup tinggi sehingga biaya produksi juga masih tinggi. Perusahaan perikanan yang kebanyakan peminjam akan memperhitungkan besamya keuntungan yang diraih akibat depresiasi nilai tukar dengan biaya produksi yang dibiayai dengan bunga dan inflasi yang tinggi.
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T20215
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>