Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endi Djunaedi
Abstrak :
Konsep Merantau mengacu pada konsep Migrasi Sirkuler, yaitu migrasi tidak tetap. Migrasi Sirkuler didefinisikan sebagai perginya penduduk keluar melewati batas administrasi desa asal pada waktu tertentu untuk mencari pekerjaan tanpa diikuti oleh perpindahan tempat tinggal. Merantau Masyarakat Dusun Cisayong identik dengan definisi migrasi sirkuler di atas. Merantau masyarakat Dusun Cisayong berkaitan erat dengan tradisi budaya orang Tasik. Tradisi turun temurun dari satu kurun waktu ke kurun waktu lainnya. Seseorang perantau tidak saja akan menambah penghasilan, tetapi juga mendudukkan mereka pada strata yang terpandang. Kajian ini berusaha menjelaskan faktor-faktor pendorong dan penarik merantaunya masyarakat Dusun Cisayong. Penelitian difokuskan pada satu Dusun (Kampung) dari tiga Dusun yang ada di Desa Cisayong. Penelitian lapangan yang menjadi acuan tesis ini dilakukan di Dusun Cisayong Desa Cisayong Kecamatan Cisayong Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Lama Penelitian 12 bulan (Februari 1994 - Februari 1995) dengan efektivitas waktu tinggal 12 minggu (satu minggu per bulan). Melalui Pendekatan partisipasi terlibat dan sensus di satu Rukun Tetangga, dapatlah disimpulkan lima faktor pendorong dan satu faktor penarik. Kelima faktor pendorong tersebut adalah faktor ekologis, faktor ekonomi dan demografi, faktor pendidikan, keresahan politik dan faktor sosial. Sementara faktor penariknya adalah daya tarik kota yang menjanjikan harapan memperoleh nafkah. Letak Dusun Cisayong secara ekologis mudah dicapai kendaraan umum roda empat ke dan dari daerah tujuan mendukung dorongan mereka untuk merantau. Sawah dan ladang yang menjadi tumpuan utama nafkah keluarga di desa makin menciut baik karena perubahan penggunaan untuk non pertanian maupun pertambahan jumlah penduduk, mendorong penduduk Dusun Cisayong untuk merantau. Terbatasnya sarana pendidikan hanya sampai sekolah menengah pertama mendorong orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke luar desa. Keresahan politik akibat pemberontakan DI/TII ditahun lima puluhan sampai tahun tujuh puluhan membawa pengaruh terhadap penduduk untuk merantau (perantau pemula) yang kemudian kebiasaan ini diikuti pula oleh generasi selanjutnya kendati secara politik daerah mereka sudah aman. Kedudukan sosial yang berbeda antara yang kaya dengan yang miskin, antara yang memiliki sawah dan tidak memiliki sawah, mendorong penduduk untuk merantau, dan kesiapan istri yang akan menggantikaii sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah selama ditinggal merantau, memperbesar semangat suami pergi merantau. Keberhasilan perantau secara material menarik perhatian calon-calon perantau. Kekayaan dalam bentuk rumah, sawah, kolam ikan dan ternak domba hasil usaha perantau di kota, dan informasi mudahnya mencari nafkah di kota menarik penduduk untuk merantau.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Fanda Fadly
Abstrak :
Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang migrasi yang terjadi di Kelurahan Pondok Cina. Migrasi yang terjadi di Kelurahan Pondok Cina sangat berdampak pada kehidupan sosial masyarakat setempat.

Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat di Kota Depok, khususnya Kelurahan Pondok Cina. Oleh karena itu, dengan penelitian yang dilakukan ini diharapkan akan diperoleh gambaran dan pemahaman tentang terjadinya perubahan pola kehidupan sosial masyarakat di lingkungan Kelurahan Pondok Cina yang tidak terlepas dari kedatangan penduduk pendatang.

Untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat di Kelurahan Pondok Cina tersebut, diperlukan data yang didapat dari beberapa kasus. Untuk memperoleh data tersebut, maka dilakukan wawancara kepada beberapa penduduk, baik itu penduduk asli Pondok Cina yaitu Betawi, maupun penduduk pendatang. Penduduk pendatang pada umumnya datang dari berbagai daerah di Indonesia, yang kemudian menetap di Kota Jakarta dan akhimya pindah ke wilayah Pondok Cina. Selain dari wawancara, penelitian ini juga mengambiI data melalui beberapa dokumentasi dan observasi.

Perubahan sosial yang terjadi di Kelurahan Pondok Cina dibatasi pada perubahan sosial di lapangan pekerjaan, perubahan sosial pada kehidupan keluarga, dan perubahan sosial pada pola gaya hidup.
2003
T3922
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Pribadi
Abstrak :
ABSTRAK


Penyelenggaraan transmigrasi sebagai salah satu program berskala nasional diarahkan dapat membantu memecahkan masalah ketimpangan distribusi penduduk khususnya antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Namun hingga saat ini program pemerintah yang mulai diselenggarakan tahun 1950 tersebut dirasakan belum sepenuhnya berhasil. Ketimpangan distribusi penduduk antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa terus saja berlangsung. Beberapa hal yang menyebabkan keadaan tersebut terjadi antara lain adalah masih sedikitnya minat sebagian besar masyarakat untuk bertransmigrasi. Berbagai faktor yang berasal dari tingkatan individu, rumah tangga, dan komunitas, baik secara bersamaan ataupun sendiri-sendiri mempengaruhi animo bertransmigrasi.

Melalui penelitian ini berusaha dipahami lebih mendalam berbagai faktor yang berpengaruh terhadap animo bertransmigrasi. Untuk itu diuji enam variabel yang diduga mempunyai pengaruh nyata terhadap animo bertransmigrasi. Keenam variabel tersebut diukur melalui proses survei pada calon transmigran yang siap berangkat ke daerah tujuan transmigrasi.

Dari pengujian dengan metode analisa regresi linier berganda, didapatkan hasil bahwa semakin rendah tingkat pendidikan, dan semakin tinggi beban keluarga, serta semakin rendah pemilikan lahan, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi. Sedangkan informasi dari saudara dan tokoh masyarakat lebih dipercaya dan kuat mendorong dibanding dari petugas pemerintah. Demikian pula semakin tinggi pendapatan keluarga dan semakin rendah kepadatan penduduk, maka semakin tinggi animo bertransmigrasi.

Mengacu hasil penelitian tersebut, beberapa kebijakan pokok yang perlu ditempuh oleh para perencana dan pelaksana program pembangunan adalah dengan menciptakan wilayah pengembangan ekonomi baru di daerah-daerah potensial di luar Pulau Jawa sebagai daya tarik, selain terus mendorong penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemukiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat bersedia berpindah dan menetap di daerah pengembangan baru tersebut. Demikian pula pembukaan pemuuiman transmigrasi harus diorientasikan pada pengembangan usaha yang berskala ekonomi tinggi. Implikasi dari kebijakan ini diharapkan dapat menarik penduduk di daerah padat dan berpendidikan relatif tinggi untuk bersedia bermigrasi ke daerah baru tersebut.

1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chotib
Abstrak :
ABSTRAK DKI Jakarta yang dikenal sebagai ibukota negara, sekaligus sebagai pusat perdagangan, pusat pemerintahan, pusat kebudayaan, selalu mendapat tempat di mata penduduk Indonesia sebagai tempat untuk meningkatkan taraf hidup. Maka tidak heran jika angka migrasi masuk ke DKI Jakarta selama ini terbilang tinggi. Namun sejak tahun 1990, tingginya angka migrasi masuk ke DKI Jakarta ternyata diikuti juga oleh lebih tingginya angka migrasi keluar dari DKI Jakarta. Hal yang sama terlihat pula dari data SUPAS 1995 yang menunjukkan lebih tingginya angka migrasi keluar daripada yang masuk. Selama kurun waktu 1990-1995, jumlah migran risen masuk ke DKI Jakarta mencapai 595.542 orang, dan jumlah migran risen keluar dari DKI Jakarta mencapai 823.045 orang. Kajian mengenai perilaku migran yang keluar maupun yang masuk dari dan ke DKI Jakarta akan lebih menarik bila dibahas melalui pendekatan demografi multiregional, yaitu suatu pendekatan yang menekankan pada aspek diriamika penduduk secara spasial. Perhitungan migrasi melalui pendekatan ini dapat diaplikasikan pada Skedul Model Migrasi, yang menggambarkan keteraturan pola migrasi menurut umur. Temuan menunjukkan bahwa migran masuk ke DKI Jakarta lebih "labor dominant", sedangkan yang keluar lebih "child dependent". Terlihat juga kenaikan angka migrasi pada usia puncak angkatan kerja lebih tajam daripada penurunannya. Sedangkan pada usia pasca angkatan kerja, penurunan angka migrasi dari usia puncak lebih tajam daripada kenaikannya. Temuan lain juga menunjukkan bahwa intensitas migran perempuan sedikit lebih tinggi daripada migran laki-laki; intensitas migran dari dan ke perkotaan lebih tinggi daripada dari dan ke perdesaan; dan intensitas migrasi keluar lebih tinggi pada migran kelahiran luar DKI Jakarta, sedangkan intensitas migrasi masuk lebih tinggi pada migran kelahiran DKI Jakarta.
ABSTRACT Most human populations have rates of age-specific fertility and mortality that exhibit remarkably persistent regularities. Consequently, demographers have found it possible to summarize and codify such regularities by means of mathematical expressions called model schedules. Although the development of model fertility and mortality schedules has received considerable attention in demographic studies, the construction of model migration schedules has not, even though the techniques that have been succesfully applied to treat the former can be readily extended to deal with the latter. This research examines spatial population dynamics into and out of DKI Jakarta based on SUPAS 1995 (1995 Intercencal Population Survey). Such an examination is carried out by means of a multiregional approach, that is, an extension of demographic analysis that accounts for population at risk on migration behavior. Applying model migration schedules, this research characterizes the migration flows between DKI Jakarta and the rest of Indonesia. , It demonstrates that out-migration from DKI Jakarta (to the rest of Indonesia) is more "child dependent", whereas in-migration (out-migration from the rest of Indonesia) to DKI Jakarta is more "labor dominant". The research also finds that the intensity of female migrants is higher than the intensity of male migrants; the intensity of urban to urban migrants is higher than the intensity of urban to rural or rural to urban migrants; and the propensity to move out of DKI Jakarta is three times as high for migrants those born outside DKI Jakarta as for migrants those born in DKI Jakarta; Similarly, the propensity to move out of the rest of Indonesia is almost seven times as high for migrants those born in DKI Jakarta as for migrants those born in the rest of Indonesia.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lies Rosdianty
Abstrak :
ABSTRAK
Dengan semakin tingginya tingkat mobilitas baik nasional maupun internasional, telah mendorong banyak peneliti melakukan analisa mengenai migrasi. Sayangnya, analisis mengenai konsekuensi yang timbul dari proses migrasi penduduk masih jarang dilakukan. Analisis migrasi yang dilakukan lebih banyak kepada faktor-faktor yang terjadi sebelum terjadinya proses tersebut, tetapi analisis mengenai apa yang terjadi sesudahnya atau pengaruh yang diakibatkan proses migrasi masih jarang dilakukan.

Di Indonesia, migrasi internal antar propinsi akhir-akhir ini propinsi yang menarik untuk ditempati, karena telah banyak menarik pendatang dengan tujuan ke propinsi tersebut. Hal ini diindikasikan dengan semakin meningkatnya jumlah migran masuk dan menurunnya jumlah migran keluar. Oleh sebab itu, propinsi ini perlu mendapat perhatian pemerintah, karena pada lokasi seperti ini terjadi pertemuan berbagai suku dengan latar belakang yang beragam, sehingga sangat potensial bagi konflik antar budaya. Di Indonesia, dampak dari sentuhan terhadap etnis lain atau kontak dengan budaya lain nampak paling kritis dan sangat potensial untuk menuju pada disintegrasi nasional. Dengan mengetahui perbedaan karakteristik penduduk migran dan non migran baik keadaan sosial maupun ekonomi, diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya konflik dan kesenjangan diantara mereka. Selain itu, dengan mempelajari karakteristik migran juga diharapkan dapat diketahui apakah kedatangan mereka ke daerah tujuan akan mendatangkan perubahan sosial, budaya dan ekonomi yang positif atau negatif.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik perempuan migran dan non migran serta mengetahui apakah ada asosiasi antara rata-rata jumlah anak yang dilahirkan hidup dan status migran serta variabel lain yang diamati. Dari hasil penelititan ini terlihat adanya perbedaan karakteristik antara perempuan migran dan non migran. Selain itu, dengan menggunakan model log-linier juga dapat dibuktikan adanya asosiasi antara jumlah anak dan status migran. Perempuan migran yang umumnya berada pada kelompok usia produktif mempunyai karakteristik sosial dan ekonomi yang umumnya lebih baik dibandingkan perempuan non migran. Dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih baik, perempuan migran ternyata mempunyai paritas yang lebih rendah dibandingkan perempuan non migran. Hal ini kemungkinan disebabkan perempuan non migran yang sebagian besar adalah penduduk nativ Jawa Barat umumnya telah menikah pada usia muda. Penyebab utama keadaan tersebut diduga karena rendahnya pendidikan dikalangan perempuan non migran. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi penduduk khususnya perempuan non migran di Jawa Barat, maka perlu ditingkatkan pendidikan mereka. Karena pendidikan adalah salah satu faktor yang ikut menentukan dalam perbaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat secara keseluruhan dan pendidikan juga mempunyai arti penting bagi penundaan usia perkawinan pertama. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin lama waktu yang digunakan untuk menyelesaikan pendidikannya, sehingga akan menunda seseorang untuk melakukan perkawinan pertama pada usia muda.
1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aritonang, Wesli
Abstrak :
Sejumlah peneliti mengajukan argumen bahwa motif utama penduduk melakukan migrasi adalah harapan yang bersifat ekonomi. Akan tetapi dalam studi ini ingin ditunjukkan bahwa keputusan yang dipertimbangkan oleh calon migran tidak hanya bersifat dikotomi - pindah atau tidak - tetapi lebih bervariasi, sebagaimana ditunjukkan oleh tujuan perpindahan yang dilakukan. Dalam studi ini tujuan-tujuan migrasi dikelompokkan secara garis besar menjadi tujuan pasar kerja dan non pasar kerja, dan determinan yang mempengaruhi pilihan-pilihan tujuan migrasi tersebut adalah faktor-faktor sosio-demografis migran,jarak perpindahan. dan adanya relasi migran di tempat tujuan. Tujuan pasar kerja dikelompokkan lagi menjadi dua yaitu tujuan bekerja atau sudah mendapatkan pekerjaan di tempat tujuan. dan tujuan mencari pekerjaan. Sedangkan tujuan non pasar kerja dikelompokkan menjadi kelompok migran tujuan pendidikan/pelatihan. ikut keluarga dan tujuan lainnya. Dengan menggunakan konsep perpindahan antar desa/kelurahan dan batas waktu tinggal enam bulan di tempat tujuan hasil tabulasi data Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) tahun 1993 menunjukkan bahwa 47.8 persen responden-vang berusia 15 tahun atau lebih pada saat survei pernah melakukan perpindahan melintasi batas desa/kelurahan. Tidak ada perbedaan persentase yang mencolok antara migran perempuan dan laki-laki, karena persentase migran perempuan mencapai 49,5 persen. Sedangkan komposisi umur migran pada waktu melakukan perpindahan pertama kali, 83,5 persen migran pindah pada saat berusia muda atau 15-29 tahun, dan hanya 16,5 persen melakukan perpindahan pertama pada saat berusia 30 tahun lebih. Tanpa memperhatikan variabel-variabel lain, tujuan migrasi penduduk usia kerja di Indonesia berdasarkan SAKERTI 1993 sebagian besar adalah tujuan non pasar -kerja. Hanya sekitar 25 persen tujuan migrasi penduduk usia kerja di Indonesia untuk 'bekerja' dan 'mencari pekerjaan', sedangkan 75 persen lainnya termasuk dalam kategori tujuan non pasar kerja. Jika diperhatikan jenis kelamin, tujuan non pasar kerja migran perempuan lebih rendah dibanding dengan migran laki-laki. Hanya sekitar 11 persen migran perempuan yang melakukan migrasi pertama karena 'bekerja' atau 'mencari pekerjaan'. sedangkan pada migran laki-laki tujuan pasar kerja cukup besar, yaitu mencapai 38,0 persen. Selain itu hasil tabulasi dalam studi ini menunjukkan hampir 74 persen migran yang melakukan perpindahan pertama memiliki relasi di tempat tujuan. Tingkat pendidikan yang digunakan sebagai indikator untuk mengukur kemampuan migran untuk menganggur. dan tingkat pendidikan yang makin tinggi dianggap akan meningkatkan kemampuan migran untuk menganggur. Akan tetapi studi ini menghasilkan, disamping probabilitas mencari pekerjaan cukup kecil, ternyata probabilitas migrasi tujuan mencari pekerjaan cenderung makin kecil jika tingkat pendidikan migran makin tinggi. Seperti diduga, status belum kawin waktu melakukan perpindahan, akan meningkatkan probabilitas tujuan migrasi mencari pekerjaan, mengikuti pendidikan/pelatihan, dan memperkecil probabilitas migrasi tujuan non pasar kerja. Berbeda dengan dugaan semula, migrasi tujuan bekerja ternyata makin kecil probabilitasnya pada kelompok migran sudah kawin. Kemudian jarak perpindahan yang makin jauh diduga akan menyebabkan migrasi tujuan bekerja meningkat, tampak sesuai dengan hasil studi ini. Akan tetapi berbeda dengan dugaan, jarak yang makin jauh ternyata tidak memperkecil migrasi tujuan mencari pekerjaan. Sedangkan pengaruh adanya relasi migran di tempat tujuan menunjukkan bahwa adanya relasi di tempat tujuan meningkatkan migrasi tujuan bekerja, mencari pekerjaan, dan mengikuti pendidikan/pelatihan, tetapi mengurangi probabilitas migrasi tujuan ikut keluarga.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhanadji
Abstrak :
Tesis membahas tentang migrasi orang Madura ke Surabaya yang dihadapkan kepada suatu tantangan untuk dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidup buatan di Surabaya. Agar bisa survive, migran harus dapat mengembangkan strategi adaptasi di Surabaya. Cara mengembangkan strategi adaptasi ini akan lebih banyak diperlihatkan dari perilaku ekonominya. Objek penelitian ini dalah warga masyarakat Kelurahan Sidotopo, Kecamatan Semampir, Kotamadya Surabaya. Penelitian ini mengacu pada teori Siagel dan Everet Lee tentang Migration theory, Donald Bogue tentang push-pull factor dan Bennet tentang Adaptive Orgamic. Dari penelitian ini telah dikemukakan bahwa: pertama, migrasi orang Madura ke Surabaya melalui expedisi militer telah terhadi sejak sebelum kerajaan Mojopahit berdiri, yaitu : bantuan pasukan Sria Wiraraja dari Madura kepada Raden Wijaya untuk mengusir tentara Tartar (Gina). Setelah jaman kemerdekaan, apalagi setelah pemerintah mencanangkan Repelita tahun 1969 dan kota Surabaya menjadi kota INDAMARDI (Industri, Dagang, Maritim dan Pendidikan) sejak tahun 1971 kepergian orang Madura semakin intensif dan menjadi pola kebiasaan yang terus mengalir melalui saluran (chanel) teman dekat, saudara atau kerabat sekampung. Faktor pendorongnya adalah (1) tersedianya kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasai, (2) tidak ada hambatan psikologi? sosio dan budaya, (3) cerita sukses yang dibawa orang-orang Madura ketika pulang ke kampung halaman. Kedua, dalam mengembangkan strategi adaptasi, orang Madura senantiasa melakukan diversifikasi usaha dan memiliki jenis usaha atau profesi yang sesuai dengan tuntutan lingkungan serta sesuai pula potensi yang dimilki oleh orang Madura sendiri. Tiga, dalam perilaku ekonomi, orang Madura selalu menunjukkan semangat dan gairah yang tinggi dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi di Surabaya terutama dalam kegiatan ekonomi sektor informal. Perilaku ekonomi (pola produski, pola distribusi dan pola konsumsi) adalah bagian dari strategi adaptasi mereka dalam upaya mengembangkan kehidupannya sacara wajar di kota Surabaya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winarno
Abstrak :
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan sosial ekonomi Indonesia berasal dari masalah kependudukan. Masalah tersebut terutama berkaitan dengan besarnya jumlah penduduk, pertumbuhan penduduk yang relatif masih tinggi dan persebaran penduduk yang tidak merata. Propinsi Sumatera Barat mempunyai karakteristik khusus dalam hal budaya merantau juga menghadapi permasalahan kependudukan terutama karena fenomena migrasi tersebut. Perpindahan penduduk itu akan menyebabkan tidak meratanya distribusi persebaran penduduk, dan juga akan mempengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk di suatu daerah serta berpengaruh terhadap pembangunan daerah, karena penduduk hanya akan terkonsentrasi di daerah yang mempunyai daya tarik yang tinggi terutama Kota Padang sebagai ibukota Propinsi. Hai ini menyebabkan terjadinya kesenjangan antar daerah Kabupaten/Kota di Propinsi Sumatera Barat. Dengan melakukan analisis interaksi spasial dapat diperkirakan daya tarik suatu lokasi dibandingkan dengan lokasi lain di sekitarnya, sehingga dapat diketahui pola perpindahan penduduk yang cenderung ke daerah yang mempunyai daya tarik yang lebih tinggi. Hasil penelitian secara empiris dengan menggunakan gravity model menunjukkan bahwa faktor jumlah penduduk di daerah asal dan daerah tujuan serta jarak berpengaruh terhadap migrasi di Propinsi Sumatera Barat, dimana jarak mempunyai pengaruh yang negatif terhadap migrasi, sedangkan jumlah penduduk daerah asal dan daerah tujuan mempunyai pengaruh positif terhadap migrasi. Dan juga diketahui bahwa kesempatan kerja juga berpengaruh terhadap migrasi. Secara keseluruhan maka daerah yang daya tariknya paling tinggi dengan menggunakan variabel penduduk dan merupakan tujuan utama bagi penduduk Sumatera Barat untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok dan kabupaten Padang Pariaman. Sedangkan daerah yang daya tariknya paling rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto. Dengan menggunakan variabel kesempatan kerja memperlihatkan pola yang sama dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, dimana tujuan utama penduduk utama untuk pindah adalah kota Padang, kabupaten Solok. Dengan menggunakan model Feeney dapat diketahui bahwa sampai periode tahun 2010 daerah yang paling tinggi pertumbuhan penduduknya adalah kota Padang, kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan kabupaten Agam, sedangkan daerah yang pertumbuhan penduduknya rendah adalah kepulauan Mentawai dan kota Sawahlunto.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13199
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susanna Taslim
Abstrak :
Perpindahan (mobilitas) penduduk yang telah terjadi sejak tahun sembilan puluhan, membutuhkan data migrasi yang relevan, yaitu dengan pengukuran yang tepat. Selama ini migrasi diukur dengan angka migrasi kasar (crude migration rate =cmr), masih belum dapat menggambarkan kejadian migrasi yang terjadi, karena masih dipengaruhi oleh perubahan struktur usia. Untuk itu diperlukan suatu pengukuran yang telah terbebas dari pengaruh struktur usia. Untuk itu dibutuhkan data migrasi yang lebih rinci, yaitu migrasi yang dapat menggambarkan migrasi dengan renlang waktu yang relatif pendek, menurut kelompok usia. Data SUPAS 1995 memungkinkan untuk memperoleh data migrasi (risen) menurut kelompok usia dan daerah tujuan dan asal migran, melalui pengolahan data dengan menggunakan lamanya tinggal. Ananta dan Anwar (1995), telah mempergunakan suatu pengukuran migrasi yang terbebas dari pengaruh struktur usia, yang dikenal dengan gross-migra-production-rate (GMR), yang merupakan suatu angka indeks. Angka ini merupakan penjumlahan daripada angka migrasi menurut kelompok usia (age-specific-migration-rate). Pengukuran ini analog dengan Gross Reproduction Rate (GRR) dalam analisis fertilitas. Sesungguhnya, pengukuran ini digunakan dalam analisis demografi multiregional, yang merupakan perluasan dari pada demografi formal, sehingga hanya ada satu angka migrasi (angka migrasi keluar). Dengan menggunakan pengukuran ini dalam perspektif demografi uniregional, maka ditemukan dua angka migrasi, yaitu Gross-migra-out-prociuction-rate (GOMR) untuk mengukur migrasi keluar dan gross-migra-in-production-rate (GIMR) untuk mengukur migrasi masuk. Dengan menggunakan data SP 1980 dan SP 1990, Ananta dan Anwar (1995) menghitung GOMR dan GIMR untuk keduapuluh tujuh propinsi. Pengukuran ini memperhatikan kecenderungan angka migrasi masuk dan keluar, dengan membagi propinsipropinsi atas tujuh kelompok kecenderungan poia migrasi. Selanjutnya, Karyatna (1996) telah menggunakan pengukuran ini untuk mengestimasi angka migrasi periode 1990-1995, dengan menggunakan data SP 1980 dan SP 1990. Estimasi angka migrasi dilakukian sebelum keluarnya hash SUPAS 1995, dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu, yang juga melihat kecenderungan naik-lurunnya angka migrasi keluar dan masuk, dengan menghasilkan skenario pola migrasi. Berdasarkan skenario 1 dan 2, pola kecenderungan migrasi propinsi dibagi atas sembilan kelompok. Dan akhirnya, penelitian ketiga dilakukan Ananta et al. (1998), dengan menggunakan data SUPAS 1995, telah lebih maju. Pengukuran migrasi yang dilakukan telah memperhitungkan penduduk yang beresiko untuk pndah, serta adanya kriteria GMR yang tertentu. Angka migrasi dikelompokkan atas tiga, yaitu migrasi rendah (GMR-nya kecil dari 0,20), migrasi sedang (GMIR berada antara 0,20 - 0,40) dan migrasi tinggi (GMR-nya besar dari 0,40). Penelitian ini membagi propinsi-propinsi atas lujuh kelompok. Namun, keliga penelitian ini belum melihat GMR menurut propinsi asal dan propinsi tujuan. Thesis ini bertujuan untuk mengestimasi angka migrasi (risen) pada propinsipropinsi, dengan menggunakan variabel lamanya linggal : lima, empat, tiga, dua dan satu tahun pada propinsi tempat tinggal sekarang. Setelah memperoleh data migrasi, maka akan dapat diketahui bagaimana pola kecenderungan migrasi risen yang terjadi. Untuk itu diperlukan data migran menurut kelompok usia dan jenis kelamin untuk duapuluh tujuh propirisi. Data tersebut diperoleh melalui beberapa tahapan, yaitu : (1) menginterpolasi jumlah penduduk menurut kelompok usia lima tahunan dan jenis kelamin untuk 27 propinsi, (2) Mendapatkan variabel migran menurut kelompok usia lima tahunan, propinsi asal dan propinsi tujuan.(3) mengestimasi data jumlah penduduk usia 0-4 tahun dengan asumsi 25 persen penduduk usia 0-4 mengikuti penduduk wanita usia 15-19 tahun, dan (4) mengestimasi angka migrasi risen ketuar dan masuk (GOMR, GIMR). Data dan angka migrasi yang dihasilkan adalah berdasarkan data kumulatif. Selanjutnya diestimasi lagi migran berdasarkan titik waktu yang diinginkan, dengan teknik yang sederhana dari data migran kumulatif, khusus untuk dua propinsi, yaitu : Sumatera Barat dan DKI Jakarta. Dari hasil estimasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa beberapa hai yang menarik : 1. Angka migrasi propinsi-propinsi terus mengalami penurunan, dengan kecepatan yang bervariasi antar propinsi. Ada yang relatif cepat, tetapi ada juga yang sangat cepat. Propinsi-propinsi yang semula berada pada delapan kelompok berdasarkan kecenderungan migrasinya (1989-1995), pada akhir periode pengamatan (1993-1995), duapuluh empat propinsi telah masuk pada kelompok migrasi rendah. Hanya tiga propinsi yang masih berada pada kelompok migrasi lainnya, yaitu DKI Jakarta pada kelompok empat yang bercirikan migrasi sedang dan Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara pada kelompok tiga yang bercirikan migrasi masuk sedang dan migrasi keluar rendah. 2. Angka migrasi laki-laki pada umumnya lebih besar daripada perempuan. Namun ada pada beberapa propinsi ditemukan angka migrasi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki, yaitu di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sulawesi Tenggara. 3. Konsentrasi migran masih pada kelompok-kelompok usia muda, yaitu 20-29 tahun untuk perempuan. Sedangkan untuk migran laki-laki, sedikit lebih tinggi, yaitu 25-34 tahun. 4. Propinsi tujuan migran dan propinsi asst migran masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. DKI Jakarta masih mempunyal daya tarik yang cukup besar untuk didatangi, meskipun akhirnya telah digeser oleh Jawa Barat. 5. Berdasarkan data tahunan, terlihat bahwa angka migrasi yang diperoleh lebih kecil. Pola migrasinya bervariasi antara migrasi keluar laki-laki dan perempuan dengan migran masuk laki-laki dan perempuan. Di masa mendatang, ketersediaan data migrasi yang lebih rinci dan semakin komprehensif sangat dibutuhkan, sehingga dapat digunakan untuk berbagai analisis demografi, khususnya migrasi. Untuk itu disarankan agar Badan Pusat Statistik dapat mengumpulkan dala tersebut dalam Sensus Penduduk pada pertanyaan kor (inti), sehingga kesalahan sampling dapat diatasi, dan ketersediaan data untuk analisis dapat direalisasikan.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syahfirin Abdullah
Abstrak :
ABSTRAK
Saat ini semakin disadari pentingnya penyebaaran kegiatan ekonomi dan pembangunan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Perkembangan kegiatan ekonomi luar Jawa diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk dan mengurangi perpindahan penduduk ke Palau Jawa yang pada gilirannya akan mengurangi permasalahan kependudukan di Indonesia

Propinsi Lampung sejak lama menjadi daerah tujuan migrasi penduduk Pada jaman penjajahan, Lampung ditetapkan sebagai salah satu daerah kolonisasi oleh pemerintah penjajahan Belanda Pada jaman awal kemerdekaan hingga masa orde baru daerah Lampung juga dijadikan sebagai daerah penempatan transmigran.

Mengingat sejarahnya yang panjang sebagai wilayah penempatan transmigran, di Propinsi Lampung banyak terdapat wilayah dengan mayoritas penduduk pendatang terutama dari Palau Jawa sehingga banyak tempat tempat di propinsi Lampung yang mempunyai nama yang lama dengan di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Karena penduduk yang berasal dari daerah lain jumlah cukup banyak, naaka hubungan antara penduduk Lampung dengan penduduk dari daerah lain, khususnya Jawa menjadi sangat intensif. Didukung dengan letak geografis daerah Lampung sangat berdekatan dengan Pulau Jawa, kondisi ini menyebabkan daerah Lampung merupakan salah satu tujuan utama transmigrasi swakarsa dari Pulau Jawa. Oleh karena itu, walaupun penempatan transmigrasi umum oleh pemerintah ke Lampung telah dihentikan sejak tahun 1980, tetapi penduduk Jawa yang masuk ke Lampung masih tetap besar. Mengingat sumber daya alam dan pembangunan masing-masing daerah atau kabupaten di daerah Propinsi Lampung juga berbeda-beda, maka distribusi atau persebaran penduduk tidak tersebar secara merata.

Melihat kenyataan-kenyataan yang telah disebutkan di atas, menarik untuk diselidiki faktor apa saja yang mempengaruhi migrasi masuk ke Lampung dan migrasi masuk antar kabupaten di Propinsi Lampung berikut karakteristik migran yang masuk ke Lampung. Dengan itu diharapkan dapat diperoleh gambaran tentang migran sehubungan dengan karakteristik kependudukan individu migran itu sendiri (umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan lain-lain) dan karakteristik latar belakang daerah asalnya. Untuk tujuan itu, dalam penelitian ini digunakan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1985.

Ada dua tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Pertama, memperoleh gambaran mengenai migran yang masuk ke Propinsi Lampung yaitu yang menyangkut karakteristik individu dan latar belakangnya. Kedua, melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi probabilita seseorang untuk melakukan perpindahan ke Propinsi Lampung baik yang berasal dari propinsi lain maupun yang berasal dari Propinsi Lampung sendiri (migrasi antar kabupaten).

Berkaitan dengan tujuan kedua di atas, akan dilihat berapa besar pengaruh dari masing-masing faktor yang bersangkutan dalam hal ini dilakukan dengan analisis inferens. Selain itu juga akan dilakukan analisis deskriptif mengenai karakteristik migran yang ada di Propinsi Lampung. Hal terakhir ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai migran yang ada di daerah tersebut.

Penelitian ini dilakukan dengan dua metode yaitu analisis deskriptif (analisa tabulasi silang) dan analisis inferens. Analisis inferens dilakukan dengan membuat fungsi multinomial logistic untuk mengetahui probabilita migrasi masuk ke Propinsi Lampung. Variabel babas yang digunakan dalam analisis adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan dan dua variabel kontekstual yaitu pendapatan per kapita dan peran sektor industri dalam PDRB. VariabeI kontekstual diperoleh dengan satuan analisis kabupaten (wilayah di propinsi Lampung) dan Propinsi untuk wilayah di luar Lampung.

Di antara penduduk muda (berumur di bawah 25 tahun) proporsi bukan migrannya adalah lebih kecil dibandingkan dari pada di antara penduduk tua (berumur 25 tahun atau lebih). Sementara itu proporsi migran antar Kabupaten di antara penduduk muda (di bawa 25 tahun) adalah sedikit lebih tinggi di banding pada penduduk umur tua, namun perbedaan proporsinya relatif kecil

Penduduk yang berpindah dan propinsi lain, baik dari Jawa maupun dari propinsi lainnya nampaknya terdiri dari orang-orang muda yang berumur di bawah 25 tahun. Hal ini terlihat pada beda proporsi migran dari propinsi lain di antara penduduk berumur kurang dari 25 tahun jauh lebih besar dibandingkan dengan yang berumur 25 tahun atau lebih. Pada penduduk muda proporsinya adalah sebesar 0,062 sedangkan pada penduduk tua hanya sekitar setengahnya atau sebesar 0, 031.

Kenyataan ini nampaknya sesuai dengan dugaan kita sebelumnya yang mana migran terdiri dari kaum muda yang produktif. Keputusan migran nampaknya merupakan keputusan ekonomi yang memperhitungkan kemungidnan memperoleh pekerjaan, dan jangka waktu bekerja di daerah tujuan. Pada penduduk muda, masa kerja di daerah tujuan adalah lebih lama dibandingkan dengan penduduk tua Semakin lama masa kerja di daerah tujuan semakin besar manfaat ekonomi yang diperoleh dari perpindahan yang telah dilakukan. Sebaliknya kesempatan ekonomi yang diharapkan oleh penduduk tua adalah lebih kecil, mengingat kemampuan yang semakin terbatas. Sementara itu masa kerja yang mungkin dapat dilakukan oleh penduduk tua lebih sedikit.

Nampaknya tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan perempuan dalam hal proporsi bukan migran. Proporsi bukan migran pada laki-laki adalah 0,880 sedangkan pada perempuan sebesar 0,878. Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk wanita adalah lebih rendah dibandingkan pada penduduk laki-laki, yang mana pada laki-laki proporsinya sebesar 0,081 sedangkan pada wanita sebesar 0,069.

Proporsi migran antar kabupaten pada laki-laki maupun perempuan adalah lebih besar dibandingkan dengan proporsi migran dan luar propinsi. Kendala jarak nampaknya menyebabkan probability pindah antar kabupaten menjadi lebih besar dari pada probability pindah antar propinsi. Selain itu, dalam propinsi yang sama pengetahuan mengenai kondisi daerah tujuan lebih dapat diketahui secara seksama. Sementara itu bagi penduduk asal luar propinsi informasi ini lebih terbatas.

Migran dari luar propinsi Lampung nampaknya lebih banyak yang berstatus belum kawin dari pada yang pernah kawin. Ini terlihat dari migran asal luar propinsi yang mana proporsinya lebih besar dikalangan penduduk belum kawin dibandingkan dengan pada penduduk yang pemah kawin. Pada penduduk yang berstatus belum pernah kawin proporsinya adalah sebesar 0,053 sedangkan pada penduduk yang pernah kawin proporsinya sebesar 0,04.

Kenyataan ini nampaknya berhubungan dengan beban yang harus dipikul dalam bermigrasi. Pada penduduk yang belum kawin beban yang harus ditanggung dalam perjalanan migrasi maupun beban moral dalam meninggalkan daerah asal adalah lebih rendah. Pada penduduk yang berstatus kawin, beban yang harus ditanggung lebih besar, misalnya harus membawa serta anak dan istri. Dalam kondisi yang belum pasti di daerah tujuan, adanya beban tanggungan ini bukan masalah sederhana. Biaya yang harus ditanggung, apalagi apabila migran tidak langsung memperoleh penghasilan yang cukup adanya beban tanggungan akan sangat memberatkan.

Variabel pendidikan formal nampaknya tidak begitu diperhatikan dalam menentukan keputusan migrasi ke dareah lampung. lni terlihat pada tidak adanya perbedaan proporsi migran menurut pendidikan Proporsi migran antar kabupaten pada penduduk berpendidikan tamat SD atau lebih adalah sebesar 0,074 dan pada penduduk yang berpendidikan lebih rendah adalah sebesar 0,075. Hal yang sama juga terjadi pada proporsi migran asal luar propinsi, yang mana pada penduduk yang berpendidikan rendah (tidak tamat SD atau tidak sekolah) maupun berpendidikan tamat SD atau lebih sama-sama sebesar 0,045.

Kenyataan ini diduga karena sebagian besar migran yang datang ke Propinsi Lampung tujuannya adalah bekerja di sektor pertanian (perkebunan). Pada sektor pertanian, pendidikan formal bukanlah suatu hai yang penting dalam menentukan penghasilan pekerja. pengalaman bertani dan bercocok tanam malah lebih diperlukan. Selain itu diperkirakan, pendatang ke propinsi Lampung, selain petani adalah pedagang sektor informal, yang mana sama halnya dengan pertanian, pendidikan formal bukan hal yang menentukan penghasilan pekerja.

Setelah kita perhatikan perbedaan proporsi migrasi berdasarkan variabel individu, sekarang mari kita perhatikan pengaruh variabel lingkungan terhadap proporsi migrasi. Keputusan migrasi nampaknya tidak dipengaruhi oleh kondisi perekonomian daerah. Bila dibandingkan proporsi migran pada penduduk yang daerahnya mempunyai PDRB perkapita rendah dengan yang tinggi nampak tidak ada perbedaan.

Variabel tingkat industrialisasi nampaknya mempunyai pengaruh yang berbeda antara kelompok migran maupun antara tingkat industrialissisi rendah dan tinggi. Pada Tabel 4 terlihat bahwa proporsi bukan migran lebih besar pada daerah yang tingkat industrialisasinya lebih tinggi. Sedangkan proporsi migran antar kabupaten daerah yang tingkat industrinya rendah proporsi migrannya tinggi.. Proporsi migran dari luas propinsi ternyata hampir tidak ada perbedaan menurut tingkat industrialisasi.
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>