Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Melita Adiwidjaja
Abstrak :
Defisiensi besi adalah defisiensi mikronutrien yang paling sering ditemui. Jika tidak diobati, dapat menyebabkan anemia defisiensi besi dan gangguan kognitif, terutama pada anak usia sekolah, yang ireversibel. Diagnosis defisiensi besi rumit, tidak praktis, dan mahal. Organisasi AAP merekomendasikan RET-He sebagai pemeriksaan laboratorium untuk skrining defisiensi besi. Tujuan penelitian adalah untuk mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi pada anak usia 6 – 18 tahun. Studi ini merupakan studi potong lintang terhadap 207 anak sehat usia 6 - 18 tahun di Indonesia. Penelitian ini mencari nilai batasan RET-He untuk skrining status besi, kemudian dibandingkan dengan hemoglobin, mean corpuscular volume, feritin, dan saturasi transferin. Kurva ROC dikerjakan untuk menentukan nilai batasan RET-He untuk skrining status besi dengan menggunakan IBM SPSS versi 22. Pemeriksaan RET-He mendapatkan nilai batasan ≤ 30,3 pg (sensitivitas 100%, spesifisitas 19,7%, NDN 100%, NDP 5,4%) untuk skrining deplesi besi; nilai batasan RET-He ≤ 28,9 pg (sensitivitas 78,9%, spesifisitas 56,2%, NDN 92,2%, dan NDP 28,9%) untuk defisiensi besi; dan nilai batasan RET-He ≤ 27 pg (sensitivitas 75%, spesifisitas 80%, NDN 98,1%, dan NDP 18,7%) untuk anemia defisiensi besi. Peneliti menarik kesimpulan bahwa RET-He dapat digunakan sebagai parameter skrining defisiensi besi dengan nilai batasan ≤ 28,9 pg. Skrining untuk anemia defisiensi besi dapat menggunakan RET-He dengan nilai batasan ≤ 27 pg, namun harus dilakukan dengan parameter lain, seperti Hb. Pemeriksaan RET-He dengan nilai batasan ≤ 30,3 pg tidak dapat digunakan untuk skrining deplesi besi. ......Iron deficiency (ID) is the most common micronutrient deficiency in the world. Left untreated, ID will lead to iron deficiency anemia (IDA) and other irreversible consequences. Screening iron deficiency is complex, impractical, and expensive. The AAP recommended RET-He as an alternative laboratory examination to screen ID. The objective is to find RET-He cut-off value to screen for iron status in healthy children, aged 6 – 18 years old. This study is a cross-sectional study of 207 children aged 6 – 18 years old in Indonesia. RET-He was compared with hemoglobin, mean corpuscular volume, ferritin to assess iron status in children. Receiver operating curve was performed to determine the optimal cut-off value for RET-He using IBM SPSS 22. Reticulocyte hemoglobin equivalent with cut-off value ≤ 30.3 pg was established to screen iron depletion (100% sensitivity, 19.7% specificity, 100% NPV, 5.4% PPV); meanwhile RET-He ≤ 28.9 pg to screen iron deficiency (78.9% sensitivity, 56.2% specificity, 92.2% NPV, 28.9% PPV); and RET-He ≤ 27 pg to screen IDA (75% sensitivity, 80% specificity, 98.1% NPV, 18.7% PPV). The researcher concluded that RET-He can be used as an iron deficiency screening parameter with a cut-off value ≤ 28.9 pg. Screening for IDA with RET-He ≤ 27 pg need to be done with other parameters, such as Hb. RET-He ≤ 30.3 pg cannot be used for iron depletion.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59203
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melyarna Putri
Abstrak :
Sekitar 15-20% pasien poliklinik dan unit gawat darurat datang dengan masalah sawar kulit seperti pemfigus, toxic epidermal necrolysis (TEN), dan eritroderma. Masalah nutrisi terjadi pada penyakit sawar kulit melalui beberapa hal, yaitu kondisi hipermetabolisme sedang sampai berat, masalah pemenuhan nutrisi, kehilangan protein dari lesi kulit, dan efek samping metabolik akibat terapi steroid dosis tinggi jangka panjang. Empat pasien serial kasus dengan diagnosis pemfigus, TEN, dan eritroderma dengan masing-masing kondisi penyerta seperti gangguan hati, obesitas, DM tipe lain dan sepsis. Terapi medik gizi diberikan berdasarkan kondisi klinis, toleransi asupan, dan hasil laboratorium pasien. Target pemberian nutrisi dihitung menggunakan Harris Benedict dengan tambahan faktor stress 1,3-1,5. Diberikan nutrisi dengan komposisi seimbang, terdiri atas protein 1,32 g/kg BB ideal/hari, lemak 2530%, dan karbohidrat 4565%. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin B kompleks 3x1, asam folat 1x1 mg, vitamin A 12.000 IU, vitamin C 500-1000 mg, dan seng 2x20 mg. dari monitoring dan evaluasi dilaporkan bahwa pemberian mikronutrien pada penyakit sawar kulit dapat meningkatkan penyembuhan luka dan menurunkan risiko metabolik. Dari empat pasien serial kasus ini, didapatkan satu kasus mortalitas yaitu pada pasien dengan penyulit sepsis. Ketiga pasien kasus lainnya mengalami perbaikan kondisi klinis, penyembuhan luka baik, tidak ada infeksi dan komplikasi selama perawatan, kontrol glikemik baik, perbaikan kapasitas fungsional, dan lama rawat pasien lebih singkat. Ketiga pasien dipulangkan untuk rawat jalan. Terapi medik gizi yang optimal dapat memerbaiki luaran klinis serta menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien pemfigus, TEN, eritroderma tanpa penyulit metabolik ......One in five to six patients at the polyclinic and emergency department present with skin barrier problems such as pemphigus, toxic epidermal necrolysis (TEN), and erythroderma. Nutritional problems occur in skin barrier disease through several things, namely moderate to severe hypermetabolic conditions, problems with nutritional compliance, loss of protein from skin lesions, and metabolic side effects due to long-term high dose steroid therapy. Three case series patients with pemphigus, TEN with hepatic complications, and erythroderma with obese nutritional status I and one case of pemphigus complicating sepsis and other types of DM. Nutritional medical therapy is given based on the clinical condition, intake tolerance, and laboratory results of the patient. The target of nutrition intake is calculated using Harris Benedict with a stress factor of 1.3-1.5, with a balanced composition, consisting of protein 1.3-2 g / kg ideal body weight / day, 25-30% fat, and 45-65% carbihydrates. The micronutrients were given in the form of 3x1 vitamin B complex, 1x1 mg folic acid, 12,000 IU vitamin A, 500-1000 mg vitamin C, and 2x20 mg zinc. Administration of micronutrients in skin barrier disease can improve wound healing and reduce metabolic risk. In four case series patients, there was one case mortality in a patient with complicated sepsis. The others had improved clinical conditions, good wound healing, no infection and complications during treatment, good glycemic control, improved functional capacity, and shorter patient length of stay. The three patients were discharged for outpatient care. Optimal nutritional medical therapy can improve clinical outcomes and reduce morbidity and mortality in patients with pemphigus, TEN, erythroderma without metabolic complications
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Tujuan: Defisiensi vitamin A pada anak masih merupakan masalah gizi masyarakat di Indonesia. Pengukuran kadar retinol serum/plasma merupakan cara terbaik untuk menentukan status vitamin A. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa infeksi menurunkan kadar retinol serum, sehingga dapat salah mendiagnosa status vitamin A, dan dapat mempengaruhi kebijakan penanggulangan masalah defi siensi vitamin A di masyarakat. Penelitian ini bertujuan memperlihatkan pentingnya menerapkan faktor koreksi berdasarkan status infeksi pada kadar retinol serum, sebagai petanda status vitamin A. Metode: Survei yang melibatkan 54 anak sekolah sehat dilaksanakan di Nusa Tenggara Timur. Pengukuran tinggi, berat badan, kadar retinol, CRP dan AGP serum dilakukan. Berdasarkan kadar CRP dan AGP serum, subyek penelitian dibagi dalam empat kelompok: tanpa infeksi, masa inkubasi, penyembuhan awal dan penyembuhan akhir. Faktor koreksi didapatkan dengan membagi kadar retinol serum dari kelompok subyek tanpa infeksi dengan masingmasing tiga kelompok lainnya. Faktor koreksi tersebut kemudian digunakan untuk mendapatkan kadar retinol serum yang tidak dipengaruhi oleh adanya infeksi. Hasil: Prevalensi subyek yang pendek dan berat kurang adalah 43% dan 22%, dan tidak ada subyek yang kurus. Sebelum dan setelah kadar retinol serum dihitung dengan faktor koreksi, prevalensi defi siensi vitamin A menurun dari 20.4% menjadi 18.5%, sehingga defi siensi vitamin A yang tanpa faktor koreksi merupakan masalah gizi masyarakat yang berat, menjadi masalah gizi menengah setelah faktor koreksi diterapkan. Perubahan tingkat masalah gizi ini dapat merupakan faktor penentu rencana kebijakan penanggulangan masalah gizi tersebut. Kesimpulan: Menerapkan faktor koreksi berdasarkan keadaan infeksi menurunkan besaran masalah defi siensi vitamin A. Hal ini dapat mempengaruhi kebijakan perencanaan program gizi masyarakat.
Abstract
Aim: Vitamin A defi ciency among children is still a public health problem in Indonesia. Serum/plasma retinol concentration is the best indicator in assessing vitamin A status. However, there is growing concern that infection/ infl ammation lowers serum retinol concentration, thus creating potential misinterpretation of vitamin A status, which could affect policy makers in planning suitable nutrition programs targeted at community. The aim of this study was to highlight the importance of applying correction factors, to better interpret serum retinol as a nutritional status biomarker. Methods: A cross sectional study involving 54 apparently healthy school children was conducted in East Nusa Tenggara. Height, body weight, concentrations of serum retinol, CRP and AGP were assessed. Based on concentrations of serum CRP and AGP, four infl ammation groups were determined, namely reference, incubation, early convalescence and late convalescence groups. Correction factor was obtained by dividing serum retinol concentration of reference group by that of the other three groups. Correction factors were then used to correct serum retinol concentration without any infl uence of infection/infl ammation. Results: The prevalence of stunting and underweight were 43% and 22% respectively, but there was no wasting among the school children. Applying correction factor lowered the prevalence of vitamin A defi ciency from 20.4% to 18.5%; thus changing vitamin A defi ciency from a severe public health problem to a moderate public health problem. Conclusion: Correcting serum retinol concentration for the infl uence of infection reduced the apparent severity of vitamin A defi ciency. This could affect policy for planning nutrition programs designed for communities
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Nurul Ihsani
Abstrak :
Minimum dietary diversity (MDD) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur densitas gizi mikro dari makanan anak berusia 6 – 23 bulan, yang dapat digunakan juga sebagai prediktor kegagalan indikator antropometri. Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang berhubungan dengan ketidaktercapaian Minimum Dietary Diversity (MDD) pada anak usia 6 – 23 bulan di Indonesia. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 10.800 anak yang didapatkan dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan menggunakan data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar 2018. Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara usia anak (p < 0,0005), usia ibu (p = 0,01),tingkat pendidikan ibu (p < 0,0005), tingkat pendidikan ayah (p < 0,0005), frekuensi ANC (p < 0,0005), tempat persalinan (p < 0,0005), pelayanan PNC (p < 0,0005), tempat tinggal (p < 0,0005), dan pemantauan pertumbuhan anak (p < 0,0005) terhadap ketidaktercapaian MDD anak usia 6-23 bulan. Sementara hasil analisis multivariat diketahui bahwa faktor paling dominan dari ketidaktercapaian MDD yaitu usia anak dengan nilai p < 0,0005 (aOR = 2,762, 95% CI: 2,507 – 3,043). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai evidence based dalam penyusunan kebijakan dan program gizi khususnya terkait dengan PMBA. .....Minimum dietary diversity (MDD) is an indicator to measure the micronutrient density of children aged 6-23 months, which can also be used as a predictor of anthropometric failure. This study aims to analyze the determinants of not meeting the criteria of Minimum Dietary Diversity (MDD) in children aged 6 – 23 months in Indonesia. The design used in this study was cross sectional with a total sample of 10,800 children obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria using secondary data from the Riskesdas 2018. The results of bivariate analysis showed a significant association between children's age (p < 0.0005), mother’s age (p = 0,01), mother's education level (p < 0.0005), father's education level (p < 0.0005), ANC frequency (p < 0.0005), place of delivery (p < 0.0005), PNC services (p < 0.0005), place of residence (p < 0.0005), and monitoring of children's growth (p < 0.0005) on MDD in children aged 6-23 months. Meanwhile, the results of the multivariate analysis showed that the most dominant factor in the achievement of MDD was the age of the child with p value < 0.0005 (aOR = 2.762, 95% CI: 2.507 – 3.043). The results of this study are expected to provide benefits as evidence based in the formulation of nutrition policies and programs, especially those related to IYCF.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Le Thandar Soe
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari optimized food-based recommendation FBR dan biskuit fortifikasi terhadap performa kognitif siswa sekolah dasar. Cluster randomized controlled trial selama enam bulan pada anak sekolah usia 7-9 tahun n=252 dilaksanakan di 12 sekolah di Kota Nyaundon yang terdiri dari 3 kelompok; kombimasi optimized FBR dan biskuit fortifikasi, optimized FBR, dan kontrol. Performa kognitif, antropometri, dan indicator biokimia diukur sebagai outcome. Pada kedua kelompok intervensi optimized FBR dengan biscuit fortifikasi dan optimized FBR terdapat pengaruh yang significant terhadap performa kognitif, weight-for-age z-scores dan kadar besi serum. Akan tetapi kombinasi optimized FBR dengan biscuit fortifikasi menghasilkan skor performa kognitif yang lebih tinggi dibandingkan optimized FBR saja dengan skor yang lebih tinggi secara signifikan pada daya ingat 1.1 0.1: p-vale
The study aimed to determine the effect of optimized food-based recommendation FBR and fortified biscuits on cognitive performance of primary school children. A six-month cluster randomized controlled trial among 7-9 years old school children n=252 were conducted at 12 schools in Nyaungdon Township with three intervention groups; optimized FBR with fortified biscuits, optimized FBR, and control. The cognitive performances, anthropometry and biochemical indicators were assessed as outcomes. Analysis of covariance and multiple linear regression analysis were done. Both intervention optimized FBR with fortified biscuits and optimized FBR groups had significant effect on the cognitive performances, weight-for-age z-scores and serum iron status. But combined optimized FBR with fortified biscuits improved cognitive performances higher scores than optimized FBR alone with significantly higher in memory 1.1 0.1: p-vale.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditia Budiman
Abstrak :
Mikronutrien merupakan komponen yang penting dalam makanan dan memiliki peranan yang fundamental dalam mencegah penyakit. Termasuk di dalam kategori mikronutrien adalah elemen besi. Kekurangan unsur besi dapat menimbulkan berbagai penyakit, termasuk di antaranya adalah anemia defisiensi besi. Pengobatan anemia defisensi besi dilakukan dengan administrasi senyawa besi inorganik seperti ferro sulfat dan ferro fumarat. Akan tetapi bioavailabilitasnya buruk dan efek sampingnya menganggu. Beberapa efek samping yang dapat timbul adalah konstipasi, diare, serta mual. Kompleksasi besi dengan protein diketahui memberikan bioavailabilitas yang lebih baik. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dibuat kompleks besi (II) proteinat dari bahan pasir besi serta protein ampas kecap. Serbuk protein ampas kecap dibuat dari ampas kecap dengan pengeringan, penggilingan, dan pengayakan. Besi diekstraksi dari pasir besi dengan metode pelarutan asam. Kandungan besi yang terekstraksi ditentukan dengan metode spektrofotometri serapan atom (SSA). Senyawa besi (II) proteinat dibuat dengan tiga perbandingan yang berbeda yakni 10%, 12,5%, dan 15% untuk diketahui kondisi sintesis yang optimum. Penetapan kadar logam terikat dilakukan dengan menggunakan metode SSA. Produk yang diperoleh diuji dengan uji permeasi in vitro menggunakan sel difusi Franz serta uji peningkatan berat badan pada tikus dengan pembanding besi (II) sulfat. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa produk dengan rendemen serta kadar besi yang optimum adalah kompleks besi (II) proteinat 15% dengan rendemen 79,2040% dan kadar besi terikat 13,6395 mg/g. Berdasarkan hasil uji difusi Franz diketahui bahwa tidak ada senyawa besi (II) proteinat 15% yang berpenetrasi hingga akhir percobaan. Berdasarkan hasil uji kenaikan berat badan pada tikus, diketahui bahwa suplementasi besi (II) proteinat 15% dapat meningkatkan berat badan pada hewan uji menunjukkan bioavailabilitas yang baik pada hewan uji. ......Micronutrients are one of the important elements in our diets that have a fundemantal role in prevention of desease’s. Iron element is one of the micronutrients mentioned above. Iron depletion can lead to several desease’s. One of them would be iron deficiency anaemia. Iron deficiency anaemia is usually treated by administration of inorganic iron compounds such as ferrous sulfate and ferrous fumarate. It is well known that inorganic iron have terrible bioavaiability an disturbing adverse reactions. Adverse reactions to therapeutic doses of inorganic iron are constipation, diarrhea, and vomitting. It is also known that chelation between iron element and protein offers better bioavaibility of iron to the body. In this study, synthesis of iron proteinate complex would be carried out by the reaction between soy waste protein powder and iron sand. Soy sauce waste protein powder was prepared by heating, milling, and sieving of raw soy sauce waste. Extraction of iron from iron sand is carried out by acidic solution with heating. Amount of iron extracted is determined by Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) assays. iron proteinate compound was made in three comparison namely 10%, 12,5%; and 15%. Amount of iron bound to the product obbtained is analysed by AAS assays. The product obtained is then assayed to Franz penetration test as well as weight test on rats. It is then known that optimum synthesis method of metal-proteinate is obtain from metalproteinate 15%, which shows the highest yield of 79,2040% with 13,63965 mg/g iron bound to the product compound. Based on the result from Franz penetration test, It is known that metal-proteinate 15% failed to penetrate the membrane untill the end of the test. Based on the result from weight gain test it is then known that supplementation of iron-proteinate 15% resulted in weight gain in rats,showing good bioavailability in rats.
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soenarjo Soejoso
Abstrak :
Pemerintah di dunia sedang berkembang memberi semua ibu hamil mendapat antenatal care, memberi tablet besi dan asam folat (IFO) sedini mungkin dalam jumlah cukup. Lembaga Internasional di dunia mendorong pemberian suplemen mikronutrien multipel (MNM) pada ibu hamil, dimaksudkan memberi efek positip pada pertumbuhan fetus dalam umur gestasi cukup bulan. Pemberian MNM pada semua ibu hamil hasilnya inkonsisten. Penelitian ini bertujuan melihat efek MNM khusus pada ibu hamil tanpa komplikasi terhadap outcome kelahiran yaitu: pertumbuhan (berat lahir), perkembangan (lingkar kepala lahir) dan maturitas (umur gestasi) bayinya. Harapannya adalah setiap bayi lahir bisa dibekali dengan pertumbuhan, perkembangan dan maturitas yang optimal sebagai satu kesatuan hasil kelahiran. Masih diragukan apakah suplementasi MNM pada ibu hamil lebih baik jika dibandingkan dengan IFO untuk memperbaiki antropometri dan umur gestasi. Pertanyaan tersebut ingin dipecahkan melalui pemberian suplemen MNM pada ibu hamil tanpa komplikasi dibandingan IFO. Penelitian ini mengeluarkan faktor yang menyebabkan hambatan pertumbuhan fetus dari populasi studi, memanfaatkan data sekunder studi SUMMIT di Pulau Lombok 2001 ? 2004, desainnya randomized control trial double blind. Analisis data melihat efek MNM terhadap rata-rata tiga outcome dengan statistik MANOVA; terhadap masing-masing outcome secara tersendiri yaitu berat lahir di bawah normal, lingkar kepala di bawah normal dan umur gestasi di bawah normal; terhadap status gizi prahamil rendah dibanding status gizi prahamil baik. Suplementasi MNM meningkatkan rata-rata berat lahir 38,52g lebih tinggi dibanding IFO, secara statistik bermakna. Risiko terjadinya berat lahir <2.600 g pada suplementasi IFO ibu hamil tanpa komplikasi sebesar 1,2 kali dibanding MNM, apabila menggunakan batas α=0,10 secara statistik bermakna, 90%CI: 1,00-1,46. Jika pemberian IFO diganti dengan MNM, akan tercegah sebanyak 13/1.000 bayi dengan berat lahir <2.600 g. Kejadian berat lahir <2.600 g pada pemberian IFO bisa dikurangi 15,1% dari kejadian 83/1.000 bayi lahir bila diganti MNM. Risiko terjadinya berat lahir <2.600 g pada suplementasi IFO jika diganti dengan MNM lebih jelas pada IMT prahamil <18,50 sebesar 1,7 kali bila menggunakan batas α=0,10 secara statistik bermakna, 90%CI: 1,08-2,65. Jika pemberian IFO pada ibu hamil tanpa komplikasi dengan status gizi prahamil rendah diganti dengan MNM, akan tercegah sebanyak 70/1.000 bayi dengan berat lahir <2.600g. Kejadian berat lahir <2.600g pada pemberian IFO ibu hamil tanpa komplikasi dengan IMT prahamil <18,50 bisa dikurangi 40,7% dari kejadian 172/1.000 bayi lahir bila diganti MNM.
Government on developing countries care to all pregnant women for ANC access, give iron?folic acid (IFO) as soon as possible. International agencies on the world stimulate multiple micronutrients (MMN) suplement to pregnant women, that is aimed for giving good of fetal growth in appropriate gestation age. MMN distribution for all pregnant women still have inconsisten result. The purposes of this study look for MMN effect especially on pregnant women without complication for birth outcome: growth (birth weight), development (head circumference at birth) and maturity (gestation age). It is doubted that MMN suplementation on pregnant women is better than IFO for increasing anthropometry and gestation age. This research need specific care with restrict factors that delay fetal growth, using SUMMIT secondary data at Lombok Island 2001-2004 with RCT double blind design. Analyzing data was looking the MMN effect for three mean outcome values by MANOVA statistic, was looking the MMN effect for each outcome individually: birth weight below normal cut-off, head circumference at birth below normal cut-off and gestasion age below normal cut-off, was look at low prepregnancy BMI stratum comparing by normal prepregnancy BMI. MMN suplementation increases mean birth weight as 38,52g more than IFO with statistical significant. The risk of <2,600 g birth weight happened at IFO supplementation on pregnant women without complication were 1.2 time comparing with MNM. If it used at α=0.05 level, it was not statistical significant, but when it used at α=0.10 level, it was statistical significant with 90%CI: 1.00-1.46. If IFO supplementation on pregnant women without complication be replaced by MNM, it would prevent as 13/1,000 infant with <2,600 g birth weight. Incidence of <2.600 g birth weight at IFO supplementation on pregnant women without complication could be decreased 15.1% of 83/1,000 at birth babies happened if it were replaced by MNM. The risk of <2,600 g birth weight happened at IFO supplementation on pregnant women without complication if it be replaced by MNM were clearer on pregnant women without complication at <18.50 prepregnancy BMI stratum as 1.7 time. If it used at α=0.05 level, it was not statistical significant, but when it used at α=0.10 level, it was statistical significant with 90%CI:1.08-2.65. If IFO supplementation on pregnant women without complication at low nourish prepregnancy status were replace with MNM, it would be prevent as 70/1,000 infant with <2,600g birth weight. Incidence of <2,600g birth weight at IFO supplementation on pregnant women without complication at <18.50 prepregnancy BMI stratum could be decreased as 40,7% of 172/1,000 at birth babies happened if it were replaced by MNM.
Depok: Universitas Indonesia, 2012
D1304
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
This widely acclaimed book is a complete, authoritative reference on nutrition and its role in contemporary medicine, dietetics, nursing, public health, and public policy. Distinguished international experts provide in-depth information on historical landmarks in nutrition, specific dietary components, nutrition in integrated biologic systems, nutritional assessment through the life cycle, nutrition in various clinical disorders, and public health and policy issues. Modern Nutrition in Health and Disease, 11th Edition, offers coverage of nutrition's role in disease prevention, international nu.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2014
613.2 MOD
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Berdanier, Carolyn D.
Boca Raton: CRC Press, 2009
612.3 BER a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library