Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuliati
"Methisillin Resistant Staplylococcus aureus (MRSA) adalah strain Staphylococcus aureus yang telah mengalami resisten terhadap antibiotika metisilin dan lainnya dalam 1 golongan. Mekanisme resistensi MRSA terjadi karena Sraphylococcus aureus menghasilkan Penicillin Binding Protein (PBP2a atau PBP2?) yang dikode oleh gen mecA yang memiliki afinitas rendah terhadap metisilin. Saat ini MRSA diuji dengan cara uji resistensi dengan cara Cakram Oxacillin 1 ug. Cara ini memerlukan isolat murni dan kultur bakteri, sehingga hasilnya baru bisa diketahui paling cepat 5 hari. Dalam upaya untuk mencari teknik diagnostik yang cepat dan tepat untuk mendeteksi MRSA, deteksi gen mecA dengan teknik PCR merupakan salah satu diagnostik alternatif.
Tujuan penelitian ini adalah mencari alternatif teknik diagnostik yang cepat dan tepat untuk pemeriksaan MRSA, dalam hal ini PCR. Pengujian dibagi dalam 2 tahap, yaitu : (1). Isolasi dan Identifikasi MRSA secara fenotipik, (2). Deteksi gen mecA pada isolat MRSA dengan teknik PCR yang terdiri dari: optimasi uji PCR untuk deteksi gen mecA, spesifisitas uji PCR, sensitifitas dan spesifisitas deteksi gen mecA sebagai uji diagnostik alternatif MRSA.
Hasil isolasi dan identifikasi secara fenotipik dari 114 isolat diperoleh MRSA sebanyak 76 isolat, dan MSSA sehesar 38 isolat. Berdasarkan hasil penelitian deteksi gen mecA pada isolat MRSA dengan teknik PCR diperoleh 75 isolat menunjukkan hasil positif terhadap gen mecA, sedangkan 1 isolat menunjukkan hasil negatif terhadap gen mecA, isolat tersebut adalah 1295/MUT yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Klinik (LMK) FKUI.
Dari hasil penelitian ini diperoleh hasil uji PCR gen mecA terhadap beberapa bakteri lain yaitu Staphylococcus epidermidis, Scitreus, B. subrilis, Streptococcus bera haemolyricus, E. coli, K. pneumoniae dan P. aeruginosa, ternyata S. epidermidis dan S.citreus menunjukkan hasil PCR positif terhadap gen mecA, sedangkan bakteri lain menunjukkan hasil negatif terhadap gen mecA. Hasil uji PCR gen mecA dibandingkan dengan baku emas pemeriksaan sensitivitas dan spesifisitas secara fenotipik terhadap isolat MRSA dan MSSA adalah 98,7% dan 100%, dan nilai Posistive Predictive Value (PPV)& Negative Predictive Value (NPV) adalah 100% & 97,4%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16236
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margareth Ingrid Anggraeni
"Prevalensi infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus tinggi di seluruh dunia. Antibiotik yang menjadi lini pertama dalam terapi infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus adalah vankomisin. Namun penggunaan vankomisin terhadap infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus menimbulkan kekhawatiran baru dengan ditemukannya strain Staphylococcus aureus yang memiliki resistensi terhadap vankomisin yaitu Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus. Oleh karena itu, dibutuhkan agen antimikroba yang dapat menjadi pilihan baru pengobatan untuk infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas antimikroba ekstrak Durio zibethinus murr. terhadap bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. Uji dilakukan secara in vitro dengan menggunakan metode makrodilusi tabung untuk mengetahui konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak Durio zibethinus murr. terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus dengan antibiotik vankomisin sebagai pembanding. Penguji menggunakan 10 konsentrasi ekstrak Durio zibethinus murr. yaitu sebesar 1280, 640, 320, 160, 80, 40, 20, 10, 5, dan 2,5 μg/mL. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak Durio zibethinus murr. pada konsentrasi 1280 μg/mL sampai dengan 2.5 μg/mL tidak ditemukan konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum terhadap Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus.

Prevalence rate of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus infection has reach a high level all over the world. First line antibiotic for Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus infection therapy is vancomycin. However, the use of vancomycin against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus infection raises new concern with the discovery of Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus, a Staphylococcus aureus strain that has resistance to vancomycin. Therefore, a new antimicrobial agent is needed for Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus infection therapy. This research aims to determine antimicrobial activity of Durio zibethinus murr. extract toward Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus. In vitro test was carried by using broth macrodilution method to find the minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration of Durio zibethinus murr. extract toward Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus and also use vancomycin as a comparison. Ten concentrations of Durio zibethinus murr. extract (1280, 640, 320, 160, 80, 40, 20, 10, 5, and 2,5 μg/mL) was used during the execution of broth macrodillution method. Result showed that minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration toward Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus were not found for Durio zibethinus murr. extract with concentration range between 1280 and 2,5 μg/mL
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.A. Arya Abikara
"Infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus atau MRSA merupakan salah satu ancaman bagi pelayanan orthopaedi dan traumatologi. Rancangan penelitian adalah potong lintang, dilaksanakan pada bulan Desember 2010 - Desember 2011. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menghitung angka karier MRSA dan dilakukan uji Fisher untuk mencari faktor-faktor yang berhubungan. Didapatkan angka infeksi MRSA pada pasien pasca operasi 0,5%, angka karier pada pasien 50%, angka karier keluarga 25%, namun tidak ditemukan karier pada penyedia layanan kesehatan. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status karier keluarga dan status karier penyedia layanan kesehatan dengan status karier MRSA pada pasien.

Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) infection has become a threat towards Orthopedic and Traumatology care. Cross-sectional study design was used as the methodology in this study. The time frame was from December 2010 until Desember 2011. Data analysis method used was descriptive method by calculating the MRSA carrier number. Afterwards, Fisher test was done to find out the relative factors. MRSA infection rate on post surgery patient was 0.5%,; carrier rate among patients, family, and healthcare providers were 50%, 25%, and 0% . There was no significant correlation between status of family carrier, and healtcare provider carrier with the status of patient carrier among after surgery MRSA infected patient ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riahna
"Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) merupakan salah satu penyebab infeksi nosokomial. Meskipun telah terdeteksi sejak tahun 1961, angka kejadian MRSA di rumah sakit semakin meningkat sampai sekarang, sehingga tingkat pengetahuan perawat yang baik tentang MRSA menjadi sangat penting dalam upaya pencegahan terjadinya MRSA. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan perawat tentang infeksi MRSA di RS. Awal Bros Bekasi. Tehnik pemilihan sampel adalah total sampling dan dianalisis dengan menggunakan analisis univariat. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 48,2% responden memiliki tingkat pengetahuan yang baik, dan sebanyak 15,7% memiliki tingkat pengetahuan berkategori kurang. Hasil penelitian ini merekomendasikan untuk dilakukan sosialisasi tentang MRSA sebagai upaya meningkatkan patient safety.

Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) is one of the causes of nosocomial infection. Although it has been detected since 1961, the incidence of MRSA in hospitals is increasing until now, so a good level of nurse’s knowledge about MRSA become very important in the prevention of the occurrence of MRSA. The purpose of this descriptive research was to identify the level of nurse’s knowledge about MRSA infections at Awal Bros Hospital Bekasi. The sample selection technique was total sampling and the results were analyzed using univariate analysis. The results showed that 48.2% of respondents have a good level of knowledge, and 15.7% had less knowledge level category. Based on the research results, the researcher suggested that MRSA socialization should be done in order to enhanced patient safety and complete the support facilities."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
S47659
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Iqbal Hassarief Putra
"ABSTRAK
Latar Belakang: Infeksi kulit dan jaringan lunak (IKJL) oleh MRSA di ruang rawat inap merupakan masalah nosokomial yang meningkat prevalensinya setiap tahun. Hal tersebut akan meningkatkan angka mortalitas, biaya dan lama rawat bila tidak dikelola dengan baik. Faktor-faktor risiko terjadinya infeksi MRSA pada pasien IKJL di ruang rawat inap penting untuk diketahui agar dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan dan pengendalian terhadap faktor-faktor risiko tersebut sehingga pada gilirannya diharapkan kejadian MRSA pada pasien IKJL dapat dicegah atau dikendalikan.
Tujuan: Mengetahui proporsi IKJL oleh MRSA dan mempelajari faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko terinfeksi MRSA pada penderita IKJL di ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Metode: Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol. Data dikumpulkan dari catatan rekam medis pasien rawat inap RSCM yang memiliki IKJL. Kelompok kasus adalah subjek dengan IKJL oleh MRSA, kelompok kontrol adalah subjek dengan IKJL oleh non-MRSA. Analisis bivariat dilakukan pada 9 variabel bebas yaitu pemakaian antibiotik sebelum kultur, infeksi HIV, IVDU, penggunaan kortikosteroid, prosedur medis invasif, DM, keganasan, riwayat hospitalisasi dan ruang rawat. Semua variabel yang mempunyai nilai p<0,25 pada analisis bivariat dimasukkan ke dalam analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Selama periode penelitian, proporsi MRSA pada pasien IKJL yang dilakukan kultur di ruang rawat inap adalah 47% (IK 95% 42%- 52%). Terdapat 171 pasien yang memenuhi kriteria, 71 pasien terinfeksi MRSA (kasus) dan 100 pasien terinfeksi non-MRSA (kontrol). Berdasarkan hasil analisis multivariat terdapat tiga variabel yang memiliki kemaknaan secara statistik, yaitu keganasan (OR 6,139; IK 95% antara 1,81-20,86; p=0,004), antibiotik quinolone (OR 4,592; IK 95% antara 2,06-10,23; p<0,001), dan prosedur medis invasif (OR 2,871; IK 95% antara 1,31-6,32; p=0,009).

ABSTRACT
Background: Patients with skin and soft tissue infections (SSTI) caused by MRSA in the inpatient ward are nosocomial problem which its prevalence has increased every year. It will increase the mortality rates, costs and lenghts of stay for patients if it’s not well-managed. It’s important to know exactly the risk factors for MRSA infection among patients with SSTI in inpatient ward in order to prevent and control the risk factors, that in turn, it is expected that the incidence of MRSA among patients with SSTI can be prevented or controlled.
Aim: : To find out the proportion of MRSA-caused SSTI and studying the factors associated with the risk of MRSA infection on patients with SSTI in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) inpatient ward.
Method: This research used case-control design. The data were collected from inpatient ward medical records who have SSTI. The case group are Subjects who have MRSA caused SSTI, the control group are Subjects who have non MRSA caused SSTI. Bivariate analysis was performed in 9 independent variables which were pre-cultured antibiotic use, HIV infection, IVDU, corticosteroid use, invasive medical procedure, diabetes melitus, malignancy, hospitalization history and wards. All of variables, in the bivariate analysis, produced the p value <0.25 were entered in the multivariate analysis with logistic regression.
Result: During the study periode, the proportion of MRSA-caused SSTI which culture was performed in inpatient ward was 47% (95% CI 42%- 52%). There were 171 patients fulfilled the criteria which consist of 71 patients infected by MRSA (case group) and 100 patients infected by non-MRSA (control group). Based on the multivariate analysis, there were three variables statistically significance, which firstly was malignancy (OR 6.139; 95% CI 1,81-20,86; p=0.004), quinolone class of antibiotic (OR 4.592; 95% CI 2,06-10,23; p<0.001), and invasive medical procedure (OR 2.871; 95% CI 1,31-6,32; p=0.009)."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lupita Adina Reksodiputro
"Semakin tingginya kasus infeksi di dunia, menyebabkan semakin tingginya penggunaan antibiotik sebagai pengobatan. Peningkatan angka penggunaan antibotik bebas menyebabkan mikroba patogen mulai banyak yang mengalami resistensi, begitupun pada Staphylococcus aureus (S. aureus). S. aureus yang mengalami resistensi terhadap metisilin disebut Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA), hal ini menyebabkan diperlukan antibiotik alternatif untuk mengatasi MRSA. Tujuan dari penelitian ini untuk menilai apakah terdapat efek antimikrobial dari ekstrak Calophyllum canum terhadap bakteri MRSA. Pada penelitian ini dilakukan uji eksperimental di Laboratorium Mikrobiologi FKUI dengan menggunakan teknik makro dilusi. Penelitian yang menggunakan sepuluh konsentrasi berbeda dari ekstrak Calophyllum canum, yaitu 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 25 μg/mL. Ekstrak C. canum yang digunakan dibandingkan dengan kontrol antibiotik vankomisin dengan sepuluh konsentrasi, yaitu 128 μg/mL, 64 μg/mL, 32 μg/mL, 16 μg/mL, 8 μg/mL, 4 μg/mL, 2 μg/mL, 1 μg/mL, 0,5 μg/mL, dan 0,25 μg/mL. Hasil penelitian tidak ditemukan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) dari Calophyllum canum terhadap bakteri MRSA di seluruh konsentrasi.

High prevalence of infections leads to massive abuse of antibiotic for medication. It results in higher number of pathogen reistance, including Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Therefore, another alternative treatment for infection of MRSA is needed. The aim of this study is to assess the antimicrobial effect of Calophyllum canum extract against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). This experimental study was done in Laboratorium Mikrobiologi FKUI using macro dilution method. This study used ten different concentrations of C. canum extract; 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL, 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, 25 μg/mL and ten different concentrations of vancomycin as control; 128 μg/mL, 64 μg/mL, 32 μg/mL16 μg/mL, 8 μg/mL, 4 μg/mL, 2 μg/mL, 1 μg/mL, 0,5 μg/mL, 0,25 μg/mL. The result cannot be found Minimum Bactericidal Concentration (MBC) and Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of Calophyllum canum extract against Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Larasati
"Infeksi bakteri Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan masalah yang marak terjadi dalam pelayanan kesehatan Indonesia. Sejauh ini MRSA dapat diobati dengan antibiotik vankomisin, namun sangat perlu dilakukan pencarian antibiotik alternatif untuk mencegah adanya resistensi lagi. Shorea spp. adalah tumbuhan yang diketahui memiliki sifat antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif, namun belum dilakukan penelitian mengenai efeknya terhadap bakteri MRSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek antibakteri ekstrak Shorea spp. terhadap MRSA. Uji dilakukan dengan metode makro dilusi tabung untuk mengetahui konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak Shorea spp. dan vankomisin sebagai pembanding. Ekstrak Shorea spp. dipaparkan dengan suspensi bakteri MRSA pada sepuluh pengenceran makro dilusi dan diamati konsentrasi hambat minimumnya. Tabung yang dicurigai memiliki konsentrasi hambat minimum kemudian dikultur untuk mengetahui konsentrasi bunuh minimum. Hasil penelitian menunjukkan ditemukan kekeruhan dan pertumbuhan koloni bakteri pada setiap tabung mulai dari konsentrasi 1280 μg/mL hingga 2,5 μg/mL, sehingga tidak didapatkan adanya konsentrasi hambat minimum dan konsentrasi bunuh minimum ekstrak Shorea spp terhadap MRSA pada konsentrasi 1280 μg/mL hingga 2,5 μg/mL.

Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) infection is a problem that is rife in Indonesian healthcare services. In recent years, MRSA can be treated by vancomycin, an antibiotic used to treat serious bacterial infections, but it is necessary to search alternative antibiotics to prevent further resistance. Shorea spp. is a plant that is known to have antibacterial properties against Gram positive and Gram negative bacteria, but there has not been any research referring to its effect on MRSA. This study aims to evaluate the antibacterial effect of Shorea spp. extract compared to vancomycin. Tests were conducted with macro dilution method to determine the minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration of Shorea spp. extract with vancomycin as comparison. Shorea spp. extract were exposed to MRSA suspension in ten times serial dilution and the minimum inhibitory concentration were observed. Tubes suspected of having minimum inhibitory concentration were cultured to determine the minimum bactericidal concentration. The results showed that turbidity and growth occurs at each dilution with concentration ranged from 1280 μg/mL to 2,5 μg/mL. This study suggests that minimum inhibitory concentration and minimum bactericidal concentration of Shorea spp. extract are not found in the concentration ranged from 1280 μg/mL to 2,5 μg/mL."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barus, Dany Petra Pranata
"Penyakit infeksi masih menjadi permasalahan mayor pada negara berkembang. Berdasarkan data WHO, setiap tahun penyakit infeksi membunuh 3,5 juta penduduk dunia terutama pada masyarakat berpendapatan rendah dan anak-anak. Antibiotik menjadi terapi utama untuk menangani masalah infeksi. Namun penggunaan yang irasional mengakibatkan munculnya strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik tertentu. MRSA menjadi penyebab utama infeksi nosokomial. Saat ini pengobatan untuk infeksi MRSA bergantung kepada vankomisin.
Dibutuhkan terapi pendukung dan apabila memungkinkan menggantikan vankomisin dalam penanganan infeksi MRSA. Swietenia mahagoni diduga memiliki potensi dalam mengatasi infeksi terutama akibat bakteri. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri Swetenia mahagoni terhadap bakteri MRSA. Ekstrak Swietenia mahagoni didapatkan dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Ekstrak kemudian dilarutkan menjadi 10 tabung dengan konsentrasi 1280 μg/mL, 640 μg/mL, 320 μg/mL, 160 μg/mL. 80 μg/mL, 40 μg/mL, 20 μg/mL, 10 μg/mL, 5 μg/mL, dan 2,5 μg/mL. Kemudian, setiap tabung diujikan kepada bakteri MRSA secara in vitro dengan
metode dilusi.
Hasil penelitian, tidak ditemukan Konsentrasi Hambat Minimum dan Konsentrasi Bunuh Minimum dari ekstrak Swietenia mahagoni yang di uji. Hal ini dapat diakibatkan oleh berbagai faktor, baik dari proses ekstraksi Swietenia mahagoni, konsentrasi ekstrak, ataupun proses persiapan bahan kultur bakteri

Infectious diseases remain major problems in developing countries. Based on data from WHO, infectious diseases kill 3.5 million people worldwide each year, especially in low-income communities and children. Antibiotics become the primary therapy to treat infectious diseases. However, irrational use of antibiotics leads to antimicrobial resistance among pathogenic bacteria. MRSA is a major cause of nosocomial infections. Currently the treatment for MRSA infections relies on vancomycin.
Supportive therapy is needed and preferrable to vancomycin in the treatment of MRSA infections. Swietenia mahagony was thought to have the potential to overcome bacterial infections. Therefore, this study was conducted to determine the antibacterial activity of Swietenia mahagony against MRSA. Swietenia mahagony extract is obtained from LIPI (Indonesian Institute of Sciences). Extract is then dissolved into 10 tubes with the highest concentration of 1280 μg/mL and the lowest concentration of 2.5 μg/mL. Then, each tube was tested for MRSA bacteria in vitro using dilution method.
The results showed that Minimum Inhibitory Concentration and Minimum Bactericidal Concentration of extracts of Swietenia mahagoni were not found. It might be caused by various factors, such as the extraction process of Swietenia mahagoni, the concentration of the extract, or the bacterial culture material preparation process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eko Setiawan
"Background: the shifting of minimum inhibitory concentration (MIC) of methicillin-resistant Staphylocuccus aureus (MRSA) strains to the higher value has emerged to worsen clinical outcome to the patients particularly critically ill population. The aim of this study was to identify the most appropriate dosage regimen of vancomycin to treat infection caused by MRSA with higher MIC in critically ill Thai population.
Methods: 10,000 replications of intermittent vancomycin dosage regimens were performed using Monte Carlo simulation. Pharmacokinetic parameters were derived from a population pharmacokinetic study conducted specifically in Thai population. The probability of target attainment (PTA) and cumulative fraction of response (CFR) of each dosage regimen were calculated. Risk of nephrotoxicity was also calculated and used as a consideration in determining the most appropriate dosage regimen of vancomycin.
Results: in order to achieve desired PTA > 80% vancomycin at higher dosing regimens were needed including 3g/day and 4 g/day for MIC 1.5mg/L and 2.0 mg/L, respectively. Highest CFR of 94.40% and 93.57% were from vancomycin 1 g every 6 h and 2 g every 12h. Standard dose of vancomycin and total dose of vancomycin 3 g/day provided approximately 51% and 73% CFR. Risk of nephrotoxicity afforded by giving 1.5g every 12h and 2g every 12h of vancomycin were 26.59% and 31.20%, respectively.
Conclusion: the result from this study recommended intermittent dosage regimen 1.5g every 12h and 2g every 12h should be implemented as definite antibiotic treatment when considered infection caused by MRSA with MIC 1.5 and 2.0 mg/L, respectively.

Latar belakang: peningkatan nilai minimum inhibitory concentration (MIC) dari bakteri methicillin-resistant Staphylocuccus aureus (MRSA) dapat menyebabkan perburukan kondisi klinis pasien khususnya pasien yang berada dalam kondisi kritis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaturan dosis vancomycin yang paling tepat untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh MRSA dengan nilai MIC yang tinggi pada pasien kritis etnis Thailand.
Metode: replikasi sebanyak 10.000 kali terhadap beberapa rejimen dosis vancomycin dilakukan dengan menggunakan Monte Carlo simulation. Nilai parameter farmakokinetik vancomycin didapatkan dari penelitian yang dilakukan pada pasien etnis Thailand. Setelah simulasi selesai, dihitung nilai probability of target attainment (PTA) dan cumulative fraction of response (CFR) dari setiap rejimen dosis vancomycin. Risiko terjadinya nefrotoksik juga dihitung dan digunakan sebagai pertimbangan dalam menentukan rejimen dosis vancomycin.
Hasil: dosis vancomycin yang lebih tinggi, yakni: 3g/hari dan 4g/hari, dibutuhkan untuk mencapai nilai PTA 80% jika vancomycin digunakan untuk mengatasi MRSA dengan MIC 1,5mg/L dan 2,0 mg/L, secara berturut-turut. Nilai CFR tertinggi, yakni 94,40% dan 93,57%, didapatkan dari rejimen dosis 1g setiap 6 jam dan 2g setiap 12 jam. Dosis standar vancomycin, yakni 1g setiap 12 jam, dan rejimen dosis dengan total 3g/hari dapat mencapai CFR 51% dan 73%. Risiko nefrotoksik yang dihasilkan dari dosis rejimen 1,5g setiap 12 jam dan 2g setiap 12 jam adalah sebesar 26,59% dan 31,20%.
Kesimpulan: dosis vancomycin 1,5g setiap 12 jam dan 2g setiap 12 jam yang diberikan secara intermittent seharusnya diimplementasikan sebagai terapi definitif pada pasien yang terinfeksi MRSA dengan MIC 1,5 dan 2,0 mg/dl, secara berturut-turut.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Fathurrahman
"ABSTRACT
Infectious diseases still become of the main health problems in Indonesia and the treatment still rely on antibacterial drugs which possess wide range of side effects. Papaya leaves are predicted to contain antibacterial activity and can be developed as an alternative treatment against bacterial infection. This study objectives are to determine the antibacterial activity of papaya leaves extract on inhibition of Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA) growth and bactericidal activity against MSSA. Papaya leaves were extracted with Ethanol 96% then filtered and diluted with sterile distilled water until it reach 33%, 22%, 16.5%, and 11% concentration. Minimum Inhibition Concentration (MIC) is obtained if there is no turbidity found inside the microtiter plate and Minimum Bactericidal Concentration (MBC) is tested using Blood agar and observed for colony growth after incubation in 37o Celsius for 24 hours. The result of this study are, MIC for papaya leaves extract starting at 8.25% concentration. MBC starts from 11% papaya leaves extract concentration. The study shown antibacterial activity of papaya leaves extract, especially against MSSA.

ABSTRACT
Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan penanganannya masih bergantung kepada obat antibiotik yang memiliki banyak efek samping. Ekstrak daun papaya (Carica Papaya) dengan sifat anti bakterinya dapat dikembangkan sebagai alternatif untuk melawan penyakit infeksi oleh bakteri. Studi ini bertujuan untuk mengetahui sifat antibakteri dari ekstrak daun pepaya (Carica papaya) dalam Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) bakteri Methicillin Sensitive Streptococcus Aureus (MSSA). Daun pepaya diekstrak menggunakan Ethanol 70% lalu di saring dan dilarutkan menggunakan aquades steril hingga mencapai konsentrasi 33%, 22%, 16.5%, dan 11%.
KHM ditentukan dengan ditidaktemukannya kekeruhan didalam plat microtiter, sedangkan untuk menentukan KBM dilakukan dengan menanam ulang hasil campuran plat mickrotiter ke agar darah lalu diinkubasi kembali dalam suhu 37o Celsius. Dalam studi ini didapatkan hasil KHM dari ekstrak daun papaya pada konsentrasi 8.25% Sedangkan untuk KBM mulai dari konsentrasi ekstrak 11%. Hasil dari studi ini mengkonfirmasikan kemampuan antibakteri dari daun pepaya terutama dalam melawan MSSA."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>