Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Fadil Azmi
Abstrak :
Ideologi bekerja melalui bahasa oleh karena itu mempelajari ideologi berarti mempelajari cara-cara di mana makna (pemberi makna) secara terus menerus menjalankan relasi dominasi. Hassan Hanafi menyebut teks sebagai praktik ideologi, dalam hal ini teks pun bersifat arbiter karena merupakan pilihan penulisnya pada satu maksud tertentu dari keragaman fenomena yang ia hadapi untuk sesuatu di masa mendatang. Tujuan penulisan teks tidak lain bersifat etis dan ideologis, disebut etis karena penulisan suatu momentum sejarah ke dalam teks berkaitan dengan keinginan memberi petunjuk tertulis kepada generasi mendatang, sementara ideologis karena teks merupakan sarana efektif untuk mewariskan kekuasaan. Bahasa kebijakan dalam Undang-undang pars dicurigai sebagai sebuah teks yang mengalami dinamika kepentingan antara kepentingan penguasa, kepentingan pemilik media dan kepentingan publik. Penelitian ini menyandarkan diri pada paradigma konstruktivisme. Alasannya adalah sebuah bahasa kebijakan, baik itu Undang-undang Pokok Pers No.21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 merupakan hasil dari proses pembentukan realitas. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Metode yang digunakan dalarn penelitian ini adalah Hermeneutika Habermas. Hermeneutika memberikan fokus pada teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Adapun Hermeneutika Habermas merupakan hermeneutika kecurigaan karena berkepentingan untuk menyingkap tabir-tabir ideologis dibalik sebuah teks. Penelusuran data maupun analisis dilakukan pada tiga level pemahaman: Pemahaman langsung terhadap alam material dengan menginterpretasikan isi teks kebijakan, Pemahaman Manusia lain dengan meneliti pemahaman para penafsir terhadap teks kebijakan dan Pemahaman atas kebudayaan dengan meneliti fenomena regulasi kebijakan dikaitkan dengan situasi dan kondisi sosial dan ekonomi politik yang berlaku pada saat pembuatan teks kebijakan. Dari seluruh proses penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa pemaknaan terhadap Undang-undang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982 dan Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999 tidak terlepas dari sejumlah faktor individu dan faktor sosial dalam dimensi situasi dan zaman yang melingkupinya. Pada Undan-gundang Pokok Pers No. 21 Tahun 1982, kekuasan terhadap kebebasan pers sepenuhnya tergantung kepada pemerintah, tidak hanya terhadap makna kebebasan pers itu sendiri, tapi juga undang-undang ini memberikan "kekuasaan penuh" kepada pemerintah untuk membuat peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kehidupan pers serta penempatan para birokrasi pada lembaga-lembaga yang berfungsi untuk mengontrol kehidupan pers. Pada Undang-undang Pers No. 40 tahun 1999, terlihat kuatnya "ideologi Pasar" pada kehidupan pers. Kekuasaan terhadap pers sepenuhnya tergantung pada pasar, kuat dugaan kehidupan pers menjadi monopoli konglomerasi media, pers lebih banyak menyajikan berita-berita yang di inginkan masyarakat dibandingkan berita-berita yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pada kondisi ini, pers belum mampu menjalankan fungsinya sebagai ruang publik dalam proses demokratisasi yang dinamis. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa Undang-undang Pers No.40 tahun 1999, bukan merupakan UU lex specialis derogat lex generalis terhadap undang-undang lain seperti yang di kemukakan sebagian kalangan pers, dikarenakan undang-undang ini hanya mengatur tiga hal yang dapat dituduhkan terhadap pelanggaran jurnalistik yakni norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat dan asas praduga tidak bersalah, di luar ketiga haI ini Undang-undang ini membuka diri diberlakukannya Undang-undang lain, di samping itu juga Undang-undang ini tidak memenuhi syarat untuk menjadikan dirinya sebagai lex specialis, yakni Rezim hukumnya tidak sama dan serumpun dengan undang-undang yang mau di lex specialrs-km, tidak adanya satu perbuatan dilarang oleh dua aturan yang berbeda dan tidak ada ancaman hukum dari lex specialis yang jauh lebih berat dari lex generalis. Kebebasan kehidupan pers, pada akhirnya merupakan keinginan semua pihak agar ruang publik sebagai wahana pengimplementasian kehidupan demokratis yang dinamis dapat berjalan, tetapi tentu saja kebebasan ini tidak boleh hanya sebatas kebebasan yang dimonopoli oleh segelintir orang, tetapi harus dibumikan menjadi kenyataan yang memberikan realitas kesempatan bagi semua elemen masyarakat dalam mengakses seluruh informasi yang dibutuhkannya. Kepentingan publik harus menjadi prioritas media massa, karenanya kebebasan pers harus didasarkan pada paradigma etis, norma hukum dan profesionalisme para jurnalis dalam menyajikan pemberitaannya.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21522
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Crone, Tom
Oxford: Focal Press, 1995
343.099 CRO l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Loebby Loqman
Abstrak :

Masalah asas praduga tak bersalah dalam hubungannya dengan pemberitaan media massa bukan hal baru. Sudah sering dilakukan diskusi, baik dalam lingkungan yang terbatas maupun dalam suatu seminar. Namun demikian masih terjadi perbedaan pendapat tentang asas tersebut dalam suatu pernberitaan oleh media massa.

Sejauh ini asas praduga tak bersalah dianggap hanya untuk dan berlaku bagi kegiatan di dalam masalah yang berkaitan dengan proses peradilan pidana. Sehingga terjadi ketidak pedulian masyarakat terhadap asas tersebut, kecuali apabila terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan yang menimpa dirinya.

Asas tersebut dianut di Indonesia melalui ketentuan yang terdapat di dalam pasal 8 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang. Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan:

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang. menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Meskipun tidak secara eksplisit .menyatakan hal yang sama, asas tersebut diutarakan di dalam pasal 66 Undang-undang No. 8. Tahun 1981 tentang Kitab. Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana dikatakan:

'Tersangka atau terdakwa: tidak dibebani kewajiban pembuktian'

Sedangkan di dalam penjeiasan pasal tersebut mengatakan bahwa ketentuan dalam pasal. 66 KUHAP. tersebut adalah penjelmaan dari asas praduga.tak bersalah.

Oleh karena asas tersebut diatur di dalam ketentuan perundang-undangan. hukum pidana, banyak pendapat bahwa asas itu semata-mata hanya diperuntukkan hal-hal yang berhubungan dengan hukum pidana.

Berbeda dengan di dalam sistem hukum yang digunakan di Amerika Serikat, banyak asas yang berkaitan dengan hak terdakwa dicantumkan secara eksplisit di dalam konstitusinya. Sehingga bukan saja tentang hak warga secara menyeluruh, akan tetapi hak warga yang disangka atau diduga telah melakukan kejahatan, diatur dalam pasal-pasal konstitusi. Dengan demikian merupakan ketentuan yang amat mendasar dalam kehidupan hukum negara tersebut. Amandemen pertama dari konstitusi Amerika menjamin tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, yang dapat dihubungkan dengan kebebasan pers.

Jakarta: UI-Press, 1994
PGB 0365
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Barendt, E. M.
New York: Pearson, 2000
302.23 Bar m (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
[Skripsi ini membahas mengenai pengaruh perubahan rezim pemerintahan terhadap regulasi penyiaran di Italia tahun 1990-2003. Dalam kasus tersebut dapat dilihat perubahan regulasi penyiaran akan memiliki ketergantungan pada pemerintahan yang berkuasa saat itu baik yang mengutamakan pluralisme media atau konsentrasi media. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kualitatif. Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, digunakan teori Elit dari Guido Dorso dan konsep Konflik Kepentingan, dimana teori tersebut menjelaskan bagaimana regulasi penyiaran menjadi perdebatan dalam rulling class antara kelompok yang sedang berkuasa dan oposisi dalam pemerintahan. Konsep konflik kepentingan pun digunakan untuk dasar alasan dari kelompok yang menginginkan pluralisme media terhadap konsentrasi media yang saat itu terjadi. Temuan dalam penelitian ini adalah bahwa regulasi penyiaran dari 1990 hingga 2003 menjadi isu yang sensitif bagi masing-masing kelompok sehingga ketika berada dalam pemerintahan akan mempengaruhi regulasi penyiaran tersebut demi kepentingan yang akan dicapai., This thesis examines the influence of regime changes towards broadcasting regulatory in Italy in 1990-2003. In such cases broadcasting regulatory changes will have a dependency on the government in power at the time either to prioritizes media concentration or media pluralism. This thesis use elite theory from Guido Dorso and Conflict of Interest concept to explains how the debate regulation of broadcasting in parliament either the governing political class or opposition political class. Through qualitative research methode, this thesis finds that broadcasting regulation from 1990 to 2003 become a sensitive issue for each group. While group either centre-left or centre-right will determine the regulation of broadcasting when they govern Italy. The debate in the parliament between media pluralism or to protect bussiness interest and media concentration.]
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S58159
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oemar Seno Adji
Jakarta: Erlangga, 1973
340 OEM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Oemar Seno Adji
Jakarta: Erlangga, 1977
340 OEM m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nanyang: AMIC, 2000
302.230 9 MAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Cohen, Jeremy
London: Sage, 1990
343.730 99 COH s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Zuckman, Harvey L.
St.Paul, Minn.: West Publishing, 1983
343.730.99 ZUC m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>