Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bambang Utoyo
Abstrak :
Pokok masalah skripsi ini adalah menentukan kedudukan estetika dengan kesenian sebagai aplikasinya, didalam kerangka teori Marxisme, sebagai berikut: (1) Karl Marx Muda terheran-heran akan sifat kesenian (ia mengambil contoh kesenian Yunani Purba) yang transhistorical dan eternal charm. Hal ini disebabkan kesenian ternyata tidak termasuk dan berasal dari infra-struktur; aktifitas kesenian tidak sejalan dengan sejarah perkembangan material. (2) Marxisme sebagai ideologi menempatkan kesenian pada infra-struktur, sebagai alat propaganda politik revolusioner: Menyuarakan kepentingan Kelas Universal (Buruh) yang teralienasi. (3) Marcuse, seperti halnya Marxisme percaya bahwa alienasi manusia harus dilenyapkan dengan revolusi. Revolusi harus dilakukan karena arah perkembangan material (Materialisme Historis) telah diketahui sebelumnya, oleh karena itu perlu diantisipasi. Masalahnya bagi Marcuse adalah bagaimana menempatkan kesenian dalam revolusi politik ini, karena sifat kesenian itu apolitik. Dasar Teoritis: (1) Karl Marx Muda berpendapat, bahwa tidak seperti halnya dengan agama yang suatu waktu akan hilang, kesenian adalah kebutuhan hakiki bagi aktualisasi diri dan kemanusiaan; jadi kesenian disini bersifat antropologis.(2) Marxisme berpendapat bahwa kesenian mempunyai kebebasan yang relatif karena pada saat ini, kesenian harus mempropagandakan tujuan-tujuan politis mereka. (3) Marcuse yang ditopang oieh teori Freud tentang pleasure principle versus reality principle, Kant tentang Of Beauty as the Symbol of Morality, Schiller yang menjembatani sensuous impulse versus form-impulse dengan play-impulse, berpendapat bahwa terdapat hubungan yang mendasar antara Truth, Freedom, Beauty, Art, Sensuousness dan Pleasure. Analisis Harcuse, Marcuse sependapat dengan Marx bahwa keterasingan pada manusia (alienasi) merupakan kondisi yang tidak normal, oleh karena itu perlu dilenyapkan secara revolusioner. Analisis Marcuse terhadap affluent society pada abad ini menunjukkan bahwa Kelas Buruh tidak lagi revolusioner karena mereka tidak sadar bahwa mereka sebenarnya teralienasi. Manusia pada dasarnya cenderung mencari kesenangan tanpa batas (pleasure principle). Pada affluent society, pleasure principle ini dapat diwujudkan yaitu dengan instinctual liberation. Berdasarkan Critique of Judgement (Rant), sensuous impulse (Schiller) merupakan pusat karena mempunyai daya pertimbangan terhadap causality dan freedom: ia menuntun manusia dari hukum kasualitas menuju kebebasan. Ciri dari sensuous impulse yang merupakan bagian dari life instinct 'naluri akan kehidupan' ini adalah play impulse. Play impulse ini terdapat pada kesenian dan bersifat kreatif, produktif dan hidup. Jadi akar dari kesenian itu adalah kehidupan yang bersifat erotis (erotogenic); tetapi kesenian tidak lantas menjadi happy ending karena di dalam estetika terdapat dialektika yang abadi antara Eros 'kehidupan'dan Thanatos 'kematian'(masalah-masalah meta-sosial). Kecemasan manusia akan waktu dan kematian dapat dihilangkan dengan abolishing time in time lewat play impulse sehingga pekerjaan dan waktu santai menjadi dis-play (Schein): hal ini dapat terjadi pada affluent society dimana art liberation dipadukan dengan teknologi yang telah dihilangkan sifat-sifat destruktifnya (gaya scienza) dapat membawa manusia pada kebehagiaan yang teraga. Kesimpulan, justru karena sifat kesenian (anti--art) yang otonom itulah, kesenian mempunyai kemampuan subversif terhadap tatanan mapan yang mengasingkan manusia. Estetika dapat menjadi prinsip reality baru, yaitu realita yang didasari oleh life-instinct 'naluri kehidupan'. Terdapat hubungan yang hakiki antara pleasure, sensuousness, beauty, truth, art and freedom, hal ini tercermin pada seni kontemporer (anti-art) sehingga seni menjadi seni pembebasan.
Depok: Universitas Indonesia, 1989
S16020
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Deny Gunawan
Abstrak :
Politik ialah pemahaman perkara mengelola, menyelenggarakan kebijakan, dan pengambilan keputusan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, kerap kali tindakan politik tidak lepas dari dirty hands demi mencapai tujuan politik. Machiavelli menyarankan bahwa aktor politik harus belajar bagaimana tidak menjadi baik. Pada zaman kontemporer, diskusi mengenai dirty hands dimunculkan kembali pada tulisan Michael Walzer. Walzer mengatakan bahwa dirty hands perlu bagi seorang aktor politik bila tidak ada alternatif lain selain melanggar kaidah moralitas demi kepentingan politik atau untuk menghindari kemungkinan datangnya ancaman. Pembahasan mengenai persoalan dirty hands dengan moralitas membutuhkan refleksi kritis untuk menemukan jalan keluar guna menemukan tindakan politik yang tepat. ...... Politics is an understanding to manage, administer policies, and decision-making for people welfare. However, often political action can not be separated from dirty hands in order to achieve political goal. Machiavelli suggests that political actors must learn how not to be good. In the contemporary times, discussion about dirty hands raised again in the writings of Michael Walzer. Walzer says that dirty hands need for a political actor when no other alternative but to violate morality rules for the sake of political goal or to avoid the possibility of a threat. Discussion about dirty hands with morality requires critical reflection to find a way out in order to find the right political action
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S59272
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library