Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alisha Nurul Maharani R
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memperluas jangka waktu pembuatan perjanjian kawin dalam Pasal 29 (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang tidak lagi terbatas sebelum perkawinan, namun juga sepanjang ikatan perkawinan. Rumusan penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah 1). Bagaimana konsep pemisahan harta dalam perjanjian kawin yang dibuat setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, 2). Bagaimana keberlakuan asas berlaku surut terhadap perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dan akibat hukumnya terhadap harta benda dalam perkawinan, 3). Bagaimana penerapan perjanjian kawin pasca putusan MK 69/PUU-XIII/2015 dengan menganalisis Putusan Nomor 23/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Niaga. Smg. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian dalam penulisan ini adalah ketentuan baru pembuatan perjanjian kawin pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberikan celah adanya itikad buruk pasangan yang baru membuat perjanjian kawin setelah putusan MK tersebut, sehingga dipandang sebagai kelemahan yang dapat digunakan untuk melepas tanggungjawab atas kewajiban terhadap pihak ketiga, putusan MK 69/2015 tidak hanya memperluas waktu pembuatan perjanjian kawin, namun juga materi, keberlakuan, lembaga yang mengesahkan, dan sebab berlakunya. Perjanjian kawin yang dibuat pasca putusan MK 69/PUU-XIII/2015 tidak dapat berlaku surut baik terhadap harta benda para pihak maupun perjanjian yang telah ada sebelumnya sehingga tidak merugikan pihak ketiga, maka dari itu perjanjian kawin pasca putusan MK 69/PUU-XIII/2015 sesungguhnya berpotensi terhadap indikasi dari tindakan yang merugikan pihak ketiga yang berkepentingan.

The Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 expands the period for making a marriage agreement in Article 29 of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage, which is no longer limited to before marriage but also throughout the marriage bond. The research formulations to be studied in this study are 1). How is the concept of separation of property in a marriage agreement made after the decision of the Constitutional Court Number 69/PUU-XIII/2015, 2). How is the applicability of the principle of retroactive application to marriage agreements made after marriage and their legal consequences for property in marriage, 3). How is the analysis of decision number 23/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Niaga. Smg. This research uses doctrinal research methods. The results of the research in this paper are that the new provisions for making a marriage agreement after the Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015 provide a loophole for the bad faith of couples who have just made a marriage agreement after the Constitutional Court's Decision, so that it is seen as a weakness that can be used to relieve responsibility for obligations to third parties, the Constitutional Court's decision 69/PUU-XIII/2015 not only expands the time for making a marriage agreement, but also the material, validity, the institution that authorizes, and the cause of its validity. The marriage agreement made after the Constitutional Court Decision 69/PUU-XIII/2015 cannot apply retroactively both to the property of the parties and the pre-existing agreement so that it does not harm the parties."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratih Rahmatiar Safifah
"Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat untuk memisahkan harta benda yang telah diperoleh sebelum perkawinan berlangsung dan harta benda yang akan diperoleh pada saat perkawinan berlangsung dan perjanjian perkawinan dapat disahkan apabila tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Pokok permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah mengenai ketentuan poligami menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Islam, apa saja yang boleh dan tidak boleh dimasukkan ke dalam perjanjian perkawinan dan akibat hukum terhadap perjanjian perkawinan yang memuat unsur adanya poligami dan anti poligami terhadap keabsahan akta tersebut. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder dengan teknik pengumpulan data melalui studi dokumen dan melakukan wawancara dengan informan maupun narasumber. Hasil penelitian menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengenal istilah poligami dan menganut asas monogami yang bersifat multak dan tidak dapat dilanggar sedangkan Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam melekat asas monogami dengan tetap membuka kemungkinan peluang dalam hal tertentu diperbolehkannya berpoligami dengan syarat yang cukup berat. Dengan demikian, prinsip monogami dalam Undang-Undang Perkawinan, Hukum Islam maupun Kompilasi Hukum Islam tidak mutlak, karena dengan alasan dan syarat tertentu. Perjanjian perkawinan pada dasarnya dapat memuat apa saja yang dikehendaki oleh para pihak yang membuatnya selama hal tersebut tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Terhadap klausula poligami atau anti poligami boleh saja di masukan ke dalam akta perjanjian perkawinan, hanya jika para pihak tidak tunduk kepada Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam sedangkan terhadap para pihak yang tunduk kepada Hukum Islam dan Kompilasi Hukum Islam, klausula poligami dan anti poligami tidak boleh di masukan ke dalam akta perjanjian perkawinan.

Marriage agreement is an agreement made to separate property that was acquired before the marriage and will be obtained during the marriage. The marriage agreement can be ratified if it is not against the law, religion and morality. The main issue raised in this thesis is about the provisions of polygamy according to the Book of Civil Law, Marriage Law, Compilation of Islamic Law and Islamic Law, including what to allow and forbid into the marriage agreement and the legal consequences of the marriage agreement, containing elements of polygamy and anti -polygamy on the validity of the deed. The research method used in this research is normative juridical with descriptive analytical research type. The data is secondary data from data collection techniques through document study and interviews with informants and sources. The results of the study stated that the Book of Civil Law does not recognize the term polygamy. It adheres to the principle of monogamy in which it is mandatory and cannot be violated. While the Marriage Law, Islamic Law and the Compilation of Islamic Law follow the principle of monogamy, they still open up opportunities in certain cases which allow polygamy in fairly heavy conditions. Thus, the principle of monogamy in the Marriage Law, Islamic Law and the Compilation of Islamic Law is not absolute, due to certain reasons and conditions. Marriage Agreement can basically contains anything requested by the parties as long as it does not contravene the boundaries of law, religion and morality. The polygamy or anti -polygamy clause can be involved in the deed of the marriage agreement, only if the parties are not subject to Islamic Law and the Compilation of Islamic Law. However, if the parties comply to Islamic Law and the Compilation of Islamic Law, the polygamy and anti -polygamy clause is not permitted to the deed of marriage contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
X Cerelia KL
"Penelitian ini mengkaji mengenai akta perjanjian perkawinan yang menimbulkan kerugian terhadap salah satu pihak karena ketidakpahaman pihak tersebut akan akta yang dibuatnya sebagaimana dalam Putusan Nomor 936/Pdt.G/2016/PN Sby. Adapun permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah kekuatan hukum akta perjanjian perkawinan dan akibat hukumnya terhadap harta benda dan perwalian anak serta tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta yang tidak sesuai dengan prosedur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis dengan menghasilkan tulisan preskriptif analitis. Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa benar sesungguhnya akta perjanjian perkawinan akan dikatakan autentik karena telah memenuhi syarat-syarat pembuktian yang sempurna dan dikatakan autentik karena tidak bisa dinyatakan sebaliknya. Dalam hal isi dari akta perjanjian perkawinan biasanya berisi mengenai pemisahan harta benda namun dapat mengatur hal-hal diluar harta benda asalkan tidak bertentangan dengan ketertiban, agama, dan kesusilaan. Ketidakmampuan karena tidak memiliki harta apapun akibat dari akta perjanjian perkawinan tidak dapat mempengaruhi hilangnya hak atas perwalian anak. Kemudian masalah selanjutnya ketidakpahaman klien karena kurangnya pengetahuan akan akta tersebut diakibatkan karena kurangnya penyuluhan hukum yang dilakukan oleh Notaris sehingga Notaris dianggap tidak melakukan profesi jabatannya sesuai dengan prosedur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris.

This research explores on marriage agreement deed(s) which results in losses incurred by one party due to such party’s lack of understanding towards the deed being drawn up, as shown within Verdict Number 936/Pdt.G/2016/PN Sby. The problem being raised within this research is regarding the legal force of a marriage agreement deed and its legal consequence towards assets and child guardianship as well as the responsibility of Notary in drawing up a deed which is not in accordance with the procedure within the Constitution of the Republic of Indonesia Number 2 Year 2014 concerning Amendment to Law Number 30 Year 2004 concerning the Notary. To answer such problem, the author uses a juridical normative form of research with qualitative data analysis method which produces a descriptive analytic data by producing a prescriptive analytic writing. Within this research, a conclusion has been obtained that it is true that a marriage agreement deed will be declared authentic as it has fulfilled the conditions of a perfect verification and declared authentic as it cannot be declared otherwise. Regarding its substance, usually a marriage agreement deed stipulates regarding separation of assets, but it can also regulate other matters aside from assets so long as it does not contradict with order, religion and decency. Inability caused by the loss of all assets due to the marriage agreement deed cannot affect the loss of child guardianship. The next problem is the client’s lack of understanding caused by the lack of knowledge due to the lack of legal socialization provided by the Notary, whereas the Notary is deemed to have failed in conducting their profession in accordance with the procedures within the Law on Notary Profession."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library