Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Puti Ayu Cassandra
"ABSTRAK
Pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan campuran seringkali tidak
memperhatikan akibat hukum dari perkawinan campuran tersebut, khususnya terhadap
harta bersama. Untuk melindungi diri pribadi dan agar di kemudian hari konsekuensi
hukum atas suatu perbuatan hukum dapat dipertanggungjawabkan oleh masing-masing
pihak sehingga tidak melibatkan harta yang dimilikinya, hendaknya pasangan yang
melakukan perkawinan campuran membuat perjanjian kawin. Perjanjian kawin sebelum
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, sesuai Pasal 29 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan hanya dapat dibuat pada saat atau sebelum perkawinan
dilangsungkan. Pada studi kasus Putusan Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor 613/PDT/2017/PT.DKI, pasangan suami isteri tersebut sempat membuat
perjanjian kawin yang dibuat pada Notaris di Indonesia, setelah perkawinan
dilangsungkan di Australia, namun kemudian perjanjian kawin tersebut batal demi
hukum. Penulis mengadakan penelitian atas kasus tersebut dengan jenis penelitian
yuridis normatif dan sifat penelitiannya deskriptif analitis. Berdasarkan hasil penelitian,
Penulis menyimpulkan bahwa implikasi hukum atas pembatalan perjanjian kawin
menyebabkan seperti dari semula tidak pernah ada suatu perjanjian. Oleh karenanya
dalam perkawinan campuran tersebut terdapat harta bersama yang harus dibagi antara
suami isteri setelah perkawinan berakhir karena perceraian yakni masing-masing 50%
(lima puluh persen) atau setengah bagian dari harta bersama.
ABSTRACT
Married couples who do a mixed marriage often do not pay attention to the legal
consequences of the mixed marriage, especially for joint property. To protect oneself
and so that in the future the legal consequences of a legal action can be accounted for by
each party so that it does not involve the assets they own, couples who have to make a
mixed marriage make a marriage agreement. Marriage agreement before the
Constitutional Court Decision Number 69/PUU-XIII/2015, in accordance with Article
29 paragraph (1) of the Marriage Law can only be made during or before the marriage
takes place. In the case study of the Decision of the High Court of the Special Capital
Region of Jakarta Number 613/PDT/2017/PT.DKI, the couple made a marriage
agreement made to a notary in Indonesia, after the marriage took place in Australia, but
then the marriage agreement was null and void. . The author conducted research on
these cases with a type of normative juridical research and the nature of the research
was analytical descriptive. Based on the results of the study, the author concludes that
the legal implications of the cancellation of the marriage agreement cause that from the
beginning there was never an agreement. Therefore, in a mixed marriage there is a Joint
asset which must be divided between husband and wife after the marriage ends due to
divorce, each of which is 50% fifty percent or half of the joint property.
"
Lengkap +
2020
T54459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Levy, John.,
New York: Alfred A. Knoff, 1964
392.3 LEV h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Anggunningtyas Pramesty
"Penelitian ini membahas advokasi perlindungan hak-hak anak sebagai respon legalisasi perkawinan bagi anak perempuan dalam UU No. 1 Tahun 1974. UU tersebut mengatur batas usia perkawinan perempuan pada usia 16 tahun, yang masih dikategorikan sebagai usia anak. Angka perkawinan anak yang tinggi di Indonesia dan ketiadaan respon pemerintah merevisi kebijakan telah menggerakan masyarakat sipil mengupayakan advokasi. Kelompok masyarakat sipil yang dimaksud adalah Koalisi 18+. Penelitian ini menjawab pertanyaan tentang bagaimana peran Koalisi 18+ mengadvokasi kenaikan batas umur pernikahan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam kurun waktu 2014-2019. Pertanyaan penelitian akan dijawab menggunakan teori Aktivisme Politik oleh Pippa Norris. Menggunakan pendekatan kualitiatif dengan metode pengumpulan data wawancara mendalam dan studi literatur, ditemukan bahwa proses advokasi kebijakan dilakukan melalui tiga jalur yaitu, Uji Materi, pengajuan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu), dan pengajuan Revisi Undang-Undang dengan menargetkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkawinan. Dengan ini, Koalisi 18+ dapat dikategorikan sebagai agensi, tepatnya agensi modern. Adapun strategi yang dilakukan merupakan mixed action strategies, sementara target advokasi Koalisi 18+ dikategorikan sebagai state-oriented, karena pergerakannya ditujukan kepada tiga lembaga negara sekaligus (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Keberhasilan Koalisi 18+ ditandai dengan dikabulkannya permohonan uji materi 2017-2018 dan disahkannya UU No. 16 Tahun 2019. Beberapa faktor yang signifikan pada keberhasilan ini yaitu, peluang politik, aliansi dengan aktor di dalam pemerintahan yang pro-perubahan, dan framing isu. Meskipun begitu, keberadaan Eva Kusuma Sundari sebagai gatekeeper perubahan UU dalam pemerintahan, menjadi faktor keberhasilan utama.

This study discusses the protection of children's rights as a response to the legalization of girls marriage in Law No. 1 of 1974. The law regulates age limit for women at 16 years, which still categorized as child age. The high rate of child marriage in Indonesia and the lack of government's response to policy revisions have moved civil society to seek advocacy. The civil society group in question is Koalisi 18+. This study addresses the question of Koalisi 18+ role in advocating increase of women's legal age for marriage in Law No. 1 of 1974 on Marriage throughout 2014-2019. Research questions will be answered with the theory of Political Activism by Pippa Norris. Using a qualitative approach with in-depth data collection methods and literature studies, it was found that the policy advocacy process was carried out through three channels, Judicial Review, submission of Regulations in Lieu of Law (Perppu), and submission of Law Revisions targeted Article 7 paragraph (1) and paragraph (2) of the Marriage Law. With this, Koalisi 18+ can be categorized as an activism agency, a modern agency. The strategy adopted is a mixed action strategy, while the Koalisi 18+ targeted three state institutions at once (executive, legislative, and judicial), proofing it as state-oriented activism. The success of the 18+ Coalition marked by the granting of the 2017-2018 judicial review and the establishment of Law no. 16 of 2019. Some of the significant factors for this success are political opportunities, alliances with prochange actor in government, and issues framing. Even so, the existence of Eva Kusuma Sundari as a gatekeeper for changes to laws in the government, became the main success factor."
Lengkap +
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library