Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 74 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andry Harijanto
Abstrak :
ABSTRAK
Warga suku-suku yang akan melangsungkan perkawinan adat disyaratkan bahwa sebelum melaksanakan perkawinan maka kesalahan yang pernah dilakukan oleh seorang atau lebih dari kerabat suku calon mempelai laki-laki terhadap kerabat suku calon mempelai wanita harus dihapuskan terlebih dahulu. Penelitian ini mengacu pada teori Sally Falk Moore mengenai arena sosial yang bersifat semi otonom. Kemudian mengacu pada teori John Griffiths mengenai pluralisme hukum. Selanjutnya mengacu pada teori Laura Nader dan H. F. Todd. Jr. mengenai bagaimana sengketa-sengketa diselesaikan. Untuk menjelaskan pengertian hukum mengacu pada konsep Leopold Pospisil mengenai 4 atribut hukum.

Dalam penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup 3 pokok, yaitu:

Pertama, masyarakat Enggano yang terdiri dari kelompok-kelompok suku memiliki semacam otonomi yang diakui dan bersifat terbatas (semi-otonom), yang mana mereka memiliki aturan-aturan hukum adat sendiri yang mengatur semua lapangan kehidupan. Aturan-aturan hukum adat itu dipertahankan berlakunya sampai saat ini.

Kedua, strategi penyelesaian sengketa bahwa pihak yang dianggap bersalah harus berusaha untuk menyelesaikan kesalahannya melalui perdamaian adat (yahauwa). Jika pihak yang dianggap bersalah membiarkan sengketa itu berlarut-larut, maka pihak yang merasa dirugikan akan mendiamkan saja. Pada suatu saat pihak yang merasa dirugikan akan mengungkap kembali kesalahan itu, yaitu ketika seorang bujang dari kerabat suku pihak yang dianggap bersalah akan melamar resmi (pahkuku' akh) seorang gadis dari kerabat suku pihak yang merasa dirugikan, yang mana perdamaian adatnya dijadikan syarat pelamaran resmi oleh kerabat suku gadis.

Ketiga, aturan-aturan hukum perkawinan adat memeliki kekuatan-kekuatan berlaku dalam masyarakat Enggano yang bersifat semi otonom itu.
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Tjahaja
Abstrak :
Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan. Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan. Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada. Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana. Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama. Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain. Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum. Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas. Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cynthia
Abstrak :
Masyarakat Cina sejak jaman dulu sangat memegang teguh budaya dan tradisinya. Bahkan dalam masa menjelang akhir abad 20 ini pun masih banyak masyarakat keturunan Cina yang mempertahankan kehidupan budaya tradisionalnya, walaupun sudah banyak perubahannya sesuai perkembangan jaman. Salah satu contoh yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah tentang pelaksanaan upacara perkawinan tradisional. Pembahasan utama skripsi ini mengacu pada suatu kasus khusus yang terjadi di Jakarta pada tahun 1993, yaitu perkawinan seorang pria keturunan Hokkian dengan wanita keturunan Teochiu. Dari pengamatan langsung terhadap kasus tersebut dapat dilihat bahwa orang-orang Cina pada masa kini sedikit banyak masih menjalankan tradisi Cinanya. Mengingat bahwa di berbagai tempat dan kelompok masyarakat Cina terdapat banyak sekali variasi dan detil-detil upacara, sedangkan tidak ada aturan baku yang tertulis yang mengatur variasi dan detil-detil tersebut, maka yang diambil sebagai bahan perbandingan terhadap kasus di atas adalah aturan umum yang paling mendasar yang terdapat dalam beberapa buku referensi. Sedangkan data-data mengenai detil_-detil upacara didapat dart responder keturunan Hokkian dan Teochiu, yang memperolehnya secara lisan dan turun temurun dari nenek moyangnya. Dari keseluruhan pembahasan ini, dapat terlihat bahwa antara upacara yang dijalankan pada jaman dulu dengan masa kini terdapat beberapa perbedaan, yang disebabkan oleh pengaruh dari beberapa faktor, yaitu: (1) Perkembangan jaman. (2) Migrasi dan lingkungan setempat. (3) Benturan budaya. (4) Agama. (5) Sosial ekonomi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S12853
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Triyana Mardiani
Abstrak :
Skripsi ini membahas pemertahanan tradisi pernikahan pada keluarga keturunan Arab di Condet Jakarta Timur. Skripsi ini membahas perbedaan dan persamaan tradisi pernikahan pada keluarga keturunan Arab dahulu dan sekarang. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pernikahan keturunan Arab di Condet mengacu pada ajaran dan tradisi Islam, juga salah satu bentuk dari asimilasi terhadap kebudayaan sekitar. Tradisi pernikahan yang dipertahankan yaitu perjodohan,malam pacar, akad nikah, resepsi pernikahan, dan ngunduh mantu. Hanya waktu,tempat dan prosesi pelaksanaannya saja yang membedakannya antara dahulu dan sekarang.; ......This focus of this study is discusses retention wedding traditions in Arab families in Condet East Jakarta. This study is discusses the differences and similarities of the wedding on the family tradition of Arab descent past and present. This study used qualitative methods through interviews and observation. The results show that the marriage of Arab descent in Condet refers to the teachings and traditions of Islam, is also a form of assimilation to the surrounding culture. Tradition maintained that marriage matchmaking, malam pacar, ceremony, wedding reception, and ngunduh mantu. Only time, any place and procession implementation distinguishes between past and present.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S45851
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fox, Robin, 1934-
Australia: Harmondsworth Penguin Books, 1973
301.442 FOX k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Devi Roswita
Abstrak :
Skripsi ini mengkaji tentang rekacipta dan komodifikasi tradisi Buka Palang Pintu sebagai tradisi asli Betawi. Ada dua komponen kesenian Betawi yang wajib ditampilkan pada setiap pelaksanaan tradisi ini, yaitu pencak silat dan sike. Tradisi Buka Palang Pintu awalnya merupakan tradisi upacara yang kental akan unsur religi dan hanya dilaksanakan pada resepsi pernikahan orang Betawi. Sosok jawara sebagai penjaga kampung berperan penting sebagai pelakon dalam tradisi. Seiring perubahan zaman, tradisi Buka Palang Pintu kini bertransformasi sebagai tradisi komoditas yang juga dilaksanakan pada acara-acara di luar pernikahan. Pelakon tradisi bukan lagi jawara kampung, melainkan para seniman Palang Pintu yang merupakan anggota sanggar Betawi. Perubahan tersebut tidak lepas kaitannya dari peran Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, LKB, dan sanggar Betawi sebagai agen-agen rekacipta. Komodifikasi tradisi Buka Palang Pintu yang dilakukan oleh para agen rekacipta memiliki ‘nilai jual’ yang berpeluang dalam rangka mencapai tujuan ekonomi. Tujuan tersebut sekaligus membuat eksistensi tradisi Buka Palang Pintu lebih bertahan karena mampu mendatangkan keuntungan finansial kepada sejumlah pihak dengan kemasan yang lebih menghibur. ...... This undergraduate thesis examines the re-invention and co-modification of Buka Palang Pintu tradition as the original tradition of Betawi. There are two elements of Betawi's art that have to be presented in every implementation of this tradition, they are Pencak Silat and Sike. Buka Palang Pintu tradition originally is a ritual tradition that is rich of religious elements, which used to only be implemented at wedding ceremonies of Betawi people. The Jawara as the guardian of the village has important role as the actor in this tradition. As the time goes by, the Buka Palang Pintu tradition now has transformed into commodities of tradition which is also be presented in any events beside the wedding ceremony. The actor of the tradition is not the warrior of the village anymore, but the artist of Palang Pintu that are the members of Betawi's art studio. This change is also related to the role of the government of Jakarta, LKB, and Betawi's art studio as the agents of reinvention. The co-modification of Buka Palang Pintu tradition that is presented by the agents has a 'selling-value' that will be able to attain the economic goal. That goal also makes the existence of Buka Palang Pintu tradition last, because it can gain the financial income to several agents with a more entertaining package.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
S46469
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Perkawinan adat Bali pada umumnya menerapkan sistem perkawinan patrilinial. Dalam hubungan kekerabatannya, pihak laki-laki membawa peranan yang lebih menonjol dibandingkan dari pihak perempuan. Laki-laki sebagai pihak "kepurusa" merupakan sentral pemegang tanggung jawab terhadap segala bentuk aturan adat yang terdapat di pakraman atau wilayah tempat tinggalnya (desa adat). Sentralitas dan absolutnya peran laki-laki baik secara sosial (public) dan juga secara religious menyebabkan kedudukan dan peran kepurusa hampir tidak dapat digantikan oleh perempuan sebagai pradana. Konsep perkawinan adat Bali yang demikian ini membawa konsekuensi logis terhadap psikologis dari peran perempuan secara genderis. Hal inilah memicu adanya pola-pola alternative untuk berusaha menempatkan status perempuan agar dalam perubahan jaman, perempuan juga dapat seyoganya mempunyai peran yang sama terhadap laki-laki. Nyentana merupakan salah satu pola perkawinan adat Bali yang menempatkan perempuan sebagai purusa dan laki-laki sebagai predana. Ini berarti secara hukum adat Bali menempatkan perempuan pada posisi yang sentral walaupun masih dalam batasan secara simbolis. Dalam kata lain masih dalam bayang symbol patriarkhi masih tetap mengikat secara genderis.
JNANA 18:2 (2013)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leach, Edmund Ronald
New York: Humanities Press, 1966
301 LEA r
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>