Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sonny Satyabhakti
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk menunjukkan Permasalahan keamanan maritim terbesar di Asia Tenggara antara negara-negara internal dan eksternal kawasan menyebabkan terjadinya interaksi keamanan maritim sebagai satu kompleks keamanan maritim yang terpusat pada institusi (centered regional institutional maritime security complex). Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian ini akan menjelaskan beberapa pokok bahasan yang terkait dengan kompleks keamanan kawasan yang dimaksud. Pendekatan yang digunakan untuk membahas interaksi keamanan kawasan adalah teori kompleks keamanan regional (regional security complex theory, RSCT) yang dikembangkan oleh Buzan dan Wæver (2003). RSCT membahas mengenai interaksi institusi keamanan maritim negara-negara di Asia Tenggara dan pengaruhnya berdasarkan komponen struktur esensial (essential structure) RSCT, yakni: batas-batas kawasan (boundary), struktur anarkis (anarchic structure), polaritas (polarity), dan konstruksi sosial (social construction).
ABSTRACT
This thesis aims to identify the greatest maritime security issue in Southeast Asia among the states in the region, as well as those, which are located outside the region. This causes the maritime security interaction as a centered regional institutional maritime security complex. For that purpose, this study explains the subjects related to regional security complex. The approach used to explore the regional security interaction is the regional security complex theory (RSCT) by Buzan and Wæver (2003). RSCT explains about the institution interaction of the maritime security in the Southeastasian countries and also its impact based on the RSCT essential structure components, which are: boundary, anarchic structure, polarity, and social construction
2016
T46352
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sathila Kusumaningtyas
Abstrak :
Tesis ini meneliti tentang hambatan yang dihadapi Indonesia, Malaysia, dan Filipina dalam kerja sama patroli maritim trilateral (trilateral maritime patrol) di Laut Sulu dan Sulawesi dengan menggunakan kelima variabel rezim keamanan yakni norma dan prinsip, aturan main, kepentingan nasional, kekuatan politik, dan pengetahuan yang didasari oleh ancaman yang ada di kawasan Laut Sulu dan Sulawesi. Analisis tersebut memberikan hasil bahwa ketiga negara kesulitan melakukan kerja sama dikarenakan beberapa hambatan berikut: prinsip kedaulatan dalam ASEAN Way yang dianut ketiga negara justru menghambat pelaksanaan patroli, aturan main dalam TCA tidak mengikat secara hukum dan tidak mengatur perluasan hak pengejaran seketika, adanya kepentingan nasional yang tumpang-tindih membuat negara-negara lalai akan tujuan utama kerja sama, dan terdapat ketimpangan yang cukup besar dalam kekuatan politik ketiga negara. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara dengan insentif kerja sama terbesar perlu untuk terus mendorong kedua negara lainnya untuk segera merealisasikan kerja sama. Selain itu ketiga negara perlu menunjuk keketuaan atau koordinator secara bergiliran untuk menjamin pertanggungjawaban pelaksanaan kerja sama dan merumuskan aturan main yang lebih mengikat secara hukum.Ketiga negara juga perlu untuk bekerja sama dalam capacity building untuk membantu negara yang lebih lemah menyetarakan (jenis dan teknologi) kapal-kapal yang akan digunakan untuk patroli agar memudahkan dalam komando dan pengendaliannya. ......This thesis examines the obstacles faced by Indonesia, Malaysia and the Philippines in the cooperation of trilateral maritime patrols in the Sulu Sea and Sulawesi. In analyzing these obstacles, this thesis uses the five variables of the security regime: norms and principles, rules of conduct, national interests, political power, and knowledge based on the threats that exist in the Sulu and Sulawesi. The purpose of this exercise to identify the constraints that exist in the joint trilateral joint patrol cooperation between Indonesia, Malaysia and the Philippines. This thesis finds that the three countries embrace the norms and principles of the ASEAN Way which embraces the principle of sovereignty, and as such erodes the effectiveness of cooperation. In addition, the TCA principles result in the absence of legally-binding, and the regulation of the extention of the right of hot pursuit. The over-emphasis on non-intervention in the pursuit of national interests leads tothe neglect of the main purpose of cooperation, and there is considerable imbalance in the political power of the three countries. Therefore, referring to the concept of the security regime, this cooperation will not work effectively if the variables in the regime are not met. Indonesia as a country with the largest cooperation incentives needs to continue to encourage the other two countries to immediately realize the critical significan of the cooperation. In addition, the three countries also need to appoint a coordinator to ensure the accountability of the implementation of cooperation.There is also a need to formulate more legally binding rules. Finally, the states in the region need cooperate in the capacity building that helps weaker states to equalize the type and technology of vessels to be used for patrols to facilitate command and control.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Hidayat
Abstrak :
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya dinamika politik pasca penandatangan perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura pada tanggal 10 maret 2009 tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di bagian barat tahun 2009. Hal ini menjadi menarik diteliti untuk mengetahui dinamika politik di DPR-RI dalam proses ratifikasi penetapan perjanjian kedua negara tersebut dan juga untuk melihat kepentingan masing-masing negara akan terbentuknya Undang-Undang No. 4 Tahun 2010. Penelitian ini fokus kepada dinamika politik yang terjadi di DPR dalam proses ratifikasi mengenai perjanjian batas wilayah Laut RI-Singapura di bagian barat tahun 2009. Dan juga untuk memberi gambaran akan kepentingan kedua belah pihak dalam pegesahan perjanjian tersebut. Dimana dasar dari pengesahan Ratifikasi oleh DPR-RI ini menjadi acuan mulai berlakunya perjanjian tersebut dengan bentuk Undang-undang No. 4 Tahun 2010. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan Teori Kebijakan Publik dari William Dunn, James E. Anderson, Thomas R. Dye dan Robert Eyestone, Teori Kepentingan Nasional dari Donald E. Neuchterlein, teori 'Two Level Game' dari Robert D. Putnam, dan Teori Ekonomi Politik Internasional dari Robert Gilpin. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian eksplanasi, dan menggunakan teknik pengumpulan data yang terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari wawancara mendalam (in-depth interview) dimana wawancara yang digunakan adalah wawancara tidak berstruktur. Sedangkan data sekunder meliputi buku-buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen DPR-RI, dokumen risalah rapat, dan dokumen lainnya. Setelah dilakukan analisis, Dinamika politik di DPR. Terbagi pro-kontra antara pihak yang mendesak perjanjian ini diratifikasi dan pihak yang berpendapat perjanjian ini tidak perlu segera diratifikasi. Pada tanggal 24 Mei 2010, Pemerintah bersama DPR akhirnya menyepakati pembahasan RUU Ratifikasi Perjanjian Indonesia-Singapura tentang batas wilayah menjadi UU No. 4 Tahun 2010 tentang Pengesahan Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang penetapan garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Bagian Selat Singapura 2009. Faktor yang mendasari DPR meratifikasi perjanjian ini antara lain berdasarkan UNCLOS 1982 dimana kegiatan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura tidak akan mempengaruhi luas wilayah laut Indonesia, dan menyusutnya luas Pulau Nipa juga tidak berdampak pada pengukuran garis dasar. Dan menegaskan titik dasar Pulau Nipa sebagai pulau terdepan Indonesia dijadikan sebagai dasar pengukuran garis dasar terhadap batas maritim Indonesia. Dengan diratifikasinya UU No. 4 Tahun 2010 ini menandakan bahwa ekspor pasir yang sempat ditutup oleh Menperindag Rini Suwandi tahun 2003 akhirnya dibuka kembali. Implikasi Teoritis menunjukan bahwa Teori Kepentingan Nasional, Teori Kebijakan Publik, Teori 'two level game' dan Teori Ekonomi Politik Internasional dapat menjelaskan mengapa undang-undang batas wilayah laut ini lahir. ......The political dynamics after the ratification agreement between Indonesia and Singapore in 10 March 2009 became the background of this research. The agreement regulates the western sea boundary between the two countries in 2009. This dynamic is interesting to research on to know the political dynamics after this ratification and the national interests of each of these countries that lead to the introduction of Regulation No. 4 in 2010. For its theoretical framework, this research used public policy theories from various scientists, such as William Dunn, James E. Anderson, Thomas R. Dye and Robert Eyestone, theories on national interest from Donald E. Neuchterlein, the 'Two Level Game' theory from Robert D. Putnam and International Political Economy Theory from Robert Gilpin. This research uses qualitative methods with explanatory research and uses data collection technique for primary and secondary data. Primary data comes from indepth unstructured interview. Secondary data are gathered from books, journals, regulations, DPR-RI legal documents, meeting minutes and other documents. After data was analysed, it shows there were pros and cons between members of the DPR towards the ratification. On 24 May 2010, the government with DPR finally agreed on discussing the draft of regulation on the ratification. The influencing factor of DPR finally agreeing of this ratification is the UNCLOS 1982 where the shore reclamation done by Singapore would not decrease Indonesia territorial boundary and the decreasing width of Nipa island did not influence Indonesia's boundaries as the island remains the boundary point island in Indonesia's maritime territory. By ratifying the Regulation No. 4 in 2010, the export of sand that once was banned by the then Minister of Industry and Trading Rini Suwandi in 2003 has been allowed to continue. Theoretical implication shows that all theories used (the National Interest, Public Policy, 'Two Level Game' and International Political Economy Theories) can explain the introduction of this regulation on maritime boundaries.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
T 28717
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Poltak Partogi, 1963-
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2020
341.44 NAI i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Abstrak :
Delimitasi bata maritim dalam penetapan batas maritim antar-negara pada pasal-pasal yang tertuang dalam UNCLOS (United Nations Convention on the law of the Sea) mengandung aspek matematik dan geografik. Aspek matemtik terutama berkaitan dengan penetapan batas laut teritorial yang tertuang dalam Pasal 15 Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNCLOS di atas, sedangkan aspek matematik dan geografik tertuang dalam Pasal 74 dan 83 UNCLOS yang berkaitan dengan penetapan batas zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa penetapan batas zona ekonomi ekskluisf atau landas kontinen antara negara yang pantainya berhadapan atau bedampingan harus diadakan dengan persetujuan atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu pemecahan yang adil (equitable solution). Salah satu prinsip sebagai suatu pendekatan tentang delimitasi batas, maritim antar-negara yang beraspek geografik dan matematik adalah prinsip ekuidominan. Penafsiran prinsip equitable principle (prinsip sama jarak). Namun secara tradisional penetapan menurut prisnip sama jarak dengan penentuan garis tengah (median line) atas hak kawasan laut pada suatu Negara Pantai tidak selalu menghasilkan apa yang disebut adil (equitable). Prinsip Ekuidominan ialah konsep yang memuat pendekatan geografik dalam rangka delimitasi batas maritim yang meliputi konfigurasi pantai dan sifat geografik dalam metoda penentuan garis batasnya sebagai upaya menuju penyelesaian yang adil (equitable solution). Secara umum, pengertian ekuidominan adalah garis yang membagi laut ke dalam area yang secara relatif yang mempunyai dominasi sama bagi masing-masing negara yang berbatasa. Salah satu kasus perbatasan yang menggunakan konsep ekuidominan adalah Teluk Maine (Gulf of Maine).
341 JBM 1:1 (2005)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Fitriati
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, 2018
342.0418 RAC w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Auditya Firza Saputra
Abstrak :
ABSTRAK
Kehadiran klaim nine-dash-line Republik Rakyat China membuat suasana politik di wilayah Laut Cina Selatan memanas akibat sengketa wilayah yang tak kunjung terselesaikan sejak dekade 1970 hingga saat ini. Masalah ini berkembang seiring ditemukannya potensi kekayaan alam di wilayah perairan Kepulauan Paracel. Kondisi ekonomi Vietnam yang sedang dilanda krisis global pasca perang saudara dan unifikasi menjadikan kepentingan potensi ekonomis yang terkandung di Paracel sebagai jalan keluar dari krisis ekonomi. Di sisi lain, Hukum Internasional mengakui status kepemilikan suatu Pulau kepada negara tertentu melalui praktik pemenuhan asas okupasi efektif. Asas ini merupakan suatu preseden yang berkembang dari waktu ke waktu sejak kasus Putusan Arbitrase Las Palmas hingga kasus Putusan Sipadan dan Ligitan. Lewat metode okupasi yang efektif suatu kedaulatan negara dimanifestasikan lewat tindakan-tindakan damai yang secara terus menerus dalam periode penguasaan negara atas wilayah sengketa. ...... The presence of nine dash line claim by People?s Republic of China driven tensions to heat up the South China Sea as result of the unsettle territorial dispute since the 1970?s decades to present. The situations have developed since the discovery of oil potentials and other natural resources contained in the Paracels seas by States. Vietnam?s conditions is currently falling under the global economic crisis as a result of the Vietnam war and unification of the South and North Vietnam that produce the interests for such natural exploration of the Paracels waters. In the other side, International Law approves the right of territory of an island belong to the State that has exercised the practices of effective occupations principle. The principle is valid as a precedent that developed from time to time since the Las Palmas arbitration case until the Sipadan and Ligitan islands disput ruled out by the International Court of Justice. Through exercising the method of such effectivites, a sovereign state is recognsed its will to manifest the acts of peaceful display in a continual control over the dispute islands.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64511
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fietta, Stephen
Oxford: Oxford University Press, 2016
341.448 FIE p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
UI-IJIL 6 (1-4) 2008/2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Buntoro
Abstrak :
Legal perspectives on archipelagic sea lanes and nautical charts of Indonesia
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014
387.5 KRE l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>