Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alyya Siddiqa
Abstrak :
Masalah terapi malaria yang dihadapi Indonesia adalah resistensi obat dan kegagalan pengobatan. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pengobatan adalah buruknya biotransformasi obat pro drug menjadi bentuk aktifnya akibat karakteristik genetik manusia. Sejak tahun 2004, obat antimalaria amodiakuin yang dikombinasikan dengan artemisinin menjadi terapi lini pertama terapi malaria di Indonesia. Amodiakuin, sebagai pro-drug, memerlukan enzim CYP2C8 untuk membentuk metabolit aktifnya, desetilamodiakuin. Polimorfisme gen CYP2C8 yang menyandi protein enzim CYP2C8 diduga dapat menyebabkan kegagalan terapi akibat tidak terbentuknya metabolit aktif yang mencukupi. Penelitian dengan disain potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan proporsi ale! mutan gen CYP2C8 pada penderita malaria faiciparum tanpa komplikasi di desa Sentani Papua yang gaga! dan yang berhasil diterapi dengan amodiakuin atau artesunatamodiakuin. Sampel penelitian adalah sampel darah pada kertas saring Whatman dari 43 subjek yang gagal dan 65 subjek yang berhasil diterapi dengan amodiakuin atau kombinasi artesunat-amodiakuin. Penelitian dilakukan dengan metode PCR-RFLP untuk mengidentifikasi ada tidaknya alel mutan. Alel mutan yang diperiksa adalah CYP2C8*2, CYP2C8*3, dan CYP2C8*4. Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukannya alel mutan gen CYP2C8 pada kedua kelompok penderita malaria faiciparum. Hasil ini membuktikan bahwa alel-alel mutan gen CYP2C8 pada populasi penelitian terdistribusi dalam frekuensi yang sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali. Polimortisme gen CYP2C8 tidak berhubungan dengan penyebab kegagalan terapi pada kelompok subjek penderita malaria faiciparum yang gagal diterapi.
The major problems of malaria in Indonesia nowadays are drug resistance and therapeutic failure. One factor that might cause the therapeutic failure is insufficient or poor biotransformation of pro-drug to its active form related to human genetic characteristics. Since 2004, combination of artemisinin and amodiaquine has been adopted as the first line therapy for malaria in Indonesia. Amodiaquine, as a pro-drug, needs CYP2C8 enzyme to produce its active metabolite, desethylamodiaquine. Polymorphism of CYP2C8 gene that codes the enzyme is assumed to be responsible for therapeutic failure because desethylamodiaquine produced in small amount. This is a cross-sectional study to identify the proportion of mutant allele of CYP2C8 gene on malaria faciparum patients without complication at Sentani village, Papua, who were treated by amodiaquine or artesunatamodiaquine. The blood samples on Whatrnan filter papers were obtained from 43 subjects who failed to respond and 65 subjects who responded well by amodiaquine or artesunate-amodiaquine. The study applied PCR-RFLP methods to analyze CYP2C8 gene and to determine the mutant alleles. The mutant alleles analyzed included CYP2C8*2, CYP2C8*3, and CYP2G8*4. Our study showed that no mutant alleles were found in both groups. This result proved that the frequency distribution of CYP2C8 mutant alleles is very low or even absence in our study population. It is concluded that polymorphism of CYP2C8 gene is not related to the therapeutic failure.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18002
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ervi Salwati
Abstrak :
Ruang tingkup dan cara penelitian: Sampai saat ini, diagnosis malaria ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik. Cara ini memiliki keterbatasan : untuk mendapatkan tenaga mikroskopis yang berkualitas, mendeteksi parasit pads densitas rendah, mengidentifikasi spesies dan infeksi campur. Uji cepat malaria berdasarkan deteksi antigen yang dihasilkan plasmodium (HRP-2, pan-LDH dan aldolase) telah dikembangkan dengan menggunakan antibodi monokional. Adanya perbedaan batas deteksi terendah antara deteksi antigen dan pemeriksaan mikroskopik perlu digunakan PCR sebagai alat untuk koreksi, karena PCR mempunyai sensitivitas melebihi mikroskopik Dengan kelebihan ini, hasil pemeriksaan mikroskopik akan terkoreksi dengan baik. Sampel penelitian ini adalah 495 pasien tersangka malaria yang datang berobat ke Puskesmas Hanura (Lampung Selatan). Deteksi antigen dilakukan pads saat darah diambil Pemeriksaan mikroskopik dilakukan di Jakarta tanpa mengetahui hasil pemeriksaan deteksi antigen. Dari spot darah pasien DNA di ekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi saponin-chelex dan selanjutnya dilakukan annplifikasi DNA dengan primer yang mengapit daerah 18S ssu rRNA. Hasil :Ketidak sesuaian hasil antara pemeriksaan mikroskopik dan deteksi antigen HRP-2 dengan atau tanpa pan-LDH, ditemukan pada 38 penderita yang dikelompokkan menjadi : 1) positif palsu sebanyak 47,4% (18/38), 2) negatif palsu 40% (15138); 3) ketidak sesuaian spesies 13,2% (5138). Setelah dikoreksi PCR, positif palsu berkurang menjadi 11 dan negatif palsu menjadi 14. Deteksi antigen HRP2 dengan atau tanpa pan-LDH mempunyai sensitivitas lebih balk dalam mendeteksi P.falciparum dibandingkan mikroskopik walaupun perbedaan tersebut tidak bermakna untuk deteksi antigen HRP-2 saja, tetapi bermakna untuk deteksi antigen HRP-2 dengan pan-LDH. Pemeriksaan mikroskopik mempunyai sensitivitas lebih baik dari pada deteksi antigen pan-LDH dalam mendeteksi P. viva:c tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna. Kesimpulan : deteksi antigen HRP-2 dengan atau tanpa pan-LDH tidak dapat menggantikan pemeriksaan mikroskopik.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library