Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pohan, M. Yusuf Hanafiah
Abstrak :
Saat ini kasus kanker paru meningkat jumlahnya dan menjadi salah satu masalah kesehatan di dunia juga di Indonesia. Data yang dikemukakan World Health Organization (WHO) menunjukkan kanker pare adalah penyebab utama pada kelompok kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki-laki tetapi juga pada perempuan. Di Indonesia kanker paru menduduki peringkat ke-3 atau ke-4 di antara tumor ganas yang paling sering ditemukan di beberapa rumah sakit. Jumlah penderita kanker paru di RS Persahabatan 239 kasus pada tahun 1996, 311 kasus tahun 1997 dan 251 kasus di tahun 1998. Lebih dari 90% penderita kanker paru datang berobat pada keadaan penyakit yang sudah lanjut, hanya 6% penderita masih dapat dibedah. Prognosis buruk penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan penderita yang jarang datang ke dokter ketika penyakitnya masih berada dalam tahap awal. Hasil penelitian pada penderita kanker pare pascabedah menunjukkan bahwa rerata angka tahan hidup 5 tahun stage 1 jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan dengan penderita kanker pare stadium lanjut. Masa tengah hidup penderita kanker part stage lanjut yang diobati adalah 9 bulan. Kanker pare adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis ini membutuhkan keterampilan dan sarana yang tidak sederhana serta memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerjasama yang erat dan terpadu antara ahli pare dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radioterapi, ahli bedah toraks dan ahli-ahli lainnya. Pengobatan atau penatalaksanaan penyakit ini sangat tergantung pada kecekatan ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker part pada stage dini akan sangat membantu penderita dan penemuan diagnosis dalam waktu lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualiti hidup yang lebih baik. Diagnosis pasti penyakit kanker ditentukan oleh basil pemeriksaan patologi anatomi. Dasar pemeriksaan patologi anatomi adalah pemeriksaan mikroskopik terhadap perubahan sel atau jaringan organ akibat penyakit. Terdapat dua jenis pemeriksaan patologi anatomi yaitu pemeriksaan histopatologi dan sitologi. Pemeriksaan histopatologi bertujuan memeriksa jaringan tubuh, sedangkan pemeriksaan sitologi memeriksa kelompok sel penyusun jaringan tersebut. Pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis pasti (baku emas). Pemeriksaan sitologi mampu memeriksa sel kanker sebelum tindakan bedah sehingga bermanfaat untuk deteksi pertumbuhan kanker, bahkan sebelum timbul manifestasi klinis penyakit kanker. Diagnostik kanker paru memang tidak mudah khususnya pada lesi dini. Pemeriksaan sitologi sputum merupakan satu-satunya pemeriksaan noninvasif yang dapat mendeteksi kanker pare tetapi nilai ketajamannya rendah. Pengambilan bahan pemeriksaan sel/jaringan pare banyak dilakukan dengan cara invasif seperti biopsi pare tembus dada (transthoracic biopsy/TTB), bronkoskopi atau torakoskopi. Teknik ini jauh lebih noninvasif dibandingkan biopsi pare terbuka dengan cara pembedahan yang sudah banyak ditinggalkan. Di RS Persahabatan jumlah penderita kanker paru yang dapat dibedah masih dibawah 10%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan negara lain yang dapat mencapai angka sekitar 30%. Data yang belum dipublikasi dari bagian bedah toraks RS Persahabatan dari tahun 2000-2004 mencatat 33 kasus kanker paru yang dibedah, rata-rata hanya sekitar 6-7 pasien pertahun, itupun bukan untuk tujuan diagnostik tetapi untuk penatalaksanaan. Hal ini menjadikan pemeriksaan sitologi masih akan tetap menjadi alat utama untuk diagnostik kanker paru. Berbagai teknik pemeriksaan sitologi dan histopatologi memberikan akurasi basil yang berbeda-beda dan umumnya tidak membandingkan akurasi berbagai teknik pemeriksaan sitologi tersebut dengan baku emas pemeriksaan histopatologi. Perbandingan akurasi basil berbagai teknik pemeriksaan tersebut akan berguna untuk menentukan pilihan pemeriksaan yang paling efektif dan efisien.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18032
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
Abstrak :
Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan. Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD. Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD. ......Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital. Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital. Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD. Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Adelina
Abstrak :
Industri keramik saat ini sedang berkembang dengan pesat, berdasarkan data dari depnaker Tangerang bahwa khusus didaerah ini diperkirakan sekitar ribuan tenaga kerja yang bekerja di industri keramik. Seperti telah diketahui bahwa industri keramik adalah industri yang menghasilkan banyak debu baik dari mulai pengolahan bahan baku, glosir maupun pengepakan. Pemajanan debu keramik dalam kurun waktu lama walaupun dengan konsentrasi kecil telah diketahui akan memberikan dampak negatif terhadap kelainan fungsi paru. Walaupun ada beberapa faktor lain yang ikut memperberat terjadinya kelainan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gangguan fungsi paru yang terjadi terhadap tenaga kerja di industri keramik " A " akibat pajanan debu keramik ditempatnya bekerja. Penelitian dilakukan dengan metode wawancara, pemeriksaan fisik, pemeriksaan faal paru yang di lakukan dengan memakai alat spirometri dan pengukuran kadar debu total lingkungan. Namun banyak keterbatasan - keterbatasan yang penulis hadapi, dimana tidak dapat diukurnya kadar debu respirable maupun ukuran dari partikel debu. Selain itu dalam penelitian ini penulis dibantu oleh pihak lain terutama dalam hal pengukuran faal paru dilapangan, sehingga beberapa kesalahan terjadi pada saat pemeriksaan. Sebagai dampaknya banyak hasil uji fast pan" responden yang tidak seperti yang diharapkan. Dari penelitian ini diperoleh hasil konsentrasi debu yang berada di bawah nilai ambang batas serta pekerja yang selalu memakai alat pelindung diri ( masker ) selama bekerja, sehingga kedua parameter tersebut tidak berdampak terhadap kelainan fungsi paru. Namun dicoba mencari hubungan dengan beberapa variabel lain yang kurang lebih dapat mempengaruhi gangguan fungsi paru seperti umur pekerja, masa kerja, status gizi dan kebiasaan merokok. Dari hasil penelitian ini diperoleh hubungan antara usia pekerja, status gizi pekerja dan kebiasaan merokok dari pekerja. Dengan adanya keterbatasan - keterbatasan yang telah disebutkan sebaiknya dilakukan pengukuran debu respirable, ukuran pertikel debu dan persiapan yang baik sebelum melakukan uji faal paru. Sehingga hasil yang diperoleh akan sesuai seperti yang diharapkan dari penelitian ini. Daftar bacaan : 44 ( 1984 - 1999)
Relation between Exposure of Ceramic Dust to Lung Function Disorder Workers in Ceramic Industrial " A " in Tangerang Regency, Banten 2004Ceramic industrial is have develops year and years, in Tangerang regency we can found about 1 millions workers in ceramic industrial. Ceramic industrial is industri that product very much dust in workplace, like product department until packing department . Exposure of ceramic dust in long time although in small concentration can make lung function disorder , but there are some variable can make this disorther more heavy. This research was want to know how the ceramic dust in the future can make lung function disorder to teh workers in teh workplace. This research use questioner method, physical examination, lung function test with use spirometry test and measured dust concentration that exposure of the workers. As long as this research was have some weakness, where ever we cannot measure teh respirabel dust concentration or dimension of teh dust. And this research , when lung function test was measured, there is some problem with person whose measured teh test. Dust of ceramic in ceramic industrial " A" was very small concentration (< 10 mg/m3 ), and used teh personal protective device when workers in the work place , so we can found the lung function disorder because of ceramic dust. There is no correlation between dust concentration in work place with lung function disorder. But there are some variables in this cases have correlation with lung function test, this correlation not significant to make lung function disorder. There are the weakness that we have explained before , in research furthermore we must measure respirable dust, dimension of dust and arrange the method of lung function test before with the result we can have good outcome later. Bibliography : 44 ( 1984 -1999 )
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12828
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leleulya, Marlond Rainol
Abstrak :
Gangguan fungsi seksual dapat terjadi pada laki-laki di segala usia, suku dan latar belakang budaya. Diperkirakan lebih dari 152 juta laki-laki di dunia menderita disfungsi ereksi pada tahun 1995 dan jumlahnya terus meningkat sehingga diperkirakan akan mencapai 322 juta di tahun 2025. Pengetahuan tentang fisiologi, patofisiologi fungsi seksual laki-laki dan melode diagnostik serta pengobatan dalam 3 dekade terakhir mengalami kemajuan bermakna. Keterlibatan fisiologi, sifat dan elemen-elemen yang terlibat dalam respons seksual normal dan aktiviti fungsional struktur penis telah berhasil diketahui. Mekanisme pasti komponen sistem saraf yang terlibat dalam proses ereksi jugs telah dapat dimengerti. Dalam bidang patofisiologi perkiraan kontribusi relatif faktor psi kogenik dan organik diketahui menjadi penyebab disfungsi ereksi pada laki-laki serta banyak faktor risiko yang menjadi penyebab disfungsi ereksi berhasil diidentifikasi. Pemeriksaan fisis dan laboratorium berkembang dengan pesat dengan berbagai pemeriksaan psikometri, hormonal, vaskular dan neurotogis. Pedoman yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tahun 2003 menyatakan PPOK adalah penyakit paru obstruktif kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun dan berbahaya. Pertambahan jumlah perokok, perkembangan industrialisasi dan polusi udara akibat penggunaan slat transportasi meningkatkan jumlah penderita PPOK dan menimbulkan masalah kesehatan. Diperkirakan 14 juta orang menderita PPOK di Amerika Serikat pada tahun 1991, meningkat 41,5 % dibandingkan tahun 1982 sedangkan mortalitinya menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian terbanyak yakni 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9 % dari tahun 1979 sampai 1991. Laki-laki dan perempuan mempunyai angka mortaliti yang sama sebelum usia 55 tahun sedangkan laki-laki usia 70 tahun angka kematian meningkat dua kali dari perempuan. Studi pada 12 negara di Asia Pasifik oleh Chronic Obstructive Pulmonary Disease Working Group mendapatkan prevalens PPOK bervariasi mulai dari 3,5% di Hong Kong dan 6,7% di Vietnam sedangkan di Indonesia sebesar 5,6%. World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalens PPOK akan meningkat pada tahun 2020 dari peringkat 12 ke 5 penyebab penyakit tersering di seluruh dunia. Koitus merupakan proses alamiah dan dibutuhkan manusia. Penyakit kronik selain mengganggu kemampuan menikmati hidup jugs mengganggu fungsi seksual. Disfungsi ereksi yang terjadi berkisar dari gangguan kecii sampai bencana bagi keluarga. Hudoyo dkk. menemukan disfungsi ereksi pada penderita PPOK mencapai 62,5%. Selama ini layanan medis dalam penanganan penderita PPOK terbatas pada keluhan-keluhan penderita yang berhubungan dengan sesak napas, faktor-faktor penyulit dan komplikasinya sedangkan masalah psikososial kurang mendapat perhatian. Walaupun masalah psikososial secara langsung tidak mempengaruhi angka harapan hidup, tetapi kondisi ini sangat mempengaruhi kualiti hidup penderita beserta pasangannya.
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Dwi Kurniawan
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Jalur gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) berperan dalam regulasi proliferasi sel, ketahanan hidup, diferensiasi, dan progresi tumor. Gen EGFR dengan domain tirosin kinase dalam ekson 18-21 yang mengalami mutasi berkorelasi secara respons klinik dengan pemberian Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI). Hal tersebut menyebabkan status mutasi gen EGFR menjadi faktor prediktif dalam pemberian TKI pada Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK). Namun pemeriksaan baku emas dalam mendeteksi mutasi gen EGFR adalah menggunakan direct sequencing yang membutuhkan jumlah sampel dengan sel kanker yang banyak, dengan sensitifitas yang rendah dan teknik yang tidak seragam. Metode penelitian: Metode PNA-LNA PCR Clamp mampu mendeteksi mutasi gen EGFR dengan rasio 1:1000 pada latar wild type. Metode ini menggunakan mekanisme imhibisi oleh Peptide Nucleic Acid (PNA) dan Locked Nucleic Acid (LNA) dalam urutan yang hampir sama ketika diamplifikasi menggunakan mesin real time PCR. Alel wild type a.kan dihambat oleh PNA sementara itu alel mutan akan berikatan dengan LNA dan ketika terjadi proses amplifikasi oleh DNA polimerase maka akan menyebabkan probe fluorogenik akan terpisah dan berpendar seiring dengan semakin meningkatnya siklus yang akan dideteksi oleh mesin SmartCycler. Hasil analisis dapat dijalankan selama 2 jam setelah dilakukan isolasi DNA. Sampel yang digunakan adalah PC9 (adenokarsinoma), PC3 (kanker prostate), H1975 (KPKBSK), dan H1299 H1975 (KPKBSK), Masing-masing sampel yang dibutuhkan adalah 15 μl dengan konsentrasi DNA 10 ng/μl. Hasil Penelitian: Metode PNA-LNA PCR Clamp mampu mendeteksi jenis mutasi E746-A750del-1p (tipe 1) pada sampel PC9 , delesi ekson 19 pada sampel PC3, T790M dan L858R pada sampel H1975, sementara itu tidak ditemukan mutasi pada sampel H1299. Kesimpulan: Metode PNA-LNA PCR Clamp dapat digunakan sebagai pemeriksaan alternatif dalam mendeteksi mutasi gen EGFR.
ABSTRACT
Introduction: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) signaling pathway play a role in regulation of cell proliferation, survival, differentiation and tumor progression. Tyrosin kinase domain within exon 18-21 of EGFR gene had mutation significantly correlated with clinical response to Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI). Thus, EGFR gene mutation become a biomarker predictor to Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC) treatment. However, the gold standar in detecting EGFR gene mutation is direct sequencing method which requires mostly cancer cells, low sensitivity and ununiformly technical handling.. Methods: A novel method which could allow detect EGFR gene mutation in 1:1000 wild type background has developed. It needs only a small amount of citology or histopatology samples in one day processing. It works based on inhibitory mechanism between Peptide Nucleic Acid (PNA) and Locked Nucleic Acid (LNA) in the nearly same sequences when it is amplified by PCR machine. PNA will attach to wild type allele so further amplification would be inhibited while LNA will attach to mutant allele then it would be flourecence when it is separated from sequencer during amplification by Taqman enzyme. Finally, Real time PCR machine will detect the signal from the mutant sequence thus mutant determination would be analyzed after 2 hours running. The samples are PC9 (adenocarcinoma), PC3 (prostate cancer), H1975 (non small cell lung cancer), and H1299 (non small cell lung cancer). Total amount of each sample is 15 μl with DNA concentration is 10 ng/μl. Results: This method reveals the mutations which are E746-A750del-1p (type 1) in PC9, exon 19 deletion in PC3, T790M and L858R in H1975 while no mutation in H1299. Conclusion The PNA-LNA PCR Clamp could be an alternative method in detecting EGFR gene mutation.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Martinus
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Polusi udara akibat kepadatan kendaraan merupakan bahaya serius bagi kesehatan sehingga orang yang terpajan polutan terus menerus mengalami peningkatan risiko terjadinya penurunan faal paru. Polisi lalulintas merupakan subjek yang terus menerus terpajan dengan emisi gas buang kendaraan sebagai risiko dari pekerjaannya.Gas buang kendaraan terdiri dari nitrogen oksida, karbon monoksida, bahan partikel dan lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan bronkiolus terminal dan menurunnya kompains serta kapasitas vital paru. Penelitian ini bertujuan menilai status faal paru polisi lalulintas Jakarta Pusat dan apakah terdapat hubungan antara pajanan terhadap polusi gas buang kendaraan dengan penurunan faal paru. Disamping itu juga dilakukan analisis hubungan antara penurunan faal paru dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan 170 polisi lalulintas di polres Jakarta Pusat, usia 20-55 tahun, masa kerja minimal 2 tahun. Data kesehatan secara keseluruhan diamati menggunakan Kuesioner Proyek Pneumomobile Indonesia dan pemeriksaan fisis dan status kesehatan paru secara khusus diamati menggunakan foto toraks dan spirometri. Kadar CO-ekshalasi juga dianalisis. Analisis statistik dikerjakan menggunakan SPSS versi 17.

Hasil: Dalam penelitian ini didapatkan sampel total adalah 130 subjek tetapi 9 subjek dropout karena tidak menyelesaikan pemeriksaan secara lengkap dan benar. Data subjek yang dilakukan analisis adalah sebanyak 121 dengan karakteristik 33,9% memiliki usia antara 41-50 tahun dengan rerata usia 37,0 tahun (SD 8,8); 57,9% memiliki berat badan lebih; 55,4% merupakan perokok aktif; 64,5% menggunakan alat pelindung diri secara buruk; 47,9% memiliki masa kerja >10 tahun; 100% bekerja 56 jam seminggu.Rerata kadar CO-ekshalasi adalah 8,7 (SD 5,0). 9,9% subjects memiliki foto toraks normal,hanya 16,7% yang merupakan kelainan paru dan 83,3% merupakan kelainan nonparu. 19% subjek memiliki kelainan faal paru yaitu 60,9% kelainan restriksi ringan dan 39,1% kelainan obstruksi ringan dan sedang. Tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara variabel independen usia, status nutrisi, riwayat merokok, penggunaan alat pelindung diri, durasi kerja terhadap variabel dependen pemeriksaan spirometri.Hanya variabel masa kerja subjek yang semakin lama memiliki hubungan bermakna secara statistik terhadap penurunan hasil pemeriksaan spirometri dengan p=0,0014.

Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan lamanya masa kerja polisi lalulintas berhubungan bermakna secara statistik dengan penurunan faal paru.
ABSTRACT
Introduction: Air pollution due to road traffic is a serious health hazard and thus the persons who are continuously pollutant exposed, may be at an increased risk. In this respect, traffic policemen are at a risk, since they are continuously exposed to emissions from vehicles, due to the nature of their job. Automobile exhaust consists of oxides of nitrogen, carbon monoxide, particulate matter, and others, which cause injury to the terminal bronchioles and a decrease in the pulmonary compliance and vital capacity. The present study was aimed at assessing the pulmonary function status in traffic policemen in Central Jakarta whether prolonged exposure to vehicular exhausts had any detrimental effect on their lung functions. The relationship between decrements of lung function and various influencing factors also analyzed.

Methods: Across-sectional study was conducted in 170 traffic policemen in Central Jakarta, age 20-55 years, working periods at least 2 years. The data of overall health status was observed using Indonesia Pneumomobile Project Questioner and physical examinations and lung health status was observed using thorax X-ray and spirometry. Level of CO-exhalation was also analyzed. The statistical analysis was carried out with SPSS PC software version 17.

Results: Total samples included in this study were 130 subjects, 9 subjects were dropped out because uncompleted study’s tests. Analyzed subjects were 121 whose characteristics were 33,9% were in age classifications 41-50 years and mean age was 37,0 (SD 8,8); 57,9% overweight; 55,4% active smokers; 64,5% bad masker application; 47,9% in working periods >10 years; 100% had 56 working hours in a week. Mean CO-exhalation level was 8,7 (SD 5,0). 9,9% subjects had abnormal thorax X-ray that16,7% were lung abnormality and 83,3% were nonlung abnormality. 19% subjects recorded lung function decreased included 60,9% mild restriction and 39,1% mild and moderate obstruction. There were no statistical significant between age, nutrition’s classifications, smoking history, protective mask applications, working duration as independent variables and spirometry parameters as dependent variables. Longer working periods were the only dependent variable had statistical significant with decreasing spirometry results with p=0,0014.

Conclusion: This study showed that working periods had statistical significant with lung function decrement.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Soh
Abstrak :
ABSTRAK
Banyak studiBanyak studi epidemiologi, klinis dan in vitro terakhir menunjukkan hubungan antara vitamin D dengan tuberkulosis (TB) paru. Kadar 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) yang rendah berhubungan dengan penyakit TB paru aktif dan laten. Namun, sampai saat ini belum ada data mengenai hubungan kadar 25(OH)D dan status vitamin D dengan derajat lesi TB paru. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara proporsi status vitamin D dan kadar 25(OH)D dengan derajat lesi TB paru ringan, sedang dan berat. Desain penelitian potong lintang, terdiri dari 137 pasien TB paru terbagi menjadi kelompok derajat lesi TB paru ringan, sedang dan berat masing-masing 46, 47 dan 44 pasien. Diagnosis TB paru berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Derajat lesi TB paru dinilai secara radiologis berdasarkan klasifikasi dari National Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Status vitamin D ditetapkan menurut rekomendasi Holick. Pada ketiga kelompok dicatat data karakteristik subjek dan dilakukan pemeriksaan 25(OH)D. Status vitamin D pada subjek penelitian ini didapatkan sebanyak 122(89,1%) defisiensi dan 15(10,9%) insufiensi vitamin D. Proporsi defisiensi dan insufisiensi vitamin D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan perbedaan bermakna, masing-masing dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan 9,1%. Kadar 25(OH)D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak berbeda bermakna, masing-masing dengan rerata 12,96 (SB±5,83)ng/mL, 12,42 (SB±5,13)ng/mL, dan 11,29 (SB±5,61)ng/mL. Kami menyimpulkan status vitamin D dan kadar 25(OH)D tidak berhubungan dengan derajat lesi TB paru. Proporsi defisiensi dan insufisiensi vitamin D kelompok TB paru ringan, sedang dan berat tidak didapatkan perbedaan bermakna, masingmasing dengan 84,8% dan 15,2%; 91,5% dan 8,5%; 90,9% dan 9,1%.
ABSTRACT
Most recent epidemiological, clinical and in vitro studies indicate that there is a the relationship between vitamin D and pulmonary tuberculosis (TB). Low concentration of 25- hydroxyvitamin D (25(OH)D) is associated with active and latent pulmonary TB disease. Nevertheless, there is no data about the relationship between vitamin D status and concentrations of 25(OH)D with severity of pulmonary TB. The aim of this study was to obtain the relationship between proportions of vitamin D and concentrations 25(OH)D with mild, moderate and severe degrees of pulmonary TB lesions. This was a cross-sectional study, 137 patients with pulmonary TB and 46, 47 and 44 patients each of mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions, respectively. Diagnosis of pulmonary TB was based on National Tuberculosis Control Guideline, Ministry of Health of the Republic of Indonesia. The degree of pulmonary TB lesion was radiologically assessed based on classifications of the National Tuberculosis and Respiratory Disease Association, New York. Vitamin D status was defined according to Holick recommendations. Baseline characteristics of subjects were recorded and 25(OH)D concentrations were measured in subjects of each groups. Vitamin D status of the subjects were 122 (89.1%) deficiency and 15 (10.9%) insufficiency of vitamin D. The proportions of vitamin D deficiency and insufficiency at mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e. 84.8% and 15.2%, 91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively. Concentrations of 25 (OH) D in each group of mild, moderate and severe pulmonary TB lesions were not significantly different, with a mean (SD) 12.96 (5.83)ng/mL, 12.42 (5.13)ng/mL, and 11.29 (5.61)ng/mL respectively. It is concluded that vitamin D status and serum 25 (OH) D were not related to the degree of pulmonary TB lesion. The proportion of vitamin D deficiency and insufficiency at mild, moderate and severe degree of pulmonary TB lesions were also not significantly different, i.e. 84.8% and 15.2%, 91.5% and 8.5%, 90.9% and 9.1%, respectively.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febri Syahida
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektifitas biaya antara Puskesmas yang menerapkan PAL dengan yang tidak menerapkan PAL dalam penanganan Tuberkulosis Paru di Wilayah Kota Administratif Jakarta Timur, dengan melakukan perhitungan menggunakan metode Activity Based Costing (ABC) untuk mendapatkan biaya per aktifitas. Penilaian efektifitas berdasarkan perbandingan antara penjumlahan komponen biaya pada masing-masing alternatif dengan output penelitian yang meliputi efektifitas pengobatan, Quality Adjusted Life Years (QALY's) serta Kegagalan/drop out yang dapat dihindari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Puskesmas PAL lebih efektif dalam penanganan Tuberkulosis Paru berdasarkan output kegagalan/drop out yang dapat dihindari. ...... This research purposes to compare cost effectivity between Center of Health which implements PAL and Non PAL in treatment Pulmonary Tuberculosis on administrative district East Jakarta. It uses Activity Based Costing (ABC) method to obtain cost per activity. The effectivity evaluation is based on comparison between total cost component at each alternatives with output consists of medical treatment effectiveness, Quality Adjusted Life Years (QALY's) and prevented failure/drop out. The result shows that Puskesmas with PAL is more effective in Pulmonary Tuberculosis treatment based on prevented failure/drop out.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T36762
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmani Sakina
Abstrak :
Tesis ini menganalisis sistem pencatatan dan pelaporan Practical Approach to Lung Health (PAL) pada 6 Puskesmas di Kabupaten Bogor pada tahun 2013. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara mendalam pada 11 informan dan memeriksa laporan PAL selama bulan Januari-April 2013 pada 6 Puskesmas dengan memperhatikan ketepatan waktu laporan, kelengkapan laporan, dan keakuratan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan dalam beberapa faktor input, proses dan output dalam pelaksanaan pencatatan dan pelaporan PAL di Puskesmas yang diteliti. Puskesmas yang memenuhi indikator tampak lebih terorganisasi dengan adanya Tim PAL yang disahkan oleh Kepala Puskesmas, semua pihak tampak berkerjasama dalam melaksanakan pencatatan dan pelaporan PAL setiap hari, dan mempunyai komitmen yang tinggi baik Kepala Puskesmas, kordinator PAL, pelaksana harian dan petugas pencatatan dan pelaporan. Untuk itu, masih dibutuhkan perbaikan secara komprehensif dan terintegrasi melibatkan banyak pihak yang terkait sistem pencatatan dan pelaporan PAL di Puskesmas Kabupaten Bogor. ...... This thesis discusses Recording and Reporting System of Practical Approach to Lung Health (PAL) in 6 Primary Health Center (Puskesmas) at Bogor District 2013. This research uses qualitative method by conducting in-depth interview to 11 key informants and checking PAL report for 6 Puskesmas since January until April 2013, by considering the timeliness, the completeness of the report, and accuracy. The result shows that there are differences in input, process and output in the the implementation of recording and reporting system. Puskesmas that meet the indicator are more organized with the PAL team authorized by the Head of Puskesmas, all parties cooperate in implementing the PAL recording and reporting every day, and everybody has commitment. Therefore, it is need to have comprenhensive and integrated improvements by involving others stakeholders related to recording and reporting PAL system in Puskesmas.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
T38421
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Chandra Kirana Sugianto
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker paru merupakan salah satu jenis keganasan tersering penyebab kematian di dunia. Penelitian faktor-faktor prognostik pada Non-Small Cell Lung Carcinoma sangatlah penting karena berpotensi membawa kita kepada tatalaksana pasien yang lebih baik. CYFRA 21-1 dan CEA merupakan penanda tumor yang diketahui memiliki spesifisitas tinggi terhadap NSCLC dan dapat digunakan dalam memperkirakan prognosis. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan CYFRA 21-1 dan CEA terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di Indonesia dan saat ini belum ada nilai titik potong CYFRA 21-1 dan CEA yang terstandarisasi sebagai faktor prognostik. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar CEA dan CYFRA 21-1 awal dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM dan menentukan titik potong CEA dan CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik. Metodologi: Desain studi ini adalah kohort retrospektif terhadap 111 subjek penelitian dengan NSCLC stadium lanjut berusia >18 tahun yang terdiagnosa dari Januari 2012 hingga Mei 2018 dan telah diperiksakan CEA dan CYFRA 21-1 saat awal terdiagnosis. Karakteristik nilai CEA dan CYFRA 21-1 awal, status performa, jenis histologi, terapi dan stadium didokumentasikan secara lengkap dan diambil dari data Unit Rekam Medik RSUPN Cipto Mangunkusumo. Studi ini menggunakan analisis kesintasan, cox proportional hazards dan log-rank test. Hasil: Area under the curve (AUC) CEA didapatkan kurang dari 50% (AUC = 0,446) dan tidak bermakna, sebaliknya AUC CYFRA 21-1 cukup bermakna dalam analisis kesintasan ini dengan nilai AUC = 0,741 (0,636-0,847) dan p<0,001. Nilai titik potong CEA didapatkan sebesar >21,285 ng/mL, dengan sensitivitas 48,8% dan spesifisitas 48,3%. Sedangkan nilai titik potong CYFRA 21-1 didapatkan sebesar > 10,9 ng/mL dengan sensitivitas 69,5% dan spesifisitas 65,5%. Variabel-variabel yang memenuhi asumsi proportional hazard pada analisis ini adalah CYFRA 21-1, PS, jenis histologi kanker dan terapi. Nilai p>0,05 didapatkan baik pada kurva analisis CEA maupun stadium sehingga hasil tersebut tidak bermakna pada penelitian ini. CYFRA 21-1 >10,9 ng/mL memiliki HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028). PS dengan ECOG 3-4 memiliki HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC jenis non-adenokarsinoma memiliki HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), dan kelompok yang tidak dikemoterapi memiliki HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015). Kesimpulan: Nilai CEA awal yang tinggi tidak terbukti berhubungan dengan kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut, sebaliknya nilai CYFRA 21-1 awal yang tinggi terbukti dapat menjadi faktor prognostik yang signifikan terhadap kesintasan satu tahun NSCLC stadium lanjut di RSCM. Nilai titik potong CYFRA 21-1 sebagai faktor prognostik adalah sebesar >10,9 ng/mL. ......Background: Lung cancer is one of the most common types of malignancy that causes death in the world. Research of prognostic factors in Non-Small Cell Lung Carcinoma is very important because it has the potential to lead us to better patient management going forward. CYFRA 21-1 and CEA are tumor markers that are known to have high specificity to NSCLC and can be used in estimating prognosis. However, there have been no studies looking for the association of CYFRA 21-1 and CEA with one-year survival of advanced stage NSCLC in Indonesia, and there is currently no cut-off value for CYFRA 21-1 and CEA as standardized prognostic factors. Objective: This study aims to determine the association of initial CEA and CYFRA 21-1 levels with one-year survival NSCLC advanced stage in RSCM and determine the cut-off value of CEA and CYFRA 21-1 as a prognostic factor. Methodology: The study design was a retrospective cohort of 111 subjects with advanced stage of NSCLC aged > 18 years who were diagnosed from January 2012 to May 2018 and had initial CEA and CYFRA 21-1 value before being treated. Characteristics of the initial CEA and CYFRA 21-1 values, performance status, type of histology, stage of the disease and therapy were fully documented and taken from the Medical Record Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital. This study used survival analysis, cox proportional hazards and log-rank tests. Results: The CEA’s area under the curve (AUC) was found to be less than 50% (AUC = 0.446) and not significant, whereas AUC of CYFRA 21-1 was quite significant in this survival analysis with AUC = 0.741 (0.636-0.847) and p <0.001. CEA cut-off point were obtained > 21,285 ng / mL, with a sensitivity of 48.8% and specificity of 48.3%. While the CYFRA 21-1 cut point was > 10.9 ng / mL with a sensitivity of 69.5% and a specificity of 65.5%. The variables that meet the proportional hazard assumption in this analysis are CYFRA 21-1, PS, the cancer histology and therapy. A p value > 0.05 was obtained both on the CEA and the stage analysis curve so that the results were not significant in this study. CYFRA 21-1 > 10.9 ng / mL has HR 1,744 (HR = 1,744; p=0,028), PS with ECOG 3-4 had HR 2,434 (HR=2,434; p=0,026), NSCLC non-adenocarcinoma type had HR 1,929 (HR=1,929;p=0,029), and non-chemotherapy group had HR 2,633 (HR=2,633;p=0,015). Conclusion: A high initial CEA value was not proven to be associated with one-year survival of advanced stage NSCLC, whereas conversely a high initial CYFRA 21-1 value was shown to be a significant prognostic factor for one-year survival of advanced stage NSCLC in RSCM. The cut-off point of CYFRA 21-1 as a prognostic factor is > 10.9 ng /mL.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>