Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kembaren, Arnold Salaba
Abstrak :
Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka menjalankan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam membentuk suatu peraturan daerah, peraturan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, maka peraturan daerah tersebut dapat dibatalkan oleh pemerintah. Seringkali peraturan daerah yang telah diundangkan bertentangan dengan kepentingan umum dan pada akhirnya dibatalkan oleh pemerintah. keseragaman pemahaman dari konsep kepentingan umum, baik pusat maupun daerah, diperlukan agar peraturan daerah menjadi lebih efisien, efektif dan ditinjau dengan baik. ...... Local Government have authority to make local regulation in order to run local autonomy and co-administration. In the making of local regulation, the local regulation must not be contrary to public interest and/or the higher legislation. If contrary to applicable regulations, it can be canceled by the government. Often local regulations that have been enacted contrary to the public interest and ultimately canceled by the government. Uniformity of understanding of the concept of public interest, both national and local, regional regulation is necessary in order to become more efficient, effective and well reviewed.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56871
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Widiyastuti
Abstrak :
ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang politik hukum dalam proses pembentukan Qanun dan Peraturan Daerah Berbasis Keagamaan. Tesis ini menggunakan metode penulisan hukum normatif, penulis akan menggunakan dua bentuk metode, yakni penelitian studi pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research). Adapun pendekatan penelitian yang dilakukan dalam tulisan ini adalah pendekatan perspektif politik, hukum dan sosio-legal dengan menguji dan menganalisis arah kebijakan pembentukan hukum dalam proses legislasi di daerah. Proses pembentukan in casu Peraturan Daerah juga tidak dapat menafikan pengaruh politik. Hipotesa yang ingin dikaji dalam tesis ini adalah jika konfigurasi politik yang dianut demokratis maka dalam proses legislasinya akan memberi spektrum yang luas (public sphere) dan peranan optimal partisipasi kelompok sosial dan individu dalam masyarakat. Sebaliknya, jika konfigurasi politiknya bersifat otoriter, maka peranan dan partisipasi masyarakat dalam legislasi relatif kecil.
ABSTRACT
This thesis discusses political law of Local Regulation legislation process. This thesis applies the method of normative legal writing, the author will use two forms of the method, the library research and field research. The research approach taken in this paper is the approach of political, law and sosio-legal perspectives, which examined the relationship betwen politic and law, legal policy of law that would be applied in the aspect of local regulation legislation. The hypotheses are proposed in this thesis based on two focus : if the configuration of the political was democratic determination in the process of legislation will provide space and the role of optimal participation of social groups and individuals in society. Conversely, if the political configuration was an authoritarian, the role and public participation in legislation is relatively limited to a narrow policy spectrum.
Universitas Indonesia, 2013
T32957
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yurista Yohasari
Abstrak :
ABSTRAK Urusan kehidupan beragama di Indonesia merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Tetapi faktanya banyak peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama, sehingga hal ini tentu menimbulkan masalah. Dalam tulisan ini, penulis mencoba mengupas permasalahan norma dalam peraturan daerah yang mengatur kehidupan beragama di Indonesia dan desain pengaturan kehidupan beragama yang ideal dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sesuai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
ABSTRACT Indonesian religious life is in under authority of the central government as in Article 10 paragraph (1) of Law Number 23 Year 2014 on Regional Government. In fact, many local regulations governing related to religious life, so that it would cause problems. In this paper, the author tries to analyze the problems in the regulatory norms of religious life in Indonesia and the design of an ideal religious life settings in the constitutional system in Indonesia based on Pancasila and the Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945.
Universitas Indonesia, 2016
T45386
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Monawati Sukma
Abstrak :
ABSTRAK
Dibentuknya DPD merupakan salah satu solusi untuk mengatasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, yang fungsi dan kewenangannya telah diatur di dalam UUD NRI 1945. Namun pasca diberlakukannya Undang-Undang yang mengatur mengenai MPR, DPR, DPD, dan DPRD tahun 2018, Pada Pasal 249 ayat (1) huruf J DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Hal ini kemudian menjadi problematika ketika DPD sebagai lembaga legislatif, harus melakukan pengawasan terhadap produk hukum daerah, yang berlaku dalam lingkungan daerah. Penelitian ini dilakukan guna menemukan jawaban atas permasalahan mengenai kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda tepat atau tidak, serta bagaimana lingkup kewenangan dalam pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda yang dilakukan oleh DPD. Ditinjau dari kedudukan dan kemampuannya, tidak tepat bila DPD diberikan kewenangan untuk melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda. Meskipun demikian, DPD telah merumuskan ketentuan yang mengatur mengenai lingkup dan mekanisme pelaksanaan kewenangan tersebut. Lingkup dalam melakukan pemantauan dan evaluasi yang dilakukan DPD adalah berbentuk rekomendasi. Rekomendasi ini selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden, bukan kepada daerah yang bersangkutan. Seharusnya dalam merumuskan suatu kebijakan, lembaga legislatif harus benarbenar memahami isi dan makna dari suatu produk hukum yang akan dibentuk, agar tidak menjadi masalah ketika produk hukum tersebut diterapkan. Selain itu, kewenangan DPD dalam melakukan pemantauan dan evaluasi atas Raperda dan Perda yang diatur dalam Pasal 249 ayat (1) huruf J ini dilakukan judicial review karena kewenangan ini tidak tepat diberikan kepada DPD.
ABSTRACT
The establishment of DPD is solution to solve problems of central and regional governments, whose functions and authorities have been regulated in the Constitution of Indonesia Republic of 1945. However, after the enactment of the Law regulating the MPR, DPR, DPD and DPRD in 2018, Article 249 section (1) letter J DPD is given the authority to carry out monitoring and evaluation of the Raperda and Perda. This then becomes a problem when the DPD, as a legislative x institution, must supervise regional legal products, which apply in the regional environment. This research was conducted to find answers to problems regarding the DPD's authority to monitor and evaluate the draft regional regulation and regional regulation whether it is appropriate or not, as well as how the scope of authority in monitoring and evaluating the draft regional regulations and regional regulation conducted by the DPD. Judging from its position and capacity, it would not be right for the DPD to be given the authority to monitor and evaluate the Raperda and Perda. Nonetheless, the DPD has formulated provisions regulating the scope and mechanisms for exercising this authority. The scope of monitoring and evaluation carried out by the DPD is in the form of recommendations. These recommendations will then be submitted to the DPR and the President, not to the regions concerned. In formulating a policy, the legislative institution should really understand the content and meaning of a legal product to be formed, so that it does not become a problem when the legal product is applied. In addition, the DPD's authority to monitor and evaluate the draft regional regulations and regional regulation as stipulated in Article 249 section (1) letter J is subject to a judicial review because this authority is not properly assigned to the DPD.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simplexius Asa
Abstrak :
Penelitian ini dirancang untuk menilai fungsionalisasi hukum pidana dalam mengatasi persoalan penanggulangan HIV & AIDS dalam Peraturan Daerah (PERDA) tentang Penanggulangan HIV & AIDS. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi perbuatan pidana dan subyek hukum pidana; menganalisis kesesuaian antara perilaku berisiko yang dikriminalisasi dengan teori kriminalisasi; serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan PERDA dalam masyarakat, sesuai perspektif hukum pidana. Penelitian ini adalah normative legal research dengan pendekatan deskriptive-analitic. Hasilnya penelitian memberi kesimpulan: (1) Perilaku yang dikriminalisasi adalah perbuatan yang dapat secara langsung menyebabkan seseorang tertular HIV dan AIDS, seperti: hubungan seks tanpa kondom; penyuntikan NAPZA dengan jarum suntik tidak steril secara bersama-sama dan berganti jarum; tidak menerapkan universal precaution; dengan sengaja mendistribusikan darah atau organ/jaringan tubuh yang sudah terinfeksi HIV kepada orang lain. Perilaku yang dapat menghambat upaya penanggulangan HIV dan AIDS, seperti: tidak menyelenggarakan pemberian informasi/penyuluhan tentang pencegahan dan HIV dan NAPZA; tidak memeriksakan kesehatan tenaga kerja yang berada dibawah pengawasannya; tidak merahasiakan status HIV seseorang; memberikan pelayanan kesehatan secara diskriminatif; telah membuka status HIV seseorang tetapi tidak melakukan tindakan medis apapun untuk meningkatkan ketahanan dan kualitas hidup ODHA. Subyek tindak pidana terdiri atas setiap orang; kelompok masyarakat secara komunal; petugas kesehatan; petugas laboratorium; paramedis dan dokter serta pejabat pemerintah; badan hukum privat dan atau badan hukum publik. (2) Perumusan perbuatan pidana telah sesuai dengan teori kriminalisasi, antara lain: perlindungan terhadap kepentingan umum; efisiensi dan efektivitas terutama cost and benefit principles; azas kemanfaatan yang lebih besar serta aspek legal morality. Kriminalisasi terhadap perbuatan pidana tertentu tidak diformulasi secara jelas dan pasti sesuai azas lex certa dan lex stricta sehingga dapat menimbulkan multi-interpretasi di kalangan penegak hukum dan masyarakat. (3) Kriminalisasi dan pembentukan norma hukum pidana belum memperhatikan aspek substance of law, structure of law dan culture of law sehingga sulit ditegakkan. ......This research is designed to assess utilization of criminal law to contend HIV and AIDS problem in Local Regulation regarding HIV and AIDS care. In the perspective of criminal law, the purposes of the research are to identify the criminal offence and subject of wrongdoers; to analyze the conformity between criminalized risk behavior and theory of criminalization; and to analyze the influential factors in the implementation of the local regulation in the community. The research is a normative legal research with descriptive analytical approach. The research resulted the following concluding points: (1) the criminalized behaviors are actions that can directly cause HIV and AIDS transmission to a person such as: sexual intercourse without using condoms; narcotic substance injection through sharing of non-sterilized needles within the circle of injecting drug users; failure to apply universal precaution principle; and intentionally distributing infected organ or blood transfusion to other people. Other criminalized behaviors can impede the effort to eradicate HIV and AIDS program such as failure to conduct information dissemination on HIV and AIDS and other dangerous substances; failure to carry out medical examination of employees by supervisors; failure to keep the confidentiality of people living with HIV and AIDS (PLWHA); provide a discriminative heath services, disclosure of the status of an HIV infected person without subsequent medical intervention to ensure improvement of the quality of life of PLWHA. The potential criminal wrongdoers consist of: individual, community groups, health officer, laboratory officer, medical officer, medical doctor, government officer, private and/or public corporation. (2) In general, formulations of criminal offences are confirmed by criminalization theories, among others: public interest protections, efficiency and effectiveness in particular cost and benefit principles, principle of maximum utilities and principle of legal morality. Criminalization against specific offences is unclearly and uncertainly formulated as clear as principle of lex certa and lex stricta, thus it can cause such multi-interpretation in the circle of law enforcement officers. (3) Criminalization and formulation of the norm of criminal law is not grounded on the aspects of substance of law, structure of law and culture of law as yet causing difficulties in the enforcement.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28602
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library