Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10838 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitriana Puspita Dewi
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai feminisme di masa perang dan pasca perang Asia Pasifik yang direpresentasikan oleh Koda Yukiko tokoh utama perempuan Novel Ukigumo karya Hayashi Fumiko Tradisi dan sistem dalam masyarakat Jepang yang menganut idelogi patnarki serta kebijakan pemenntah membuat posisi perempuan Jepang termarjinalkan Dengan latar belakang masa perang dan pasca perang Asia Pasifik tokoh Yukiko berjuang untuk memperbaiki nasibnya dan melepaskan din dan belenggu patnarki dan negara Kemudian terhhat pula bahwa fernimsme yang direpresentasikan Yukiko adalah feminisme dan kalangan rakyat biasa karena bersifat personal. ......This research is about feminism in the wartime and postwar Asia Pacific feminism that is represented through the main female characters named Yukiko Koda in Ukigumo" by Hayashi Fumiko Due to the government policy and patriarchal ideology in Japanese traditional system a Japanese women position are systematically oppressed and marginalized In those wartime and postwar period background the character of "Yukiko strive to improve her life and attempt to break free from the shackles of the patriarchy. Moreover this research is also shown the type of feminism represented by Yukiko which is commoners feminism due to it's personal approached.
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumbayak, Desri Maria
Abstrak :
ABSTRAK
Novel Song of Solomon karya Toni Morrison dan novel Mama Day karya Gloria Naylor merupakan dua karya besar penulis wanita kulit hitam. Dengan menggunakan unsur mitos dan aspek supranatural dalam menggerakkan alur cerita, Morrison dan Naylor mengangkat satu tema pencarian "dunia baru" melalui masing-masing tokoh utamanya. "Duna baru" yang merupakan sebuah idealisme dan obsesi orang kulit hitam untuk menemukan identitas rasnya disampaikan dengan sangat rill oleh Morrison dan Naylor. "Dunia baru" tersebut dikonstruksikan sebagai sebuah kota Shalimar dan pulau Willow Springs dengan ciri-ciri budaya lama orang kulit hitam sebagai pembentuknya.

Persoalan pencarian "dunia baru" yang berkaitan erat dengan konstruksi ras ditelaah dengan menggunakan satu pendekatan sosio-historis yang akan memaparkan persoalan dibalik pencarian "dunia baru". Song of Solomon dan Mama Day mengungkapkan bahwa permasalahan orang kulit hitam muncul tidak hanya ketika mereka berinteraksi dengan orang kulit putih sebagai pembeda, namun permasalah rumit yang muncul kemudian adalah ketika orang kulit hitam berinteraksi dengan sesama orang kulit hitam sendiri. Pada saat yang sama, Song of Solomon dan Mama Day mengungkap konflik internal ras kulit hitam sebagai manifestasi dari kaburnya identitas ras kulit hitam.

"Dunia baru" yang diposisikan di Selatan tersebut memapahkan konsep Utara yang selama ini disebut sebagai Promised Land. Idealisme ini akhirnya menyodorkan sebuah konstruksi sejarah baru orang kulit hitam, yang mengungkapkan kemampuan orang kulit hitam untuk bebas dari perbudakan. Konstruksi sejarah baru ini sebagai satu usaha untuk menepis sejarah orang kulit hitam yang selama ini dibentuk melalui kacamata orang kulit hitam yang selalu dihubungkan dengan perbudakan dan ketidakberdayaan orang kulit hitam.

"Duna baru" hanya merupakan sebuah alat untuk sementara lari dari konflik dilematis orang kulit hitam. Pencarian "dunia baru" tidak menjawab permasalahan orang kulit hitam untuk menemukan identitas rasnya. Morrison dan Naylor memaparkan posisi orang kulit hitam yang masih tetap tinggal dalam konflik dilematis yang sangat kuat dengan menunjukkan kegagalan kedua tokoh bertahan di "dunia baru" yang mereka cari.
ABSTRACT
Both Song of Solomon and Mama Day are masterpieces written by two black women writers, Toni Morrison and Gloria Naylor. They use mythical and supernatural aspects to develop the plot and present an issue of quest for a "new world" through respective character. "New world" as the Blacks' idealism and obsession is presented as a real fact. The "new world" is constructed as Shalimar town and Willow Springs Island. Both are characterized by the old culture of the Blacks.

The quest for the "new world" relating to the race categorization is analyzed by using the social-historical approach. The approach is employed to find out the problems behind the quest. Morrison and Naylor express that the Blacks' problems arise not only because of the interaction between the Whites, but also because of the interaction among the Blacks themselves which brings about more complicated problems. At the same time Song of Solomon and Mama Day present internal conflicts of the Blacks as the manifestation of their unclear identity.

"New world" positioned in South of America and rejects the existing concept of the North as the Promised Land. The idealism depicts a new history of the Black. It shows the ability of the Blacks to get freed from slavery. The construction functions as an effort to repute the Blacks' history which has been formed through the Whites' perspective before. It always relates to the Blacks' disability and slavery.

The "new world" is one of the means through which the Blacks can escape from their dilemmatic problem. The quest for "new world" can't answer the question of authentic identity. This thesis also concludes the writer's tone, which expresses dilemmatic conflicts of Blacks through the failure of the main character, to survive the "new world".
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Murni Widyastuti
Abstrak :
Serat Centhini Pegon yang dipakai sebagai penelitian merupakan koleksi yang hanya tersimpan di Leiden, sebanyak 3 buah naskah, Serat Centhini Pegon ini dibuat pula suntingan naskahnya dari koleksi bernomor kode LOr. 4585. Penelitian ini ingin mendudukan Serat Centhini Pegon di dalam khasanah Serat Centhini Pegon tersebut dibandingkan dari segi ceritanya. Serat Centhini Pegon ternyata ada pada bagian jilid ke XI dan XII dari Serat Centhini Jawa itu. Selain itu pula dibicarakan unsur keagamaan yang terkandung di dalam Serat Centhini Pegon. Yang ternyata di antaranya berisikan tata cara salat, penggambaran sifatsifat Allah, pendekatan diri kepada Allah.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T11072
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maman Soetarman Mahayana
Abstrak :
Penelitian dalam tesis ini mengungkapkan kesusastraan Indonesia dan Malaysia tahun 1950-an, khususnya yang menyangkut sistem penerbitan dan sistem pengarang, serta gambaran umum mengenai peta kesusastraan di kedua negara pada dasawarsa itu. Di dalamnya, terntasuk ideologi dalam kesusastraan yang berkembang semarak pada masa itu. Dalam sistem penerbitan sastra di Indonesia dan Malaysia, terungkapkan bahwa pada masa itu penerbitan media massa ikut memainkan peranan panting yang memungkinkan kesusastraan Indonesia dan Malaysia berkembang semarak. Hal ini juga berpengaruh bagi lahirnya para pengarang baru. Jika di Indonesia keadaan tersebut makin mengukuhkan pudarnya dominasi sastrawan anak Sumatra, maka di Malaysia menempatkan Singapura sebagai pusat kegiatan kesusastraan dan kebudayaan secara umum. Mengenai profesi sastrawan pada masa itu, sebagian besar sastrawan Indonesia berpendidikan Belanda dan menempatkan profesi sastrawan sebagai pekerjaan sekunder, sedangkan di Malaysia, profesi sastrawan bergandengan dengan profesi wartawan atau politikus yang pada gilirannya menempatkan profesi sastrawan dalam status yang relatif terhormat. Mengenai ideologi dalam kesusastraan Indonesia dan Malaysia tahun 1950-an tampak kesusastraan Indonesia pada dasawarsa itu, sebagian diwarnai oleh pertentangan paham humanisme universal dan seni untuk seni yang didukung oleh sebagian besar sastrawan Angkatan 45, dengan paham realisme sosialis dan seni untuk rakyat yang didukung oleh para seniman Lekra. Di Malaysia, pertentangan itu terjadi pada dua kubu, yaitu sastrawan yang tergabung dalam Asas 50 yang menekankan pentingnya sastra untuk masyarakat dan menempatkan sastra sebagai alat perjuangan, dengan sastrawan pendukung seni untuk seni yang tidak menginginkan sastra sebagai alat. Dari golongan yang disebut terakhir itulah kemudian lahir para penyair kabur. Ringkasnya, penelitian dalam tesis itu mengungkapkan, bahwa meskipun kesusastraan Indonesia dan Malaysia bersumber dari tradisi yang sama,yaitu kesusastraan Melayu, dalam perkembangannya perkembangan kesusastraan di kedua negara seolah-olah berjalan sendiri-sendiri sebagai akibat adanya kebijaksanaan Belanda di Indonesia dan Inggris di Malaysia. Namun, pada tahun 1950-an itu, karena kesusastraan Malaysia masih berorientasi pada kesusastraan Indonesia, maka di antara perbedaan itu, ada juga persamaannya, meski tidak sama persis, khususnya yang menyangkut pertentangan gagasan humanisme universal--seni untuk seni dan realisme sosialis--seni untuk masyarakat. Mengingat beberapa persoalan itulah, penelitian dalam tesis ini menjadi panting sebagai salah satu pembuka jalan bagi penelitian selanjutnya yang lebih mendalam mengenai kesusastraan di kedua negara pada masa itu atau masa sebelum atau sesudahnya.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzan Muslim
Abstrak :
ABSTRAK Naskah Arab Kunhu Ma La Budda Minhu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional RI adalah salinan dari karya sufi terkenal, Ibn al-'Arabi. Penelitian filologis berhasil mengungkapkan bahwa naskah tunggal ini merupakan salah satu hasil rampasan perang tentara Belanda dari sebuah masjid di daerah Lamjong, Aceh, pada tahun 1879, Salinan naskah ini dapat ditemukan juga di perpustakaan lain di luar negeri seperti di Berlin, Kairo dan Damaskus. Dari segi bahasa, naskah ini mengandung 33 kesalahan; 27 di antaranya kesalahan ejaan dan selebihnya kesalahan gramatikal. Analisis teks berdasarkan pendekatan hermeneutik membuktikan bahwa teks ini mengandung delapan amanat pokok; empat menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tiga menyangkut hubungan sesama manusia, dan satu menyangkut hubungan manusia dengan alam. Amanat-amanat itu dituangkan dalam bentuk jawaban atas pertanyaan "murid" mengenai hal-hal yang harus diyakini dan diamalkan dalam kehidupan sufi. Amanat-amanat itu tidak dapat dikelompokkan ke dalam ajaran tasawuf falsafi yang menekankan pemikiran filosofis, seperti yang terdapat dalam sebagian besar karya lain Ibn al-'Arabi, melainkan termasuk ajaran tasawuf sunni yang menekankan penghayatan dan pengamalan syariat agama Islam secara baik dan benar, sesuai Quran dan Hadis.
ABSTRACT The Arabic manuscript entitled Kunhu Ma La Budda Minhu that is stored in the National Library Perpustakaan Nasionat RI (PNRI), Jakarta, is a copy of famous Sufi?s works, Ibn al-'Arabi. The philological research reveals that the text is the only one manuscript kept in PNRI that was in 1879 carried a way by the Dutch army from a mosque in Lamjong, Aceh. The copies of the manuscript can also be found in other libraries such as in Berlin, Cairo, and Damascus. Based on the language analysis there are 33 word's mistakes found in the text; 27 of them are spelling errors and the rest are grammatical errors. The hermeneutic analysis shows that the text contains 8 fundamental instructions; 4 of them concerns about relation between man and God; 3 concerns about relation among human beings; and 1 relates to relation between man and nature. These instructions are formed in the response of "murid" questions about the important things that have to be believed and done in the Sufi?s life. These instructions can not be grouped into tasawuf falsafi doctrine that emphasizes on the philosophical thought, such as the majority of Ibn al-'Arabi's works. These instructions, however, can be included in the tasawuf sunni doctrine that stresses on the full and total religious experiences and the implementation of the Islamic law based on the Quran and Hadis.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentius Heru Stoffer
Abstrak :
Latar Belakang
Hubungan antara karya sastra dan kenyataan sering dipertanyakan oleh para kritikus sastra. Kenyataan di sini adalah segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.

Salah seorang kritikus yang mencoba melihat hubungan tersebut adalah Aristoteles (384-322 SM) melalui sebuah konsep mimesis yang dikemukakannya. Dalam karyanya yang berjudul Poetica, ia mengatakan bahwa mimesis bukan semata-mata tiruan kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif. Bertolak dari sebuah kenyataan, seorang penyair mencoba menciptakan suatu kenyataan lain. Dengan bermimesis seorang penyair sebenarnya menciptakan kembali kenyataan, berdasarkan hal-hal yang pernah ada, atau hal-hal yang dibayangkan seharusnya ada, baik berupa fakta, keyakinan, maupun cita-cita (Luxemburg, et.al, 1992:17).

Dalam ilmu sastra modern, teori Aristoteles mengenai mimesis masih diperhatikan, terutama teorinya mengenai recreatio, yang berasumsi bahwa karya sastra merupakan suatu dunia tersendiri. Di satu pihak karya sastra dapat dianggap sebagai sebuah cermin atau gambaran mengenai kenyataan, akan tetapi di pihak lain karya sastra juga dianggap mampu menciptakan dunianya sendiri, yakni dunia kata-kata, sebuah dunia baru yang kurang lebih terlepas dari kenyataan. Unsur-unsur khayalan yang terlepas dari kenyataan tersebut dikenal sebagai fiksionalitas. Dengan demikian sebuah teks fiksi adalah teks yang mengandung unsur-unsur tersebut (ibid: 19).

Dalam pengertian sintaks naratif, fiksi menunjuk pada sekumpulan teks dengan ciri--ciri yang khas. Dalam hal ini karya sastra, misalnya roman dan novel -dengan berbagai aturan dan pengelompokannya- dapat dianggap sebagai fiksi. Sedangkan fiksi dalam pengertian semantik menunjuk pada status denotatum, yakni rekaan.

Kebenaran fiksi di sini sebenarnya berkaitan dengan sebuah kenyataan yang didenotasikan. Akan tetapi kedua pengertian tersebut saling berkaitan, artinya di dalam fiksi menurut pengertian sintakis terdapat fiksi dalam pengertian semantik (Van Zoest, 1990: 5).

Fiksi merupakan gabungan dari realitas dan imajinasi. Seringkali realitas dalam fiksi seolah-olah dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, akan tetapi tidak jarang realitas tersebut nampak jauh dari jangkauan realitas, sehingga sukar dibedakan dengan imajinasi. Realitas yang kelihatan jauh dari realitas kita seharihari inilah yang disebut sebagai "realitas intern", yakni kebenaran yang terikat oleh kesepakatan dan sama sekali lepas dari kenyataan yang mentah (ibid: 44).

Fiksi memberi kebebasan kepada pengarang untuk menyimpang dari realitas sehari-hari. Seorang penulis secara leluasa dapat mengolah tanda/denotatum ke dalam karyanya sehingga membentuk kebenaran baru, kebenaran tekstual, yakni sebuah "dunia mungkin".
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Dewa Gede Windhu Sancaya
Abstrak :
Cerita Sam Pek Erg Tay (selanjutnya disingkat SPET) di Bali dikenal dengan nama Geguritan Sampik. Geguritan Sampik (selanjutnya disingkat GGS) yang diteliti ini ditulis dalam bahasa dan aksara Bali pada tahun 1915, dan digubah dengan menggunakan tembang-tembang macapat, yaitu suatu bentuk metra dan prosodi yang khas, yang dapat ditemukan baik di Jawa, Madura, Sunda, Bali, maupun Lombok. Cerita SPET merupakan salah satu karya sastra Cina yang popular di tanah air kita untuk masa lebih dari satu abad lamanya (Abadi, 1994:xii). Kepopulerannya tidak terbatas di Cina saja (Ah Ving, 1956:3 ; Prijono, 195623 ; Kwee, 1977:224 ; Lubis, 1989: 225), tetapi juga meresap sampai kalangan orang-orang bumiputera, khususnya dikalangan kelompok etnis Jawa, Betawi, dan Bali (Abadi, 1990:xii), juga Madura (Detomo, 1987). Hal ini terbukti dari akulturasi kisah ini dalam ludruk dan ketoprak di Jawa, drama, tari dan tembang macapat di Bali (Kwee, 1977:225 ; Abadi, 1994:xii) dan juga drama gong (Agastia, 1979). Abadi mengatakan bahwa sejak saduran Boen, Sing Hoo pada tahun 1885 hingga sekarang telah ada tidak kurang dari sepuluh judul buku serupa (3.994:xii), bahkan mungkin lebih. Saduran Boerr Sing Hoo merupakan saduran pertama cerita SPET dari bahasa Cina ke dalam bahasa Melayu (Nio, 1962 ; Suryadinata. 1988:105 ; Salmon, 1985 dan 1987:429). Dari saduran Boen Sing Hoo itulah GGS digubah, seperti halnya Serat Ing Tay dalam bahasa Jawa.
The Serat Ing Tay of 1902 mentions that, is based on a Malay source, and the Balinese Sampik Ingtai of 1915 opens with a stanza in Malay before switching to Balinese, thereby also suggesting a Malay source for the work (Quinn, 1987:535 Dilihat dari panjang cerita, struktur alur, dan motif-motifnya, terdapat kesejajaran antara GGS dengan cerita SPET saduran Boen Sing Hoo tersebut. Menurut Tjan Tjoe Siam, cerita SPET ini sudah mulai terkenal (di Cina) pada abad keempat Masehi. Mula-mula berupa cerita lisan yang diceritakan turun-temurun, lambat laun cerita tersebut muncul dengan berbagai redaksi atau bentuk, baik dalam bentuk buku, sandiwara maupun film (Prijono, 1956:5 ; Abadi, I990:X). Seperti.lazimnya ceritacerita rakyat, kisah ini anonim dan mempunyai beberapa versi (Abadi, 1990:x). Selain dalam bahasa Melayu, Jawa, Madura, dan Indonesia, salah satu versinya ditemukan juga dalam bahasa Bali, baik dalam bentuk manuskrip (lontar) maupun dalam bentuk seni pertunjukan.
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gindho Rizano
Abstrak :
ABSTRACT Tesis ini membahas novel Fight Club dalam konteks politik kelas pada masa kapitalisme lanjut. Fokus dari penelitian adalah melihat bagaimana novel transgresif tersebut berfungsi sebagai alat ideologis sistem kapitalisme dan sekaligus sebagai kritik implisit terhadap sistem tersebut. Novel dianalisis melalui perspektif Marxis menggunakan teori pembacaan political unconscious oleh Fredric Jameson. Dapat disimpulkan bahwa Fight Club mengandung impulsimpuls utopia dengan mengkritik kontradiksi-kontradiksi kapitalisme lanjut seperti alienasi, reifikasi komoditas, dan konsumerisme. Namun, pada saat yang sama novel tersebut dipengaruhi oleh ideologi kapitalis yang membuat kritik novel terhadap kapitalisme menjadi problematis.
ABSTRACT This thesis discusses Fight Club in the context of class politics of late capitalism. It explores how the transgressive novel can be interpreted as an ideological tool of capitalism as well as an implicit critique of the economic system. The novel is analyzed through Marxist perspective using Fredric Jameson?s theory of the political unconscious. It is concluded that Fight Club contains utopian impulses that criticize the contradictions of late capitalism such as alienation, reification, and consumerism, while at the same time contains the ideology of capitalism that makes the critique problematic.
2010
T26631
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sukarjo Waluyo
Abstrak :
Masalah lokalitas dan kearifan lokal di Indonesia menjadi permasalahan yang banyak mendapat perhatian pasca-Reformasi 1998. Kecamatan Cepu di Kabupaten Blora saat ini mulai bangkit untuk merevitalisasi kejayaan Kadipaten Jipang di masa lalu. Sementara itu, Adipati Arya Penangsang yang memerintah Jipang pada pertengahan abad ke-16 adalah simbol pahlawan mereka. Babad Tanah Djawi dan budaya Jawa Mataraman/pedalaman telah membangun representasi yang bercorak hegemoni yang jejak-jejaknya terwujud dalam kesenian kethoprak Solo (Mataraman). Sementara itu, kethoprak Pati (pesisiran) yang mengakomodasi cerita tutur di Jawa Pesisir membangun representasi yang bercorak resistensi. Penelitian ini menunjukkan bahwa pementasan kethoprak Pati dan kethoprak Solo dalam mengonstruksi tokoh Arya Penangsang ada perbedaan yang berseberangan. Pertama, berkaitan dengan judul lakon dan penokohan. Kedua, berkaitan dengan adegan utama pementasan. Ketiga, berkaitan penggambaran antara poros Jipang-Kudus versus Pajang-Kadilangu. Cepu adalah kota yang mewarisi keberadaan tokoh Arya Penangsang dan Kadipaten Jipang. Upaya revitalisasi kejayaan Kadipaten Jipang di Cepu adalah representasi yang bercorak resistensi. Penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga hal penting dalam upaya revitalisasi Kadipaten Jipang. Pertama, melalui konstruksi Arya Penangsang sebagai pahlawan lokal dan Jawa Pesisir. Kedua, konstruksi memori kolektif Cepu sebagai bumi Arya Jipang. Ketiga, penetapan Raja Keraton Jipang terkait upaya revitalisasi. Akhirnya, penelitian menjelaskan bahwa dengan melihat kebesaran tokoh Arya Penangsang dan kejayaan Kadipaten Jipang masa lalu, masyarakat Cepu berusaha melakukan dua macam bentuk representasi. Pertama, representasi Cepu berubah dari representasi pasif ke representasi aktif. Kedua, representasi Cepu berupaya melakukan kapitalisasi representasi dengan berbagai motif, terutama politik dan ekonomi. ...... The problem of locality and local wisdom in Indonesia has become a problem that has got much attention in the post-Reformation 1998. Cepu District in Blora Regency is now starting to rise to revitalize the glory of the Jipang Duchy in the past. Meanwhile, Duke of Arya Penangsang who ruled Jipang in the mid-16th century was a symbol of their hero. The chronicle of Babad Tanah Djawi and the Javanese Mataraman/inland culture have built a hegemonic representation whose traces are manifested in the art of Solo kethoprak (Mataraman). Meanwhile, Kethoprak Pati (coastal area) which accommodates spoken stories in Coastal Java builds a representation that has a resistance pattern. This research shows that the performance of Kethoprak Pati and Kethoprak Solo in constructing the character of Arya Penangsang is different. First, relating to the title and characterization. Secondly, in connection with the main scene of the performance. Third, related to the depiction between the axis of Jipang-Kudus versus Pajang-Kadilangu. Cepu is a city that inherits the existence of the figure of Arya Penangsang and Kadipaten Jipang. The revitalization of the glory of the Jipang Duchy in Cepu is a resistance patterned representation. This research shows that there are three important things in the effort to revitalize the Jipang Duchy. First, through the construction of Arya Penangsang as a local hero and Coastal Java. Second, the collective memory construction of Cepu's memory as the Arya Jipang earth. Third, the determination of the King of Jipang Palace is related to revitalization efforts. Finally, the research explained that by seeing the greatness of the character of Arya Penangsang and the glory of the past Jipang Duchy, the Cepu community tried to do two forms of representation. First, Cepu representation changes from passive representation to active representation. Second, Cepu's representation seeks to capitalize representation with various motives, especially politics and economics.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2610
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>