Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kevin Aristyo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Beberapa tahun belakangan ini, berbagai aspek sosial-ekonomi sering dihubungkan dengan pasangan yang menunda konsepsi mereka. Fenomena ini memunculkan isu tentang bagaimana umur ayah dan ibu dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan reproduksi. Dengan demikian, adalah hal yang sangat penting untuk mengerti bagaimana umur dapat mempengaruhi fertilitas mereka.Tujuan: Mencari korelasi antara umur dari pasien infertil dengan Index Fragmentasi DNA dan jumlah leukosit semenMetode: Penelitian ini dilakukan dengan metode retrospektif deskriptif. Sumber data pada penelitian ini adalah rekam medis pasien infertil dari Departemen Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pengambilan data dimulai dari Mei 2014 sampai Mei 2015 dengan jumlah sampel 51 dan 32 untuk setiap korelasiHasil: Pada studi ini, ada 2 korelasi yang dilakukan; 1 umur dari pasien infertil berkorelasi positif r = 0.502 dengan indeks fragmentasi DNA and 2 jumlah leukosit semen juga berkorelasi positif r = 0.528 dengan indeks fragmentasi DNAKata kunci: indeks fragmentasi DNA; infertilitas pria; umur; jumlah leukosit semen
ABSTRACT
Background Over the last years, various socio economic aspects have been attributed to couples who delay their conception. This phenomenon has raised an issue of how both paternal and maternal age influences the reproductive success rate. It is essential to comprehend the way age affects the fertility as it is common for partners to delay their childbirth until later decades of their livesAim To find the correlation between age of infertile male patients with their DNA fragmentation index and seminal leukocyte countMethods This study was conducted with retrospective descriptive method. The source of data in this study was medical records of infertile male patients in Department of Biology Faculty of Medicine Universitas Indonesia. The data was nested from May 2014 to May 2015 with sample number of 51 and 32 for each correlation respectively.Results In this study, there are two correlations being done 1 age of infertile male patients are positively correlated r 0.502 with their DNA fragmentation index and 2 their seminal leukocyte count are also positively correlated r 0.528 with their DNA fragmentation index.Keywords DNA fragmentation index male infertility age seminal leukocyte count.
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puri Wulandari
Abstrak :
Pajanan kronis benzena di lingkungan kerja selalu dihubungkan dengan gangguan hematologi. Hal ini dikarenakan sistem hematologi adalah jaringan target yang paling kritis terhadap pajanan benzena melalui rute inhalasi dan diketahui sebagai penyebab pansitopenia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara kadar S-PMA urin dengan leukosit pada pekerja industri sepatu informal yang terpajan benzena. Penelitian menggunakan desain cross sectional di enam industri sepatu informal yang berada di kawasan Cibaduyut dengan jumlah sampel 64 pekerja. Sampel urin dan darah diambil pada masing-masing sampel untuk menilai kadar S-PMA urin dan jumlah leukosit. Kadar S-PMA urin diukur dengan menggunakan alat LC-MS/MS dan leukosit diukur menggunakan alat Automated Hematology Analyzer. Data karakteristik individu diperoleh melalui wawancara langsung. Konsentrasi benzena di udara menggunakan data sekunder dari penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar S-PMA dengan leukosit (p value: 0,048) dan kadar S-PMA urin dengan jenis pekerjaan (p value: 0,004). Sebanyak 31,3% pekerja memiliki kadar S-PMA urin melampaui BEI ACGIH (>25 μg/g kreatinin). Semakin tinggi konsentrasi benzena di udara ruang kerja, semakin banyak pekerja yang memiliki kadar S-PMA urin >25 μg/g kreatinin. Hasil uji regresi linear ganda menemukan bahwa ada kecenderungan asosiasi antara kadar S-PMA urin dengan leukosit, setelah dikontrol dengan variabel jenis pekerjaan, jam kerja per hari, dan kebiasaan berolahraga. Hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat asosiasi antara kadar S-PMA urin dengan penurunan jumlah leukosit. ...... Benzene high exposure in working is environment always connected to hematology disorders. This is caused by hematology system is the most critical target network toward benzene exposure through inhaling route. This study aims to analyze the relation between urinary and leukocytes S-PMA level of informal shoes industrial workers exposed to benzene. This study uses cross sectional design in six informal shoes industries which are located in Cibaduyut with the number of sample of 64 workers. Urinary and blood samples are collected on each sample to measure urinary S-PMA level and the number of leukocytes. Urinary SPMA level is measured using Automated Hematology Analyzer. Individual characteristic data are obtained through direct interview. To measure benzene concentration, secondary data of previous study is used. The result of the study indicates that there is significant correlation between S-PMA level with leukocytes (p value: 0.048) and urinary S-PMA level with the type of job (p value: 0.004). By 31.3% workers have urinary S-PMA level more than BEI ACGIH (>25 μg/g creatinine). The higher the benzene concentration of indoor air, the more workers have urinary S-PMA level > 25 μg/g creatinine. The result of double linear regression test finds that there is association tendency between urinary and leukocytes S-PMA level, after it is controlled by type of job, time of work per day, and exercising habit variables. It can be concluded that there is association between urinary S-PMA level and the number of leukocytes decrease.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Muchtar
Abstrak :
Dewasa ini demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Tetapi masih terdapat kesulitan dalam menegakkan diagnosis demam tifoid secara tepat dan cepat. Sampai saat ini isolasi S.typhi dari penderita merupakan baku emas diagnosis demam tifoid. Namun yang menjadi permasalahan adalah membutuhkan waktu yang lama (sampai 7 hari). Selain itu hasilnya dipengaruhi oleh berbagai hal, antara lain metoda yang dipakai dan pemberian antimikroba sebelumnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut dikembangkan suatu alat otomatis Bactec. Prinsip ke~a alat ini berdasarkan deteksi adanya C02 yang merupakan sisa metabolisme kuman, dan dimonitor secara otomatis tiap 10 menit. Selain itu dalam media Bactec terdapat resin yang dapat menetralisir antimikroba. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Bactec dapat memberikan sensitivitas yang lebih baik dan waktu deteksi yang lebih cepat dibandingkan dengan biakan menggunakan media empedu. Selanjutnya ingin mengetahui pola kepekaan S.typhi terhadap beberapa antimikroba dan profil leukosit pada penderita dengan biakan positif. Subyek penelitian ini adalah 100 penderita demam tifoid yang dirawat di RS Persahabatan Jakarta, mulai bulan Januari 1997 sampai Agustus 1997. Dari hasil penelitian didapatkan 66 isolat positif pada Bactec dan 40 isolat positif pada media empedu, keduanya didapat perbedaan bermakna (p = 0,0000). Semua biakan positif pada media empedu positif pada Bactec. Rerata waktu deteksi S.typhi pada Bactec 4,03 hari dan pada media empedu 5,00 hari, keduanya didapatkan perbedaan bermakna (p = 0,0002). Hasil uji kepekaan : S. typhi sensitif terhadap kloramfenikol 98,48%, Ampisilin dan kotrimoksazol masingmasing 94,45%, seftriakson, sefoperazon, sefotaksim, siprofloksasin dan pefloksasin masing-masing 100%. Didapatkan profil leukosit sebagai berikut : jumlah leukosit normal 57,58%, aneosinofilia 74,24%, neutropenia 46,97% dan limfositosis 56,06%. Aneosinofilia dan limfositosis mempunyai korelasi dengan biakan positif.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juniarti
Abstrak :
Pendahuluan: Proses penyembuhan luka merupakan proses biologi yang kompleks dan dinamis yang melibatkan peran seluler, molekuler dan humoral yang terdiri atas fase inflamasi, fase proliferasi dan fase maturasi. Proses penyembuhan luka yang lambat akan menyebabkan luka kronis sehingga berbagai penelitian dikembangkan untuk mempercepat proses penyembuhan. Tingginya biaya ekonomi dan sosial bagi pemerintah dan pasien terkait dengan perawatan luka adalah motivasi penting untuk pencarian alternatif terapi baru baik sebagai obat alternatif maupun sebagai komplementer. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan percepatan proses penyembuhan luka berbahan dasar alami, yaitu ekstrak daun Jatropha multifida L. yang dinilai dengan pemeriksaan secara histologi dan imunohistokimia. Metode: Penelitian dilakukan pada 54 ekor tikus putih jantan galur Spraque dawley yang dibuat luka sayat pada enam kelompok masing-masing 3 ekor per periode dekapitasi. Tikus diperlakukan dengan ekstrak metanol 1%, ekstrak etil asetat 1% dan ekstrak n-heksan 1% daun J. multifida L. dibandingkan dengan kelompok kontrol positif (senyawa steroid), pelarut (alkohol 70%) dan negatif (tanpa perlakuan). Pemeriksaan histologi dilakukan untuk mempelajari parameter penyembuhan luka yaitu jumlah leukosit PMN, fibroblas, pembuluh darah baru, re-epitelialisasi dan kerapatan serabut kolagen. Ekspresi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), Fibroblast Growth Factor (FGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF) dinilai dengan analisis imunohistokimia. Uji sensitifitas dilakukan untuk menilai keamanan pemakaian ekstrak daun J. multifida L. terhadap kulit hewan coba. Hasil: Semua parameter yang diukur menunjukkan bahwa ekstrak metanol 1% daun J. multifida L. dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan hasil yang lebih baik dan lebih cepat dibanding semua kelompok kontrol. Terdapat korelasi yang sangat kuat dan bermakna antara angiogenesis dan fibroblas dengan ekspresi VEGF, fibroblas dengan ekspresi FGF dan re-epitelialisasi dengan ekspresi EGF. Uji sensitifitas menunjukkan bahwa ekstrak daun J. multifida L. tidak menimbulkan edema dan eritema. Kesimpulan: Ekstrak metanol daun J. multifida L., dapat mempercepat proses penyembuhan luka dengan mempersingkat fase inflamasi dan fibroproliferasi dengan adanya senyawa metabolit sekunder yang dikandungnya sehingga dapat menstimulasi ekspresi VEGF, FGF dan EGF dserta tidak bersifat iritatif.
Introduction: Wound healing is a complex biological process involving the dynamic role of cellular, molecular and humoral pathways in the phases of inflammation, proliferation and maturation. Various studies have been conducted to accelerate the wound healing process, because slow healing can lead to complications. The high economic and social costs for governments and patients related to wound care is an important motivation for the search of new therapeutic intervention including complementary and alternative medicine. This study aims to accelerate the process of wound healing with natural compounds, namely Jatropha multifida L. leaf extracts assessed by histological and immunohistochemical examination. Methods: The study was conducted with 54 male white rats, Spraque Dawley strain injured by equally sized skin cuts and divided into six groups of 3 animals each. Rats were treated with methanol, ethyl acetate or n-hexane extracts of J. multifida L. leaves (3 treatment groups) and compared with steroid-treated positive controls, organic solvent (methanol 70%) and negative (no treatment) control groups. Histology examined wound healing parameters, e.g., polymorphonuclear leukocyte and fibroblast numbers, re-vascularisation, re- epithelialisation and density of collagen fibers. Expression of vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblast growth factor (FGF) and epidermal growth factor (EGF) was determined by immunohistochemistry. Sensitivity tests were conducted to assess the safety of the application of J. multifida L. leaf extracts towards the animal skin. Results: All measured parameters showed that the methanol extract of J. multifida L. leaves accelerates the wound healing process with better results compared to all other groups. There were strong correlations of VEGF expression with angiogenesis and fibroblast numbers, between FGF expression and fibroblast numbers and between EGF expression and re-epithelialisation. Conclusion: The methanol extract of J. multifida L. leaves can accelerate the wound healing process by shortening the inflammatory phase and reducing fibroblast proliferation through stimulation of VEGF, FGF and EGF expression.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Odilia Rovara
Abstrak :
Semua jenis makhluk hidup dapat terkena penyinaran radiasi pengion baik dari alam maupun buatan, yang mengakibatkan kerusakan pada tubuhnya bahkan mematikannya. Oleh kerena itu penting diadakannya penelitian mengenai zat yang bersifat proteksi terhadap radiasi. Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Sugiarto dkk., untuk mengetahui mekanisme kamatian tikus putih yang diradiasi sinar gamma dosis 0--12 Gy dengan laju dosis 0,237075 x 10^3 Gy/jam (=transmisi 30%). Dalam penelitian ini diberikan ampicilin dosis 4 mg pasca radiasi untuk mengurangi pengaruh radiasi. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah eritrosis, leukisit, granulosit dan agranulosit pada hari ke 3, 11, 19, dan 27 pasca iradiasi. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pada dosis 4 Gy terjadi sindrom homopoetik dengan tanda-tanda leukopenia, granulositopenia, dan agranulositopenia. Kerusakan ini tidak bersifat permanen, di mana setelah terjadi reduksi sel maksimum sampai kurang lebih 73,47 % untuk leukosit, kurang lebih 58,29 % untuk granulosit, kurang lebih 27,88 % untuk agranulosit pada hari ke 3, jumlah sel akan meningkat kembali sehingga mencapai kurang lebih 8,98 % untuk leukosit, kurang lebih 69,18 % untuk granulosit, kurang lebih 76,03 % untuk agranulosit pada hari ke 19. Dosis 8 Gy mengakibatkan kerusakan homopoetik yang lebih parah, dimana penurunan leukosit, granulosit dan agranulosit lebih tajam sedang peningkatan kembali setelah terjadi reduksi maksimum pada hari ke 3, lebih lambat. Pada dosis ini terjadi pula kerusakan kulit dan gejala kerusakan gastrointestianal berupa feses yang cair dan invasi bakteri gastrointestinal dalam darah. Dosis 12 Gy mengakibatkan kerusakan mengakibatkan gastrointestinal yang l;ebih parah dari dosis 8 Gy, dengan tanda-tanda diare, kerusakan vili usus, bakteremia dan leukopenia berat yang tidak dapat diamatai pada hari-hari selanjutnya karena kematian telah terjadi pada hari ke 3 sampai 4. Selain itu dosis ini mengakibatkan kerusakan pada kulit. Antibiotik ampicilin dapat menunda kematian hewan percobaan dengan cara mengurangi invasi bakteri.
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Candra Putra
Abstrak :
Latar belakang: Pada 2012, angka insiden tahuna kaki diabetes yang mengalami ulkus dan gangren diperkirakan sekitar 2%-5% dari populasi umum. Sekitar 15% pasien dengan kaki diabetes dapat mengalami amputasi pada ekstremitas bawah. Kaki diabetes adalah masalah kesehatan yang sangat sulit untuk mengalami penyembuhan. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi infeksi yang berat dan mengganggu proses regenerasi jaringan, sehingga harus dilakukan amputasi untuk mencegah penyebaran infeksi. Infeksi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menghambat seluruh fase penyembuhan luka. Metode: Studi Potong Lintang, subjek penelitian adalah pasien luka kaki diabetes yang berobat ke IGD dan poliklinik RSCM selama bulan Agustus-Desember 2019. Analisis statistik dengan uji hipotesis korelatif antara perubahan nilai penanda infeksi dan perubahan luas luka. Jika sebaran data normal menggunakan uji Pearson dan jika sebaran data tidak normal menggunakan uji Spearman. Pengujian dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS version 20 for Windows. Hasil : Selama periode Agustus 2019 sampai Desember 2019 terdapat 30 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 14 subjek (46,77%) laki-laki dan 16 subjek (53,3%) perempuan. Dari diagnosis, terdapat 20 subjek (66,3%) ulkus pedis dan sebanyak 10 subjek (33,3%) gangren pedis. Dari penelitian ini didapatkan rata-rata dan standar deviasi dari perubahan nilai ABI 0,9080 ± 0,09998, perubahan jumlah leukosit sebesar 4899.87±4512.048, perubahan nilai LED 1.8333±1.14721, perubahan nilai CRP 2.6500±1.70228, perubahan luas luka 10.2727±6.51246, dan albumin 2.9487±.39207. Dari analisis korelatif, antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka (p=0,058, r=0,350), perubahan nilai LED dengan perubahan luas luka (p=0,034, r=0,388), dan perubahan nilai CRP dengan perubahan luas luka (p=0,008, r=0,477) Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan nilai LED, nilai CRP dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi yang sedang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi sedang.
Background: In 2012, the annual incidence rate of diabetic foot ulcers and gangrene is estimated to be around 2% -5% of the general population. About 15% of patients with diabetic foot can have an amputation in the lower limb. Diabetic foot is a health problem that is very difficult to experience healing. This is further exacerbated by severe infection conditions and disrupt the process of tissue regeneration, so amputation must be done to prevent the spread of infection. Infection that is not well controlled can inhibit the entire phase of wound healing. Methods: A cross-sectional study, research subjects were diabetic foot ulcers patients who went to the emergency room and the CMGH polyclinic during August-December 2019. Statistical analysis with a correlative hypothesis test between changes in infection markers and changes in wound area. If the data distribution is normal use the Pearson test and if the data distribution is not normal use the Spearman test. The test was carried out using SPSS version 20 for Windows software. Results: During the period August 2019 to December 2019, there were 30 subjects met the inclusion and exclusion criteria. There were 14 subjects (46.77%) male and 16 subjects (53.3%) female. From the diagnosis, there were 20 subjects (66.3%) pedis ulcers and 10 subjects (33.3%) diabetic gangrene. From this study, the average and standard deviation of changes in ABI values 0.9080 ± 0.09998, changes in the number of leukocytes amounted to 4899.87 ± 4512.048, changes in ESR values 1.8333 ± 1.14721, changes in CRP values 2.6500 ± 1.70228, changes in wound area 10.2727 ± 6,51246, and albumin 2.9487 ± .39207. From the correlative analysis, between changes in leukocyte counts with changes in wound area (p = 0.058, r = 0.350), changes in ESR values with changes in wound area (p = 0.034, r = 0.388), and changes in CRP values with changes in wound area (p = 0.008, r = 0.477) Conclusion: There is a significant relationship between changes in ESR values, CRP values with changes in wound area and have a moderate correlation. There is no significant relationship between changes in the number of leukocytes with changes in wound area and has a moderate correlation.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Usi Sukorini
Abstrak :
Akurasi pemeriksaan profil lekosit dipengaruhi beberapa faktor preanalitik diantaranya konsentrasi antiokoagulan. Antikoagulan yang paling sering dipakai pada pemeriksaan darah rutin adalah EDTA. Ketidaksesuaian perbandingan konsentrasi EDTA dengan bahan darah berefek terhadap hasil pemeriksaan darah tepi diantaranya parameter lekosit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara hasil pemeriksaan profil lekosit pada bahan darah dengan berbagai konsentrasi antikoagulan Na2EDTA yang berbeda. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang. Bahan penelitian berupa 33 sampel darah vena mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. Dua mL darah dibagi ke dalam 4 tabung Na2EDTA. Tabung pertama berisi Na2EDTA konsentrasi standar, 2 mg/dl, tabung yang lain secara berurutan berisi Na2EDTA dengan konsentrasi 4 mg/dl, 6 mg/dl, and 8 mg/dl. Sebelumnya dibuat sediaan hapus langsung dari setetes darah tanpa antikoagulan (sebagai kontrol). Darah dalam keempat tabung tersebut segera dilakukan pembuatan sediaan hapus dan diperiksa profil hematologi lekositnya menggunakan SYSMEX SE-9500 automatic analyzer. Terdapat perbedaan yang bermakna dari hitung lekosit, hitung jenis lekosit absolut dan prosentase monosit pada konsentrasi Na2EDTA yang berlebihan. Prosentase netrofil relatif meningkat dan terdapat perbedaan yang bermakna. Prosentase limfosit, eosinofil dan basofil tidak berbeda secara bermakna. Pemeriksaan morfologi lekosit menunjukkan perubahan yang bermakna berupa tepi sitoplasma yang irreguler, vakuolisasi, dan lobus nukleus yang irreguler akibat pengaruh konsentrasi Na2EDTA yang belebihan. Disimpulkan bahwa penggunaan konsentrasi Na2EDTA yang berlebihan pada preparasi spesimen darah menyebabkan perubahan profil lekosit sesuai peningkatan konsentrasinya. Konsentrasi standar tidak mempengaruhi hitung lekosit dan hitung jenis lekosit serta morfologinya, kecuali berpengaruh terhadap tepi sitoplasma yang irreguler dan lobus nukleus yang irreguler. (Med J Indones 2007; 16:168-75)
Accuracy of leukocytes profile assessment is influenced by several pre analytical factors, among others, the anticoagulant concentration. EDTA is one of the most frequently used anticoagulant in peripheral blood examination. Several references stated that inappropriate concentration of EDTA anticoagulant in blood sample may affect the result of leukocytes profile in peripheral blood examination. The aim of this study was to evaluate whether there are differences among leukocytes profile in peripheral blood examination specimens, which were prepared with excessive Na2EDTA anticoagulant in different concentration. This study was conducted in Faculty of Medicine, Gadjah Mada University. Blood samples from 30 subjects were taken using vein puncture. Two millimeters blood was divided into 4 Na2EDTA-containing tubes. Before that, one drop of blood without Na2EDTA anticoagulant was used to make blood film right after vein puncture, as control. Each tubes contained different concentration of anticoagulant. The first tube contained Na2EDTA in standard concentration 2 mg/ml; the remaining tubes contained 4 mg/ml, 6 mg/ml, and 8 mg/ml respectively. These samples were immediately examined using SYSMEX SE-9500 automatic cell counter to measure the total and differential leukocytes count; and were stained with Wright staining for morphological examination under the microscope. These procedures were done before 20 minutes of vein puncture. There were significant decrement of total leukocytes count, absolute differential leukocytes count and monocyte percentage following excessive Na2EDTA administration. Neutrophil percentage was found to be relatively increased and the difference was significant. Lymphocyte, eosinophil and basophil percentages were not significantly different. Morphological examination showed significant increment in irregular cytoplasm margin, vacoulation and irregular nuclei lobes following excessive Na2EDTA administration. It is concluded that excessive concentration of Na2EDTA used in blood specimen preparation, will lead to changes in leukocytes profile as the concentration increased. Standard Na2EDTA anticoagulant concentration did not alter any leukocytes count and morphology, except for irregular cytoplasm margin and irregular nuclei lobes. (Med J Indones 2007; 16:168-75)
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-3-JulySept2007-168
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Danayu Sanni Prahasti
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar belakang. Abnormalitas fungsi vena terkait inflamasi dan hipertensi vena merupakan dasar patofisiologi insufisiensi vena kronik. Pembuktian hubungan faktor inflamasi lokal pada jaringan vena dengan fungsional vena menjadi penting ketika vena yang diteliti akan menjadi konduit vena pada Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) dan evaluasi patensinya berpengaruh pada mortalitas dan morbiditas pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK). Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari 35 sampel jaringan vena saphena magna pasien PJK yang diambil untuk konduit vena pada BPAK dan telah diperiksa IVK menggunakan Duplex Ultrasound (DUS) dengan parameter time refluks, periode bulan September sampai November 2014 di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Untuk analisa hitung jumlah leukosit dilakukan pewarnaan Hematoxyllin eosin pada jaringan vena oleh ahli patologi anatomi. Analisis statistik dilakukan untuk mencari hubungan antara hitung jumlah leukosit jaringan vena dengan time refluks vena saphena magna. Hasil. Analisa statistik dengan Chi square didapatkan perbedaan bermakna peningkatan jumlah leukosit jaringan vena pada pasien insufisiensi vena kronik dibandingkan normal (52,63 % vs 18,755) dengan nilai P 0,039. Analisa lebih lanjut dengan rasio odd, dimana pasien dengan peningkatan jumlah leukosit jaringan vena memiliki 4 kali lipat kemungkinan menderita insufisiensi vena kronik (Crude OR 4,81; CI 95% 1.02 - 22.57; P value 0.046), dan setelah dianalisa menggunakan variabel perancu usia, jenis kelamin, Diabetes mellitus, Hipertensi, Perokok, Dislipidemia, adjusted OR bertambah menjadi 6 kali lipat (Adjusted OR 6,66; CI 95% 1.16 - 38.31; P value 0.033) Kesimpulan. Terdapat hubungan antara nilai inflamasi lokal dengan parameter hitung jumlah lekosit jaringan vena dengan fungsi vena pada pasien insufisiensi vena kronik dengan parameter time refluks yang diperiksa dengan DUS.
ABSTRACT
Background: Venous function abnormality associated with inflammation and venous hypertension is the main pathophysiology of Chronic Venous Insufficiency (CVI). Proving the relationship between local inflammation factors in venous tissue and its function became an important point because the veins studied are used as a conduit for Coronary Artery Bypass Graft (CABG) procedure, and its patency evaluation will affect the mortality and morbidity rate in Coronary Artery Disease (CAD). Methods: This is a cross-sectional study, evaluating 35 Great Saphenous Veins (GSV) tissues taken as conduit for CABG procedure from CAD patients that have been previously examined using Duplex Ultrasound (DUS) for GSV reflux time from September-November 2014 at National Cardiac Centre Harapan Kita. Vein tissue samples were stained with Hematoxylin-Eosin and the vein tissue leucocyte count were evaluated by an independent anatomical pathologist. Reflux time and vein tissue leukocyte count results were then grouped into 2 categories each and analysed with chi-square test to assess the relationship between the two variables Result: There was significant difference of elevated leukocyte count evaluated in patients with CVI according to DUS reflux time (52,63%) compared to normal ones (18.75%) (p=0.039). The risk for patients with elevated total leukocyte count to develop CVI was 4 times greater than those who have normal count (crude OR 4.81; 95% CI 1.02 to 22.57; p=0.046) and after adjusted for confounding factors, such as age, sex, and history of diabetes, hypertension, smoking, and dyslipidaemia, the risk was increased into 6 times (adjusted OR 6.66; 95% CI 1.16 to 38.31; p=0.033). Conclusion: There is significant relationship between local inflammatory factors, evaluated using total leukocyte count, with venous functions, evaluated using DUS reflux time, in CVI patients.;Background: Venous function abnormality associated with inflammation and venous hypertension is the main pathophysiology of Chronic Venous Insufficiency (CVI). Proving the relationship between local inflammation factors in venous tissue and its function became an important point because the veins studied are used as a conduit for Coronary Artery Bypass Graft (CABG) procedure, and its patency evaluation will affect the mortality and morbidity rate in Coronary Artery Disease (CAD). Methods: This is a cross-sectional study, evaluating 35 Great Saphenous Veins (GSV) tissues taken as conduit for CABG procedure from CAD patients that have been previously examined using Duplex Ultrasound (DUS) for GSV reflux time from September-November 2014 at National Cardiac Centre Harapan Kita. Vein tissue samples were stained with Hematoxylin-Eosin and the vein tissue leucocyte count were evaluated by an independent anatomical pathologist. Reflux time and vein tissue leukocyte count results were then grouped into 2 categories each and analysed with chi-square test to assess the relationship between the two variables Result: There was significant difference of elevated leukocyte count evaluated in patients with CVI according to DUS reflux time (52,63%) compared to normal ones (18.75%) (p=0.039). The risk for patients with elevated total leukocyte count to develop CVI was 4 times greater than those who have normal count (crude OR 4.81; 95% CI 1.02 to 22.57; p=0.046) and after adjusted for confounding factors, such as age, sex, and history of diabetes, hypertension, smoking, and dyslipidaemia, the risk was increased into 6 times (adjusted OR 6.66; 95% CI 1.16 to 38.31; p=0.033). Conclusion: There is significant relationship between local inflammatory factors, evaluated using total leukocyte count, with venous functions, evaluated using DUS reflux time, in CVI patients., Background: Venous function abnormality associated with inflammation and venous hypertension is the main pathophysiology of Chronic Venous Insufficiency (CVI). Proving the relationship between local inflammation factors in venous tissue and its function became an important point because the veins studied are used as a conduit for Coronary Artery Bypass Graft (CABG) procedure, and its patency evaluation will affect the mortality and morbidity rate in Coronary Artery Disease (CAD). Methods: This is a cross-sectional study, evaluating 35 Great Saphenous Veins (GSV) tissues taken as conduit for CABG procedure from CAD patients that have been previously examined using Duplex Ultrasound (DUS) for GSV reflux time from September-November 2014 at National Cardiac Centre Harapan Kita. Vein tissue samples were stained with Hematoxylin-Eosin and the vein tissue leucocyte count were evaluated by an independent anatomical pathologist. Reflux time and vein tissue leukocyte count results were then grouped into 2 categories each and analysed with chi-square test to assess the relationship between the two variables Result: There was significant difference of elevated leukocyte count evaluated in patients with CVI according to DUS reflux time (52,63%) compared to normal ones (18.75%) (p=0.039). The risk for patients with elevated total leukocyte count to develop CVI was 4 times greater than those who have normal count (crude OR 4.81; 95% CI 1.02 to 22.57; p=0.046) and after adjusted for confounding factors, such as age, sex, and history of diabetes, hypertension, smoking, and dyslipidaemia, the risk was increased into 6 times (adjusted OR 6.66; 95% CI 1.16 to 38.31; p=0.033). Conclusion: There is significant relationship between local inflammatory factors, evaluated using total leukocyte count, with venous functions, evaluated using DUS reflux time, in CVI patients.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library