Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4169 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iwan Gunawan
Abstrak :
Amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali pasca reformasi 1998, secara mendasar mengubah sistem ketatanegaraan, terutama konsepsi kedaulatan rakyat dan demokrasi. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen "kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR" dan setelah amandemen berubah menjadi "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD". Beberapa kewenangan MPR dikurangi dan tidak lagi berposisi sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) tetapi lembaga tinggi negara sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya. Beberapa permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini terkait dengan perubahan tersebut antara lain: pertama, bagaimana eksistensi prinsip musyawarah-mufakat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia setelah amandemen UUD 1945?; kedua, bagaimana Pelembagaan Prinsip Musyawarah-mufakat Setelah Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap Sistem Ketatanegaraan Indonesia? Untuk menjawab permasalahan di atas, penulisan ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif yang dilakukan melalui studi historis dan komparatif dengan spesifikasi penelitian descriptif analitis. Pencarian data berupa bahan-bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier yang dibutuhkan dilakukan melalui studi pustaka dan studi lapangan, kemudian diolah dan dianalisis secara yuridis kualitatif untuk ditarik kesimpulan deskriptif yuridis. Dari hasil pengolahan dan analisis bahan-bahan hukum, ditemukan kesimpulan sebagai jawaban permasalahan sebagai berikut; pertama sebagai prinsip dasar penyelenggaraan negara, prinsip musyawarah mufakat senantiasa ada dalam lembaga permusyawaratan, baik secara kelembagaan sebagaimana dalam MPR, perwakilan permusyawaratan (anggota DPR dan anggota DPD) yang dipilih dalam pemilihan umum, materi permusyawaratan sebagaimana terlihat dalam kewenangan MPR dan mekanisme pengambilan keputusan; dan kedua, pelembagaan prinsip permusyawaratan setelah amandemen dapat dilihat dalam MPR dengan formasi dari dua sistem perwakilan yakni perwakilan partai politik (DPR) dan perwakilan daerah (DPD) . Proporsi kewenangan yang tidak berimbang serta sistem keanggotaan dalam MPR menyebabkan kekuataan yang tidak berimbang pula dalam mengambil berbagai keputusan sehingga sistem permusyawaratan perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia termasuk sistern yang unik, apakah tiga kamar, dua kamar atau satu kamar.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauzi Jazuli
Abstrak :
ABSTRAK
Prolegnas diharapkan dapat menjadi pedoman dan pengendali penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat pusat yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan, mendukung tugas utama pemerintahan dan pembangunan, serta untuk memenuhi kebutuhan hukum di dalam masyarakat.Tesis ini menganalisa dua permasalahan utama yang terbagi dalam beberapa subbab. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif/penelitian hukum kepustakaan. Sejalan dengan metode di atas, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (statute approach) dengan maksud untuk meneliti, mendalami, dan menelaah berbagai peraturan perundang-undangan khususnya yang berkaitan dengan perencanaan dan pengawasan pelaksanaan program legislasi nasional. Berdasarkan sifatnya, penelitian hukum ini merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini dimaksudkan untuk menggambarkan serta menguraikan semua data yang diperoleh, terkait dengan perencanaan dan pengawasan pelaksanaan program legislasi nasional. Sedangkan berdasarkan bentuknya, penelitian hukum ini merupakan penelitian preskriptif. Setelah melakukan analisa, dapat disimpulkan bahwa perencanaan dalam Prolegnas sangatlah esensial. Dengan Prolegnas diharapkan pada masa yang akan datang dapat diwujudkan tertib pembentukan peraturan perundang-undangan yang menjadi salah satu penyokong terwujudnya negara hukum Indonesia. Pengawasan yang cocok dilakukan guna mengawasi pelaksanaan Program Legislasi Nasional adalah jenis control of policy making. Adapun lembaga yang berwenang melakukan control of policy making tersebut adalah Badan Legislasi DPR.
ABSTRACT
Prolegnas is expected to guide and control the preparation of laws and regulations to support the main tasks of governance and development, as well as to meet the needs of law in society. Focused on the previous explanation, this thesis analyzes the two major issues that are divided into several sections. This study uses normative research/a legal research literature. In line with the above methods, the approach used in this study is the statute approach with a view to examine, explore, and examine the various laws and regulations, especially with regard to the planning and supervision of the implementation of national legislation program. By its nature, the legal research is a descriptive research. While based on its shape, this is a research study prescriptive law. After the analysis, it can be concluded that in Prolegnas planning is essential. With the Prolegnas expected in the future can be realized orderly formation of legislation which became one of the advocates of the establishment of the state of Indonesian law. Appropriate control is done in order to oversee the implementation of the National Legislation Program is the kind of control of policy making.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Susanti
Abstrak :
ABSTRAK
Dalam rangka menjalankan salah satu wewenangnya, Komisi Yudisial membentuk Peraturan perihal penerimaan dan penanganan laporan masyarakat. Peraturan dimaksud, sejak awal Komisi Yudisial berdiri, dan hingga sekarang rupanya telah berulangkali dicabut dan diganti. Tercatat mulai dari Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengawasan Hakim, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat, Peraturan Komisi Yudisial Nomor 4 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat, dan Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan laporan Masyarakat.Kondisi pergantian perturan tentang penerimaan dan penanganan laporan ini menarik untuk dikaji mengapa dan bagaimana bisa demikian. Kajian difokuskan pada rumusan masalah perihal bagaimanakah evaluasi bentuk formil Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat sebagai peraturan perundang-undangan? dan bagaimanakah evaluasi substansi materil Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Laporan Masyarakat sebagai peraturan perundang-undangan? Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan bentuk tipelogi penelitian yang deskriptif yang didukung dengan alat pengumpulan data yang kualitatif dan metoda analisa data yang analistis yang pada akhirnya dari serangkaian metode penelitian ini akan didapatkan sebuah hasil penelitian tesis yang deskriptif analisis.Setelah dilakukannya penelitian diketahui bahwa berdasarkan penerapan asas-asas formal dan materil pembentukan peraturan perundang-undangan, meskipun Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penangan Laporan Masyarakat secara teknis merupakan peraturan perundang-undangan yang menjalankan ketentuan pasal dalam undang-undang yang memerintahkan, namun secara teknis pembentukan masih diperlukan perbaikan. Adapun terkait dengan permasalahan yang paling pokok yang tengah dihadapi yakni implementasi dari Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penangan Laporan Masyarakat yang tidak terlaksana dengan baik sehingga menimbulkan tunggakan penanganan laporan, diperlukan solusi konkrit berupa dikeluarkannya peraturan dalam kondisi darurat.
ABSTRACT
In order to exercise its authorities, the Judicial Commission must formulate regulations with regard to accepting and handling the public reports. The regulation, since the beginning of the Judicial Commission has been repeatedly amended. As from the Regulation of Judicial Commission Number 2 Year 2005 on Procedures of Supervision of Judges, Judicial Commission Regulation Number 1 of 2006 on Procedures of Supervision of Judges, Judicial Commission Regulation Number 4 Year 2011 on Procedures for Handling of Public Reports, Judicial Commission Regulation Number 4 Year 2013 on the Procedures for Handling Community Reports, and the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling of Community Reports.The amendment of the regulations regarding the acceptance and handling of public report is interesting to examine why and how it can be. The research focused on the formulation on how the evaluation of the formal form of the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling the Report of the Community as a part of the legislation And how is the evaluation of the material substance of Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on the Procedures for Handling the Public Report as part of the legislation The research method used is a normative juridical approach to form typology descriptive research that is supported by qualitative data collection tools and analytical methods of data analysis and ultimately a series of these methods will get a descriptive research thesis analysis.After doing the research it is can be concluded that based on the application of formal and material principles of the formulation of laws and regulations, although the Judicial Commission Regulation Number 2 Year 2015 on Handling of Society Report is technically a legislation that implements the provisions of the articles in the law that ordered, yet technically the formation is still needed improvement. As for the most important problems faced by the implementation of the Judicial Commission Number 2 Year 2015 on the Handling of Community Reports that did not perform well so that arrears delinquent report handling, concrete solutions required in the form of issuing regulations in provisional conditions.
2018
T51648
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Ghenasyarifa Albany Tanjung
Abstrak :
Pembentukan undang-undang selama ini bersifat periodik, tidak mencerminkan perencanaan yang berkelanjutan, dan tidak efektif. Hal ini tergambar dengan berakhirnya periode masa keanggotaan DPR RI saat ini maka berakhir pula pembentukan undang-undang, sehingga pembentukan undang-undang periode selanjutnya dimulai dari awal. Carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 hadir sebagai solusinya. Penelitian ini menganalisis mengenai konsep carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019; implementasi dan kendala dalam penerapan mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024; serta konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik. Hasil penelitian tersebut bahwa carry over dalam pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 terjadi dalam hal sudah pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR RI sebelumnya, dengan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD dapat dimasukan ke dalam Prolegnas periode masa keanggotaan DPR RI selanjutnya. Carry over sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 merupakan padanan kata untuk RUU luncuran atau luncuran pembahasan yang dikenal dalam penyusunan Prolegnas tahunan, yang terjadi antar tahun dalam periode masa keanggotaan DPR yang sama. Implementasi carry over dalam pembentukan undang-undang dari periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019 ke tahun 2019-2024, pada umumnya sama seperti pembentukan undang-undang pada umumnya, yang membedakan adalah RUU yang dibentuk pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2019-2024 tidak melewati tahap penyusunan lagi karena dianggap sudah dijalankan pada periode masa keanggotaan DPR RI tahun 2014-2019. Kendala dalam penerapan carry over adalah belum tersedianya peraturan pelaksana, konsep carry over multitafsir, dan politik hukum terkait pembentukan undang-undang yang dinamis. Konsep carry over dalam pembentukan undang-undang yang sesuai dengan proses pembentukan undang-undang yang baik adalah carry over dalam pembentukan undang-undang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan perundang-udangan yang bertujuan untuk pemenuhan cita hukum. Saran dari penelitian ini hendaknya mekanisme carry over dalam pembentukan Undang-Undang berdasarkan Pasal 71A Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dapat disosialisasikan dengan lebih masif lagi dibentuk Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai ketentuan lebih lanjut mekanisme carry over serta mekanisme carry over dilaksankan dengan memperhatikan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan politik hukum dalam pembentukan undang-undang yang baik, yang sesuai dengan cita hukum bangsa yang tercermin dalam Pancasila. ......The law-making process so far has been periodic, does not reflect sustainable planning, and is not effective. This is illustrated by the end of the current period of The Indonesia House of Representatives, so the law-making process is also ending, so that the law-making process for the next period starts from beginning. Carry over of the law-making process according to Article 71A Act No. 15 of 2019 is present as a solution. This study analyzes the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 and prior to the enactment of Act Number 15 of 2019; implementation and constraints on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024; and carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process. The results of this study show that the carry-over concept on the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 occurred in the event that the Inventory List of Problems has been discussed during the previous of The Indonesia House of Representatives period, with the agreement of the The Indonesia House of Representatives, President, and/or The House of Regional Representatives, that it can be included in the Prolegnas of the next period of The Indonesia House of Representatives. The carry-over concept on the law-making process of prior to the enactment of Act Number 15 of 2019, is the equivalent of the launch bill or launch discussion which is known in the preparation of the annual Prolegnas, which occurs between years within the same period of The Indonesia House of Representative. The implementation on carry over mechanism of the Law-Making Process According to Article 71A Act No. 15 of 2019 of The Indonesia House of Representatives Period 2014-2019 to Period 2019-2024 is generally the same as the formation of laws in general, what distinguishes is the bill that was making during of The Indonesia House of Representative period 2019-2024, does not pass the drafting stage again because it is considered to have been implemented during period 2014-2019. Constraints in implementing carry-over include the unavailability of implementing regulations, the concept of carry-over with multiple interpretations, and legal politics related to dynamic of law-making process. Carry-over concept on the law-making process that are in accordance well-law making process are carry over in the law-making process in accordance with the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process that aim to fulfill legal ideals. The suggestion from this research are that the carry-over mechanism of the law-making process according to Article 71A of Act Number 15 of 2019 can be more massively socialized; a Government Regulation has been established to regulate further provisions on the carry over mechanism; and the carry-over mechanism is carried out by taking into the principles of good statutory formation and legal politics in the law-making process which are in accordance with the ideals of national law as reflected in Pancasila.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Nur Ramadhan
Abstrak :
Proses harmonisasi peraturan perundang masih menemui beberapa persoalan, beberapa diantaranya seperti belum adanya pengaturan yang komperhensif di tingkat undang-undang, belum maksimalnya pengharmonisasian yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan masih belum tepatnya mekanisme pengharmonisasian yang dilakukan selama ini. Permasalahan tersebut berimplikasi pada kualitas peraturan yang dihasilkan, diantaranya pembentukan peraturan menghabiskan waktu yang cukup lama dan peraturan masih tersandera dengan mekanisme harmonisasi yang diterapkan dewasa ini. Sehingga persoalan-persoalan tersebut perlu dilakukan penataan guna menghasilkan peraturan perundang-undangan yang berkualitas. Penelitian hukum ini menggunakan bentuk yuridis normatif, dilakukan dengan pendekatan kualitatif, dengan menggunakan sumber hukum primer berupa peraturan perundang-undangan dan bentuk kebijakan lainnya, serta sumber hukum sekunder berupa literatur dan informasi lain yang valid dan relevan, sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk perskriptif-analitis. Penataan yang diusulkan dalam penelitian ini berkaitan dengan mengatur proses harmonisasi peraturan perundang-undangan secara detail dalam undang-undang, penguatan peran naskah akademik sebagai bentuk pengharmonisasian dan pengembalian fungsi perancang pada kementerian atau lembaga. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjawab mengenai urgensi penataan proses harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dapat mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. ......The process of harmonization of laws and regulations still encounters several problems, some of which are the absence of comprehensive regulations at the level of laws, the harmonization carried out by the Ministry of Law and Human Rights has not been maximized, and the harmonization mechanisms that have been carried out so far have not been precise. These problems have implications for the quality of the regulations produced, including the formation of regulations that take a long time and regulations are still held hostage by the current harmonization mechanism. So that these problems need to be arranged in order to produce quality legislation. This legal research uses a normative juridical form, carried out with a qualitative approach, using primary legal sources in the form of legislation and other forms of policies, as well as secondary legal sources in the form of literature and other valid and relevant information, resulting in research in a descriptive-analytical form. . The arrangement proposed in this study relates to regulating the process of harmonization of laws and regulations in detail in laws, strengthening the role of academic texts as a form of harmonization and returning the designer's function to ministries or institutions. Therefore, this research is expected to be able to answer the urgency of structuring the process of harmonization of laws and regulations that can realize the formation of good laws and regulations.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidir Ali
Abstrak :
Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UUP3) lahir dari adanya pendelegasian kewenangan mengatur yang timbul dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Dimana pada ketentuan Pasal 22A UUD 1945 menentukan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Hal tersebut menunjukkan bahwa materi muatan mengenai mekanisme teknis formil pembentukan undang-undang bukanlah materi muatan UUD 1945 sebagai konstitusi Republik Indonesia. Hal tersebut pun berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan memperoleh dukungan dari teori konstitusi yang menyatakan bahwa materi muatan konstitusi senantiasa berisikan hal yang pokok dan penting. Misalnya seperti jaminan hak asasi manusia maupun norma fundamental ketatanegaraan seperti pengaturan tugas, fungsi, dan pengisian lembaga utama negara. Meskipun demikian pada konteks Indonesia materi muatan tentang pembentukan undang-undang yang diatur di dalam UUP3 tersebut memiliki signifikansi dalam pengujian konstitusionalitas undang-undang di Indonesia. Sebab sejak amandemen ketiga UUD 1945, Republik Indonesia telah membentuk lembaga negara baru berupa Mahkamah Konstitusi yang salah satu wewenangnya adalah untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Akan tetapi bentuk pengujian undang-undang tersebut tidaklah dibatasi dalam artian materil semata atau juga dalam segi formil. Pada praktiknya sejak berdiri pada 2003 yang lalu, Mahkamah Konstitusi secara kontinu menerima dan memutus pengujian materil maupun formil konstitusionalitas undang-undang. Sehubungan dengan pelaksanaan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang ini lah UUP3 akhirnya memiliki signifikansi untuk diberikan kedudukan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh minimnya pengaturan terkait pembentukan undang-undang di dalam UUD 1945. Meskipun UUD 1945 telah menetapkan sejumlah landasan berpikir dan prinsip proses pembentukan undang-undang, akan tetapi UUD 1945 tidaklah mengatur mengenai ketentuan metode dan teknis formil pembentukan undang-undang. Sebab hal tersebut memang bukanlah materi muatan UUD 1945 secara teoretik. Dengan demikian UUP3 khusus dalam konteks pengujian formil konstitusionalitas undang-undang harus digunakan sebagai tolok ukur dalam pengujian tersebut. Karena jika hal tersebut tidak diterapkan maka sudah barang tentu Mahkamah Konstitusi akan mengalami kesulitan dalam memutus permohonan pengujian formil konstitusionalitas undang-undang yang diterimanya. Pandangan tersebut pun memperoleh dukungan dari sejumlah teori hierarki norma, judicial review, maupun pendekatan konsep pendelegasian kewenangan mengatur. Selain itu pada praktiknya terdapat sedikitnya 22 (dua puluh dua) Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan UUP3 dalam kedudukannya sebagai tolok ukur dalam pengujian formil konstitusionalitas undang-undang. ......The Law on the Establishment of Legislation (UUP3) was emerged from the delegation of regulatory authority arising from the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution. Where the provisions of Article 22A of the 1945 Constitution stipulate that further provisions regarding the formation of laws are regulated by law. This shows that the content material regarding the formal technical mechanism of forming laws is not the content material of the 1945 Constitution as the constitution of the Republic of Indonesia. This is also based on the results of the analysis that has been carried out to obtain support from constitutional theory which states that constitutional content material always contains basic and important matters. For example, such as guarantees of human rights and constitutional fundamental norms such as the arrangement of tasks, functions, and the filling of the main state institutions. Nevertheless, in the Indonesian context, the content material regarding the formation of laws regulated in the UUP3 has significance in examining the constitutionality of laws in Indonesia. Because since the third amendment to the 1945 Constitution, the Republic of Indonesia has established a new state institution in the form of the Constitutional Court, one of whose powers is to review laws against the 1945 Constitution. In practice, since its establishment in 2003, the Constitutional Court has continuously accepted and decided on material and formal reviews of the constitutionality of laws. In connection with the implementation of the formal review of the constitutionality of laws, the UUP3 finally has the significance of being given a position as a benchmark in this review. This is caused by the lack of regulation regarding the formation of laws in the 1945 Constitution. Although the 1945 Constitution has stipulated a number of rationale and principles for the process of forming laws, the 1945 Constitution does not regulate provisions regarding formal methods and techniques for forming laws. This is because it is not theoretically content material of the 1945 Constitution. Thus the UUP3 in the context of formal review of the constitutionality of laws must be used as a benchmark in this review. Because if this is not implemented, of course the Constitutional Court will experience difficulties in deciding the application for a formal review of the constitutionality of the law it receives. This view has also received support from a number of normative hierarchical theories, judicial review, as well as the delegation of regulatory authority concept approach. Besides that, in practice there are at least 22 (twenty two) Constitutional Court Rulings that use UUP3 in its position as a benchmark in the formal review of the constitutionality of laws.
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Basuki
Abstrak :
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi materi Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sebagai produk hukum dalam kerangka perundang-undangan Indonesia. Dengan berfokus pada perspektif perundang-undangan, penelitian ini menggali aspek-aspek hukum yang melibatkan ketetapan MPR, termasuk proses pembuatannya, kekuatan hukumnya, dan dampaknya terhadap sistem hukum nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis normatif dan empiris untuk mengidentifikasi kerangka hukum yang mengatur ketetapan MPR, serta dampaknya terhadap pelaksanaan hukum di Indonesia. Dengan merinci aspek konstitusional dan hubungan ketetapan MPR dengan UUD 1945, tesis ini mengeksplorasi peran MPR dalam pembentukan hukum nasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketetapan MPR, sebagai produk hukum, memiliki kekuatan hukum yang signifikan dan dapat menjadi dasar untuk perubahan-perubahan penting dalam sistem hukum dan pemerintahan. Penelitian ini juga mengidentifikasi tantangan dan potensi perbaikan terkait dengan implementasi ketetapan MPR, serta memberikan rekomendasi untuk pengembangan lebih lanjut dalam kerangka perundang-undangan. ......This research was conducted with the aim of understanding the content of the MPR (People's Consultative Assembly) Decree as a legal product within the framework of Indonesian legislation. By focusing on a legislative perspective, this research explores the legal aspects involving MPR decisions, including the process of making them, their legal strength, and their impact on the national legal system. This research uses a normative and empirical analysis approach to identify the legal framework that regulates MPR decisions, as well as their impact on the implementation of law in Indonesia. By detailing the constitutional aspects and the relationship between MPR decisions and the 1945 Constitution, this thesis explores the role of the MPR in the formation of national law. The research results show that MPR decisions, as legal products, have significant legal force and can be the basis for important changes in the legal system and government. This research also identifies challenges and potential improvements related to the implementation of MPR provisions, as well as providing recommendations for further development within the legislative framework.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Lazuardi P.
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian undang-undang terhadap UUD yang dikaitkan dengan gagasan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Selama ini Mahkamah Konstitusi telah memutus ratusan pengujian konstitusionalitas suatu undang-undang. Dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi tidak hanya memutus dengan pilihan tidak menerima, mengabulkan, atau menolak permohonan dari pemohon yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Namun telah terjadi perkembangan dalam putusan pengujian undang-undang yang dikeluarkannya disamping juga ada putusan yang kontroverisal. Akibatnya timbul gagasan untuk memperbaiki Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang dalam RUU perubahannya memunculkan beberapa ketentuan baru yang menjadi bahan kajian penulis. ......This thesis discusses about the implementation of the authority of Constitutional Court on judicial review of laws under 1945 Constitution associated with the idea of changing the Constitutional Court’s laws. In so far, Constitutional Court has decided hundreds of Constitutional review of laws. In the development of Constitutional Court, Constitutional Court not only decided the option of not accept, grant, and reject the petition of petitioners which has been determined in the Constitutional Court’s laws. However, the development on the decision of judicial review of laws which have been issued, in addition there are also some controversial decisions. So, the idea to fix the Constitutional Court’s laws in the draft legislation on amandments are bring out some new provisions which are the subject study of author.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Chairunnisa Zahrariyadi
Abstrak :
Skripsi ini membahas mengenai bagaimana kewenangan dalam pembentukan Peraturan Menteri ditinjau dari teori perundang-undangan dan dari Pasal 8 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 serta bagaimana keberlakuan Peraturan Menteri yang pembentukannya tidak didasarkan pada kewenangan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan menggunakan metode studi kepustakaan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Peraturan Menteri adalah peraturan delegasi sehingga pembentukan Peraturan Menteri hanya bisa didasarkan pada kewenangan delegasi. Pasal 8 ayat (2) tidak bisa diartikan sebagai bentuk pengatribusian kewenangan mengatur sehingga Menteri dalam membentuk Peraturan Menteri tetap harus berdasarkan pendelegasian kewenanagan mengatur lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Bagi Peraturan Menteri yang dibentuk tidak berdasarkan kewenangan delegasi, maka Peraturan Menteri itu tidak dapat diakui keberadaannya sebagai peraturan perundang-undangan dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara umum.
This thesis provides explanation on how the legislation authority works in establishing a Ministerial Regulation, based on the legislation theory and Article 8 paragraph 2 Law No. 12 of 2011. This thesis also provides explanation on how the impact of a Ministerial Regulation establishing if it was not based on the authority. This thesis is a normative legal study with bibliographical method. This thesis concludes that the Ministerial Regulation is a delegated legislation. Therefore, the Minister in terms of making this regulation shall refer to a delegated authority appointed by a higher regulation. The Regulation of The Minister formed without the delegated authority as the basic will make the regulation to be unrecognized as a regulation and not publicly binding.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S58379
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sualang, Keane Natalia Christy
Abstrak :
Penelitian ini membahas mengenai pembentukan produk hukum daerah di daerah otonomi baru di Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum yang bersifat normatif dengan melakukan penelusuran atau pendekatan terhadap Peraturan Perundang-undangan, studi pustaka dan untuk menunjang hal tersebut dilakukannya wawancara terhadap narasumber terkait. Daerah Otonomi Baru mempunyai kondisi yang berbeda dengan Daerah Otonomi yang sudah lama berdiri. Salah satu kondisi tersebut adalah tidak adanya lembaga pembentukan Produk Hukum Daerah yang berwenang. Dalam penelitian ini menjelaskan mengenai pembentukan daerah otonomi baru dan pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Provinsi Papua Tengah sebagai salah satu Provinsi baru di Indonesia mengalami permasalahan dalam pembentukan produk hukum daerah secara khusus peraturan daerah provinsi, peraturan daerah khusus dan peraturan gubernur. Hal ini dikarenakan kewenangan yang diberikan daripada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 Tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah. Kekosongan hukum merupakan salah satu permasalahan dalam penelitian ini. Hasil daripada wawancara yang dilakukan untuk penelitian ini adalah Kondisi Provinsi Papua Tengah tidak bisa disamakan dengan Provinsi yang sudah lama terbentuk. Untuk pembentukan produk hukum daerah, Provinsi Papua tengah berwenang membentuk produk hukum daerah selain yang diperintahkan Undang-Undang dengan bentuk produk hukum daerah yang lain. Tetapi hal ini tidak sesuai dengan Ilmu dan Teori Peraturan Perundang- undangan. ......This research discusses the formation of regional legal products in the new autonomous region in Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia. This research is normative legal research by conducting searches or approaches to Legislative Regulations, literature studies and to support this, interviews with relevant sources are conducted. The New Autonomous Region has different conditions from the long-established Autonomous Region. One of these conditions is the absence of an authorized regional legal product formation institution. This research explains the formation of new autonomous regions and the formation of regional legal products, specifically regional regulations and regional head regulations. Central Papua Province as one of the new provinces in Indonesia is experiencing problems in the formation of regional legal products, specifically provincial regional regulations, special regional regulations and governor regulations. This is due to the authority given by Law Number 2 of 2021 concerning the Second Amendment to Law Number 21 of 2001 concerning Special Autonomy for Papua Province and Law Number 15 of 2022 concerning the Establishment of Central Papua Province. Legal vacancy is one of the problems in this research. The results of interviews conducted for this research are that the conditions of Central Papua Province cannot be compared to provinces that have been established for a long time. For the formation of regional legal products, Papua Province has the authority to form regional legal products other than those ordered by law with other forms of regional legal products. But this is not in accordance with the Science and Theory of Legislation.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>