Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hardianingsih
"This article is focused on responsibility of kepala desa (head of village) regarding administrative omissions through initial land registration. Head of village roles in :his procedure is by issued clearance letter as complementary documents. Under Indonesian land registration if that clearance letter is issued in unlawfully manner so then will affect on illegitimated of land certificates. The author has nor found any land registration norms which govern on the head of village liability for this case, even though iris classified as criminal conduct under Indonesian Penal Code (KUHP) on letter frauds. Practically, legal challenge by injured party under land registration system is enclosing annul to Land Office toward land certificate; or permanent court's decision by litigation filling. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
HUPE-36-4-(Okt-Des)2006-469
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Anggoro
"This article does explanations concerning masyarakat hukum adat (similar to indigenous people) in Indonesia. The study here in generally view has elaborated many rules which mostly relevant to the topic. In the legal system sight's is scrutinized here that it shall comply with national and international law norms. The author has also noted out from the Badui ethnic's case which have worse experiences by such regulation that's issued by central and local government levels. Commonly those experience has been the most picture in how lost their living territory, natural resources access, and cultural."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
HUPE-36-4-(Okt-Des)2006-487
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Davis, Kenneth Culp
St. Paul, Minn.: West Publishing, 1960
342.06 DAV a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rintis Nanda Pramugar
"SKK MIGAS yang merupakan perubahan dari organisasi BPMigas setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 36/PUU-X/2012 dan melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 lahirlah organisasi SKK Migas. SKK Migas sebagai penyelenggara pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Migas mempunyai peran yang sangat penting. Salah satu peran tersebut adalah dalam hal kaitannya dengan pengawasan / pemeriksaan pengajuan biaya operasi yang dapat dikembalikan (cost recovery) yang diajukan oleh Kontraktor Kerja Sama (KKKS) Migas. Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana konsep kewenangan dalam penghitungan cost recovery Migas? Serta bagaimana mekanisme pengawasan tentang Besaran cost recovery yang diajukan KKKS. Bentuk penelitian ini adalah yuridis normatif dengan jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Kesimpulannya adalah penghitungan cost recovery yang diajukan oleh KKKS harus mendapat persetujuan dari Kepala SKK Migas yang sebelumnya dilakukan analisa dan evaluasi oleh Divisi Pemeriksaan Biaya Operasi Deputi Pengendalian Keuangan. Mekanisme pengawasannya dengan dilakukan Audit pada tahap perencanaan, pelaksanaan dan pada tahap akhir.

SKK MIGAS Organization which is a change from BP Migas organization after being shutdown by the Constitutional Court Decision No. 36/PUU-X/2012 and through Presidential Decree No. 9 of 2013 was born SKK MIGAS organization. SKK MIGAS was organize Oil and Gas Upstream management has a very important role. One such role is to supervision / examination / audit operating costs can be refunded ( cost recovery ) to the government filed by the Cooperation Contract ( PSC ) of oil and gas. The problem is how the concept of authority in the calculation of the cost recovery? And how the monitoring mechanism of the magnitude of the proposed PSC cost recovery. This research is used normative juridical with the type of data used is secondary data. The conclusion is counting the cost recovery filed by the PSC to approval of the Head of SKK MIGAS previously performed analysis and evaluated by Operation Cost Audit Division Deputy of Financial Management. Audit mechanism to be done at the planning (preaudit), implementation (current audit) and at the final stage (post audit).
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sze Sze Widyawati
"Notaris merupakan pejabat umum yang diakui oleh negara Republik Indonesia sebagai pejabat satu-satunya yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai suatu penetapan maupun perjanjian-perjanjian. Notaris memiliki peranan yang sangat besar dalam mewujudkan adanya kepastian hukum sehingga notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai berbagai kewenangan khusus yang diamanatkan kepadanya, Pengaturan mengenai profesi notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Salah satu kewenangan Notaris adalah membuat akta otentik yang berkaitan dengan pertanahan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 15 Ayat (2) huruf f. Kewenangan notaris pada pasal ini tentunya sudah diemban oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT pada dasarnya merupakan pejabat yang diangkat oleh Badan Pertanahan Nasional yang bertugas khusus membantu tertib administrasi pertanahan. Pada kalangan praktisi awalnya mengharapkan adanya satu profesi saja yang berwenang untuk membuat suatu akta otentik tanpa terkecuali supaya tidak menimbulkan kerancuan hukum seperti ini sehingga ada pembahasan untuk mencabut pasal 15 Ayat (2) Huruf f. Kemudian pada awal Januari 2014, diundangkanlah perubahan atas Undang-Undang Jabatan Notaris baru Nomor 2 Tahun 2014 yang kembali memuat ketentuan Pasal ini.
Metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif, data yang dipergunakan adalah data sekunder, alat pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan, data yang diperoleh dianalisis dengan pendekatan kualitatif, sedangkan tipologi penelitian ini adalah deskriptif, sehingga hasil penelitian adalah deskriptif analitis. Dari hasil penelitian dapat diketahui pertimbangan hukum atas dimuatnya kembali pasal 15 ayat (2) huruf f pada perubahan undang-undang jabatan notaris, yakni pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014.

Notary is a public official who is recognized by the state of Indonesia as the only officer authorized official who can issuing an authentic deeds about stipulation and agreements. A Notary has various special powers mandated to her or him, setting the notary profession regulated in Law Number 30 Year 2004 concerning Notary. Notary is one of the authorities to make an authentic deed relating to land as stated in Article 15 Paragraph ( 2 ) f. The authority of the notary on this article must have been carried out by a Land Deed Official ( PPAT ). PPAT is basically an official appointed by the National Land Agency (BPN) in charge of special help orderly land administration. In the early practitioners of the profession expects only authorized to make an authentic act without exception so as not to cause confusion of the law so that there is discussion to repeal Article 15, Paragraph ( 2 ) Letter f. Then in early January 2014, recompile again the same article in new regulation which is refer to Law Notary No. 2 of 2014 which re-load the provisions of Article ini.
The writing method of this thesis was normative, the data which has been used are secondary data , tools of data collection done by the study literature, the data were analyzed with a qualitative approach, while the typology of this research is descriptive, so the result is a descriptive analytical study. From the results of this research is the legal considerations for publishing back Article 15 paragraph ( 2 ) f of the change in the law office of notary public, namely the Law No. 2 of 2014.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41533
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Emma Indrianita
"ABSTRAK
Temuan Pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral merupakan temuan yang harus ditindaklanjuti berdasarkan Peraturan
Inspektur Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun
2014 dan Pasal 3 Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 2 Tahun 2010.
Namun dalam kondisi tertentu menyebabkan temuan pemeriksaan Inspektorat
Jenderal tersebut menjadi tidak dapat ditindaklanjuti, di mana kriteria dan
kewenangan untuk menetapkan temuan yang tidak dapat ditindaklanjuti adalah Unit
Pemeriksa yang bersangkutan, dalam hal ini adalah Inspektorat Jenderal Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Permasalahan yang dapat diungkap adalah Bagaimana suatu temuan pemeriksaan
pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral diklasifikasikan sebagai temuan
yang tidak dapat ditindaklanjuti berdasarkan Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-
830/K/IP/2004 dan bagaimana upaya reformasi yang dapat dilakukan agar internal
control mempunyai administrative efficacy dan penerapannya di Inspektorat Jenderal
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif yang
meninjau mengenai temuan pemeriksaan yang tidak dapat ditindaklanjuti berdasarkan
Keputusan Kepala BPKP Nomor KEP-830/K/IP/2004 tentang Prosedur Baku
Pengelolaan Database Hasil Pengawasan pada BPKP. Data dalam penelitian ini akan
diolah dan dianalisa secara kualitatif dan menghasilkan data preskriptif-analisis yang
merumuskan saran bagi penyelesaian permasalahan dalam penelitian. Dalam hal ini
merumuskan saran bagaimana upaya reformasi yang dapat dilakukan agar internal
control memiliki administrative efficacy.
Lokasi penelitian di Jakarta berkedudukan di Inspektorat Jenderal Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai salah satu aparat pengawasan intern
pemerintah yang berfungsi melaksanakan pengawasan intern di lingkungan
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Pengumpulan data yang digunakan
pada penelitian ini adalah studi dokumen dan melakukan wawancara dengan
narasumber atau informan yaitu orang yang memberikan informasi karena jabatannya
atau keahliannya.
Hasil penelitian membuktikan bahwa dalam menentukan kualitas temuan
pemeriksaan beserta tindak lanjutnya harus didasarkan pada suatu standar agar
menjadi temuan yang bermutu dan juga menghasilkan suatu tindak lanjut yang relevan agar menyelesaikan temuan pemeriksaan karena efektivitas suatu tindak
lanjut ditentukan oleh mekanisme akuntabilitas. Penetapan temuan menjadi temuan
yang tidak dapat ditindaklanjuti pun harus melalui mekanisme tertentu agar kualitas
temuan dan rekomendasi tidak menyimpang dari standar kendali mutu internal audit.
Penguatan institusi BPKP sebagai perangkat pengendalian internal akan memberikan
nilai tambah dan berguna bagi efektivitas aparat pengawasan intern pemerintah di
Indonesia. Dalam hal ini restrukturisasi dan refungsionalisasi BPKP menjadi
Kementerian merupakan salah satu upaya melaksanakan fungsi manajemen yang
akan mencapai administrative efficacy

ABSTRACT
Examination findings of the Inspectorate General of Ministry of Energy and Mineral
Resources are findings that should be actionable under the Regulation of the
Inspector General of Ministry of Energy and Mineral Resources No. 1 Year 2014 and
Article 3 of Regulation of State Audit Board (BPK) No. 2 Year 2010.
However, under certain circumstances, examination findings of the Inspectorate
General cannot be followed, because the authority and criteria to determine whether a
finding can be followed or not are in the hand of concerned Investigations Unit, in
this case is the Inspectorate General of the Ministry of Energy and Mineral
Resources.
Problems that can be revealed is how examination findings of the Ministry of Energy
and Mineral Resources are classified as non-actionable under the Decree of the Head
of Financial and Development Supervisory Agency (BPKP) No. KEP-830/K/IP/2004
and what kinds of reform efforts can be done in order to obtain administrative
efficacy of internal control and to apply them in the Inspectorate General of the
Ministry of Energy and Mineral Resources.
The research method used is the normative juridical, which reviews examination
findings that cannot be followed under the Decree of the Head of Financial and
Development Supervisory Agency (BPKP) No. KEP-830/K/IP/2004 on Standard
Procedures of Database Management of Monitoring Results on BPKP. The data in
this research will be processed and analyzed qualitatively, and will generate
prescriptive-analytic data to formulate solutions. In this case, the research will
formulate suggestions on what reform efforts can be done in order to obtain
administrative efficacy of internal control.
Research site in Jakarta located at the Inspectorate General of the Ministry of Energy
and Mineral Resources, as one of the government's internal control instruments
whose function is to implement internal control within the scope of Ministry of
Energy and Mineral Resources. Data collection conducted in the research is the
review of documents and interviews with speakers or informants ? ones who can
provide information regarding their roles or skills. The research proves that the determination of the quality of examination findings and
the proceeding actions should be based upon certain standards in order to obtain
qualified findings and to produce relevant solutions - which effectiveness is measured
by accountability mechanisms. The determination of a finding as non-actionable
should also go through certain mechanisms, so that the quality of the findings and
recommendations will not deviate from the standards of internal audits? quality
control.
The institutional strengthening of BPKP as an internal control instrument will provide
an added value and be useful to the effectiveness of the government?s internal control
instruments in Indonesia. In this case, the restructuring and refunctionalization of
BPKP into Ministry is one way to carry out the management functions that will
achieve administrative efficacy"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42696
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khoerul Hadi
"Adanya krisis internal pada sistem keanggotaan dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI), menyebabkan adanya prajurit TNI yang kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki pekerjaan tetap. Di lain pihak peraturan perundangan membuka pintu masuk bagi prajurit TNI untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) melalui jalur ketentuan Pegawai Pemerintah berdasarkan Perjanjian Kerja (PPPK). Jabatan yang disasar adalah jabatan fungsional dan jabatan pimpinan tinggi. Permasalahan yang diangkat adalah pengangkatan PPPK dari unsur TNI dan kesesuaian pengangkatan PPPK melalui pengusulan Panglima TNI dalam penerimaan seleksi pengadaan kepegawaian ASN. Penelitian ini berupa penelitian kualitatif, menggunakan bahan utama data sekunder. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa prosedur pengangkatan PPPK sebagai ASN dari unsur TNI tidak menerapkan sistem pengadaan PPPK secara umum. Hal itu terjadi karena terdapat peran serta internal TNI untuk mengusulkan calon pejabat fungsional kepada instansi pengguna atau mengirimkan nama calon pejabat pimpinan tinggi. Pengangkatan PPPK dari unsur TNI juga tidak sesuai dengan sistem merit sebagai dasar prosedur pengadaan ASN karena terdapat proses pengusulan oleh pihak internal TNI yaitu panglima TNI. Akibatnya, penerapan sistem merit dalam pengangkatan prajurit TNI sebagai PPPK tidak terimplementasikan secara penuh.

The existence of an internal crisis in the membership system within the Indonesian National Armed Forces (TNI), has caused TNI soldiers to lose their jobs and have no permanent jobs. On the other hand, laws and regulations an open opprotunity for TNI soldiers to become State Civil Apparatus through the provisions of Government Employees based on the Work Agreement (PPPK). The targeted positions are functional positions and high leadership positions. The issues raised were the appointment of PPPK from the TNI element and the suitability of the appointment of PPPK through the recommendation of the TNI Commander in accepting the selection of ASN staffing. This research is qualitative, using secondary data as the main material. The results of this study stated that the procedure for the appointment of PPPK as ASN from the TNI element did not apply the PPPK procurement system in general. This happened because there was an internal TNI participation in proposing candidates for functional officials to the user agency or sending the names of candidates for high leadership officials. The appointment of PPPK from the TNI element is also not in accordance with the merit system as the basis for the ASN procurement procedure because there is a nomination process by the TNI internal party, namely the TNI commander. As a result, the application of the merit system in the appointment of TNI soldiers as PPPK was not fully implemented."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunkarni
"ABSTRAK
Ketentuan pengadaan barang dan jasa pada badan usaha milik negara terlepas dari aturan
pengadaaan barang/jasa pemerintah, dimana BUMN diberikan kebebasan dan wewenang
untuk membuat tata cara pelaksanaan pengadaannya sendiri berdasarkan kebutuhan kegiatan
usaha dan kondisi dari masing-masing perusahaan. Prinsip-prinsip pengadaan BUMN diatur
dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-05/MBU/2008 Juncto
Nomor PER-15/MBU/2012 tentang Pedoman Umum Pengadaan Barang Dan Jasa Badan
Usaha Milik Negara, yaitu efisien, efektif, transparan, adil dan wajar, serta akuntabel.
Pedoman pengadaan barang dan jasa pada BUMN yang dituangkan dalam bentuk surat
keputusan Direksi sangat rawan terhadap resiko-resiko penyimpangan terutama tindak pidana
dan korupsi, serta tidak melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Proses dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa tentunya sangat
berpengaruh terhadap kinerja BUMN terutama perusahaan persero sebagai badan usaha yang
mencari keuntungan, contohnya pada PT Perkebunan Nusantara XII (Persero). Aturan
pengadaan yang terlalu rumit seringkali menimbulkan banyak kendala dalam pelaksanaannya
dan menjadikan pengadaan yang tidak efisien dan efektif.

ABSTRACT
Provisions of procurement goods and services in State-Owned Enterprises are not subject to
the rules of government procurement, which every State-Owned Enterprises has granted its
freedom and authority to make its own procurement procedures of business activities depend
on the needs and conditions of each company. The procurement principles of State-Owned
Enterprises stipulated in the Regulation of the Minister of State-Owned Enterprises Number
PER-05/MBU/2008 Juncto Number PER-15/MBU/2012 on General Procedures Of
Procurement Goods And Services At State-Owned Enterprise. The principles are efficient,
effective, transparent, fair and reasonable, and accountable. Procedures of the procurement as
formed by the Decision of the Board of Director from each State-Owned Enterprises has the
risks of criminal and corruption acts, and should not violate any principles of the fair
competition regulation based on Law Number 5 Year 1999 on Anti Monopoly Practice And
Unfair Business Competition. Process and implementation of the Procedures of Procurement
can affect to the business performance of state-owned enterprises, especially a profit oriented
state-owned enterprises (Persero), example in PT Perkebunan Nusantara XII (Persero).
Procurement rules which are too complicated often cause a lot of problems in implementation
and make inefficient and effective procurement."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T39389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imam Heykal Djajadiningrat
"ABSTRAK
Dalam hal ihwal negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa, Pasal 22 UUD 1945 memberikan hak kepada Presiden untuk menetapkan Perppu. Namun timbul problema hukum mengenai siapakah yang menentukan kapan terjadinya “hal ihwal kegentingan yang memaksa” tersebut, dan siapa yang menentukan keadaan seperti apakah kondisi kegentingan yang memaksa telah terpenuhi, sehingga Presiden menjadi berhak menetapkan Perppu. Penelitian ini bertujuan menjawab dua pertanyaan, yaitu: (i) bagaimana pengaturan Perppu dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (ii) bagaimana kesesuaian antara Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 terhadap UUD 1945. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder atau data kepustakaan terkait dengan kegentingan yang memaksa, Perppu, kewenangan Presiden dan kewenangan DPR. Dari analisis dapat diketahui, pertama, syarat hal ikhwal kegentingan yang memaksa menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 tidak boleh diidentikan dengan keadaan bahaya seperti dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Jika dianggap identik, justru akan timbul kesulitan karena Perppu hanya boleh ditetapkan dalam keadaan darurat saja. Kedua, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian terhadap Perppu. UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 tidak secara tegas mencantumkan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD.

ABSTRACT
In the conditions of pressing crisis, Article 22 Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945 entitles the President to establish government regulations in lieu of laws or (Perppu). However, legal problems arise regarding who decides what the "conditions in pressing crisis" is, and who determines the conditions so that President is entitled to assign Perppu. This study aims to answer two questions, namely : (i) how Government Regulation is referred in the Constitution and the prevailing legislation (ii) the conformity between the Constitutional Court Verdict Number 138/PUU-VII/2009 against Constitution. The method used in this study is normative research using secondary data or literature data associated with conditions in pressing crisis, Government Regulation, the authorities of President and Parliament. Analysis shows, firstly, requirement of conditions in pressing crisis according to Article 22 paragraph (1) of Constitution should not be identified with the state of emergency as defined by Article 12 of Constitution. If it is considered identical, there will be a problem because Government Regulation should only be applied in emergencies only. Secondly, the Constitutional Court Verdict No. 138/PUU-VII/2009 is contrary to the Constitution. The Constitutional Court does not have the authority to conduct judicial review of Government Regulation. The Constitution and Act Number 24 of 2003 does not expressly include the authority of the Constitutional Court to conduct judicial review against the Constitution."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39317
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3   >>