Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 54 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Chrisya Nadine Immanuela
Abstrak :
Proses jual beli seringkali didasari dengan pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum dilanjutkan dengan Akta Jual Beli. Para pihak tidak menyadari adanya ketentuan yang juga mengikat akibat pembuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli walaupun belum terjadinya peralihan hak. Penulisan ini terdiri dari dua rumusan masalah, yaitu mengenai akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Penulisan ini menggunakan metode yuridis normatif dan tipologi penelitian eksplanatoris. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Akta Pemberian Hak Tanggungan, perbuatan melawan hukum, dan juga kredit, sedangkan bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku, jurnal, dan internet. Penulisan ini juga melakukan wawancara baik terhadap Notaris dan PPAT serta juga kepada Bank. Penulis menyimpulkan bahwa akibat adanya perbuatan melawan hukum setelah dilakukan penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli, maka Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat batal demi hukum karena tidak dibuat atas dasar sebab yang halal. Selain itu, pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara perbuatan melawan hukum setelah penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli kurang tepat karena tidak mempertimbangkan mengenai hak dan kewajiban yang timbul akibat Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Majelis hakim juga seharusnya mempertimbangkan tentang perbuatan Bank. Hal ini karena Bank tidak menerapkan prinsip kehati-hatian Bank dalam pemeriksaan sebelum pemberian kredit. ......The buying and selling process is often based on the making of a Sale and Purchase Binding Agreement before proceeding with the Sale and Purchase Deed. The parties are not aware of the existence of provisions that are also binding due to the making of the Sale and Purchase Binding Agreement even though there has not been a transfer of rights. This writing consists of two problem formulations, namely regarding the legal consequences of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement and regarding the judge's considerations in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement. This writing uses a normative juridical method and an explanatory research typology. The legal materials used are primary legal materials in the form of laws and regulations relating to the Sale and Purchase Binding Agreement, Deed of Granting Mortgage Rights, unlawful acts, and also credit, while secondary legal materials consist of books, journals, and the internet. This writing also conducts interviews with both Notaries and PPAT as well as to Banks. The author concludes that as a result of an unlawful act after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement, the Deed of Granting Mortgage may be null and void because it was not made on the basis of a lawful cause. In addition, the consideration of the panel of judges in deciding cases of unlawful acts after the signing of the Sale and Purchase Binding Agreement is not appropriate because it does not consider the rights and obligations arising from the Sale and Purchase Binding Agreement. The panel of judges should also consider the actions of the Bank. This is because the Bank does not apply the prudential principle of the Bank in the examination before granting credit.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karni Ilyas
Jakarta: Forum Yayasan Karyawan, 1996
348.04 KAR c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1975
341. 026 8 UNI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Raka
Abstrak :
ABSTRAK Sesuai dengan ketentuan pasal 1131 KUHPerd bahwa seluruh harta kekayaan seseorang itu, baik yang sudah ada maupun yang akan diperolehnya kemudian, merupakan jaminan bagi pelunasan hutang-hutangnya. Ini berarti, jika debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya, sesuai dengan peraturan yang berlaku, kreditur-krediturnya dapat mengambil harta itu bagi pelunasan hutang-hutangnya. Secara umum hukum sudah memberikan pengamananpengamanan bagi kreditur, asalkan piutangnya tidak melebihi kekayaan debitur. Sebab kalau debitur cedera janji, berlaku pasal 1131 KUHPerd dan umumnya debitur juga memenuhi kewajibannya. Akan tetapi hal ini tidak selalu memberikan perlindungan yang bisa diandalkan. Karena ada kemungkinan debitur itu banyak hutangnya (banyak krediturnya). Masing-masing kreditur memberikan kredit, berdasarkan nilai-nilai kekayaan debitur.
Depok: Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Rosliawati Rosmalia
Abstrak :
Pranata hukum bertujuan memberikan perlindungan dan jaminan kepastian hukum pada para pihak. Perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas pelaksanaan eksekusi hak tanggungan diberikan oleh undang-undang berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Undang-Undang Hak Tanggungan. Timbul permasalahan hukum dalam implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan tersebut di Pengadilan Negeri dan Niaga ketika dalam pelaksanaannya bersinggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Kepailitan). Dengan metode penulisan yuridis normatif, akan diuraikan ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan dan apakah implementasi ketentuan dari kepailitan mempengaruhi pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Benturan antara implementasi ketentuan pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dengan implementasi ketentuan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan terjadi, saat harta debitur yang dibebankan hak tanggungan tersebut termasuk dalam harta debitur yang dipailitkan atau harta pailit dan hak eksekusi kreditur berdasarkan hak tanggungan akan terpasung dengan adanya penangguhan berdasarkan putusan kepailitan selama 90 (sembilan puluh hari). Penangguhan eksekusi berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang Kepailitan, ternyata tidak taat asas dengan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan yang menyatakan bahwa setiap kreditur pemegang hak tanggungan dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Adanya ketidaktaatan asas dari ketentuan kepailitan tersebut, mempengaruhi pelaksanaan eksekusi hak tanggungan berdasarkan Pasal 20 dan 21 Undang-Undang Hak Tanggungan dan meruntuhkan sendi-sendi dari sistem hukum jaminan kebendaan secara keseluruhan. Dengan meletakkan pemahaman bahwa kepailitan sebagai salah satu mekanisme penyelesaian utang tidak dapat dilepaskan dari sistem hukum jaminan, dapat dilakukan sosialiasi berupa seminar-seminar, diskusi-diskusi dan lokakarya.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daulay, Amrul Mulia
Abstrak :
Tesis ini meneliti tentang pengaturan hukum merek sebagai jaminan fidusia, isi perjanjian jaminan fidusia merek yang perlu diperjanjikan dalam akta penjaminan merek dan hambatan dalam pelaksanaan penjaminan merek sebagai jaminan fidusia. Berangkat dari permasalahan tersebut penulis menulis tesis ini dengan tujuan untuk menjelaskan pengaturan hukum  penjaminan merek sebagai jaminan jaminan fidusia, menganalisis hal-hal yang perlu diperjanjikan dalam akta penjaminan merek dan mengidentifikasi hambatan dalam pelaksanaan penjaminan merek sebagai objek jaminan fidusia. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menggunakan deskriptif analisis, data diperoleh dari studi pustaka dan wawancara dengan beberapa narasumber .Kesimpulan dari Tesis ini adalah bahwa merek secara hukum boleh dijadikan sebagai objek jaminan fidusia dan ini sudah  ada prakteknya. adapun hal yang perlu diperjanjikan pada akta jaminan fidusia merek pada umumnya sama seperti perjanjian jaminan fidusia pada umumnya dan adapun hambatan pelaksanaan penjaminan merek sebagai jaminan fidusia selama ini adalah bahwa masyarakat dan lembaga pembiayaan kurang mengetahui bahwa merek bisa dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, sulitnya menentukan nilai ekonomi dari hak merek dan sedikitnya jasa/lembaga/akuntan yang mempunyai kemampuan untuk menghitung nilai ekonomi hak merek. Saran sebaiknya pemerintah lebih memperbanyak sosialisasi pentingnya pendaftaran hak merek agar sadar dan mau mendaftarkan, sehingga minat masyarakat untuk menjadikan hak merek sebagai jaminan fidusia semakin tinggi demi kemajuan usahanya dan perekonomian masyarakat.
This thesis examines the regulation of brand law as a fiduciary guarantee, the contents of the brand fiduciary guarantee agreement that needs to be agreed on in the brand guarantee deed and obstacles in the implementation of brand guarantees as fiduciary guarantees. Departing from these problems the author wrote this thesis with the aim of explaining the regulation of brand guarantee law as a fiduciary guarantee, analyzing the things that need to be agreed on in the brand guarantee deed and identifying obstacles in the implementation of brand guarantees as objects of fiduciary collateral. The research method used is juridical-normative using descriptive analysis, data obtained from studies in the library and interviews with several speakers. The conclusion of this thesis is that the brand can legally be used as an object of fiduciary collateral and this is already in practice. As for the things that need to be agreed on the brand fiduciary deed in general are the same as the fiduciary guarantee agreement in general and as for the obstacles to the implementation of brand guarantees as fiduciary guarantees so far are that the public and financial institutions do not know that the brand can be used as an object of fiduciary collateral. economy of brand rights and few services / institutions / accountants who have the ability to calculate the economic value of brand rights. Suggestion is that the government should increase the socialization of the importance of registration of brand rights so that they are aware and willing to register, so that the public interest in making brand rights as fiduciary guarantees is increasingly high for the progress of their business and the economy of the community.
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T51814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Dian Sari
Abstrak :
ABSTRAK Pemberantasan korupsi di Indonesia masih menghadapi banyak kendala, salah satu diantaranya adalah perlawanan dari berbagai pihak dalam bentuk obstruction of justice yang dilakukan oleh advokat. Advokat dalam menjalankan tugas profesinya mempunyai hak imunitas, yakni hak untuk tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Namun dalam praktiknya hak imunitas tersebut seperti tidak ada gunanya selama perbuatan advokat memenuhi unsur-unsur pasal dalam suatu ketentuan pidana seperti obstruction of justice, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum bagi advokat dalam menjalankan tugas profesinya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami bentuk-bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, pengaturan dan penerapan hak imunitas advokat sebagai pelaku obstruction of justice, serta praktik penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku tindak pidana obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi. Dalam penelitian ini, jenis Penelitian yang digunakan adalah Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan sejarah, undang-undang dan konseptual. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa bentuk obstruction of justice dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah segala perbuatan yang dimaksudkan dengan mencegah, mengganggu, menghalangi, atau menggagalkan proses peradilan. Hak imunitas advokat diatur dalam Pasal 14 hingga Pasal 16 Undang-Undang Advokat, akan tetapi dalam praktiknya advokat sebagai pelaku obstruction of justice tetap dapat dimintai pertanggungjawabannya terlepas dari hak imunitas yang dimilikinya. Serta penegakan hukum terhadap advokat sebagai pelaku obstruction of justice dalam perkara tindak pidana korupsi telah dilakukan di Indonesia, dapat dilihat dari kasus Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof dan Fredrich Yunadi. 
ABSTRACT Eradication of corruption in Indonesia still faces many obstacles, one of them is resistance from various parties in the form of obstruction of justice carried out by advocates. Advocates in carrying out their professional duties have the right to immunity, namely the right not to be prosecuted both in civil or criminal terms. However, in practice the right of immunity is useless as long as an advocate's actions fulfill the elements of the article in a criminal provision such as obstruction of justice, so that it creates legal uncertainty for advocates in carrying out their professional duties. This research is aimed at knowing and understanding forms of obstruction of justice in Indonesian laws and regulations, especially in eradicating criminal acts of corruption, regulation and the application of the rights of immunity of advocates as subject of obstruction of justice, as well as law enforcement practices against lawyers as subject of criminal acts of obstruction of justice in cases of corruption. In this study, the type of research used was normative juridical using a historical, legal and conceptual approach. The results of the study concluded that the form of obstruction of justice in the laws and regulations in Indonesia is all actions intended to prevent, interfere, obstruct, or frustrate the judicial process. The rights of the advocate's immunity are regulated in Article 14 to Article 16 of the Law on Advocates, but in practice advocates as subject of obstruction of justice can still be held accountable regardless of the right of immunity they have. And law enforcement for lawyers as obstruction of justice subject in cases of corruption has been committed in Indonesia, can be seen from the case of Manatap Ambarita, M. Hasan bin Khusi Mohammad, R. Azmi bin Moh. Yusof and Fredrich Yunadi.

Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52136
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Maya Audina
Abstrak :
Perkawinan merupakan hubungan pria dan wanita untuk hidup bersama yang mana hubungan itu bersifat kekal dan diakui negara. Selama masa perkawinan terkumpul harta yang menjadi milik bersama. Namun, ada dorongan untuk dapat mengelola sendiri harta yang diperoleh selama masa perkawinan, adapun upaya yang dapat ditempuh untuk pemisahan harta benda dalam perkawinan yaitu dengan membuat perjanjian perkawinan. Dengan ini penulis ingin membuat penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana mekanisme dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang berlaku surut dengan adanya Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 818/Pdt.P/2018/PN.Jkt.Sel 2) Bagaimana ketentuan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dalam perjanjian perkawinan yang berlaku surut? 3) Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015?; Penelitian ini dibuat dengan metode penelitian Yuridis Normatif. UU Perkawinan mengatur perjanjian perkawinan dibuat sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang mengubah perjanjian perkawinan dapat dibuat selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain. Adanya perubahan berdasarkan putusan tersebut membuat potensi bagi pasangan suami istri ingin mengatur harta bersama yang telah diperoleh selama perkawinannya. Perjanjian perkawinan tersebut dapat dibuat dengan cara pasangan suami istri terlebih dahulu meminta penetapan pengadilan untuk harta benda apa saja yang akan diatur pemisahannya, dengan begitu Notaris dapat membuat akta perjanjian perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan tersebut. ......Marriage is a relationship between a man and a woman to live together in which such a relationship is eternal and recognized by the state. Throughout the marriage period, the jointly owned assets are collected. However, there is an urge to be able to manage the assets acquired during the marriage period personally, as for the efforts that can be taken for the separation of property in marriage, namely by making a marriage agreement. Based on the description above, the writer desires to make a research with the formulation of the problem as follows: 1) What are the provisions for making a marriage agreement in Indonesia? 2) What is the mechanism for making a retroactive marriage agreement? 3) What are the roles of the Notary in making a marriage agreement after the Judgment of the Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015?. This research was made by applying a normative juridical research method. Marriage Law stipulates that a marriage agreement shall be made before or at the time of the marriage. In line with the development of society and legal needs, the Constitutional Court issued Judgment Number 69/PUU-XIII/2015 which amends that the marriage agreement can be made during the marriage period. Besides, the changes based on such judgment create the potential for married couples wanting to regulate joint assets that have been obtained during their marriage. The marriage agreement can be made by the marriage couple first requesting a court order for any property to be separated, so that the notary can make a marriage agreement deed based on the court's judgment.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estella Nava Prasetya
Abstrak :
Fenomena meningkatnya harga minyak goreng kemasan sejak tahun 2022 di Indonesia salah satunya disebabkan oleh pelaku usaha yang diduga secara bersama-sama telah melakukan perjanjian ataupun kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat, sehingga menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkan minyak goreng kemasan. KPPU kemudian menindaklanjuti fenomena tersebut dengan menggelar persidangan tentang adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait indikasi perjanjian penetapan harga dan pembatasan peredaran dan/atau penjualan pada minyak goreng kemasan yang dilakukan oleh 27 (dua puluh tujuh) Pelaku Usaha Terlapor dalam Perkara Nomor 15/KPPU-I/2022. Konsumen dalam hal ini tentunya dirugikan karena terpaksa untuk membeli minyak goreng kemasan dengan harga yang mahal dikarenakan pentingnya peran minyak goreng bagi keberlangsungan rumah tangga, sehingga diperlukan suatu upaya bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif-yuridis dengan analisis data kualitatif. Dalam analisis, pembuktian adanya indikasi pelaku usaha melakukan persaingan usaha tidak sehat dianalisis menggunakan bukti-bukti langsung dan analisa bukti-bukti tidak langsung (i.e., bukti ekonomi dan bukti komunikasi). Bahwa bukti-bukti yang telah dianalisis ini bukanlah menjadi bukti yang mutlak untuk menyatakan kesalahan para Terlapor, sehingga perlu dilakukan tinjauan lebih mendalam oleh KPPU untuk menemukan bukti-bukti lain yang lebih komprehensif agar indikasi tersebut dapat dibuktikan secara jelas. Konsumen yang dirugikan akibat tidak bisa membeli harga minyak goreng yang terjangkau dapat mengajukan upaya hukum berupa gugatan perwakilan kelompok kepada Pengadilan Negeri untuk bisa mendapatkan ganti kerugian. Hal tersebut harus ditempuh konsumen dikarenakan adanya keterbatasan kewenangan KPPU yang tidak memiliki fungsi melindungi konsumen sehingga tidak dapat menetapkan ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pelaku usaha kepada konsumen. ......The phenomenon regarding the increase in packaged cooking oil prices since 2022 in Indonesia is one of the causes of business actors who are suspected of jointly entering into agreements or unfair business competition activities, causing difficulties for the public to obtain packaged cooking oil. In response to this occurrence, KPPU held a trial regarding the alleged violation of Article 5 and Article 19 letter c of Law Number 5 of 1999 Concerning Monopoly and Unfair Competition related to price fixing agreements and limitation in distribution and/or sales of packaged cooking oil involving 27 (twentyseven) Business Actors in Case Number 15/KPPU-I/2022. Consumers are obviously at a disadvantage in this scenario since they are forced to buy packaged cooking oil at high rates because of the critical function of cooking oil in family sustainability, therefore an effort is required for consumers to receive compensation. The research method used in this research is a normative-juridical method with qualitative data analysis. In the analysis, direct evidence and indirect evidence (i.e., economic and communication) are used to examine indicators of business actors engaging in unfair business competition. Whereas the evidence analyzed is not absolute evidence of the Reported Parties’ guilt, a more in-depth review by KPPU is required to find more comprehensive evidence so that these indications can be proven clearly. Consumers who experience these losses as a result of not being able to buy affordable cooking oil prices can file a class action lawsuit in District Court to seek compensation. These legal remedies must be taken by consumers due to the KPPU’s restricted jurisdiction, which does not have the duty of protecting consumers and hence cannot establish a decision for the business actors to compensate consumers directly.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nainggolan, Alvin Jogi Nauli
Abstrak :
Penyalahgunaan keadaan merupakan alasan pembatalan perjanjian yang belum diatur dalam perundangan Indonesia namun sudah dikenal melalui doktrin dan yurisprudensi. Di Belanda, negara yang menganut sistem hukum yang sama dengan Indonesia, dengan lahirnya Nieuw Burgerlijk Wetboek, telah mengatur penyalahgunaan keadaan dalam perundangannya. Namun, ajaran ini pada awalnya bukan berasal dari sistem hukum civil law, melainkan melalui paham equity dalam sistem hukum common law. Singapura, yang menganut sistem hukum tersebut, juga telah mengatur mengenai penyalahgunaan keadaan dalam perundangannya. Penelitian ini bermaksud untuk membandingkan bagaimana perkembangan penyalahgunaan keadaan dalam hukum perjanjian negara Indonesia dan Singapura. ......Undue influence is the vitiating factor on contract that has not been regulated in Indonesian legislation but has been recognized through doctrine and jurisprudence. In Netherlands, a country with the same legal system as Indonesia, through the birth of Nieuw Burgerlijk Wetboek, has regulated undue influence in its legislation. However, the doctrine of undue influence was not originally derived from the civil law system, but through the notion of equity in the common law legal system. Singapore, which adheres to common law system, has also regulated undue influence in its legislation. This study intends to compare the development of undue influence in contract law in Indonesia and Singapore.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>